Anda di halaman 1dari 10

Tempramen

Tiap orang tua tahu bahwa tidak ada bayi yang sama persis. Tiap bayi bukan hanya memiliki
penampilan fisik yang khas, tapi sejak semula juga sudah memiliki apa yang disebut tempramen
yang berbeda-beda. Temperamen adalah kualitas responsive terhadap lingkungan yang sudah ada
sejak lahir dan memicu reaksi yang berbeda-beda.
Thomas dan Chess (1977) mengemukakan bahwa terdapat tiga kategori utama tempramen:
mudah, sulit, dan lambat untuk memulai (slow-to-warm-up). Temperamen mudah dicirikan oleh
gaya perilaku yang wajar, mudah menyesuaikan, positif, dan responsive. Temperamen sulit
adalah gaya penarikan diri yang tidak stabil, yang biasanya dicirikan dengan suasana hati
negative. Bayi yang slow-to-warm-up biasanya butuh waktu untuk melalui transisi dalam
aktivitas dan pengalaman. Meski bayi ini awalnya akan menarik diri atau merespon secara
negative, jika diberi waktu dan dukungan mereka akan bisa menyesuaikan diri dan bereaksi
secara positif.
Interaksi antara temperamen anak dan prang tua salah satu kunci perkembangan kepribadian.
Konsep ini disebut “goodness of fit” atau “tingkat kecocokan”. Reaksi orang tua pada
temperamen anak bisa memacu kestabilan atau ketidakstabilan dalam respon temperamen anak
terhadap lingkungan. Intekasi antara respon orang tua pada temperamen anak mereka juga akan
berdampak pada kelektan.

Lintas-Budaya tentang Temperamen


Freedman (1974) menemukan bahwa bayi Cina-Amerika lebih tenang dan mudah dibandin
bayi Afrika-Amerika. Ketika hidung bayi Cina-Amerika ditutupi selembar kain, mereka tetap
berbaring dengan tenang dan mengambil nafas lewat mulut. Sedangkan bayi lainnya
memalingkan muka atau berusaha menarik kain itu dengan tangan mereka.
Chisholm (1983) mengemukakan bahwa ada hubungan yang kuat antara kondisi ibu hamil
(khususnya tekanan darah tinggi) dengan iritabilitas bayi. Hubungan antara tekanan darah dan
iritabilitas bayi dijumpai pada bayi-bayi Malaysia, Cina, Aborigin, orang kulit putih Australia,
serta Navaho. Garcia, Coll, Sepkoski, dan Lester (1981) menemukan bahwa perbedaan
kesehatan ibu di Puerto Rico selama masa kehamilan juga terkait dengan perbedaan temperamen
bayi mereka bila dibandingkan dengan bayi Afrika-Amerika. Terdapat perbedaan temperamen
yang khas untuk suatu kelompom budaya mungkin mencerminkan perbedaan-perbedaan
genetika dan sejarah reproduksi.
Interaksi antara respon orang tua dan temperamen bayi juga menjadi fakor penting dalam
perbedaan budaya. Temperamen yang lebih tenang dan mudah pada bayi-bayi berlatar belakang
Asia dan penduduk asli Amerika. Tipe-tipe perbedaan yang muncul sejak lahir ini turut berperan
dalam perbedaan kepribadian orang dewasa di budaya yang berbeda. Penting sekali untuk
menyadari kekuatan pengaruhnya sebagai hal yang menyusun perkembangan individu dewasa di
budaya-budaya di seluruh dunia.

Kelekatan
Kelekatan atau attachment adlah ikatan khuss yang berkembang antara bayi dan
pengasuhnya. Kualitas kelekatan mempunyai efek seumur hidup terhadap hubungan seorang
individu dengan orang-orang yang dicintainya. Kelekatan member keamanan emosional pada
seorang anak. Setelah terdapat kelekatan, bayi akan menjadi tertekan oleh perpisahan dengan
ibunya.
Studi Harlow menunjukkan pentingnya sentuhan dan kenyamanan fisik dalam
perkembangan kelekatan. Bowlby (1969) menyimpulkan bahwa bayi memiliki dasar biologis
yang sudah terpogram sebelumnya untuk menjadi lekat pada pengaruhnya. Program ini
mencakup perilaku-perilaku seperti tersenyum dan tertawa yang nantinya akan memicu perilaku-
perilaku yang mendorong terbenrtuknay kelakatan dari pihak ibu.
Ainsworth, dkk (1978) membedakan tiga gaya kelekatan, yaitu, aman (secure), menghindar
(avoidant), dan ambivalen. Bayi yang lekat secara aman biasanya punya ibu yang hangat dan
responsive. Anak yang menghindar, yang mengindari ibunya, mempunyai ibu yang diduga
intrunsif (terlalu mencampuri) dan terlalu menstimulasi. Anak-anak yang ambivalen merespon
ibu mereka secara tidak pasti, berubah-ubah dari mencari dan menolak perhatian ibu. Ibu dari
anak-anak yang demikian biasanya tidak sensitive dan kurang terlibat dengan anaknya.
Kelekatan ini mendasari konsep kepercayaan dasar (basic trust). Erikson (1963)
menggambarkan formasi kepercayaan sebagi langkah penting pertama dalam proses
perkembangan psikososial yang berlangsung seumur hidup. Kelakatan yang bruk adalah
kompenen dari ketidakpercayaan (mistrust), kegagalan menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan
tahapan perkembangan masa bayi. Kepercayaan dasar dipandang akan memengaruhi hubungan-
hubungan serta tahap-tahap perkembagan bayi. Erikson menggambarkan bahwa tahap-tahap
perkembangan dalam masa anak-anak mencakup tugas0tugas memapankan atau membentuk
otonomi, inisiatif, dan kompetensi. Semua ini adalah bagian dari diri yang sedang berkembang
dan dipengaruhi oleh bagaimana ibu dan orang-orang penting lain merespon terhadp anak
tersebut.

Lintas-Budaya tentang Kelekatan


Salah satu asumsi orang Amerika tentang sifat kelekatan adalah bahwa kelekatan ideal adalah
keletan aman. Bahkan istilah yang dipilih Ainsworth untuk menyebut kelekatan tipe ini, serta
istilah-istilah negative yang dipakai untuk menggambarkan tipe kelekatan lainnya, sudah
mencerminkan bias yang ada di balik pandangan ini. Maisng-masing budaya punya konsep
tentang kelekatan “ideal” yang berbeda. Misalnya, ibu-ibu di Jerman menganggap penting dan
mendorong kemandirian sejak dini dank arena itu menganggap kelekatan menghindar sebagi
yang lebih ideal. Orang tua Jerman memandang anak-anak yang lekat secara “aman” sebagai
anak yang dimanja (Grosman, dkk). Di antara anak-anak Israel yang dibesarkan di sebuah
kibbutz (tanah pertanian kolektif), separuhnya menunjukkan kelekatan ambivalen yang cemas
dan hanya sepertiga yang tampaknya lekat secara aman (Sagi, dkk). Anak-anak yang dibesarkan
di keluarga Jepang tradisional juga dicirikan oleh tingginya kelekatan ambivalen yang cemas,
tanpa ada kelekatan yang mengindar (Miyake, dkk). Ibu di Jepang jarang meninggalkan anak
mereka dan mendorong terbentuknya rasa ketergantungan yang tinggi pada anak mereka. Hal ini
mendukung nilai loyalitas keluarga secara cultural di pandang idel.
Beberapa studi tentang lintas-budata juga menantang pemahaman bahwa kelekatan dengan
ibu merupakan syarat untuk terbentuknya kelekatan yang aman dan sehat. Namun, studi yang
meilbatkan sebuah suku perambah di hutan Afrika yang dikenal sebagi orang Efe menunjukkan
situasi yang berbeda dengan apa yang diterima ahli psikologi mengenai kelekatan yang sehat
(Tronick, dkk). Bayi-bayi Efe menghabiskan banyak waktu tidak berada di dekat ibu mereka dan
di asuh oleh beberapa orang yang berbeda. Mereka selalu berada dalam jangkauan pendengaran
dan penglihatan sekitar sepuluh orang. Mereka punya ikatan emosional yang dekat dengan
banyak orang selain ibunya dan mengabiskan hanya sedikit waktu dengan ayahnya. Para peneliti
menemukan bahwa anak-anak di Efe sehat scara emosi meski memiliki banyak pengasuh. Meski
studi ini menunjukkan bahwa kedekatan denagan ibu tidak mutlak bagi kelekatan yang sehat,
belum tentu hal ini berlaku untuk anak dari kebudayaan lain.

Pengasuhan Orang Tua, Keluarga, dan Sosialiasasi


Orang tua mempunayi peran yang penting dalam perkembangan anak. Ada berbagai gaya
pengasuhan orang tua yang bisa amat berbeda-beda. Baumrind (1971) mengidentifikasi tiga pola
utama pengasuhan orang tua. Orang tua otoriter mengharapkan kepatuhan mutlak dan melihat
anak bahwa naka butuh untuk di kontrol. Orang tua permisif, membolehkan anak untuk
mengatur hidup mereka sendiri dan orang tua hanya menyediakan sedikit aturan. Orang tua yang
otoritatif bersifat, tegas, adil, dan logis. Gaya pengasuhan ini dipandang akan membentuk anak-
anak yang secara psikologis sehat, kompeten, mandiri, yang bersifat kooperatif dan nyaman
menghadapi situasi sosial. Penlitin lain (Maccoby, 1983) menemukan bahwa tipe gaya
pengasuhan ke empat disebut uninvolved atau tak terlibat. Orang tua sering kali tak terlibat
terlalu larut untuk bisa member respon yang tepat pada anak dan sering terlihat tak peduli.
Saat anak-anak tumbuh melewati masa anak-anak, pola pertemanan akan berubah.
Perubahan-perubahan ini banyak disebabkan oleh perkembangan kognitif. Kemampuan baru
untuk berpikir tenang diri anak dan orang lain dan untuk memahami dunia mereka
memungkinkan anak untuk mengembangkan hubungan sebaya yang lebih dalam dan bermakna.
Di, sekola sebagian besar hidup anak dihabiskan tidak denga orang tua mereka. Proses
sosialisasi yang didasarkan pada hubungan primer dengan orang tua berlanjut dengan teman
sebaya dalam situasi bermain dan sekolah: Sosialiasasi adalah proses instrumentak dengan anak
saat menginternalisasikan nilai-nilai dan sikap-sikap cultural. Sekolah melebagakan standar-
standar dan merupakan contributor penting tidak hanya terhadap perkembangan intelektual,
tetapi juga perkembangan emsoional.

Lintas-Budaya tentang Pengasuhan Orang Tua, Keluargam dan Sosialisasi


Pengasuhan anak seringkali berlangsung dalam kondisi-kondisi yang sangat berbeda di
Negara dan budaya-budaya lain kondisi ini akan menghasilkan proses sosialisasi yang berbeda
jauh dari satu budaya ke budaya lain. Praktik pengasuhan anak juga berbeda bukan hanya karena
adanya perbedaan dalam keyakinan, tapi juga karna perbedaan dalam taraf kehidupan.
Menjalankan peran sebagai orang tua dan pengasuhan anak dipengaruhi, kadang secara kuat,
oleh kondisi-kondisi kemiskinan atau rendahnya taraf perekonomian. Di Barat terdapat
kepercayaan umum yang diyakini bahwa tindakan mengangkat seorang bayi dan meletakkannya
di pundak akan mengurangi tangisnya. Bayi yang diabaikan dan dibiarkan menangis agar tidak
menjadi manja justru akan menangis agar tidak manja justru akan menangis lebih keras. Di Cina
ada praktik yang berbeda, dimana bayi-bayi yang masih berusia beberapa minggu ditinggalkan
ibunya bekerja di ladang untuk jangka waktu yang ukup lama. Bayi-bayi ini dibaringkan si sak-
sak pasir yang lebar. Tak butuh waktu lama bayi-bayi berhenti menangis karena menyadari
bahwa tangisnnya tersebut tidak menghasilkan respon.
Bila dalam suatu masyarakat terdapat tingkat kematian bayi yang tinggi, upaya pengasuhan
anak mungkin akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik yang mendasar.
Orang tua mungkin tidak punya banyak pilihan dan terpaksa mengabaikan tuntutan
perkembangan lain. Kadang respon terhadap kondisi yang keras dan penuh tekanan
menghasilkan perubahan yang kita pandang positif. Di Sudah, misalnya secara tradisional
seorang ibu bisa menghabiskan seluruh 40 hari pertama setelah melahirkan untuk menemani
bayinya. Ibu yang baru melahirkan anak beristirahat, dirawat oleh sanak keluarganya, sementara
ia memfokuskan seluruh energinya pada bayinya (Ceberblad, 1988)
Levine (1977) mengajukan bahw ateori lingkungan pengasuhan merupakn cerminan dari
seperangkat tujuan yang tersusun berdasarkan urutan nilai pentingnya. Yang pertama adalah
ksehatan fisik dan pertahanan hidup (survival), yang kedua didukungnya perilaku yang mengarah
kepada pemenuhan diri, dan yangterakhir adalah perilaku-perilaku yang mendukung nilai-nilai
cultural lain seperti moralitas. Banyak keluarga di Amerika Serikat yang cukup beruntung karena
bisa mendapatkan tujuan yang kedua dan ketiga. Di banyak Negara lain, tujuan utama yang
berkenaan dengan mempertahankan hidup masih menjadi terpenting dan sering menutupi tujuan-
tujuan yang lain untuk bisa mendapat perhatian dalam pengasuhan anak.
Selain lingkunagan umum yang menajdi tempat anak untuk dibesaran, struktur keluarga juga
punya dampak yang besar pada pengasuhan dan perawatan anak. Di banyak kebudayaan non-
Anglo Amerika, keluarga besar atau extended family memiliki peran yang penting. Di Amerika
Serikat tahun 1984, mislanya 31% anak Afrika-Amerika tinggal dalam keluarga extended, dan
hanya 19,8% anak dari latar belakang ras lainnya yang hidup pada keluarga extended. Keluarga
extended adalah salah satu bagian yang vital dan penting dalam pengasuhan anak, juga dalam
situasi dimana tidak ada masalah dengan sumberdaya. Bahkan, banyak kebudayaan yang
memandang pengasuhan anak dalam keluarga extended sebagai bagan integral dan penting dari
budya mereka. Hal tersebut dapat menjadi penahan stress kehidupan sehari-hari. Hal tersebut
juga merupakan sebuah proses penting yang melalui warisan cultural yang disampaikan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya.
Keluarga extended juga nisa mendukung dan memfasilitasi pengasuhan anak dalam cara
yang snagat berbeda dari keluarga ini dalam tradisi Anglo-Amreika. Dalam mendefinisikan gaya
pengasuhananak (otoriter, permisif, autoritatif, mengabikan), penelitian tentang orang tua
cenderung mengasumsikan bahwa yang berlaku adalah struktur keluarga inti. Di Amerika
Serikat, keluarga-keluarga dari etnik minoritas digambarkan sebagai keluarga yang lebih luas
atau extended dan lebih konservatif dobandingkan keluarga-keluarga Kaukasia-Amerika.
Meski ibu dipandang sebagai pengasuh utama, dalam keluarga extended anak sering
berinterksi dengan kakek-nenek, orang tua angkat, saudara kandunh, dan sepupu. Bagi anak-anak
dari keluarga Hispanik dan Filipina, orang tua angkat dianggap sebagai model yang penting.
Mereka juga menjadi sumber dukungan bagi orang tua.Berbagai sanak saudara pada keluarga
extended dianggap sebagao cara yang baik untuk mengoptimalkan sumberdya keluarga untuk
mendukung keberhjasilan pengasuhan anak.
Situasi-situasi keluarga extended punya komposisi yang berbeda antar budaya, tapi semuanya
sa,a daam hal menggunakan sumberdaya, dukungan emosional, dan pengasuhan bersama.
Pengalaman seorang anak yang tumbuh di situasi seperti ini sangat berbeda dengan anak yang
besar di keluarga Kaukasia-Amerika tradisional.
Pengasuhan anak dan pengaturan tidur. Di antara berbagai perilaku yang dilakukan orang-
orang dari berbagai budaya, salah satu yang paling mewakili perbedaan cultural adalah
pengaturan tidur anak. Salah satu perhatian yang paling dipikirkan oleh orang tua Barat yang
tinggal di kota terutama orang Amerika, adalah bagimana menidurkan bayi mereka di malam
hari di ruang yang terpisah dengan kamar orang tuanya. Di Amerika, orang menentang
pengaturan tidur bersama antara anak dan orang tua, dengan asumsi bahwa dengan tidur sendiri
anak akan mengembangkan kemandirian. Anak dibatu dengan diberi benda-benda yang member
rasa aman seperti selimut atau mainan.
Tidak semua budaya memiliki nilai seperti itu. Di daerah-daerah pedesaan Eropa, misalnya,
bayi tidur besama ibu mereka selama sebagian besar, atau bahkan seluruh, tahun-tahun pertama
mereka. Demikian juag dengan beberapa budaya lain. Ibu dari suku Maya mengnjinkan anaknya
tidur bersama mereka selama beberapa tahun dengan komitmen untuk membentuk ikatan yang
amat kuat dengan si anak. Saat anak berikutnya lahir, anak yang lebih tua pindah ke tempat tidur
di ruang yang sama atau berbagi tempat tidur dengan anggota keluarga lainnya (Morelli, dkk). Di
keluarga Jepang, anak tidur bersama ibunya, sedangkan sang ayah tidur di sampingnya atau
dikamar snediri.
Budaya yang berbeda memiliki nilai-nilai yang berbeda dalam gaya pengaushan, dan
pengasuhan anak seringkali berlangsung dalam struktur keluarga dan lingkungan ekonomi yang
berbeda dengan apa yang biasanya dianggap sebagai gaya hifup orang Amerika kelas menengah.
Dalam banyak hal, pengasuhan anak dan peran sebagai orang tua adalah sebuah proses yang
menyiapkan anak untuk hidup dalam konteks kebudayaan mereka. Sebagiamana konteks-konteks
cultural juga sangatberbeda bagi orang dewasa, praktik-prakti orang tua dan pengasuhan anak
yang mereka alami ketika masih kecil juga sangat berbeda.

Penalaran Moral
Cara cara anak memahami dunia mereka semakin lama semakin menjadi kompleks. Perubahn
kognitif ini juga berdampak pada pemahaman mereka dalam penilaian moral. Mengapa suatu hal
itu baik atau buruk berubah dari penafsiran anak kecil tentang hadiah dan hukuman menuju
prinsip kebenaran dan kesalahn.
Teori dominan tentang penalaran moral dalam psikologi perkembangan adalah teori yang
diajukan oleh Kholberg [1976, 1984]. Teori kholberg didasarkan pada karya karya piaget
sebelumnya tentang perkembangan kognitif, Teori keterampilan penalaran moral. Selanjutnya
tiap tiap tahap terbagi lagi kedalam dua tahap dengan total enam subtahap perkembangan moral.
Tiga tahap umum penalaran moral menurut Kohlberg sebagai adalah sebagai berikut.
1. Moralitas prakonvesional, dengan penekanan pada kepatuhan terhadap aturan untuk
untuk menghindari hukuman dan mendapat hadiah.
2. Moralitas Konvensional, penekanan pada konformitas pada aturan yang ditentukan oleh
persetujuan orang lain atau aturan aturan masyarakat.
3. Moralitas pascakonvensional, dengan penekanan pada penalaran moral menurut prinsip
prinsip dan hati nurani individual.
Dekade yang lalu, kajian kajian kajian gilingan dan rekan rekannya [gilingan, 1982] menantang
teori Kohlberg dengan menyatakan bahwa enam sub tahap teori itu mengadung bias teradap cara
pandang khas lelaki, yang dibedakan dengan cara pandang perempuan dalam memandang
hubungan, menurut Gilligan penalaran moral lelaki dikaitkan dengan keadilan, sedangkan
penalaran moral perempuan dikaitkan dengan tugas dan tanggug jawab. Meski perdebatan ini
berlangsung sengit, ulasan ulasan terhadap berbagai penelitian tampaknya menunujukkan tidak
adanya perbedaan penalaran moral antar jenis kelamin [Walker 1984]. Isu ini dapat menjadi
diterangi lebih lanjut lewat penelitian lintas bu
Budaya.

Lintas budaya tentang Penalaran Moral


Universalitas atau kekhasan budaya prinsip prinsip dan penalaran moral telah menarik
perhatian ahli antorpologi serta psikologi. Beberapa etnografi antropologis misalnya mengkaji
prinsip prinsip dan domain moral beberapa budaya yang berbeda [lihat ulasannya oleh Shweder,
Mahapatra, dan Miller, 1987]. Banyak diantara kajian ini yang menantang pandangan tradisional
amerika tentang moralitas.
Demikian juga, dibidang psikologi dan ada sejumlah penelitian lintas budaya tentang
penalaran moral yang mempertanyakan daya generalisasi universal gagasan Kohlberg. Salah
satunya asumsi yang mendasar teori Kohlberg adalah bahwa penalaran moral menurut prinsip
dan nurani individual, terlepas dari hukum hukum sosial atau kebiasaan kebiasaan budaya,
merupakan tingkat penalaran moral yang tertinggi, filosofi ini amat terkait dengan budaya
dimana Kohlberg mengembangkan teorinya, yang berakar pada penelitian penelitian terhadap
lakilaki amerika bagian barat tengah ditahun 1950 dan 1960an. Meski konsep konsep demokratis
seperti idividualisme dan nurani personal yang unik mungkin tepat untuk menggambarkan
sempel diwaktu dan tempat itu, tidak jelas apakah konsep konsep yang sama juga mewakili
prinsip prinsip moral universal yang bisa diterapkan kepada semua orang dari semua budaya.
Beberapa peneliti mengkritik teori Kohlberg karena memuat bias bias cultural tersebut
[Bronstein dan Paludi, 1988] Miller dan Bersoff 1992, misalnya membandingkan bagaimana
para subjek india dan amerika serikat merespon suatu tugas penilaian moral. Para peneliti ini
melaporkan bahwa subjek subjek india, anak anak maupun orang dewasa, lebih menganggap
tindakan tidak menolong seseorang sebagai suatu pelanggaran moral dibanding subjek amerika,
terlepas dari apakah situasinya mengancam nyawa ataupun apakah orang yg membutuhkan
pertolongan itu merupakan sanak keluarga. Para peneliti kemudian menafsirkan bahwa
perbedaan cultural ini terkait dengan nilai nilai afiliasi dan keadilan, yang menunjukkan bahwa
orang india memiliki rasa tanggung jawab sosial yang lebih luas tanggung jawab individual
untuk menolong orang yang membutuhkan.
Isu mengenai tingkat responsifitas interpersonal yang di ajukan Milller dan Bersoff [1922] ini
terkait dengan klaim Gillleger [1982] tentang bias gender dalam kajian kajian amerika tentang
hal ini. Sangat lah mungkin bahwa temuan temuan gilleger juga dipengaruhi oleh perbedaan
budaya maupun gender.
Snarey [1985] mengulas penelitian penelitian penalaran moral yang melibatkan subjek dari 27
negara. Snarey menympulkan bahwa penalaran moral jauh lebih khas budaya dari pada yang
diajukan oleh Kohlberg. Teori kohlberg , serta metodologi penyekoran tahapan moral
berdasarkan penalaran verbal, mungkin tidak dapat melihat adanya tingkat tingkat moralitas yang
lebih tinggi di budaya budaya lain.

Kesimpulan
Psikologi perkembangan adalah bidang yang menarik dimana penelitian lintas pemahaman
pemahaman tentang tempramen, kelekatan, peran sebagai orang tua, pengasuh anak, struktur dan
lingkungan keluarga, dan penalaran moral dibentuk oleh konteks cultural dimana perkambangan
itu terjadi. Penelitian lintas budaya tentang perkembangan membuat kita menyadari berbagai
akar perbedaan cultural yang ada dalam kehidupan orang dewasa.
Namun demikian, masih banyak yang harus dikerjakan di bidang ini. Misalnya antara tahun
1987 dan 1989, 64,85% dari penelitian yang terpublikasi dalam Child Development [sebuah
jurnal penelitian utama dibidang psikologi perkembangan] tidak melaporkan komposisi etnik
sampel mereka [slaughter-Defoe dkk, 1990]. Kurang diperhatikannya pertimbangan
pertimbangan lintas budaya ini jelas merupakan suatu kekurangan. Banyak yang melihat masa
anak anak sebagai fondasi yang tak tergantikan bagi perkembangan masa dewasa. Kita perlu
memperhatikan dengan cermat beragamnya cara anak dibesarkan dan disosialisasikan ke dunia,
terutama karena sebagian besar diantara mereka tumbuh menjadi individu individu yang sehat,
berfungsi dan produktif yang member kontribusi pada masyarakatnya masing masing.
Masih banyak yang perlu kita pelajari tentang dia maupun orang lain. Yang menarik dari
psikologi, dan terutama psikologi perkembangan, adalah bahwa akan selalu ada jawaban
jawaban baru yang akan memunculkan berbagai pertanyaan baru tentang perilaku mana yang
universal dan mana yang unik bagi sekelompok orang saja.

Anda mungkin juga menyukai