Anda di halaman 1dari 18

PSIKOLOGI ABNORMAL

PERSONALITY DISORDERS
(GANGGUAN KEPRIBADIAN)

Disusun Oleh :

KELOMPOK 6

3PA19

1. Bagus Muhammad Ghany


2. Echa Nabila
3. Fajrin Eka Pratiwi
4. Qishma Assyifa Eka Pratiwi

UNIVERSITAS GUNADARMA

2019

I. KONSEP TEORI
Gangguan kepribadian adalah kelompok gangguan heterogen yang didefinisikan oleh
masalah dengan dalam stabilitas perasaanya dan dengan mempertahankan kedekatan serta
hubungan yang konstruktif.
Orang-orang dengan gangguan kepribadian mengalami kesulitan dengan identitas mereka
dan keterkaitan mereka dalam berbagai bidang kehidupan, dan masalah-masalah ini berlanjut
selama bertahun-tahun. Masalah kepribadian mereka terbukti dalam kognisi, emosi,
hubungan, dan kontrol impuls. gejala-gejala gangguan kepribadian bersifat meresap dan
persisten

II. KRITERIA DAN SIMPTOM-SIMPTOM


Pada DSM-5, 10 gangguan kepribadian dibagi dalam 3 klaster, dilihat dari mencerminkan
gagasan bahwa gangguan ini ditandai dengan perilaku eksentrik yang aneh (klaster A);
perilaku dramatis, emosional, atau perilaku tidak menentu (klaster B); atau perilaku cemas
atau takut (klaster C).

Klaster A (Aneh/Esentrik)
Paranoid Ketidakpercayaan dan Kecurigaan pada
orang lain
Skizoid Detasemen dari hubungan sosial dan
rentang ekspresi emosi terbatas
Skizotipoal Kurangnya kapasitas untuk hubungan
dekat, distorsi kognitif, dan perilaku
eksentrik
Klaster B (Dramatis/Eratik)
Antisosial Mengabaikan dan melanggar hak orang
lain berubah menjadi citra diri
Ambang Ketidakstabilan hubungan interpersonal,
citra diri, dan pengaruh, serta implusivitas
yang nyata
Histrionik Berlebihan secara emosional dan mencari
perhatian
Narsistik Kemegahan, kebutuhan akan kekaguman,
dan kurangnya empati
Klaster C (Cemas/Ketakutan)
Menghindar Hambatan sosial, perasaan tidak mampu,
dan hipersensitif terhadap evaluasi negatif
Dependen Perlu berlebihan untuk dijaga, perilaku
patuh, dan ketakutan akan perpisahan
Obsesif-Komplusif Kesibukan dengan ketertiban,
kesempurnaan, dan kontrol
Gejala- gejala dari
orang dengan gangguan kepribadian biasanya alloplastik. Artinya, orang dengan gangguan
kepribadian akan berusaha merubah lingkungan untuk disesuaikan dengan keinginannya.
Gejala-gejalanya juga egosintonik. Artinya, orang dengan gangguan kepribadian dapat
menerima dengan baik tanda-tandanya. Tanda-tanda peringatan akan adanya gangguan
kepribadian dapat dideteksi pada masa kanak-kanak. Anak-anak dengan gangguan psikologis
atau perilaku bermasalah di masa kanak-kanaknya, seperti gangguan tingkah laku, depresi,
kecemasan, dan ketidakmatangan, lebih besar risikonya dibandingkan risiko rata-rata untuk
mengembangkan gangguan kepribadian di kemudian hari (Berstein dkk., 1996; Kasen., 2001).

III. FAKTOR PENYEBAB


Salah satu masalah dalam menilai gangguan kepribadian adalah apakah orang dapat secara
akurat menggambarkan kepribadian mereka sendiri. Ketika laporan klien tentang gejala
gangguan kepribadian mereka dibandingkan dengan laporan persetujuan teman cenderung
rendah.
Adapun beberapa penyebab gangguan kepribadian menurut perspektif teoritis:
a. Perspektif Psikodinamika
Teori Freudian memandang bahwa banyaknya abnormalitas yang muncul diakibatkan
karena Oedipus complex. Freud meyakini bahwa anak-anak normalnya dapat mengatasi Oedipus
complex dengan mengabaikan inses pada orangtua yang bededa gender dan mengidentifikasi diri
dengan orang tua dari gender yang sama. Hasilnya adalah mereka menyerap prinsip moral
orangtua yang bergender sama dalam bentuk struktur kepribadian yang disebut superego. Selain
itu juga freud memandang bahwa ketidakhadiran sosok ayah dan orangtua yang antisosial juga
merupakan faktor yang menyebabkan penyimpangan pada proses perkembangan, menghalangi
anak untuk memiliki moral guna mencegah perilaku anti sosial, perasaan bersalah, menyesal,atau
perilaku menyakiti orang lain. Pada perkembangan moral freud berfokus pada laki-laki, sehingga
menuai kritikan karena gagal menjelaskan perkembangan moral perempuan.
Hans Kohut, salah satu pakar psikodinamika modern yang banyak berfokus pada perkembangan
kepribadian narsistik.

b. Perspektif belajar
Teoritikus belajar mengatkan bahwa pada masa kanak-kanak banyak terjadi pengalaman
penting yang membentuk perkembangan kebiasaan maladaptif dalam berhubungan dengan orang
lain yang menyebabkan gangguan kepribadian. Sebagai contoh, anak yang secara terus menerus
tidak didukung utuk mengungkapkan pikiran mereka atau menjelajahi lingkungan mereka dapat
mengembangkan pola perilaku kepribadian dependen. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif
kemungkinan terkait disiplin atau kontrol yang berlebihan dari orangtua dimasa kanak-kanak.
Theodore Millon (1981) menyatakan bahwa anak yang perilakunya dikontrol dan dihukum secra
kaku oleh orang tua mereka, bahkan untuk kesalahan yang ringan, dapat mengembangkan
standar kesempurnaan yang tidak fleksibel. Ketika beranjak dewasa, mereka mungkin berjuang
untuk mengembangkan diri mereka dalam area dimana mereka dapat tampil baik, seperti
kegiatan akademis atau atletis, sebagai cara untuk menghindari kritik atau hukuman dari orang
tua. namun perhatian yang khusus pada area perkembangan tertentu saja mencegah mereka untuk
menjadi orang yang terlibat dalam banyak aktivitas. Sehingga mereka menghindari resiko dan
tantangan baru.
Teoretikus sosial-kognitif menekankan peran reinforcement dalam menjelaskan asal mula
adanya perilaku antisosial. Ullmann dan krassner menyatakan bahwa orang dengan kepribadian
antisosial kemungkinan gagal untuk belajar merespons terhadap orang lain
sebagai reinforcer yang potensial. Anak menempatkan orang lain sebagai reinforcing
agent karena saat orang lain tersebut memberikan mereka reinforcemet berupa pujian karena
melakukan hal yang baik dan menghukum mereka saat melakukan kesalahan, reinforcement dan
hukuman mmberikan informasi pada anak bahwa ada yang namanya harapan sosial, yang
kemudian memebantu anak memodifikasi perilakunya untuk memaksimalkan kesempatan
mendapatkan reward dan meminimalisir risiko di waktu yang akan datag, sebagai
konsekuensinya dalam artian anak menjadi sensitive terhadap tuntutan orang lain.
Teoritikus Albert Bandura mempelajari proses belajar observasional dalam perilaku
agresif yang merupakan salah satu komponen umum anti sosial. Ia dan rekannya telah
menunjukan bahwa anak menguasai keterampilan, termasuk keterampilan agresif melalui
pengamatan terhadap orang lain.
Psikolog kognitif-sosial juga menujukan cara orang dengan gangguan kepribadian
menginterpretasi pengalaman sosial mereka memperngaruhi perilaku mereka, misalnya ia
cenderung keliru menginterpretasikan perilaku orang lain sebagai ancaman.

c. Perspektif keluarga
Sejalan dengan pandangan psikodinamika yang beranggapan bahwa gangguan dalam
hubungan keluarga mendasari perkembangan gangguan kepribadian. Peneliti menemukan bahwa
orang dengan gangguan kepribadian ambang (BPD) dibandingkan dengan gangguan psikologis
lain, merka mengenang orang tua mereka sebagai seorang yang lebih mengontrol dan kurang
peduli.
Sejalan lagi dengan psikodinamika, faktor keluarga seperti overprotektif dan
ototarianisme menyebabkan berkembangnya trait kepribadian dependen yang menghambat
perkembangan perilaku yang mandiri. Ketakutan yang ekstreen akan ditinggalkan juga dapat
menjadi salah satu penyebab, kemungkinan dihasilkan dari kegagalan untuk mengembangkan
ikatan yang aman dengan figure orangtua dimasa kanak-kanak akibat pengabaian, penolakan,
atau kematian orangtua.
Seperti halnya BDP, peneliti juga menemukan bahwa penganiayaan atau pengabaian di
masa kanak-kanak adalah faktor risiko dalam perkembangan gangguan kepribadian di masa
dewasa.
Anak-anak yang ditolak atau bahkan diabaikan oleh orangtua mereka tidak dapat
mengembangkan perasaan kelekatan yang hangat pada orang lain. Mereka jadi kurang mampu
berempati terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain.

d. Perspektif biologis
1. Faktor genetis
Adanya indikasi bukti dari adanya faktor genetis, beradasarkan temuan bahwa hubungan
biologis derajat pertama (orang tua dan saudara kandung) dari orang dengan gangguan
kepribadian tertentu, terutama tipe antisosial, skizotipal, dan ambang, lebih cenderung
didiagnosis gangguan-gangguan ini daripada anggota populasi umum.
Penelitian terhadap transmisi dalam keluarga terbatas karena anggota keluarga berbagi
lingkungan yang sama sebagaimana juga gen. maka penelitian beralih pada anak kembar dan
anak adopsi untuk mengetahui pengaruh genetis dan lingkungan. Bukti dari penelitian ini anak
kembar menyatakan bahwa dimensi keprbadian yang terkait dengan gangguan kepribadian
tertentu dapat memiliki kompenen yang diwariskan.
2. Kurangnya respon emosional
Hervey menyatakan bahwa kepribadian anti sosial dapat menjaga ketenangan mereka
dalam situas yang penuh tekanan yang akan menyebabkan kecemasan pada kebanyakan orang.
Teoritikus kognitif dapat menjelaskan hasil penelitian yang menunjukan bahwa efek dari
stimulus aversif pada orang dengan gangguan kepribadian anti sosial bergantung pada makna
dan nilai dari stimulus.
Saat orang cemas, telapak tangan mereka cenderung berkeringat. Respon kulit,
disebut galvanic skin respons , adalah suatu tanda aktivasi dari cabang simpatis sistem saraf
otonom (autonomic nervous system). Orang dengan kepribadian antisosial memiliki tingkat GSR
lebih rendah saat mereka dihadapkan pada stimulus yang menyakitkan daripada kelompok
control yang normal. Tampaknya, orang dengan kepribadian antisosial hanya mengalami sedikit
kecemasan dalam mengatasi rasa sakit yang akan dihadapinya.
3. Model lapar-akan-stimulasi
Kebutuhan akan tingkat stimulasi yang lebih tinggi dapat menjelaskan mengapa orang
dengan trait psikopati cenderung lebih mudah mersa bosan daripada orang lain dan juga lebih
sering tertarik pada aktivitas yang lebih menstimulasi namun secara potensial berbahaya. Seperti
motorcycling, skydiving, jud dengan taruhan yang besar, atau petualangan seksual.

4. Abnormalitas otak
Penelitian menggunakan teknik pencitraan otak (brain-imaging) yang canggih
menghubungkan antara gangguan kepribadian antisosial dan abnormalitas pada korteks
prefrontal dari lobus frontal.
Korteks prefrontal adalah bagian dari otak yang beratanggung jawab untuk menghambat
perilaku impulsif, menimbang konsekuensi dari tindakan kita, memecahkan masalah, dan
merencanakan masa depan.
Abnormalitas otak dapat membantu menjelaskan beberapa ciri gangguan kepribadian
antisosial, termasuk kurangnya hati nurani, kegagalan dalam menghambat perilaku impulsif,
kondisi ketengsaraan yang rendah, usaha yang buruk dalam memecahkan masalah dan kegagalan
untuk memikirkan konsekuensi dari perilaku sebelum bertindak.

e. Perspektif sosiokultural
Perspektif sosiokultural menelaah kondisi sosial yang dapat berkontribusi pada
perkembangan pola perilaku yang diidentifikasi sebagai gangguan kepribadian. Kita perlu
melihat peran dari stressor yang dialami individu dan keluarga yang kurang beruntung yang
bermain dalam pembentukan pola perilaku, dikarenakan gangguan kepribadian antisosial
dilaporkan paling sering terjadi pada orang yang ekonominya dari kelas sosial lebih rendah.
Banyak lingkungan yang di dalamnya penuh dengan masalah sosial seperti kemiskinan, alkohol,
seks bebas, penyalahgunaan obat terlarang, serta keluarga yang tidak terorganisasi dan tidak
terintegrasi. Masalah sosial tersebut dapat mendorong individu menjadikan hal tersebut sebagai
panutan yang menyimpang.
Bicara tentang masalah kepribadian antisosial dapat meliputi usaha pada tingkat
masyarakat untuk memperbaiki ketidakadilan sosial dan memperbaiki kondisi sosial.
IV. JENIS JENIS GANGGUAN

A. Klaster A
1. Gangguan Kepribadian Paranoid
Perasaan curiga yang pervasif merupakan trait penentu dalam gangguan
kepribadian paranoid (paranoid personality disorder), yaitu kecenderungan untuk
menginterpretasi perilaku orang lain sebagai hal yang mengancam atau
merendahkan. Orang dengan gangguan ini sangat tidak percaya pada orang lain, dan
hubungan sosial mereka terganggu karenanya.
Orang yang memiliki kepribadian paranoid cenderung terlalu sensitif terhadap
kritikan, baik itu nyata maupun yang dibayangkan. Mereka marah pada
ketidakhormatan yang sangat kecil. Mereka mudah marah dan tidak terima bila
mereka pikir mereka telah diperlakukan dengan sangat buruk. Mereka cenderung
tidak mempercayakan rahasia pribadi mereka pada orang lain karena mereka yakin
bahwa informasi pribadi akan digunakan untuk menyerang mereka. Mereka
mempertanyakan ketulusan dan kelayakan untuk dipercaya dari teman dan rekan
mereka. Senyuman ataupun lirikan dapat ditanggapi dengan kecurigaan.
Mereka juga cenderung sangat berhati-hati, seolah-olah mereka harus waspada
terhadap hal-hal yang mengancam atau menyakiti. Mereka tidak mau disalahkan atas
kekeliruan mereka, meskipun telah diberikan bukti-bukti, orang-orang dengan
gangguan paranoid dipandang oleh orang lain sebagai individu yang dingin, menjaga
jarak, punya rencana licik, pembohong, dan tidak memiliki rasa humor. Sebagai
akibatnya, mereka hanya memiliki sedikit teman dan hubungan erat (Nevid,
Rathus,& Greene, 2005).
Kriteria diagnostik (DSM-5) untuk gangguan kepribadian paranoid adalah sebagai
berikut.
a) Ketidakpercayaan dan kecurigaan yang pervasif kepada orang lain sehingga
motif mereka dianggap sebagai berhati dengki, dimulai pada masa dewasa awal
dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh empat (atau
lebih) berikut :
1) Menduga, tanpa dasar yang cukup, bahwa orang lain memanfaatkan
membabayakan, atau menghianati dirinya.
2) Preokupasi dengan keraguan yang tidak pada tempatnya tentang loyalitas
atau kejujuran teman atau rekan kerja.
3) Enggan untuk menceritakan rahasianya kepada orang lain karena rasa takut
yang tidak perlu bahwa informasi akan digunakan secara jahat melawan
dirinya.
4) Membaca arti merendahkan atau mengancam yang tersembunyi dari ucapan
atau kejadian yang biasa.
5) Secara persisten menanggung dendam, yaitu tidak memaafkan kerugian,
cedera, atau kelalaian.
6) Merasakan serangan terhadap karakter atau reputasinya yang tidak tampak
bagi orang lain dan dengan cepat bereaksi secara marah atau balas
menyerang.
7) Memiliki kecurigaan yang berlulang, tanpa pertimbangan, tentang kesetiaan
pasangan atau mitra seksual.
b) Tidak terjadi semata-mata selama perjalanan skizofrenia, suatu gangguan mood
dengan ciri psikotik, atau gangguan psikotik lain dan bukan karena efek fisiologis
langsung dari kondisi medis umum.

2. Gangguan Kepribadian Skizoid


Gangguan kepribadian skizoid adalah sebuah gangguan kepribadian yang
ditandai dengan kurangnya minat dengan hubungan sosial, efek yang datar, dan
penarikan diri dari lingkungan sosial (Nevid, Rathus,& Greene, 2005). Ciri utama
dari gangguan kepribadian skizoid ini adalah isolasi sosial.
Mereka dengan gangguan ini tampak jauh dan menjaga jarak, mereka
penyendiri. Wajah mereka cenderung tidak menampilkan ekspresi emosional,
seperti kemarahan, kebahagiaan, atau kesedihan tidak tampak pada diri mereka.
Mereka jarang bertukar senyum sosial atau salam yang disertai anggukan dengan
orang lain. Mereka tampak tidak terpengaruh terhadap kritikan atau pujian yang
tampak terbungkus dalam ide-ide abstrak dari dalam pikiran mengenai manusia,
mereka cenderung preokupasi dengan fantasi dan introspeksi yang berlebihan.
Meski mereka lebih senang menjaga jarak dengan orang lain, mereka membina
kontak yang lebih baik dengan realitas daripada orang yang menderita skizofrenia.
Prevalensi dari gangguan ini dalam populasi umum tidak lah diketahui (Nevid,
Rathus, & Greene, 2005).
Dalam Nevid, dkk.(2005) juga dijelaskan bahwa pola kepribadian skizoid
umumnya dapat dikenali saat awal masa dewasa. Pria dengan gangguan ini jarang
berkencan atau menikah. Perempuan dengan gangguan ini cenderung menerima
ajakan romantis secara pasif dan menikah, namun mereka jarang berinisiatif untuk
membina huhungan atau untuk mengembangkan ikatan yang kuat dengan
pasangan mereka.
Kriteria diagnostik (DSM-5) untuk gangguan kepribadian paranoid adalah
sebagai berikut.
a) Pola pervasif pelepasan dari hubungan sosial dan rentang pengalaman emosi
yang terbatas dalam lingkungan interpersonal, dimulai pada masa dewasa
awal dan ditemukan dalam berbagai korteks, seperti yang dinyatakan oleh
empat (atau lebih) berikut:

1) Tidak memiliki minat ataupun menikmati hubungan dekat, termasuk


menjadi bagian dari keluarga.
2) Hampir selalu memilih kegiatan secara sendirian.
3) Memiliki sedikit, jika ada, rasa tertarik untuk melakukan pengalaman
seksual dengan orang lain.
4) Merasakan kesenangan dalam sedikit, jika ada aktifitas.
5) Tidak memiliki teman dekat atau orang yang dipercaya selain sanak
saudara derajat pertama.
6) Tampak tidak acuh terhadap pujian atau kritik orang lain.
7) Menunjukkan kedinginan emosi, pelepasan atau pendataran afektivitas.
b) Tidak terjadi semata-mata selama perjalanan skizofrenia, gangguan, suatu
gangguan mood dengan ciri psikotik, gangguan psikotik lain atau suatu
gangguan perkembangan pervasif, dan bukan karena efek fisiologis langsung
dari kondisi medis umum.

3. Gangguan Kepribadian Skizotipal


Gangguan Kepribadian Skizotipal adalah gangguan kepribadian yang
didiagnosis pada orang yang kesulitan dalam membina hubungan dekat. Dari
perilaku, sikap, hingga pola pikirnya aneh atau ganjil, namun tidak cukup
terganggu untuk dapat didiagnosis skizofrenia. Mereka dapat menjadi sangat
cemas dalam situasi sosial, bahkan saat berinteraksi dengan orang yang mereka
kenal. Kecemasan sosial mereka tampak terkait dengan pikiran paranoid
(misalnya, takut bahwa orang lain akan menyakiti mereka) dibandingkan dengan
ketekutan akan di tolak atau dievaluasi secara negatif oleh orang lain (Nevid,
Rathus,& Greene, 2005).
Keesentrikan yang terkait dengan kepribadian skizoid terbatas pada kurangnya
minat terhadap hubungan sosial. Sedangkan ganguan kepribadian skizotipal
merujuk pada cakupan yang lebih luas dari perilaku, persepsi, dan keyakinan-
keyakianan yang ganjil. Orang dengan ganguan ini mengalami persepsi atau ilusi
yang tidak umum, seperti perasaan akan hadirnya seorang anggota keluarga yang
telah meninggal di dalam ruangan. Namun mereka menyadari bahwa orang
tersebut tidak benar-benar ada disana. Mereka mengembangkan ideas of reference,
seperti keyakinan bahwa orang lain sedang membicarakan mereka. Mereka bisa
terlibat dalam "pikiran magis" seperti keyakinan bahwa mereka memiliki “indra
keenam" (misalnya meramal masa depan) atau bahwa orang lain dapat merasakan
perasaan mereka. Mereka dapat melekatkan makna yang tidak umum pada kata-
kata (Nevid, Rathus,& Greene, 2005).
Pembicaraan mereka mungkin tidak jelas atau abstrak dalam artian yang tidak
biasa. Mereka memiliki penampilan yang berantakan, menunjukan sikap dan
prilaku yang tidak umum, seperti berbicara pada diri sendiri saat bersama dengan
orang lain. Wajah mereka hanya menunjukan sedikit emosi. Seperti orang dengan
kepribadian skizoid, mereka tidak bertukar senyum atau anggukan dengan orang
lain. Atau mereka dapat tampak konyol den tersenyum serta tertawa pada saat
yang keliru.
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan skizotipal adalah sebagai berikut.
a) Pola pervasif deficit sosial dan interpersonal yang ditandai oleh ketidak
senangan akut dengan, dan penurunan kapasitas untuk, hubungan erat dan
juga oleh peyimpangan kognitif atau persepsi dan perilaku eksentrik, dimulai
pada masa dewasa awal dan tampak dalam berbagai konteks , seperti yang
ditunjukkan oleh lima (atau lebih) berikut:
1) Gagasan yang menyangkut diri sendiri (ideas of reference) kecuali
waham yang menyangkut diri sendiri.
2) Keyakinan aneh atau pikiran magis yang mempengaruhi perilaku dan
tidak konsisten dengan norma Kultural (misalnya, percaya takhyul),
(superstitiousness), percaya dapat melihat apa yang akan terjadi
(clairvoyance), telepati, atau indera keenam, pada anak-anak dan remaja
khayalan atau preokupasi yang kacau) .
3) Pengalaman persepsi yang tidak lazim, termasuk ilusi tubuh. Pikiran
dan bicara yang aneh.
4) Kecurigaan atau ide paranoid.
5) Afek yang tidak sesuai atau terbatas.
6) Perilaku atau penampilan yang aneh, eksentrik atau janggal.
7) Tidak memiliki teman akrab atau orang yang dipercaya selain sanak
saudara derajat pertama.
8) Kecemasan sosial yang bertebihan yang tidak menghilang dengan
keakraban dan cenderung disertai dengan ketakutan paranoid ketimbang
pertimbangan negative tentang diri sendiri.

b) Tidak terjadi semata- mata selama perjalanan skizofrenia , suatu gangguan


mood dengan ciri psikotik lain , atau suatu gangguan perkembangan pervasif.

B. Klaster B
A. Gangguan Kepribadian Antisosial
Orang dengan gangguan kepribadian antisosial (antisosial personality
disorder) secara persisten atau konstan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak
orang lain dan sering melanggar hukum, mengabaikan norma, dan konvensi sosial,
impulsif, serta gagal membina komitmen interpersonal dan pekerjaan. Ciri yang
paling menonjol dari mereka adalah tingkat kecemasan yang rendah ketika ada
keadaan yang mengancam dan kurangnya rasa bersalah atau penyesalan ketika
mereka melakukan sebuah kesalahan. Pada perilaku mereka, hukuman nampaknya
hanya sedikit memiliki dampak. Siapapun yang menghukum, mereka akan tetap
menjalankan hidup yang tidak bertanggung jawab atau impulsif.
Menurut survey Kesler, dkk. (1994) bahwa gangguan kepribadian antisosial 5x
lebih umum dijumpai pada laki-laki daripada perempuan. Tetapi gangguan antisosial
tersebut telah tumbuh dengan cepat di antara tahun-tahun terakhir ini.
Pola perilaku yang menandai gangguan kepribadian antisosial ini biasanya dimulai
dari masa kanak atau remaja hingga berlanjut hingga dewasa. Namun, perilaku
antisosial dan kriminal yang terkait dengan gangguan kepribadian ini cenderung
menurun sesuai bertambahnya usia, dan mungkin akan hilang pada saat orang
tersebut mencapai usia 40 tahun. Namun, tidak demikian dengan Trait kepribadian
yang mendasari gangguan antisosial – trait seperti egosentris; manipulatif;
kurangnya empati; kurangnya rasa bersalah atau penyesalan, dan kekejaman pada
orang lain. Hal-hal tersebut relatif stabil meski terdapat penambahan usia (Harpur &
Hare, 1994).
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan kepribadian antisosial adalah sebagai
berikut.
a) Paling tidak berusia 18 tahun.
b) Ada bukti gangguan perilaku sebelum usia 15 tahun, ditunjukkan dengan pola
perilaku seperti membolos, kabur, memulai perkelahian fisik, menggunakan
senjata, memaksa seseorang untuk melakukan aktivitas seksual, kekejaman fisik
pada orang atau binatang, merusak atau membakar bangunan secara sengaja,
berbohong, mencuri, atau merampok.
c) Sejak usia 15 tahun menunjukkan kepedulian yang kurang dan pelanggaran
terhadap hak-hak orang lain, yang ditunjukkan oleh beberapa perilaku sebagai
berikut:
1) Kurang patuh terhadap norma sosial dan peraturan hukum, ditunjukkan dengan
pola perilaku melanggar hukum yang dapat atau tidak dapat mengakibatkan
penahanan, seperti merusak bangunan, terlibat dalam pekerjaan yang
bertentangan dengan hukum, mencuri, atau menganiaya orang lain.
2) Agresif dan sangat mudah tersinggung saat berhubungan dengan orang lain,
ditunjukkan dengan terlibat dalam perkelahian, fisik dan menyerang orang lain
secara berulang, mungkin termasuk penganiayaan terhadap pasangan atau
anak-anak.
3) Secara konsisten tidak bertanggung jawab, ditunjukkan dengan kegagalan
mempertahankan pekerjaan karena ketidakhadiran berulang kali,
keterlambatan, mengabaikan kesempatan kerja atau memperpanjang periode
pengangguran meski ada kesempatan kerja.
B. Gangguan Kepribadian Ambang
Borderline Personality Disorder/BPD merupakan gangguan kepribadian yang
ditandai oleh perubahan yang cepat dalam mood, kurangnya sense of
self yang koheren, serta perilaku yang tidak dapat diduga dan implusif. Kepribadian
ambang cenderung tidak yakin akan identitas pribadi mereka-nilai, tujuan, karier, dan
bahkan mungkin orientasi seksual mereka. Ketakutan akan ditinggalkan menjadikan
mereka pribadi yang melekat dan menuntut dalam hubungan sosial mereka, Namun
kelekatan mereka seringkali malah menjauhkan orang-orang yang menjadi tumpuan
mereka. Tanda-tanda penolakan membuat mereka sangat marah, yang membuat
hubungan mereka lebih jauh lagi. Akibatnya perasaan mereka terhadap orang
lain menjadi mendalam dan berubah-ubah (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Mereka silih berganti antara melakukan pemujaan yang ekstrim dengan
memendam kebencian. Mereka memandang orang lain sebagai semua-tentangnya-
baik atau semua-tentangnya-buruk dan berubah-ubah dengan cepat dari satu ekstrim
ke ekstrim lain. Sebagai hasilnya mereka terbang dari satu pasangan kepasangan lain
dalam satu seri hubungan yang singkat dan menggebu-gebu (Gunderson & Singer,
1986).
Menurut Sanislow, dkk (2000), ketidakstabilan mood merupakan karakteristik
sentral dari ganguan kepribadian ambang. Mood berkisar dari kemarahan dan
iritabilitas sampai pada depresi dan kecemasan, yang masing-masing berlangsung
dari beberapa jam ke beberapa hari. Mereka memiliki kesulitan dalam
mengendalikan kemarahan dan rentan terhadap perkelahian dan perselisiahan. Self-
mutilation terkadang dimunculkan sebagai ekspresi kemarahan atau sebagai sarana
memanipulasi orang lain (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Dalam buku Psikologi Abnormal oleh Nevid, dkk (2005) dijelaskan bahwa
individu dengan BPD cenderung untuk memiliki hubungan yang bermasalah dengan
keluarga asalnya dan dengan orang lain. Mereka banyak memiliki riwayat
pengalaman traumatis semasa kanak-kanak, seperti kehilangan atau perpisahan
dengan orang tua, penganiayaan, pengabaian atau menyaksikan kekerasan. Dari
perspektif psikodinamika modern, individu ambang dianggap tidak dapat
menyintesiskan elemen positif dan negatif dari kepribadian menjadi keseluruahan
yang utuh. Karenanya mereka gagal mencapai self-identity atau gambaran mengenai
orang lain yang pasti.
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan Borderline Personality Disorder
adalah sebagai berikut.
a) Pola pervasif ketidakstabilan hubungan interpersonal, citra diri, dan afek, dan
impulsivitas yang jelas pada dewasa awal dan ditemukan dalam berbagai konteks,
seperti yang ditunjukkan oleh lima (atau lebih) berikut :
1) Usaha mati-matian untuk menghindari ketinggalan yang nyata atau khayalan.
2) Pola hubungan interpersonal yang tidak stabil dan kuat yang ditandai oleh
perubahan antara ekstrim-ekstrim idealisasi dan devaluasi.
3) Gangguan identitas, citra diri atau perasaan diri sendiri yang tidak stabil secara
jelas dan persisten.
4) lmpulsivitas pada sekurangnya dua bidang yang potensial membahayakan diri
sendiri.
5) Perilaku, isyarat, atau ancaman bunuh diri yang berulang kali, atau perilaku
mutilasi diri.
6) Ketidakstabilan afektif karena reaktivitas mood yang jelas.
7) Perasaan kosong yang kronis.
8) Kemarahan yang kuat dan tidak pada tempatnya atau kesulitan dalam
mengendalikan kemarahan.
9) Ide paranoid yang transien dan berhubungan dengan stress, atau gejala
disosiatif yang parah.
C. Gangguan Kepribadian Histrionik
Gangguan kepribadian histrionik (histrionic personality disorder) melibatkan
emosi berlebihan dan kebutuhan yang besar untuk bisa menjadi pusat perhatian.
Istilah ini berasal dari bahasa Latin histrio, yang berarti “aktor”. Orang dengan
gangguan kepribadian histrionic cenderung dramatis dan emosional, namun emosi
mereka tampak dangkal, dibesar-besarkan dan mudah berubah. Gangguan ini
didiagnosis lebih sering pada perempuan daripada laki-laki (Hartung & Widiger,
1998, dalam buku Psikologi Abnormal, Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Orang-orang dengan gangguan kepribadian histrionik cenderung menuntut agar
orang lain memenuhi kebutuhan mereka akan perhatian dan berperan sebagai korban
saat orang lain mengecewakan mereka. Pada umumnya, mereka tertarik pada mode
dan mereka cenderung self-centered bahkan tidak toleran terhadap penundaan
kesenangan. Profesi seperti modeling dan akting menjadi kemungkinan wadah yang
menarik bagi mereka dengan berkepribadian histrionik, di mana dunia profesi
tersebut terdapat dominasi lampu sorot. Meski tampak sukses di luar, mereka
sebenarnya memiliki self-esteem yang kurang dan sedang berjuang memberi kesan
pada orang lain bertujuan untuk meningkatkan self-worth mereka. Keraguan yang
menyedihkan akan muncul dalam diri mereka apabila mereka mengalami
kemunduran atau kehilangan perhatian publik.
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan Histrionik adalah sebagai berikut.
a) Pola pervasif emosionalitas dan mencari perhatian yang berlebihan, dimulai pada
masa dewasa muda dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan
oleh lima (atau lebih) berikut :
1) Tidak merasa nyaman dalam situasi dimana ia tidak merupakan pusat
perhatian.
2) Interaksi dengan orang lain sering ditandai oleh godaan seksual yang tidak
pada tempatnya atau perilaku provokatif.
3) Menunjukkan pergeseran emosi yang cepat dan ekspresi emosi yang dangkal.
4) Secara terus menerus menggunakan penampilan fisik untuk menarik perhatian
kepada dirinya.
5) Memiliki gaya bicara yang sangat impresionistik dan tidak memiliki perincian.
6) Menunjukkan dramitasi diri, teatrikal, dan ekspresi emosi yang berlebihan.
7) Mudah disugesti, yaitu mudah dipengaruhi oleh orang lain atau situasi.
8) Menganggap hubungan menjadi lebih intim ketimbang keadaan sebenarnya.
D. Gangguan Kepribadian Narsistik
Narkissos adalah seorang pemuda tampan yang menurut mitologi Yunani, jatuh cinta
pada bayangannya sendiri. Karena self-love-nya yang berlebihan, dalam salah satu versi
dari mitologi, ia diubah oleh para dewa menjadi bunga yang kini dikenal
sebagai narcissus. Orang dengan gangguan kepribadian narsisistik
(narcissistic personality disorder) memiliki rasa bangga atau keyakinan yang berlebihan
terhadap diri mereka sendiri dan kebutuhan yang ekstrem akan pemujaan. Mereka
membesar-besarkan prestasi mereka dan berharap orang lain menghujani mereka
dengan pujian. Mereka bersifat self-absorbed dan kurang memiliki empati pada orang
lain. Orang dengan kepribadian narsistik cenderung terpaku pada fantasi akan
keberhasilan dan kekuasaan, cinta yang ideal, atau pengakuan kecerdasan atau
kecantikan.
Orang dengan gangguan kepribadian narsistik umumnya dapat mengorganisasi
pikiran dan tindakan mereka dengan lebih baik. Banyak orang dengan kepribadian
narsistik yang cukup berhasil dalam pekerjaan mereka. Ambisi yang serakah membuat
mereka mendedikasikan diri untuk bekerja tanpa lelah. Mereka mencari pertemanan
dengan para pemuja mereka dan serng tampak penuh kharisma dan ramah serta dapat
menarik perhatian orang. Namun, minat mereka pada orang lain hanya bersifat satu sisi:
Menurut Golemen, 1988b), mereka mencari orang yang melayani minat mereka dan
memelihara rasa self-importance mereka (dalam buku Psikologi Abnormal, Nevid,
Rathus, & Greene, 2005).
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan Narsistik adalah sebagai berikut.
a. Pola perfsif kebesaran (dalam khayalan atau perilaku), membutuhkan kebanggaan,
dan tidak ada empati, dimulai pada masa dewasa awal dan tampak dalam berbagai
konteks, seperti yang ditunjukkan oleh lima (atau lebih) berikut :
1) Memiliki rasa kepentingan diri yang besar (misalnya melebih-lebihkan bakat
dan kemampuannya, padahal tidak sepadan).
2) Preokupasi dengan khayalan akan keberhasilan, kekuatan, kecerdasan,
kecantikan, atau cinta ideal yang tidak terbatas.
3) Yakin bahwa ia adalah khusus dan unik dan dapat dimengerti hanya oleh atau
harus berhubungan dengan orang lain (atau institusi) yang khusus atau
memiliki status tinggi.
4) Membutuhkan kebanggaan yang berlebihan
5) Memiliki perasaan bernama besar, yaitu harapan yang tidak beralasan akan
perlakuan khusus atau kepatuhan otomatis sesuai harapannya.
6) Eksploatif secara interpersonal, yaitu mengambil keuntungan dari orang lain
untuk mencapai tujuannya sendiri.
7) Tidak memiliki tempat, tidak mau mengenali atau mengetahui perasaan dan
kebutuhan orang lain.
8) Sering cemburu terhadap orang lain dan merasa orang lain juga cemburu
kepada dirinya.
9) Memperlihatkan kesombongan, sikap congkak dan sombong

C. Klaster C
A. Gangguan Kepribadian Menghindar
Orang kepribadian menghindar (avoidant personality disorder) sangat ketakutan
akan penolakan dan kritik sehingga mereka umumnya tidak memasuki hubungan
tanpa adanya kepastian akan penerimaan. Sebagai hasilnya, mereka hanya memiliki
sedikit teman dekat di luar keluarga inti. Mereka juga cenderung menghindari
pekerjaan kelompok atau aktivitas rekreasi karena takut penolakan. Mereka lebih
suka menyendiri. gangguan kepribadian menghindar, yang muncul dalam proporsi
sama pada laki laki dan perempuan, diyakini menimpa antara 0,5% hingga 1% dari
populasi umum (APA, 2000).
Tidak seperti orang dengan karakteristik skizoid, yang juga memiliki
karakteristik ciri menarik diri secara sosial, individu dengan gangguan kepriadian
menghindar memiliki minat dan perasaan akan kehangatan pada orang lain.
meskipun demikian, ketakutan akan penolakan menghalangi mereka untuk
memenuhi kebutuhan mereka akan afeksi dan penerimaan. Dalam sistuasi sosial,
mereka cenderung merapat pada dinding dan menghindari percakapan pada orang
lain.
Ada tumpang tidih yang cukup besar antara gangguan kepribadian menghindar
dengan fobia sosial, terutama dengan subtype fobia sosial yang parah dan mencakup
pola menyeluruh dari fobia sosial (ketakutan yang tidak rasional dan berlebihan pada
hampir setiap situasi sosial) (Turner, Beidel, & Townsley, 1992; Widiger, 1992).
Meskipun bukti penelitian menunjuan bahwa banyak kasus fobia sosial menyeluruh
terjadi tanpa adanya gangguan kepribadian menghindar (Holt, Heimberg, & Hope,
1992), relative sedikit kasus dari kepribadian menghindar yang muncul tanpa
keehadiran fobia sosial menyeluruh (Widiger, 1992). Jadi gangguan kepribadian
menghindar dapat mencerminkan bentuk yang lebih parah dari fobia sosial (Hoffman
dkk., 1995). Namun panel ilmiah masih mempertanyakan apakah gangguan
kepribadian menghindar sebaiknya dianggap sebagai bentuk yang parah dari fobia
sosial menyeluruh atau kategori diagnostik yang berbeda sebagaimana kini
digolongkan.
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan kepribadian mengindar adalah sebagai
berikut.
a. Pola perfasiv hambatan sosial, perasaan tidak cakap, dan kepekaan berlebihan
terhadap penilaian negatif, dimulai pada masa dewasa awal dan tampak dalam
berbagai koteks, seperti yang ditunjukkan oleh empat (atau lebih) berikut :
1) Mengindari aktivitas pekerjaan yang memerlukan kontak interpersonal yang
bermakna karena takut akan kritik, celaan dan penolakan.
2) Tidak mau terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin akan disenangi.
3) Menunjukkan keterbatasan dalam hubungan intim karena rasa takut
dipermalukan atau ditertawai
4) Preokupasi dengan sedang dikritik atau ditolak dalam situasi sosial
5) Terhambat dalam situasi interpersonal yang baru karena perasaan tidak ada
kuat
6) Memandang diri sendiri tidak layak secara sosial karena merasa dirinya tidak
menarik atau lebih rendah dari orang lain.
7) Tidak biasanya enggan untuk mengambil resiko pribadi atau melakukan
aktivitas baru karena dapat membuktikan penghinaan

B. Gangguan Kepribadian Dependen


Dependent Personality Disorder Menggambarkan orang yang memiliki
kebutuhan yang berlebihan untuk di asuh oleh orang lain. hal ini membuat mereka
menjadi sangat patuh dan melekat dalam hubungan mereka serta akan takut aka
perpisahan. Orang dengan gangguan ini merasa sangat sulit melakukan segala
sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. mereka mencari saran dalam membuat
keputusan yang paling kecil sekalipun.
Gangguan kepribadian dependen telah dikaitkan dengan ganguan psikologis lain,
termasuk depresi mayor, gangguan bipolar, dan fobia sosial, serta dengan masalah
masalah fisik, seperti hipertensi, kanker dan gangguan gastroinstenstinal (Bornstein,
1999; loranger, 1996; reich, 1996). Tampak pula adanya kaitan antara kepribadian
dependen dengan apa yang disebut oleh para teoritikus psikodinamika sebagai
masalah perilaku ”oral”, seperti merokok, gangguan makan, dan alkoholisme
(Bornstein, 1993, 1999). Penelitian menunjukan bahwa orang dengan kepribadian
dependen lebih bergantung pada orang lain untuk mendapatkan dukungan dan
bimbingan daripada kebanyakan orang (Greenberg & Bornstein, 1998a).
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan kepribadian dependen adalah sebagai
berikut.
a. Kebutuhan yang perpasiv dan berlebihan untuk diasuh, yang menyebarkan
perilaku tunduk dan menggantung dan rasa takut akan perpisahan, dimulai pada
masa dewasa awal dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan
oleh lima (atau lebih) berikut:
1) Memiliki kesulitan dalam mengambil keputusan setiap hari tanpa sejumlah
besar nasehat dan penenteraman dari orang lain.
2) Membutuhkan orang lain untuk menerima tanggung jawab dalam sebagian
besar bidang utama kehidupannya.
3) Memiliki kesulitan dalam mengekspresikan ketidaksetujuan pada orang lain.
4) Memiliki kesulitan dalam memulai proyek atau melakukan hal dengan dirinya
sendiri (karena tidak memiliki keyakinan diri dalam pertimbangan atau
kemampuan ketimbang tidak memiliki motivasi atau energi)
5) Berusaha berlebihan untuk mendapatkan asuhan dan dukungan dari orang
lain, sampai pada titik secara sukarela melakukan hal yang tidak
meyenangkan.
6) Merasa tidak nyaman atau tidak berdaya jika sendirian karena timbulnya rasa
takut tidak mampu merawat diri sendiri.
7) Segera mencari hubungan dengan oranglain sebagai sumber pengasuhan dan
dukungan jika hubungan dekatnya berakhir.
8) Secara tidak realistic terpreokupasi dengan rasa takut ditinggal untuk merawat
dirinya sendiri.
C. Gangguan Kepribadian Obsesif-Komplusif
Ciri yang menggambarkan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif meliputi
derjat keteraturan yang berlebihan, kesempurnaan, kekakuan, kesulitan melakukan
coping dengan ketidakpastian, dan mendetail dalam kebiasaan kerja. Sekitaar 1%
dari sampel komunitas di diagnosis dengan gangguan ini (APA, 2000). Gangguan ini
lebih umum di temui pada laki laki daripada perempuan. Orang dengan gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif sangat terpaku pada kebutuhan atau kesempurnaan
sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan segala sesuatu tepat waktu. Apa yang
mereka lakukan pasti gagal memenuhi harapan mereka dan mereka memaksa diri
untuk mengerjakan ulang.
Mereka berfokus pada detail yang orang lain anggap sebagai hal yang kurang
penting. kelakuan mereka menganggu hubungan sosial mereka, mereka memaksa
melakukan hal hal sesuai dengan cara mereka sendiri daripada berkompromi.
Antusiasme yang besar akan pekerjaan menjauhkan mereka dari partisipasi dalam,
atau menikmati, aktifitas sosial dan waktu senggang dan mereka terlalu kaku dalam
masalah moralitas dan etika karena kekakuan dalam kepribadian dan bukan karena
memegang teguh keyakinan.
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan kepribadian obsesif-komplusif
adalah sebagai berikut.
a. Pola pervasif preokupasi dengan urutan, perfeksionisme, dan pengendalian mental
dan interpersonal, dengan mengorbankan fleksibilitas, keterbukaan, dan efisiensi,
dimulai pada masa dewasa awal dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang
ditunjukkan oleh empat (atau lebih) berikut:
1) Terpreokupasi dengan perincian, aturan, daftar, urutan, susunan atau jadwal
sampai tingkat dimana aktivitas sesama hilang.
2) Menunjukkan perfeksionisme yang mengganggu penyelesaian tugas.
3) Secara berlebihan setia kepada pekerjaan dan produktivitas sampai
mengabaikan aktivitas waktu luang dan persahabatan (tidak disebabkan oleh
kebutuhan ekonomi yang besar)
4) Terlalu berhati-hati, teliti, dan tidak fleksibel tentang masalah moralitas, etika
atau nilai-nilai (tidak disebabkan oleh identifikasi kultural atau religius)
5) Tidak mampu membuang benda-benda yang usang atau tidak berguna
walaupun tidak memiliki nilai sentimental.
6) Enggan untuk mendelegasikan tugas atau untuk bekerja dengan orang lain
kecuali mereka tunduk dengan tepat caranya mengerjakan hal
7) Memiliki gaya belanja yang kikir baik untuk dirinya sendiri maupun orang
lain, uang dipandang sebagai sesuatu yang harus ditimbun untuk rencana
dimasa depan.
8) Menunjukkan kekacauan dan keras kepala

V. INTERVENSI

Berdasarkan 15 penelitian, 52% klien membutuhkan waktu sekitar 15 bulan untuk


pengobatan (Perry,Banon &Lanni,1999)
Cara utama dalam menangani gangguan kepribadian adalah melalui terapi psikologis atau
kejiwaan di bawah bimbingan psikiater. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan pasien dalam mengendalikan emosi serta pikirannya secara lebih baik.
Umumnya terapi ini dilakukan setidaknya selama enam bulan, namun durasinya bisa lebih
panjang jika kondisi kejiwaan pasien cukup parah.
Terapi psikologis terdiri dari tiga jenis, yaitu:
a. Terapi perilaku kognitif. Terapi ini bertujuan mengubah cara berpikir dan perilaku pasien
ke arah yang positif. Terapi ini didasarkan kepada teori bahwa perilaku seseorang
merupakan wujud dari pikirannya. Artinya, jika seseorang berpikiran negatif, maka
perilakunya pun akan negatif, begitu pun sebaliknya.
b. Terapi psikodinamika. Terapi ini bertujuan mengeksplorasi dan membenahi segala bentuk
penyimpangan pasien yang telah ada sejak masa kanak-kanak. Kondisi semacam ini
terbentuk akibat pengalaman-pengalaman negatif yang dialami pasien di masa lalu.
c. Terapi interpersonal. Terapi ini didasarkan kepada teori bahwa kesehatan mental
seseorang sangat dipengaruhi oleh interaksi mereka dengan orang lain. Artinya, jika
interaksi tersebut bermasalah, maka gejala-gejala gangguan kepribadian bisa terbentuk.
Karena itulah terapi ini bertujuan untuk membenahi segala masalah yang terjadi di dalam
interaksi sosial pasien.
Selain terapi psikologis, dokter bisa memberikan obat-obatan kepada pasien. Namun,
penggunaan obat hanya disarankan apabila gejala-gejala yang terkait dengan gangguan
kepribadian sudah memasuki tingkat menengah atau parah. Sejumlah obat yang mungkin
dipakai adalah obat-obatan penstabil suasana hati dan obat penghambat pelepasan serotonin
(antidepresan).
Ada beberapa penanganan yang bisa dilakukan untuk gangguan borderline. Bisa dengan
psikoterapi, bisa dengan kombinasi obat.Beberapa psikoterapi yang bisa dilakukan adalah:
Dialectical behavior therapy (DBT). DBT adalah jenis terapi psikologis yang didesain
khusus untuk menangani gangguan kepribadian borderline. DBT isinya kayak seperangkat
teknik melatih diri, di antaranya teknik mengelola emosi, menahan stres, dan teknik
meningkatkan hubungan dengan orang lain. Terapi ini bisa individu, bisa kelompok.
Schema-focused therapy. Terapi terfokus skema ini membantu pasien dalam memahami
kebutuhan-kebutuhan yang tidak pernah terpenuhi, yang membawa klien terjerumus dalam
pola hidup negatif. Terapi ini membantu klien memahami kebutuhan terpendamnya dan
memenuhinya dengan cara yang sehat, untuk mengubah pola hidup negatif ini jadi positif.
Bisa dilakukan sendiri ataupun kelompok.
Mentalization-based therapy (MBT). Terapi berbasis mentalisasi adalah jenis terapi
bicara yang membantu klien mengenali pikiran dan perasaan dengan cepat, dan dengan
segera menciptakan persepsi berbeda terhadap situasi tersebut.Misalnya klien dihadapkan
pada situasi yang bikin bad mood. MBT membantu klien untuk segera mengubah pikiran
jadi positive thinking, sehingga bad mood klien bisa ditahan..
Systems training for emotional predictability and problem-solving (STEPPS). STEPPS
adalah terapi 20 minggu yang melibatkan klien untuk bekerja dalam kelompok. Biasanya
anggota keluarga, pasangan, atau temen juga diikutkan di terapi ini.Biasanya terapi yang ini
adalah terapi tambahan selain terapi-terapi diatas.
Transference-focused psychotherapy (TFP). Juga disebut terapi psikodinamika. TFP
membantu klien memahami emosi dan masalahmu dengan cara mengembangkan hubungan
dengan psikolog.Transference meminta klien menyebutkan apapun yang terpikir olehmu.
Apapun. Kemudian, klien dan psikolog akan bersama-sama menerjemahkan pola yang
muncul, dan nanti akan menemukan akar masalahnya.

Anda mungkin juga menyukai