Proposal Penelitian
A. Latar Belakang
Menurut Preston dan Flo (dalam Ahmad, 1996:1) bahwa pendidikan berkualitas
sangat efektif dalam memberantas kemiskinan, membangun demokrasi, dan
membentuk masyarakat sejahtera. Oleh sebab itu, pendidikan yang baik
seharusnya merupakan pendidikan yang mensejahterakan, tidak hanya para
pendidik dan tenaga kependidikan saja , melainkan juga para peserta didik. Hal ini
berarti bahwa sekolah secara sistematis harus mampu mendukung terwujudnya
kesejahteraan para peserta didik secara fisik maupun mental, lahir maupun batin.
Salah satu faktor penentu keberhasilan remaja dalam kesuksesan masa depan
hidupnya adalah terselesaikannya tugas perkembangan remaja. Remaja yang
sejahtera adalah remaja yang mampu menyelesaikan seluruh tugas
perkembangannya hingga memasuki masa dewasa. Berkaitan dengan hal ini,
khususnya pendidikan memiliki tugas untuk memfasilitasi remaja dalam
menyelesaikan tahap tersebut secara mandiri sehingga tercapai kebahagiaan itu.
secara khusus, akan berdampak pada turunnya prestasi akademik maupun non
akademik para peserta didik itu sendiri.
Anak – anak usia remaja (usia sekolah) dengan program wajib belajar 9 tahun,
menjadi pendorong utama untuk tetap bersekolah di lembaga formal, baik negeri
maupun swasta. Lembaga pendidikan yang dimaksud bisa berbasis keagamaan
seperti Madrasah (MTs., M.A. dan Pondok Pesantren), maupun berbasis
keterampilan (SMK, SMEA, SMKI, SMM dan sejenis), juga bisa bersifat Umum (
SMP, dan SMA), ada pula jenis lembaga pendidikan yang menggabungkan antara
SMP/SMA dengan Pondok Pesantren (Peserta didik diasramakan/dipondokkan
untuk mendapatkan pendidikan agama) sekaligus pada pagi harinya menempuh
pendidikan umum seperti SMP/SMP atau yang sejenis.
Apabila diamati dari pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan
tersebut, maka akan didapati karakteristik yang berlainan pula. Bagaimana
menciptakan kultur sekolah/lembaga, mempraktikkan ajaran atau nilai – nilai
agama, dan interaksi antar warga sekolah/lembaga pendidikan terseebut.
Pada akhirnya setiap peserta didik sedikit banyak akan terpapar dengan kebiasaan
dan karakter lingkungan tempat ia bergaul atau berinteraksi. Selain hal positif
tentu saja paparan bisa jadi hal – hal yang negatif. Paparan positif seperti perilaku
koping dapat berfungsi sebagai mekanisme mengatasi masalah dan melawan
dampak dari sesuatu yang tidak menyenangkan bagi dirinya.
Namun pada realitasnya, gejala yang terjadi justeru para peserta didik tidak
feeling at home, hal tersebut berdasarkan temuan dan informasi awal dari hasil
wawancara dengan beberapa Wali Kelas, guru pembimbing (musyrif) dan guru
Bimbingan dan Konseling (BK), diperoleh informasi tentang rendahnya
religiusitas siswa yang ditunjukkan dengan tingginya angka ketidakhadiran
peserta didik pasa saat ta’lim, shalat berjama’ah, dan pemanfaatan waktu untuk
membaca atau menghafal al-Qur’an. Terlebih lagi informasi banyaknya peserta
didik yang mengeluh merasa tidak betah tinggal di asrama, banyaknya siswa yang
ingin pindah ke sekolah lain (yang tidak berasrama), kasus bullying secara verbal,
fisik maupun mental, dan lemahnya Kultur Madrasah yang diidentifikasikan
dengan tingginya keluhan peserta didik tentang sistem pendidikan, pola
5
pembinaanpeserta didik dan aturan tata tertib yang memiliki kepastian serta tidak
berubah.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat diindentifikasi berbagai permasalahan yang ada
di lembaga pendidikan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai
berikut :
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan Penelitian
6
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan meneliti satu hal sesuai dengan
rumusan masalah sebelumnya, yaitu :
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini akan bermanfaat sebagai :
1) Sumbangan keilmuan psikologi khususnya psikologi pendidikan guna
peningkatan khasanah ilmu pengetahuan.
2) Cikal bakal atau benih (seeds) guna membuat sebuah model
pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia berbasis Kesejahteraan
Psikologis (Psychological Well-being), peserta didik melalui
peningkatan religiusitas yang lebih tepat sesuai tujuan pendidikan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peserta didik
b. Bagi Madrasah
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian Safaria di atas membangun hipotesa awal bahwa job insecurity dan job
stress merupakan variabel yang kontra prestatif dengan Kesejahteraan Psikologis
(Psychological Well-being), seseorang sehingga pada gilirannya juga
mempengaruhi pola interaksi sosial dan kultur di lingkungan tempat individu
beraktivitas. Begitu juga dengan religiusitas yang kemudian tercermin dalam
upaya individu dalam mereduksi stress sehingga menghasilkan Kesejahteraan
Psikologis yang baik. Hal tersebut diperkuat oleh Maulina (2012:17) yang
meneliti tentang hubungan religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis
(Psychological Well-being), pada lansia. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat
korelasi yang sangat signifikan antara keduanya. Semakin tinggi religiusitas
seseorang maka semakin tinggi pula Kesejahteraan Psikologis (Psychological
Well-being), -nya.
Arifin, dkk. (2011:11) yang telah meneliti tentang hubungan orientasi religius,
lokus of control dan Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being),
menemukan bahwa semakin internal orientasi religius seseorang maka akan
semakin meningkatkan Kesejahteraan Psikologis nya sedangkan semakin
eksternal orientasi religius seseorang maka akan semakin menurunkan
8
G. Landasan Teori
1. Kesejahteraan Psikologis
a. Pengertian
9
Sedangkan, Ryan & Deci (dalam Wells, 2010:80) menyatakan bahwa bila
kita berbicara tentang Kesejahteraan Psikologis berarti kita sedang
berbicara tentang sebuah konstruk yang terkait dengan fungsi optimal atau
positif dari seseorang.
Maslow dan Rogers (dalam Wells, 2010:80) lebih memfokuskan diri pada
aktualisasi diri serta pandangan tentang orang yang berfungsi sepenuhnya
sebagai cara untuk mencapai Kesejahteraan Psikologis dan kepuasan
pribadi.
Menurut Noraini Abdur Raop dan Nor Ba’yah Abdul Kadir (dalam :
Jurnal of Social Science and Humanities, 2011 ; 349 – 358) memberikan
istilah Kesejateraan Psikologis dengan “kegembiraan subjektif” boleh
dianggap sebagai komponen penting yang perlu dicapai oleh setiap
individu. Dalam usaha untuk mencapainya, pengertian hidup dan rasa
bersyukur perlu diperoleh oleh individu. Dalam konteks kajian ini,
pengertian hidup serta rasa bersyukur seseorang pekerja itu adalah penentu
kepada kegembiraan dalam dirinya
10
Jati Ariati berpendapat bahwa ada dua pendekatan teori yang digunakan
dalam kesejahteraan subjektif (Subjective Well-being) yaitu ;
Compton (2005) (dalam Jurnal : Elisha Maris Tobing ; 2015 ; 407 – 420)
memaparkan bahwa untuk dapat mengetahui seseorang bahagia atau tidak,
orang tersebut akan diminta untuk menjelaskan tentang keadaan emosinya
dan bagaimana perasaannya tentang dunia sekitar dan dirinya sendiri. Jadi,
tampak bahwa ada aspek afektif yang terlibat saat seseorang mengevaluasi
kebahagiaannya, sedangkan untuk menilai kepuasan hidup lebih
melibatkan aspek kognitif karena terdapat penilaian yang dilakukan secara
sadar. Menurut Compton (2005) orang yang indeks kesejahteraan
subjektifnya tinggi adalah orang yang puas dengan hidupnya dan sering
merasa bahagia, serta jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan
seperti sedih atau marah. Sebaliknya, orang yang indeks kesejahteraan
subjektifnya rendah adalah adalah orang yang kurang puas dengan
hidupnya, jarang merasa bahagia, dan lebih sering merasakan emosi yang
tidak menyenangkan seperti marah atau cemas.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Sementara itu dalam kolaborasi yang lain (Ryff, 1989; Ryff & Keyes,
1995; Ryff, 1994; Ryff & Essex, 1992; dalam Wells, 2010:81-84), menulis
faktor-faktor yang mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis sebagai
berikut :
1) Faktor Demografis
Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi Kesejahteraan
Psikologis antara lain :
a) Usia
Ryff & Keyes mengemukakan bahwa perbedaan usia
mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi Kesejahteraan
Psikologis. Mereka menemukan bahwa penguasaan lingkungan
dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring
bertambahnya usia manusia. Peningkatan tersebut terutama sekali
terjadi pada masa dewasa muda hingga dewasa madya. Pada
dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami
peningkatan seiring bertambahnya usia (Wells, 2010:87-94).
Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi
menampakkan penurunan seiring bertambahnya usia. Penurunan
tersebut terutama terjadi pada masa dewasa madya hingga masa
dewasa akhir.
b) Jenis Kelamin
Ryff menemukan bahwa dibanndingkan pria, wanita memiliki skor
yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan
orang lain serta pada dimensi pertumbuhan pribadi.
c) Status Sosial Ekonomi
Perbedaan status sosial atau kelas sosial, menurut Ryff, dapat juga
mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis seseorang. Winconsin
19
d) Budaya
Riset yang telah dilakukan, khususnya di Amerika dan Korea
Selatan tentang Kesejahteraan Psikologis menunjukkan fakta
bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi
pada dimensi hubungan positif dengan orang lain serta skor yang
rendah pada dimensi penerimaan diri. Kondisi semacam itu
disebabkan oleh karena orientasi budaya di sana yang lebih bersifat
kolektif dan saling ketergantungan satu sama lain. Sebaliknya,
responden di Amerika memiliki skor yang tinggi pada dimensi
pertumbuhan pribadi (khususnya pada responden wanita) dan
dimensi tujuan hidup (pada responden laki-laki) serta memiliki
skor yang rendah pada dimensi otonomi, baik pada responden pria
maupun wanita (Wells, 2010:233)
.
2) Dukungan Sosial
Penelitian yang telah dilakukan oleh Davis (Wells, 2010:81-84)
menunjukkan bahwa individu-individu yang mendapatkan dukungan
sosial yang baik memiliki tingkat Kesejahteraan Psikologis yang lebih
tinggi. Dukungan sosial yang dimaksud, diartikan sebagai rasa
nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan
20
oleh seorang individu yang didapatkan dari orang lain atau kelompok
masyarakat (Cobb & Wills, dalam Wells, 2010:87-94). Dukungan
tersebut dapat pula berasal dari berbagai sumber, di antaranya :
pasangan hidup, keluarga, teman dekat, rekan sekerja, dokter maupun
organisasi masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Cobb (1976); Cohen
& McKay, 1984; House, 1984; Schaefer, Coyne & Lazarus, 1981 dan
Wills, 1984, dalam Wells, 2010:87-94) terdapat empat jenis dukungan
sosial, yaitu :
a) Dukungan Emosional (Emotional Support)
Dukungan emosional ini melibatkan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap seseorang. Dukungan tersebut dapat
memberikan rasa nyaman, aman, rasa dimiliki dan dicintai pada
individu penerima perhatian, terutama pada saat-saat stress.
b) Dukungan Penghargaan (Esteem Support)
Dukungan penghargaan muncul melalui ungkapan penghargaan
yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran atau
perasaan, dan juga perbandingan yang positif antara individu
dengan orang lain. Dukungan jenis ini dapat membangun harga
diri, kompetensi dan perasaan dihargai.
c) Dukungan Instrumental (Tangible or Instrumental Support)
Dukungan instrumental ini melibatkan tindakan kongkrit atau
bentuk pertolongan secara langsung.
d) Dukungan Informasional (Informasional Support)
Dukungan ini meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau
umpan balik terhadap tingkah laku seseorang
.
3) Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup
Ryff (Wells, 2010:81)), mengemukakan bahwa pengalaman hidup
tertentu pada seseorang dapat mempengaruhi kondisi Kesejahteraan
Psikologis seorang individu. Pengalaman-pengalaman tersebut
21
2. Koping Religius
a. Pengertian
24
Setidaknya ada enam faktor yang mendukung hubungan antara agama dan
kesejahteraan, yaitu agama memberikan dukungan sosial, agama
membantu mendukung gaya hidup sehat, agama membantu meningkatkan
integrasi kepribadian, agama dapat meningkatkan generativity, agama
menyediakan strategi coping yang unik dan menyediakan rasa makna dan
tujuan.(dalam Amalia Juniarly M. Noor Rochman Hadjam : Jurnal
Psikologika, 2012 :7)
Penelitian Pargament, Smith, Koenig dan Perez (1998) tentang agama dan
orientasi strategi coping menemukan strategi yang digunakan orang untuk
menghadapi stres dan kesulitan dalam hidup. Orang yang religius dan
memiliki strategi coping akan mampu menghadapi stres ataupun depresi
dalam hidupnya. (dalam Amalia Juniarly M. Noor Rochman Hadjam :
Jurnal Psikologika, 2012 )
Lebih lanjut Pargament, (dalam Iredho Fani Reza : Jurnal ; Intizar, 2016 :
243 – 280) pengukuran pendekatan coping religious dapat dilakukan
dengan melihat indikator coping religious yang terdapat di dalam dimensi
coping religious yaitu: 1) Menemukan makna; 2) Kontrol diri; 3)
28
H. Kerangka Pikir
Skema di bawah ini merupakan alur berpikir penulis dalam mendesain penelitian.
Pada gambar 1, ditunjukkan tahap-tahap pemikiran dari mulai munculnya ide
pentingnya meneliti Kesejahteraan Psikologis pada remaja khususnya di
Madrasah Mu’allimin-mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta yang sarat
dengan kompleksitas kehidupan sehari-harinya, proses penelitian itu sendiri,
hingga akhir penelitian. Sedangkan gambar 2 menunjukkan kerangka pengaruh
antar variabel penelitian. Baik Koping Religius (X1), Interaksi Teman Sebaya
(X2) maupun Kultur Sekolah (X3) terhadap Kesejahteraan Psikologi siswa (Y).
Berdasarkan kajian teoritik dan empirik yang ada, diketahui bahwa antara
Interaksi Teman Sebaya, Kultur Sekolah dan Kesejahteraan Psikologis, terdapat
hubungan yang signifikan [Rosa, dkk. (2013); Wells (2010); Berkman (1995);
Davis, Morris & Graus (1998). Interaksi sosial remaja yang baik dipercaya
mampu meningkatkan Kesejahteraan Psikologis, di sisi lain isolasi sosial yang
dialami oleh seseorang diyakini pula menurunkan tingkat Kesejahteraan
Psikologis mereka. Selain daripada itu, Kultur Sekolah dipercaya memiliki
hubungan yang erat dengan Kesejahteraan Psikologis remaja. Kultur yang baik
merupakan hasil dari interaksi sosial di antara teman sebaya yang baik,
sebaliknya, pola interaksi sosial yang kurang baik seperti kekerasan baik fisik
maupun psikologis akan menghasilkan suasana yang penuh tekanan sehingga
Kultur Sekolah pun ikut terpengaruh. Lagi pula, sekolah yang memiliki
Kesejahteraan Psikologis yang baik (Well Being School) tentunya akan
membentuk suasana pergaulan dan hubungan sosial yang kondusif dan
membahagiakan sehingga kultur yang terbentuk pun akan semakin baik. Itulah
sebabnya dewasa ini mulai dikembangkan Well Being School yang merupakan
29
Demikian juga dengan pengaruh Koping Religius terhadap ketiga variabel di atas
[Safaria (2011); Wells (2010); Maulina (2012); Baqutayan (2010); Arifin, dkk.
(2011; Fahimah (2013) dan Idrus (2007)]. Tingkat religiusitas yang tinggi pada
remaja memungkinkan terwujudnya suasana religius yang menenteramkan
sehingga dampaknya pun dapat meningkatkan Kesejahteraan Psikologis yang
rendah menuju kualitas Kesejahteraan Psikologis yang lebih baik. Dampak positif
lain tentu saja akan membentuk kultur yang baik dan interaksi sosial antar teman
sebaya yang menenteramkan pula bagi semua pihak.
Gambar
Bagan Alur Berpikir Penelitian
Fakta-fakta bahwa
Fakta-fakta bahwa lembaga pendidikan
sekolah khususnya
pesantren, khususnya Madrasah
lembaga pendidikan
Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta
pesantren memiliki
terasa kurang religius sehingga
peran dan mempengatuhi Kesejahteraan Psikologis
tanggujawab yang para siswanya yang rendah ditandai REKOMENDASI/
besar dalam dengan ketidakhadiran dalam jamaah SARAN
meningkatkan kualitas shoalat, dan membaca / menghafal Al
bangsa.
Fakta-fakta rendahnya
Kualitas Kesejahteraan
HIPOTESIS Pembahasan
Psikologis remaja di Kota
Yogyakarta.
Adanya pengaruh koping Religius
terhadap Kesejahteraan Psikologis
Peserta didik di M3 in YK.
I. Hipotesis
J. Metode Penelitian
1. Identifikasi Variabel
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Variabel Eksogen, yaitu variabel yang tidak diprediksi oleh variabel lain.
Variabel ini bersifat mempengaruhi variabel lain (independent). Variabel
eksogen dalam penelitian ini adalah Peer Koping Religius.
b. Variabel Endogen, yaitu variabel yang diprediksikan oleh satu atau
beberapa variabel lain. Variabel ini bersifat dipengaruhi (dependent) oleh
variabel lain. Dalam penelitian ini, variabel yang termasuk variabel
endogen adalah Kesejahteraan Psikologis.
31
2. Definisi Variabel
a. Definisi Konseptual
Definisi Konseptual, yaitu batasan istilah yang dijadikan landasan
konseptual sesuai dengan kajian secara teoritik. Definisi untuk masing-
masing variabel terdiri dari :
1) Koping Religius
Adalah ukuran sejauhmana siswa (responden) menggunakan strategi
coping religius yang dimilikinya baik positif maupun negatif dalam
bentuk keyakinan dan ritual keagamaannya guna memfasilitasi proses
pemecahan masalah serta penyesuaian dirinya terhadap situasi
lingkungan yang penuh tekanan (stressful).
2) Kesejahteraan Psikologis
Adalah sebuah konstruk psikologis yang memberikan informasi
tentang perasaan subyektif siswa (responden) akan pencapaian
dirinya sebagai hasil dari evaluasi diri dan kualitas pribadi serta
pengalaman hidupnya.
b. Definisi Operasional
Definisi Operasional, yaitu aspek dalam penelitian yang memberikan
informasi tentang bagaimana cara mengukur variabel penelitian. Adapun
definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1) Koping Religius
Adalah skor skor yang diperoleh dari skala Koping Religius yang
dikerjakan oleh subyek penelitian berdasarkan dimensi Koping
Religius Positif (Positive Religious Coping) dan Koping Religius
32
2) Kesejahteraan Psikologis
Yaitu skor yang diperoleh dari skala Kesejahteraan Psikologis yang
dikerjakan oleh subyek penelitian. Skor tersebut diperoleh dari aitem-
aitem yang diturunkan dari dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis
sebagaimana diuraikan di atas, yaitu :
a) Dimensi Penerimaan Diri (Self-acceptance)
b) Dimense Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive
Relationship with Others)
c) Dimensi Otonomi (Autonomy)
d) Dimensi Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
e) Dimensi Tujuan Hidup (Purpose in Life)
f) Dimensi Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
33
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang berusaha mengeksplorasi
pengaruh Koping Religius, Interaksi Teman Sebaya dan Kultur Sekolah
terhadap Kesejahteraan Psikologis siswa khususnya di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta. Eksplorasi yang dilakukan adalah berdasarkan
pada data-data kuantitatif berupa skor dari tiap skala baik skala Koping
Religius, Interaksi Teman Sebaya, Kultur Sekolah maupun skala
Kesejahteraan Psikologis.
6. Subyek Penelitian
a. Populasi
34
Tabel 2
DAFTAR PUSTAKA
Carpenter, T.P., Laney, T., & Mezulis, A. 2011. Religious Coping, Stress and
Depressive Symptoms among Adolescence: A Prospective Study. Seatle
36
Ghozali, Imam, 2011. Model Persamaan Struktural, konsep dan aplikasi dengan
program AMOS 21.0. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Kiuru, N. 2011. The Role of Adolescent’s Peer Groups In The School Context.
Jyvaskyla : Jyvaskyla Printing House.
Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf. 2002. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada
Panal, Abdul, Haris. 2011. Keluarga sebagai Lembaga Pendidikan Pertama dan
Utama dalam Membina Kesehatan Jiwa/Mental Anak. Gorontalo :
Universitas Negeri Gorontalo.
Safaria, Triantoro, 2011. Peran Koping Religius sebagai Moderator dari Job
Insecurity terhadap Stress Kerja pada Staf Akademik. Yogyakarta : Jurnal
Humanitas, Vol. VIII, No. 2 Agustus, 2011
Suldo, S.M, Shaunessy, E., & Hardesty, R. 2008. Relationship among Stress,
Coping, and Mental HealthIn High-achieving High School Students.
Journal of Psychology in Schools, Vol. 45 (4). Willey InterScience
(www.interscience.willey.com)
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa
SUMBER JURNAL
Noraini Abdur Roup dan Nor Ba’yah Abdul Kadir : Pengertian Hidup, Syukur
Dan Hubungannya Dengan Kegembiraan Subjektif di Kalangan Pekerja
(Meaning in life, gratitude and its relationship to wellbeing among
workers), e-Bangi, Jurnal of Social Science and Humanities, FSSK,
UKM.: 2011, ISSN : 1823-884, Volume 6, Nomor 2, hlm., 349-358.
Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana Sofiati Utami :
Religiusitas dan Psychological Well‐Being Pada Korban Gempa,
Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Uinversitas Gadjah Mada, ISSN:
0215-8884, Volume 34, Nomor, 2, hlm.,164 – 176.