Anda di halaman 1dari 39

1

Proposal Penelitian

PENGARUH KOPING RELIGIUS TERHADAP


KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (Psychological Well-Being)
PESERTA DIDIK DI MADRASAH MU’ALLIMIN MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA

A. Latar Belakang

Kesejahteraan merupakan dambaan setiap individu maupun masyarakat. Kata


sejahtera berarti aman, sentosa dan makmur, selamat dan terlepas dari segala
macam gangguan, kesukaran dan lain sebagainya (Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, 2005 : 449) . Kesejahteraan merupakan kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak serta
mampu mengembangkan dirinya sendiri sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya (Undang-undang No. 11 Tahun 2009).

Demikian pula kesejahteraan di bidang pendidikan, berdasarkan Indeks


Kesejahteraan Rakyat (IKraR) yang telah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2012
oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di Jakarta (Pikiran Rakyat Edisi
21/3/2012), pendidikan merupakan salah satu aspek yang mendukung tercapainya
indeks yang lebih baik, di samping aspek – aspek lain seperti kesehatan dan
kesejahteraan ekonomi.

Menurut Preston dan Flo (dalam Ahmad, 1996:1) bahwa pendidikan berkualitas
sangat efektif dalam memberantas kemiskinan, membangun demokrasi, dan
membentuk masyarakat sejahtera. Oleh sebab itu, pendidikan yang baik
seharusnya merupakan pendidikan yang mensejahterakan, tidak hanya para
pendidik dan tenaga kependidikan saja , melainkan juga para peserta didik. Hal ini
berarti bahwa sekolah secara sistematis harus mampu mendukung terwujudnya
kesejahteraan para peserta didik secara fisik maupun mental, lahir maupun batin.

Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being) merupakan salah satu aspek


yang harus dimiliki oleh setiap manusia dalam hidupnya, tidak terkecuali remaja
2

di sekolah. Campbell (dalam Rini & Kumolohadi, 2008 : 8) menyebutkan bahwa


Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being) merupakan hasil dari
evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap hidupnya baik evaluasi secara
kognitif maupun evaluasi secara emosi. Secara kognitif, Kesejahteraan Psikologis
dipersepsikan oleh seseorang sebagai sebuah bentuk kepuasan dalam hidup,
sedangkan secara emosi, kesejahteraan tersebut dilihat sebagai hasil dari evaluasi
emosi yakni berupa affect (perasaan senang).

Salah satu faktor penentu keberhasilan remaja dalam kesuksesan masa depan
hidupnya adalah terselesaikannya tugas perkembangan remaja. Remaja yang
sejahtera adalah remaja yang mampu menyelesaikan seluruh tugas
perkembangannya hingga memasuki masa dewasa. Berkaitan dengan hal ini,
khususnya pendidikan memiliki tugas untuk memfasilitasi remaja dalam
menyelesaikan tahap tersebut secara mandiri sehingga tercapai kebahagiaan itu.

Menurut Soeroso (2001:194-196), selama masa remaja, kejadian kelainan


perilaku remaja merupakan masalah yang sama baik antara remaja laki-laki
maupun remaja perempuan. Depresi dan gangguan makan adalah masalah yang
sering terjadi pada remaja perempuan sedangkan kelainan kebiasaan (habit) lebih
sering terjadi pada remaja laki-laki.

Apabila Kesejahteraan Psikologis remaja dilihat dari sudut pandang perilaku


maladaptif (maladjustment), sebagai asumsi awal Kesejahteraan Psikologis
(Psychological Well-being) mereka, maka kondisi ideal remaja yang sejahtera,
masih sedikit dijumpai di kota – kota besar seperti di Kota Yogyakarta. Kasus
remaja yang maladaptif dan delinkuen sebagai indikator lemahnya Kesejahteraan
Psikologis (Psychological Well-being) remaja masih sering kita dengar, misalnya
perilaku klithih, bullying, merokok, memeras, minum-minuman keras, napza, dan
tawuran antar pelajar. Peristiwa tersebut merupakan indikator lemahnya
Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being) pada remaja. Keadaan
tersebut tentunya akan berdampak sangat panjang dan banyak. Selain penurunan
Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being), secara umum akan
berakibat menurunnya kualitas sumber daya menusia terutama remaja. Sedangkan
3

secara khusus, akan berdampak pada turunnya prestasi akademik maupun non
akademik para peserta didik itu sendiri.

Anak – anak usia remaja (usia sekolah) dengan program wajib belajar 9 tahun,
menjadi pendorong utama untuk tetap bersekolah di lembaga formal, baik negeri
maupun swasta. Lembaga pendidikan yang dimaksud bisa berbasis keagamaan
seperti Madrasah (MTs., M.A. dan Pondok Pesantren), maupun berbasis
keterampilan (SMK, SMEA, SMKI, SMM dan sejenis), juga bisa bersifat Umum (
SMP, dan SMA), ada pula jenis lembaga pendidikan yang menggabungkan antara
SMP/SMA dengan Pondok Pesantren (Peserta didik diasramakan/dipondokkan
untuk mendapatkan pendidikan agama) sekaligus pada pagi harinya menempuh
pendidikan umum seperti SMP/SMP atau yang sejenis.
Apabila diamati dari pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan
tersebut, maka akan didapati karakteristik yang berlainan pula. Bagaimana
menciptakan kultur sekolah/lembaga, mempraktikkan ajaran atau nilai – nilai
agama, dan interaksi antar warga sekolah/lembaga pendidikan terseebut.
Pada akhirnya setiap peserta didik sedikit banyak akan terpapar dengan kebiasaan
dan karakter lingkungan tempat ia bergaul atau berinteraksi. Selain hal positif
tentu saja paparan bisa jadi hal – hal yang negatif. Paparan positif seperti perilaku
koping dapat berfungsi sebagai mekanisme mengatasi masalah dan melawan
dampak dari sesuatu yang tidak menyenangkan bagi dirinya.

Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (M3in Yk.) merupakan


lembaga pendidikan berbasis pesantren di Kota Yogyakarta (memadukan
kurikulum Mts dan M.A. dengan ondok Pesantren) yang memiliki karakteristik
khusus. Selain semua peserta didiknya adalah laki – laki, Madrasah Mu’allimin
juga berada dijantung Kota Yogkarta. Sebagai madrasah yang berada di bawah
naungan langsung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, M3in Yk.
memiliki tujuan untuk menyelenggarakan pendidikan madrasah yang unggul
dalam membentuk kader ulama, pemimpin dan pendidik yang mendukung
pencapaian tujuan Muhammadiyah, yakni terwujudnya masyarakat islam yang
sebenar-benarnya. Dengan tujuan dan kekhasan seperti itu, M3in Yk.memiliki
4

tantangan yang berat dalam perjalanannya, termasuk dalam upaya menyiapkan


kader kemanusiaan, kader bangsa, kader umat, dan kader persyarikatan (Buku
Panduan Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yk, 2017 : 7 - 9)

Upaya yang dilakukan di antaranya adalah dengan menyelenggarakan dan


mengembangkan pendidikan islam guna membangun kompetensi dan keunggulan
siswa baik di bidang ilmu-ilmu dasar keislaman, ilmu pengetahuan, teknologi,
seni budaya, bahasa asing (Inggris dan Arab), akhlak kepribadian, kepemimpinan,
kependidikan, kekaderan Muhammadiyah dan kewirausahaan. Kesemuanya
meliputi integrasi ilmu-ilmu umum, ilmu-ilmu agama dan pengembangan diri.
Bentuk dari pembinaan di M3in Yk. mencakup pendidikan di madrasah dan
pembinaan di asrama sehingga bersifat intensif.
Secara ideal, intensitas pembinaan siswa di M3in Yk. tentunya akan menghasilkan
pola interaksi interpersonal yang baik, religiusitas yang tinggi, kultur madrash
yang kondusif sehingga menjadikan para siswa di dalamnya merasa “feeling at
home’ (serasa berada di rumah sendiri) serta Kesejahteraan Psikologis (Subjective
Well Being) yang baik pula sehingga suasana belajar di dalamnya terasa lebih
menggairahkan.

Namun pada realitasnya, gejala yang terjadi justeru para peserta didik tidak
feeling at home, hal tersebut berdasarkan temuan dan informasi awal dari hasil
wawancara dengan beberapa Wali Kelas, guru pembimbing (musyrif) dan guru
Bimbingan dan Konseling (BK), diperoleh informasi tentang rendahnya
religiusitas siswa yang ditunjukkan dengan tingginya angka ketidakhadiran
peserta didik pasa saat ta’lim, shalat berjama’ah, dan pemanfaatan waktu untuk
membaca atau menghafal al-Qur’an. Terlebih lagi informasi banyaknya peserta
didik yang mengeluh merasa tidak betah tinggal di asrama, banyaknya siswa yang
ingin pindah ke sekolah lain (yang tidak berasrama), kasus bullying secara verbal,
fisik maupun mental, dan lemahnya Kultur Madrasah yang diidentifikasikan
dengan tingginya keluhan peserta didik tentang sistem pendidikan, pola
5

pembinaanpeserta didik dan aturan tata tertib yang memiliki kepastian serta tidak
berubah.

Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun bermaksud untuk meneliti satu


variabel penting yaitu koping religius dengan judul “Pengaruh Koping Religius
terhadap Kesejahteraan Psikologis Peserta Didik di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat diindentifikasi berbagai permasalahan yang ada
di lembaga pendidikan Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai
berikut :

1. Rendahnya religiusitas siswa di M3in Yk., yang ditunjukkan dengan tingginya


angka ketidakhadiran siswa dalam mengikuti ta’lim dan shalat berjamaah, dan
membaca/menghafal al – Quran.
2. Rendahnya kualitas interaksi sosial antar teman sebaya yang ditunjukkan
dengan tingginya tingkat kekerasan antar teman sebaya (bullying) baik secara
fisik maupu mental.
3. Rendahnya kualitas Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being),
peserta didik di M3in Yk, yang diindikasikan dengan banyaknya keluhan
ketidakbetahan siswa baik di sekolah maupun di asrama.

C. Rumusan Masalah

Melihat permasalahan yang komplek tersebut di atas, dan memperhatikan hasil


penelitian sebelumnya, agar penelitian lebih fokus dan mendalam penulis hanya
akan meneliti satu variabel yaitu dengan rumusan masalah :

“Apakah Koping Religius berpengaruh terhadap Kesejahteraan Psikologis


(Psychological Well-being), peserta didik di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta.”

D. Tujuan Penelitian
6

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan meneliti satu hal sesuai dengan
rumusan masalah sebelumnya, yaitu :

Untuk mengetahui apakah Koping Religius berpengaruh terhadap Kesejahteraan


Psikologis (Psychological Well-being), peserta didik di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini akan bermanfaat sebagai :
1) Sumbangan keilmuan psikologi khususnya psikologi pendidikan guna
peningkatan khasanah ilmu pengetahuan.
2) Cikal bakal atau benih (seeds) guna membuat sebuah model
pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia berbasis Kesejahteraan
Psikologis (Psychological Well-being), peserta didik melalui
peningkatan religiusitas yang lebih tepat sesuai tujuan pendidikan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peserta didik

Hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi peserta didik untuk


mengembangkan diri peserta didik menuju pribadi-pribadi yang sehat
secara fisik, mental dan spiritual melalui pola koping religius.

b. Bagi Madrasah

Hasil penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi madrasah guna


pengembangan model-model peningkatan kualitas Pembinaan Sumber
Daya Manusia berbasis Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-
being), peserta didik dalam upaya optimalisasi tujuan pendidikan.

F. Tinjauan Pustaka

Koping Religius sebagai mekanisme seseorang untuk mengurangi dampak stress


memiliki hubungan yang erat dengan Kesejahteraan Psikologis seseorang. Hal ini
7

berangkat dari hasil penelitian Safaria (2011:155-170), Safaria meneliti peran


Religious Coping sebagai moderator dari hubungan job insecurity (ketidakamanan
kerja) terhadap job strress (stress kerja) pada karyawan akademik. Hasilnya, ada
hubungan erat antara jon insecurity dengan job stress di mana semakin tinggi job
insecurity akan diikuti dengan tingginya job stress. Pada penelitian tersebut,
Religious Coping memiliki peranan sebagai moderator, yaitu mengontrol
pengaruh job insecurity terhadap job stress, sehingga individu yang memiliki job
insecurity yang tinggi dapat mereduksi tingkat job stress nya dengan penggunaan
strategi Religious Coping yang tinggi.

Penelitian Safaria di atas membangun hipotesa awal bahwa job insecurity dan job
stress merupakan variabel yang kontra prestatif dengan Kesejahteraan Psikologis
(Psychological Well-being), seseorang sehingga pada gilirannya juga
mempengaruhi pola interaksi sosial dan kultur di lingkungan tempat individu
beraktivitas. Begitu juga dengan religiusitas yang kemudian tercermin dalam
upaya individu dalam mereduksi stress sehingga menghasilkan Kesejahteraan
Psikologis yang baik. Hal tersebut diperkuat oleh Maulina (2012:17) yang
meneliti tentang hubungan religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis
(Psychological Well-being), pada lansia. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat
korelasi yang sangat signifikan antara keduanya. Semakin tinggi religiusitas
seseorang maka semakin tinggi pula Kesejahteraan Psikologis (Psychological
Well-being), -nya.

Baqutayan (2010:117-118) meneliti tentang efektivitas religious orientation


dalam mengatur tingkat stress akademik pada mahasiswa. Hasil dari penelitian itu
menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif antara religius orientation dengan
tingkat stress akademik mereka.

Arifin, dkk. (2011:11) yang telah meneliti tentang hubungan orientasi religius,
lokus of control dan Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being),
menemukan bahwa semakin internal orientasi religius seseorang maka akan
semakin meningkatkan Kesejahteraan Psikologis nya sedangkan semakin
eksternal orientasi religius seseorang maka akan semakin menurunkan
8

Kesejahteraan Psikologis nya. Artinya, orientasi religius yang dijadikan oleh


seseorang sebagai strategi Koping akan mengontrol Kesejahteraan Psikologis
seseorang.

Sebuah penelitian tentang strategi coping pernah dilakukan oleh Scheier,


Weintraub, dan Carver (1986 dalam Vazquez, dkk., 2009: 22) pada individu yang
optimis menunjukkan bahwa individu tersebut menggunakan problem-focused
coping secara langsung dalam mengatasi kejadian stres yang dihadapinya dan
permasalahan- permasalahan terkait dengan kesehatannya yang pada akhirnya
akan berhubungan dengan perawatan diri dan terkait dengan proses penyembuhan
penyakit di masa yang akan datang. Optimisme memiliki hubungan yang sangat
kuat dengan tingginya psychological well-being seseorang sehingga memiliki
peranan yang penting terhadap kesehatan secara fisik (Avia & Vazquez, 1998
dalam Vazquez, dkk., 2009: 21). Penelitian ini secara tidak langsung
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara problem focused coping dengan
tingginya psychological well-being. (Jurnal :

Sementara itu Fahimah (2013:8-9) yang telah meneliti tentang Hubungan


Religiusitas dengan School Well Being pada Siswa-siswi di SMA Islamic
Boarding School Al Manaar Al Azhari Depok menunjukkan bahwa terdapat
korelasi yang positif dan sangat signifikan antara religiusitas siswa dengan School
Well Being mereka, hal itu membuktikan bahwa semakin tinggi religiusitas maka
akan semakin tinggi pula School Well Being siswa.

Berdasarkan pandangan di atas, tampak bahwa secara teori, Kesejahteraan


Psikologis (Psychological Well-being), dipengaruhi oleh, koping religius internal
yang dapat pola fikir, dan pola interaksi yang pada akhirnya akan mempengaruhi
Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being), para peserta didik yang ada
di lembaga pendidikan.

G. Landasan Teori
1. Kesejahteraan Psikologis
a. Pengertian
9

Kesejahteraan Psikologis dalam perspektif psikologi perkembangan,


Erikson (dalam Wells, 2010:78) menjelaskan sebuah konsep ‘kepribadian
sehat’ dalam konteks teori Freudian. Ia memandang perkembangan
kepribadian sebagai sebuah proses di mana faktor-faktornya berhubungan
satu sama lain sedemikian rupa sehingga kepribadian sebagai suatu
kesatuan sistem yang utuh bergantung kepada tiap-tiap komponen
perkembangan. Penjelasan di atas berarti bahwa, Kesejahteraan Psikologis
sebagai sebuah “konsep kesehatan mental”, tidak dapat terlepas dari
aspek-aspek lain dalam perkembangan manusia seperrti evaluasi individu
akan pengalaman-pengalaman hidupnya.

Sementara Hamburger (dalam Maulina, 2012:2) mengatakan bahwa


Kesejahteraan Psikologis sebagai sebuah konsep modern yang lebih
menekankan pada karakteristik positif dari pertumbuhan dan
perkembangan manusia.

Sedangkan, Ryan & Deci (dalam Wells, 2010:80) menyatakan bahwa bila
kita berbicara tentang Kesejahteraan Psikologis berarti kita sedang
berbicara tentang sebuah konstruk yang terkait dengan fungsi optimal atau
positif dari seseorang.

Maslow dan Rogers (dalam Wells, 2010:80) lebih memfokuskan diri pada
aktualisasi diri serta pandangan tentang orang yang berfungsi sepenuhnya
sebagai cara untuk mencapai Kesejahteraan Psikologis dan kepuasan
pribadi.

Menurut Noraini Abdur Raop dan Nor Ba’yah Abdul Kadir (dalam :
Jurnal of Social Science and Humanities, 2011 ; 349 – 358) memberikan
istilah Kesejateraan Psikologis dengan “kegembiraan subjektif” boleh
dianggap sebagai komponen penting yang perlu dicapai oleh setiap
individu. Dalam usaha untuk mencapainya, pengertian hidup dan rasa
bersyukur perlu diperoleh oleh individu. Dalam konteks kajian ini,
pengertian hidup serta rasa bersyukur seseorang pekerja itu adalah penentu
kepada kegembiraan dalam dirinya
10

Ryff & Marshal (dalam Maulina, 2012:3) mengemukakan bahwa


Kesejahteraan Psikologis merupakan konstruksi dasar yang dapat
menyampaikan informasi tentang bagaimana individu mengevaluasi diri
mereka sendiri dan kualitas serta pengalaman hidup mereka.Evaluasi
tersebut menjadikan seseorang pasrah menerima keadaan sehingga
mengakibatkan Kesejahteraan Psikologis-nya rendah, atau dia berusaha
memperbaiki hidup sekuat kemampuannya sehingga meningkatkan
Kesejahteraan Psikologis-nya (Riff & Singer, dalam Maulina, 2012:3).

Meskipun Kesejahteraan Psikologis dikatakan sebagai evaluasi individu


terhadap hidupnya yang identik dengan kesejahteraan dan kebahagiaan,
namun kesejahteraan dan kebahagiaan subyektif yang dimaksud bukanlah
kebahagiaan hedonis, melainkan bersifat eudemonis. Waterman (dalam
Wells, 2010:80) membedakan antara segi hedonis dan eudemonis dari
Kesejahteraan Psikologis tersebut. Menurutnya, segi hedonis terutama
memfokuskan diri pada kebahagiaan serta mendefinisikan kesejahteraan
sebagai indikator dari kualitas hidup seseorang. Kebahagiaan itu diperoleh
berdasarkan hubungan antara karakteristik lingkungan yang mendukung
dengan tingkat kepuasan seseorang (Campbell, Converse, and Rodgers,
dalam Wells, 2010:80). Dalam perspektif ini, manusia memfokuskan diri
dalam upaya untuk mencapai kesenangan hidup dan menghindarkan diri
dari ketidaknyamanan (Ryan & Deci, dalam Wells, 2010:80). Sedangkan
pendekatan eudemonik lebih diorientasikan kepada kehidupan yang
bermakna serta kepada tingkat pencapaian diri seseorang. Pendekatan ini
menekankan kepada sejauhmana seseorang menjadi diri yang berfungsi
sepenuhnya (Ryan & Deci, dalam Wells, 2010:80).

Jati Ariati berpendapat bahwa ada dua pendekatan teori yang digunakan
dalam kesejahteraan subjektif (Subjective Well-being) yaitu ;

1. Bottom up theories Teori memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan


hidup yang dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya
kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa - peristiwa bahagia.
11

Semakin banyaknya peristiwa menyenangkan yang terjadi, maka


semakin bahagia dan puas individu tersebut.

Teori ini beranggapan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan


subjektif, perlunya mengubah lingkungan dan situasi yang akan
mempengaruhi pengalaman individu, misalnya: pekerjaan yang
memadai, lingkungan rumah yang aman, pendapatan/gaji yang layak.

2. Top down theories Kesejahteraan subjektif yang dialami seseorang


tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan
menginterpretasi suatu peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang
positif.

Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-


cara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga
untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif diperlukan usaha yang
berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian
seseorang. (Jati Ariati : Jurnal : Psikologi Undip, 2010 : 117 – 123)

Berdasarkan beberapa definisi yang diajukan beberapa ahli di atas, maka


dapatlah dibuat kesimpulan bahwa Kesejahteraan Psikologis adalah sebuah
konstruk psikologis yang memberikan informasi tentang perasaan
subyektif akan pencapaian dirinya sebagai hasil dari evaluasi diri dan
kualitas pribadi serta pengalaman hidupnya. Semakin positif perasaan
tersebut, maka semakin sejahteralah kondisi psikologisnya. Sebaliknya,
semakin negatif maka semakin tidak sejahteralah kondisi psikologisnya.

b. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis.

Ryff (Wells, 2010:81-84) membagi Kesejahteraan Psikologis kedalam


enam dimensi yang mana dimensi-dimensi itu merupakan intisari dari
teori-teori positive funcioning psychology yang juga telah dikemukakan
olehnya dalam buku Kesejahteraan Psikologis. Dimensi-dimensi tersebut
adalah :
12

1) Dimensi Penerimaan Diri (Self-acceptance)


Menurut teori perkembangan manusia yang telah dikemukakan Ryff,
self-acceptance memiliki hubungan dengan penerimaan diri individu
pada saat ini dan masa yang akan datang. Selain itu, menurut literatur
positive psychological funcioning, self-acceptance ini juga berkaitan
dengan sikap positif terhadap diri sendiri. Lebih lanjut, Ryff & Singer
(Wells, 2010:81-84) menganggap bahwa self-acceptance merupakan
bagian kunci dalam Kesejahteraan Psikologis yang memperhatikan
pendapat tentang diri yang positif pada diri seseorang. Ia tidak
mengacu kepada kecintaan diri yang narsistis dan juga tidak pada
harga diri yang dangkal, melainkan lebih kepada penghargaan terhadap
diri yang membangun yang mencakup baik aspek positif maupun
negatif. Para penulis sebelumnya juga telah menggarisbawahi tentang
hal itu, adalah Jung (1933) dan Von Franz (1964) ; dalam Wells
(2010:81-84), menyatakan bahwa hanya pribadi yang terindividualisasi
secara penuh yang mampu menerima diri apa adanya termasuk
kegagalan-kegagalannya. Konsep integritas diri yang telah
diperkenalkan Ericson (1959) juga mengacu kepada pribadi yang
mampu melampaui keberhasilan dan kegagalan yang dia alami di masa
lalu dan menerima keadaan tersebut secara apa adanya. Penerimaan
diri tersebut terbentuk melalui penerimaan diri yang sejujurnya akan
kegagalan dan keterbatasan dirinya namun dia memiliki kecintaan
untuk menerima dan merangkul dirinya sendiri apa adanya (Wells,
2010:81-84).
Selanjutnya, Ryff & Keyes (Wells, 2010:81-84) membuat batasan
operasional dimensi self-acceptance sebagai berikut :
a) Skor tinggi pada dimensi ini mengindikasikan bahwa orang
tersebut memiliki sikap yang positif, yaitu orang yang mampu
mengenali dan menerima segala aspek yang ada pada dirinya apa
adanya, termasuk kualitas yang baik maupun yang buruk serta
mampu melihat masa lalu yang telah dialaminya dengan perasaan
positif
13

b) Skor yang rendah pada aspek ini menunjukkan pribadi yang


merasa tidak puas terhadap dirinya sendiri secara luas. Mereka
merasa tidak nyaman dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan
dirinya di masa lalu, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi
pada kehidupannya serta merasa bermasalah terhadap beberapa
kualitas yang dimilikinya serta berharap untuk menjadi orang yang
berbeda dari dirinya sendiri (Wells, 2010)
2) Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive
Relationship with Others)
Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari
kondisi mental yang sehat. Selain daripada itu, teori self-actualization
mengemukakan konsepsi hubungan positif dengan orang lain sebagai
perasaan emosi dan afeksi kepada orang lain serta kemampuan untuk
membina hubungan yang mendalam juga identifikasi dengan orang
lain.
Membina hubungan yang hangat dengan orang lain merupakan salah
satu dari criterion of maturity yang dikemukakan oleh Allport (Wells,
2010:81-82). Teori perkembangan manusia juga menekankan adanya
intimacy dan generativity sebagai tugas utama yang harus dicapai
manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
Ryff & Keyes (Wells, 2010:81-84) mengemukakan Indikator dari
dimensi hubungan yang positif dengan orang lain meliputi :
a) Skor tinggi pada aspek ini nampak pada orang yang memiliki
hubungan baik dengan orang lain, hangat, memuaskan dan dapat
dipercaya. Orang yang menaruh perhatian akan kesejahteraan
orang lain mestinya memiliki kapasitas yang baik dalam rasa
empati, afek dan keintiman serta memahami dengan baik sikap
memberi dan menerima (take and give) dalam hubungan antar
manusia .
b) Skor rendah mengindikasikan bahwa seseorang memiliki hubungan
yang tertutup dan kurang dapat dipercaya terhadap orang lain,
memiliki kesulitan untuk bergaul secara hangat, terbuka dan
14

perasaan perhatian akan kesejahteraan orang lain. Dia merasa


terisolasi dan frustrasi dalam hubungan sosial.
3) Dimensi Otonomi (Autonomy)
Rogers mengemukakan bahwa orang dengan fully functioning
digambarkan sebagai seorang individu yang memiliki internal locus of
evaluation di mana orang tersebut tidak selalu membutuhkan pendapat
dan persetujuan dari orang lain, namun mampu mengevaluasi dirinya
sendiri dengan standar personal (Wells, 2010:81-84). Psikologi
perkembangan memandang otonomi sebagai rasa kebebasan yang
dimiliki seseorang untuk melepaskan diri dari norma-norma yang
mengatur kehidupan sehari-hari.
Ciri utama dari individu yang memiliki skor otonomi menurut Ryff
dan Keyes (Wells, 2010:81-84) antara lain :
a) Skor otonomi yang tinggi menunjukkan bahwa orang tersebut
adalah pribadi yang memilki kemampuan untuk menentukan
segala sesuatunya sendiri (self-determined) dan mandiri
(independent). Ia memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan tanpa tekanan dan campur tangan dari orang lain di
sekitarnya. Selain itu, orang tersebut juga memiliki ketahanan
dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku
dari dalam diri sendiri serta dapat mengevaluasi diri sendiri
dengan standar personal.
b) Skor otonomi yang rendah mengindikasikan sifat orang yang
gemar memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan
evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian dari orang
lain dalam membuat keputusan penting serta bersifat konformis
terhadap tekanan sosial.
4) Dimensi Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Salah satu karakteristik dari kondisi mental yang sehat adalah
kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan
yang sesuai dengan kondisi psikisnya. Allport menyebutkan bahwa
individu yang matang akan memiliki kemampuan untuk berpartisipasi
15

dalam aktivitas di luar dirinya. Berdasarkan teori perkembangan,


manusia dewasa yang sukses adalah seseorang yang memiliki
kemampuan untuk menciptakan perbaikan pada lingkungan serta
mampu melakukan perubahan-perubahan yang dinilai perlu melalui
aktivitas fisik dan mental serta mampu mengambil manfaat dari
lingkungan tersebut (Wells, 2010,:79-84).
Ryff (Wells, 2010:81-84) menggambarkan indikator individu dalam
dimensi ini sebagai berikut :
a) Skor tinggi pada dimensi penguasaan lingkungan ini
mengindikasikan pribadi yang memiliki keyakinan dan kompetensi
dalam mengatur lingkungan. Ia mampu mengendalikan berbagai
aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk di
dalamnya kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan situasi
kehidupan sehari-hari. Mampu memanfaatkan kesempatan yang
ada di lingkungannya serta mampu memilih dan menciptakan
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai
pribadinya.
b) Skor rendah pada dimensi ini menunjukkan pribadi yang kurang
memiliki kemampuan dalam penguasaan penguasaan lingkungan
serta mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari.
Mereka merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan
kualitas lingkungan sekitarnya, kurang memiliki kepekaan
terhadap kesempatan yang ada di lingkungannya serta kurang
memiliki kontrol terhadap lingkungan.
5) Dimensi Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Ryff (Wells, 2010:81-84) menyatakan bahwa keadaan mental yang
sehat memungkinkan seorang individu untuk menyadari bahwa
sesungguhnya ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup serta mampu
memberikan makna terhadap kehidupannya itu. Allport (Wells,
2010:79-84) memaparkan bahwa salah satu dari ciri kematangan
seorang individu adalah memiliki tujuan hidup, yakni memiliki rasa
keterarahan (sense of directedness) dan rasa bertujuan (intensionality).
16

Teori perkembangan yang ada juga menekankan pada berbagai


perubahan tujuan hidup sesuai dengan tugas perkembangan seseorang
pada tahap tertentu. Roges (Wells, 2010:79-84) menulis bahwa fully
functioning person memiliki tujuan, cita-cita dan rasa keterarahan yang
membuat dirinya merasa bahwa hidup ini penuh makna.
Selanjutnya Ryff mengidentifikasikan indikator dari individu yang
memiliki kualitas tujuan hidup sebagai berikut :
a) Skor tinggi pada seseorang menunjukkan kualitas individu yang
memiliki rasa keterarahan (directedness) dalam hidup. Dia mampu
merasakan arti dari masa lalu dan masa kini, memiliki keyakinan
yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan tugas
yang ingin dicapai dalam hidup.
b) Skor rendah pada dimensi tujuan hidup ini mengindikasikan
seseorang yang kurang memiliki tujuan hidup. Ia akan merasa
kehilangan makna hidup, kehilangan keyakinan yang memberikan
tujuan hidup serta tidak melihat makna yang terkandung dalam
hgidupnya pada kehidupan yang telah lalu.
6) Dimensi Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Ryff (Wells, 2010:81-84) menulis bahwa optimal psychological
funcioning tidak semata bermakna pencapaian terhadap karakteristik
tertentu, melainkan juga pada sejauhmana seseorang secara terus-
menerus mengembangkan potensi dirinya, bertumbuh, dan
meningkatkan kualitas positif pada dirinya. Kebutuhan akan aktualisasi
diri serta kesadaran akan potensi diri yang dimiliki merupakan
perspektif utama dari dimensi pertumbuhan diri ini. Keterbukaan
terhadap pengalaman baru adalah salah satu karakteristik dari fully
functioning person. Oleh karena itu, teori perkembangan menekankan
pada pentingnya manusia untuk tumbuh dan menghadapi tantangan
baru dalam setiap periode perkembangannya.
Masih menurut Ryff, indikator seseorang dengan kualitas pertumbuhan
pribadi ini antara lain :
17

a) Skor tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi ini menunjukkan


pribadi yang memandang dirinya sendiri sebagai pribadi yang
tumbuh dan berkembang, terbuka dengan pengalaman-pengalaman
baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang
dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan
tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi
yang lebih efektif hingga memiliki pengetahuan yang bertambah.
b) Skor rendah pada dimensi ini mengindikasikan seseorang dengan
karakteristik : memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik
sehingga dia merasa bahwa dirinya mengalami stagnasi, tidak
memiliki peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan
kehilangan minat terhadap kehidupan, serta merasa tidak mampu
dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik.

Compton (2005) (dalam Jurnal : Elisha Maris Tobing ; 2015 ; 407 – 420)
memaparkan bahwa untuk dapat mengetahui seseorang bahagia atau tidak,
orang tersebut akan diminta untuk menjelaskan tentang keadaan emosinya
dan bagaimana perasaannya tentang dunia sekitar dan dirinya sendiri. Jadi,
tampak bahwa ada aspek afektif yang terlibat saat seseorang mengevaluasi
kebahagiaannya, sedangkan untuk menilai kepuasan hidup lebih
melibatkan aspek kognitif karena terdapat penilaian yang dilakukan secara
sadar. Menurut Compton (2005) orang yang indeks kesejahteraan
subjektifnya tinggi adalah orang yang puas dengan hidupnya dan sering
merasa bahagia, serta jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan
seperti sedih atau marah. Sebaliknya, orang yang indeks kesejahteraan
subjektifnya rendah adalah adalah orang yang kurang puas dengan
hidupnya, jarang merasa bahagia, dan lebih sering merasakan emosi yang
tidak menyenangkan seperti marah atau cemas.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli,


ditemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Kesejahteraan
18

Psikologis seseorang adalah faktor demografis seperti usia, Jenis Kelamin,


status sosial ekonomi dan budaya Ryff & Singer (Azani, 2012:5).

Sementara itu dalam kolaborasi yang lain (Ryff, 1989; Ryff & Keyes,
1995; Ryff, 1994; Ryff & Essex, 1992; dalam Wells, 2010:81-84), menulis
faktor-faktor yang mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis sebagai
berikut :

1) Faktor Demografis
Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi Kesejahteraan
Psikologis antara lain :

a) Usia
Ryff & Keyes mengemukakan bahwa perbedaan usia
mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi Kesejahteraan
Psikologis. Mereka menemukan bahwa penguasaan lingkungan
dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring
bertambahnya usia manusia. Peningkatan tersebut terutama sekali
terjadi pada masa dewasa muda hingga dewasa madya. Pada
dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami
peningkatan seiring bertambahnya usia (Wells, 2010:87-94).
Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi
menampakkan penurunan seiring bertambahnya usia. Penurunan
tersebut terutama terjadi pada masa dewasa madya hingga masa
dewasa akhir.
b) Jenis Kelamin
Ryff menemukan bahwa dibanndingkan pria, wanita memiliki skor
yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan
orang lain serta pada dimensi pertumbuhan pribadi.
c) Status Sosial Ekonomi
Perbedaan status sosial atau kelas sosial, menurut Ryff, dapat juga
mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis seseorang. Winconsin
19

longitudinal study telah menyajikan data bahwa gradasi sosial


dalam kondisi well being pada masa dewasa madya menunjukkan
bahwa pendidikan tinggi dan status pekerjaan dapat meningkatkan
Kesejahteraan Psikologis seseorang, terutama pada dimensi
penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup (Wells, 2010:81-84).
Mereka yang berada pada kelas sosial yang lebih tinggi, memiliki
perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu
mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup
dibandingkan dengan mereka yang berada pada kelas sosial yang
lebih rendah.

d) Budaya
Riset yang telah dilakukan, khususnya di Amerika dan Korea
Selatan tentang Kesejahteraan Psikologis menunjukkan fakta
bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi
pada dimensi hubungan positif dengan orang lain serta skor yang
rendah pada dimensi penerimaan diri. Kondisi semacam itu
disebabkan oleh karena orientasi budaya di sana yang lebih bersifat
kolektif dan saling ketergantungan satu sama lain. Sebaliknya,
responden di Amerika memiliki skor yang tinggi pada dimensi
pertumbuhan pribadi (khususnya pada responden wanita) dan
dimensi tujuan hidup (pada responden laki-laki) serta memiliki
skor yang rendah pada dimensi otonomi, baik pada responden pria
maupun wanita (Wells, 2010:233)
.
2) Dukungan Sosial
Penelitian yang telah dilakukan oleh Davis (Wells, 2010:81-84)
menunjukkan bahwa individu-individu yang mendapatkan dukungan
sosial yang baik memiliki tingkat Kesejahteraan Psikologis yang lebih
tinggi. Dukungan sosial yang dimaksud, diartikan sebagai rasa
nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan
20

oleh seorang individu yang didapatkan dari orang lain atau kelompok
masyarakat (Cobb & Wills, dalam Wells, 2010:87-94). Dukungan
tersebut dapat pula berasal dari berbagai sumber, di antaranya :
pasangan hidup, keluarga, teman dekat, rekan sekerja, dokter maupun
organisasi masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Cobb (1976); Cohen
& McKay, 1984; House, 1984; Schaefer, Coyne & Lazarus, 1981 dan
Wills, 1984, dalam Wells, 2010:87-94) terdapat empat jenis dukungan
sosial, yaitu :
a) Dukungan Emosional (Emotional Support)
Dukungan emosional ini melibatkan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap seseorang. Dukungan tersebut dapat
memberikan rasa nyaman, aman, rasa dimiliki dan dicintai pada
individu penerima perhatian, terutama pada saat-saat stress.
b) Dukungan Penghargaan (Esteem Support)
Dukungan penghargaan muncul melalui ungkapan penghargaan
yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran atau
perasaan, dan juga perbandingan yang positif antara individu
dengan orang lain. Dukungan jenis ini dapat membangun harga
diri, kompetensi dan perasaan dihargai.
c) Dukungan Instrumental (Tangible or Instrumental Support)
Dukungan instrumental ini melibatkan tindakan kongkrit atau
bentuk pertolongan secara langsung.
d) Dukungan Informasional (Informasional Support)
Dukungan ini meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau
umpan balik terhadap tingkah laku seseorang
.
3) Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup
Ryff (Wells, 2010:81)), mengemukakan bahwa pengalaman hidup
tertentu pada seseorang dapat mempengaruhi kondisi Kesejahteraan
Psikologis seorang individu. Pengalaman-pengalaman tersebut
21

mencakup berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode hidup


manusia.
Evaluasi yang dilakukan individu terhadap pengalaman-pengalaman
hidupnya, memiliki pengaruh yang penting terhadap Kesejahteraan
Psikologis. Pernyataan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang
telah dilakukan Ryff dan Essex (1992) tentang pengaruh interpretasi
dan evaluasi individu akan pengalaman hidupnya terhadap kesehatan
mental. Interpretasi dan evaluasi akan pengalaman hiduptersebut
diukur dengan mekanisme evaluasi diri oleh Rosenberg. Dimensi-
dimensi Kesejahteraan Psikologis dipakai sebagai indikator kesehatan
mental individu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan fakta bahwa
mekanisme evaluasi diri memiliki pengaruh terhadap Kesejahteraan
Psikologis seseorang, terutama sekali pada dimensi penguasaan
lingkungan, tujuan hidup dan hubungan yang positif dengan orang lain
(Wells, 2010:81).
Adapun mekanisme evaluasi diri yang dikemukakan Rosenberg dan
dikutip oleh Ryff & Essex (Wells, 2010:81-84) adalah sebagai
berikut :
a) Mekanisme Perbandingan Sosial (Social Comparison)
Pada mekanisme ini, Individu mempelajari dan mengevaluasi
dirinya sendiri dengan cara membandingkan dirinya dengan orang
lain. Perbandingan yang dilakukannya dapat mengarah kepada
evaluasi diri positif, evaluasi diri negatif ataupun netral bergantung
kepada standar yang digunakan individu. Objek yang dijadikan
pembanding biasanya berupa orang atau kelompok referensi.
b) Mekanisme Perwujudan Penghargaan (Reflected Appraisal)
Premis simbolik interaksionis merupakan model yang dipakai
dalam mekanisme jenis ini di mana individu dipengaruhi oleh
sikap yang ditunjukkan orang lain kepada dirinya. Kondisi ini akan
menyebabkan individu memandang dirinya sendiri sesuai dengan
pandangan orang lain terhadap dirinya. Dengan kata lain, umpan
balik yang dipersepsikan individu dari significant others selama
22

mereka mengalami suatu pengalaman hidup, merupakan suatu


mekanisme evaluasi diri.
c) Mekanisme Persepsi Diri terhadap Tingkah Laku (Behavioral Self-
perceptions)
Menurut Bern (Ryff & Essex, 1992), individu menyimpulkan
tentang kecenderungan, kemampuan dan kompetensi mereka
dengan cara mengobservasi tingkah laku mereka sendiri. Observasi
tersebut merupakan bagian dari proses di mana individu
memberikan makna terhadap pengalaman hidup mereka serta
mempersepsikan perubahan positif dalam diri sehingga dapat
memandang pengalaman secara lebih positif juga dapat
menunjukkan penyesuaian diri yang baik (Wells, 2010:81-84).

d) Mekanisme Pemusatan Psikologis (Psychological Centrality)


Menurut konsep ini, dikemukakan bahwa konsep diri tersusun dari
beberapa komponen yang secara hierarkis, sifatnya terpusat pada
diri atau dengan kata lain, ada komponen yang lebih terpusat dari
komponen lain. Semakin terpusat suatu komponen, maka semakin
besar pula konsep diri.Oleh sebab itu, untuk mengetahui dampak
dari pengalaman hidup terhadap Kesejahteraan Psikologis, maka
perlu dipahami pula sejauh mana peristiwa dan dampaknya
mempengaruhi komponen utama dan komponen perifer dari
konsep diri seseorang. Jika pengalaman tersebut hanya
mempengaruhi komponen yang bersifat perifer, maka mekanisme
perbandingan sosial, perwujudan penghargaan, dan persepsi diri
terhadap tingkah laku akan kurang berpengaruh terhadap
Kesejahteraan Psikologis, namun jika suatu pengalaman hidup
mempengaruhi komponen-komponen inti, konsep diri, maka
mekanisme perbandingan sosial, perwujudan penghargaan dan
persepsi diri terhadap tingkah laku akan sangat berpengaruh
terhadap Kesejahteraan Psikologis seseorang.
23

Dalam upaya meningkatkan wellbeing tersebut, beberapa hal yang


dapat dilakukan antara lain adalah: 1) Pengelolaan waktu, yakni
kemampuan guru merefleksikan penggunaan waktu dan skala
prioritas disertai sejumlah prinsip-prinsip penerapan dan
permasalahan terkait berdasarkan kebiasaan individu yang sangat
efektif menurut Stephen R. Covey; 2) Woynarowska dan Wyziak
(2012) mengelaborasi faktor-faktor yang meningkatkan wellbeing
guru: kondisi pekerjaan, hubungan orang tua-guru, organisasi dan
beban kerja, kompetensi professional yang dibedakan atas
penilaian pada situasi saat ini dan penilaian atas perlunya perbaikan
ke depan; 3) Selain itu, berdasarkan sejumlah penelitian terkini,
sejumlah strategi untuk mendorong wellbeing diajukan oleh
Reivich (2010) yakni Optimisme, Kesadaran Emosional, Penetapan
Tujuan/Harapan, Resiliensi, dan Pemberdayaan. (Bonar Hutapea1
dan Yohanes Budiarto : Jurnal Pemberdayaan Masyarakat, 2016 ;
26 - 38)
Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana Sofiati Utami (dalam
jurnal Psikologi UGM, 2010 ; 167) bahwa faktor‐faktor yang
mempengaruhi psychological well being antara lain : latar belakang
budaya, kelas sosial (Ryff,  1995), tingkat  ekonomi, dan tingkat
pendidikan  (Ryff,  1995;  Mirowsky  dan  Ross, 1999),  kepri
badian  (Schmutte dan  Ryff , dalam Keyes, Ryff, dan Shmotkin,
2002), pekerjaan , pernikahan anak – anak, kondisi masa lalu
terutama pola asuh keuarga, kesehatan dan fungsi fisik serta faktor
kepercayaan dan emosi (Mirowsky dan Ross, 1999),  jenis 
kelamin, (Calhoun, Acocella,dan  Turner  dalam  Chamberlain 
dan  Zika,  1992),  serta  religiusitas
(dalam Pargament, 2001; Chamberlain dan Zika, 1992,  Comptom,
2001).

2. Koping Religius
a. Pengertian
24

Berdasarkan teori psikologi koping didefinisikan sebagai usaha individu


yang terus berubah baik secara internal dan atau eksternal yang dinilai
sangat berat atau diluar kemampuannya, terlepas dari apakah hasil
usahanya bersifat positif maupun negatif (Suldo, dkk, 2008:274)

Lazarus & Folkman (Safaria, 2011:158), memaparkan koping adalah salah


satu komponen penting dalam kognisi manusia yang mana bersama
dengan proses interpretasi, dipandang sebagai mediator antara stress dan
hasil adaptional. Ia merngacu kepada usaha kognitif dan perilaku
seseorang untuk menguasai, mengurangi dan mentolerir tuntutan internal
atau eksternal yang diciptakan oleh situasi transaksi yang penuh tekanan
(stress). Apabila ditinjau dari proses terjadinya stress, maka maka Koping
memiliki tiga bentuk. Pertama, Koping yang berorientasi pada proses,
Koping ini berfokus kepada apa yang sebenarnya individu pikirkan dan
lakukan dalam menghadapi situasi yang spesifik. Kedua, Koping bersifat
kontekstual, artinya Koping dipengaruhi oleh interpretasi individu
terhadap tuntutan aktual dalam suatu situasi. Variabel individual dan
situasional secara bersama-sama menentukan usaha dan strategi
Kopingnya. Ketiga, adanya asumsi a priori di mana tidak ada penentuan
bagaimana bentuk Koping yang baik dan buruk.
Sementara itu, dalam konteks penelitian terhadap orang dewasa, Lazarus
& Folkman mendefinisikan koping tidak hanya sebagai masalah (problem-
focused) melainkan juga sebagai perasaan yang terfokus (emotion-
focused). Koping yang terfokus kepada masalah, individu melibatkan diri
dalam perilaku untuk secara spesifik menempatkan sumber-sumber stress.
Sedangkan pada koping yang berfokus kepada emosi, individu melibatkan
diri dalam kegiatan guna meringankan tekanan emosional akibat stress
(Suldo, dkk., 2008:274).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


Koping adalah segala usaha individu untuk mengatur antara tuntutan
lingkungan dan konflik yang muncul pada dirinya dengan mengurangi
25

kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan tersebut


dengan kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan tersebut.

Koping Religius memiliki definisi sebagai sejauhmana individu


menggunakan keyakinan dan praktek ritual keagamaannya untuk
memfasilitasi proses pemecahan masalah guna mencegah dan
meringankan dampak psikologis negatif dari situasi yang penuh tekanan,
ia juga membantu individu dalam beradaptasi terhadap situasi kehidupan
yang menekan (Koenig, et al, dalam Safaria, 2011:158).
Selanjutnya Safaria (2011:158) dalam penelitian moderasi Religious
Coping terhadap stress kerja karyawan akademik, membuat definisi
operasional Koping Religius sebagai sejauhmana individu menggunakan
strategi Koping Religius Positif dan strategi Koping Religius Negatif yang
mereka miliki untuk memfasilitasi pemecahan masalah dan tuntutan situasi
kerja (tuntutan lingkungan) yang penuh tekanan (stressful).
Pargament (dalam, Kasberger, 2002) dalam penelitiannya mengidentifikasi
tiga strategi koping religius, yaitu collaborative, self-directing, dan
deferring. Strategi collaborative merupakan strategi koping yang paling
umum, dalam hal ini individu dan Tuhan tidak memainkan peran yang
pasif dalam proses pemecahan masalah, tetapi keduanya bekerja bersama-
sama memecahkan masalah individu. Tuhan memberikan active voice
yang mempengaruhi keputusan pengikutnya. Pada strategi selfdirecting
individu dibantu tindakannya dalam memecahkan masalahnya. Individu
yang menggunakan strategi ini memandang dirinya sebagai orang yang
diberi Tuhan kemampuan dan sumber-sumber untuk memecahkan
masalah. Pada strategi deferring Tuhan mengatur strategi dalam
memecahkan masalah individu secara aktual. Individu bergantung pada
Tuhan dalam memberikan tanda-tanda/isyarat untuk mengatakan kepada
individu pendekatan pemecahan masalah yang akan digunakan (Jurnal :
Muhana Sofiati : 2012 : 46 – 66).
Wendio Angganantyo Purwacaraka (Jurnal : Psikologi Terapan, 2014 : 50
- 61) Coping religius merupakan salah satu metode coping menggunakan
26

aspek keagamaan dengan dampak signifikan dalam kehidupan yang umum


ditemui pada berbagai setting. Jenis coping religius dalam Islam terbagi
menjadi 3, yaitu religious practice, negative feelings toward God, dan
benevolent reappraisal.

Dengan demikian, maka dapat didefinisikan bahwa Koping Religius


adalah ukuran sejauhmana individu (responden) menggunakan strategi
Koping Religius yang dimilikinya baik positif maupun negatif dalam
bentuk keyakinan dan ritual keagamaannya guna memfasilitasi proses
pemecahan masalah serta penyesuaian dirinya terhadap situasi lingkungan
yang penuh tekanan (stressful).

b. Indikator Koping Religius


Lebih lanjut Pargament (Carpenter, 2008:2-3) mengidentifikasikan Koping
Religius Positif dan Koping Religius Negatif ke dalam beberapa indikator
yang kemudian ia terapkan pada pembuatan alat ukur Koping Religius
(brief RCOPE). Adapun indikator-indikator tersebut antara lain :
1) Koping Religius Positif, meliputi :
a) Religious Forgiveness (Pengampunan Dosa)
b) Seeking Spiritual Support (Mencari Dukungan Spiritual)
c) Collaborative Religious Coping (Strategi Kolaboratif)
d) Spiritual Connection (Hubungan Spiritual)
e) Religious Purification (Pemurnian Religius), dan
f) Benevolent Religious Reappraisal (Penilaian Kebajikan)
2) Negative Koping Religius
a) Spiritual Discontent (Ketidakpuasan spiritual)
b) Punishing God Reappraisals (Penyalahkan Hukuman Tuhan)
c) Interpersonal Religious Discontent (Ketidakpuasan Religius antar
pribadi)
d) Demonic Reappraisal (Penyalahan Kepada Syaitan) , dan
e) Reappraisal of God Powers (Penilaian kembali Kekuatan Tuhan).
27

c. Aspek-aspek Koping Religius


Pargament (1998) membagi Koping Religius menjadi dua aspek, yakni
Koping Religius Positif dan Koping Religius Negatif. Kedua aspek
tersebut sesungguhnya merupakan pola strategi individu dalam mengelola
dirinya dalam situasi tertentu melalui Koping Religius. Strategi Koping
Religius Positif mengacu kepada upaya individu untuk mengalihkan
pikiran dan perilaku kepada pengamalan ajaran agama guna mendukung
seseorang menjalani hidup dan kehidupan yang penuh tekanan dengan
kecenderungan yang lebih menguntungkan bagi dirinya dengan pengalihan
tersebut. Sedangkan strategi Koping Religius Negatif merupakan upaya
yang merefleksikan keterlibatan individu dalam perjuangan dan keraguan
religius, respon ini umumnya bersifat lebih maladaptif (Wang, 2004:16).

Setidaknya ada enam faktor yang mendukung hubungan antara agama dan
kesejahteraan, yaitu agama memberikan dukungan sosial, agama
membantu mendukung gaya hidup sehat, agama membantu meningkatkan
integrasi kepribadian, agama dapat meningkatkan generativity, agama
menyediakan strategi coping yang unik dan menyediakan rasa makna dan
tujuan.(dalam Amalia Juniarly M. Noor Rochman Hadjam : Jurnal
Psikologika, 2012 :7)

Penelitian Pargament, Smith, Koenig dan Perez (1998) tentang agama dan
orientasi strategi coping menemukan strategi yang digunakan orang untuk
menghadapi stres dan kesulitan dalam hidup. Orang yang religius dan
memiliki strategi coping akan mampu menghadapi stres ataupun depresi
dalam hidupnya. (dalam Amalia Juniarly M. Noor Rochman Hadjam :
Jurnal Psikologika, 2012 )

Lebih lanjut Pargament, (dalam Iredho Fani Reza : Jurnal ; Intizar, 2016 :
243 – 280) pengukuran pendekatan coping religious dapat dilakukan
dengan melihat indikator coping religious yang terdapat di dalam dimensi
coping religious yaitu: 1) Menemukan makna; 2) Kontrol diri; 3)
28

Kenyamanan dan kedekatan dengan Tuhan; 4) Menjalin hubungan dengan


orang lain dan kedekatan dengan Tuhan; 5) Menciptakan perubahan dalam
hidup.
Coping religious diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu positif coping
religious dan negatif coping religious.

H. Kerangka Pikir

Skema di bawah ini merupakan alur berpikir penulis dalam mendesain penelitian.
Pada gambar 1, ditunjukkan tahap-tahap pemikiran dari mulai munculnya ide
pentingnya meneliti Kesejahteraan Psikologis pada remaja khususnya di
Madrasah Mu’allimin-mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta yang sarat
dengan kompleksitas kehidupan sehari-harinya, proses penelitian itu sendiri,
hingga akhir penelitian. Sedangkan gambar 2 menunjukkan kerangka pengaruh
antar variabel penelitian. Baik Koping Religius (X1), Interaksi Teman Sebaya
(X2) maupun Kultur Sekolah (X3) terhadap Kesejahteraan Psikologi siswa (Y).

Berdasarkan kajian teoritik dan empirik yang ada, diketahui bahwa antara
Interaksi Teman Sebaya, Kultur Sekolah dan Kesejahteraan Psikologis, terdapat
hubungan yang signifikan [Rosa, dkk. (2013); Wells (2010); Berkman (1995);
Davis, Morris & Graus (1998). Interaksi sosial remaja yang baik dipercaya
mampu meningkatkan Kesejahteraan Psikologis, di sisi lain isolasi sosial yang
dialami oleh seseorang diyakini pula menurunkan tingkat Kesejahteraan
Psikologis mereka. Selain daripada itu, Kultur Sekolah dipercaya memiliki
hubungan yang erat dengan Kesejahteraan Psikologis remaja. Kultur yang baik
merupakan hasil dari interaksi sosial di antara teman sebaya yang baik,
sebaliknya, pola interaksi sosial yang kurang baik seperti kekerasan baik fisik
maupun psikologis akan menghasilkan suasana yang penuh tekanan sehingga
Kultur Sekolah pun ikut terpengaruh. Lagi pula, sekolah yang memiliki
Kesejahteraan Psikologis yang baik (Well Being School) tentunya akan
membentuk suasana pergaulan dan hubungan sosial yang kondusif dan
membahagiakan sehingga kultur yang terbentuk pun akan semakin baik. Itulah
sebabnya dewasa ini mulai dikembangkan Well Being School yang merupakan
29

implementasi dari Positive Psychology dalam bidang pendidikan (Seligman, dkk.


(2009). Menurutnya, pendidikan positif saat ini menjadi hal yang urgen.
Pengambangan pendidikan positif diupayakan membangun dua kualitas, yang
pertama adalah pendidikan secara tradisional dan kebahagiaan. Peningkatan
prevalensi depresi di kalangan remaja, minimnya tingkat kepuasan hidup mereka,
dan tidak terjalinnya sinergi antara perasaan positif remaja dengan pengalaman
belajar sehingga menimbulkan rendahnya performa remaja merupakan alasan
mengapa keterampilan untuk membangun suasana bahagia (Well Being) di
sekolah mutlak diperlukan.

Demikian juga dengan pengaruh Koping Religius terhadap ketiga variabel di atas
[Safaria (2011); Wells (2010); Maulina (2012); Baqutayan (2010); Arifin, dkk.
(2011; Fahimah (2013) dan Idrus (2007)]. Tingkat religiusitas yang tinggi pada
remaja memungkinkan terwujudnya suasana religius yang menenteramkan
sehingga dampaknya pun dapat meningkatkan Kesejahteraan Psikologis yang
rendah menuju kualitas Kesejahteraan Psikologis yang lebih baik. Dampak positif
lain tentu saja akan membentuk kultur yang baik dan interaksi sosial antar teman
sebaya yang menenteramkan pula bagi semua pihak.

Gambar
Bagan Alur Berpikir Penelitian

Fakta-fakta bahwa
Fakta-fakta bahwa lembaga pendidikan
sekolah khususnya
pesantren, khususnya Madrasah
lembaga pendidikan
Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta
pesantren memiliki
terasa kurang religius sehingga
peran dan mempengatuhi Kesejahteraan Psikologis
tanggujawab yang para siswanya yang rendah ditandai REKOMENDASI/
besar dalam dengan ketidakhadiran dalam jamaah SARAN
meningkatkan kualitas shoalat, dan membaca / menghafal Al

sumber daya remaja. Qur’an

Fakta-fakta bahwa Pentingnya untuk meneliti Pengaruh Koping


Religius terhadap Kesejahteraan
remaja adalah
Psikologispeserta didik di Madrasah Kesimpulan
generasi penerus
Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
30

bangsa.

Fakta-fakta rendahnya
Kualitas Kesejahteraan
HIPOTESIS Pembahasan
Psikologis remaja di Kota
Yogyakarta.
Adanya pengaruh koping Religius
terhadap Kesejahteraan Psikologis
Peserta didik di M3 in YK.

Hasil penelitian Proses Pengumpulan Data Analisis Hasil


sebelumnya : Kuantitatif (angket) untuk masing- Pengumpulan
Kajian psikologi positif masing variabel. Data kuantitatif
tentang pentingnya
Kesejahteraan Psikologis dengan
dalam meningkatkan menggunakan
kualitas pendidikan. SPSS Versi 15.0

I. Hipotesis

Penelitian ini bermaksud untuk membuktikan Pengaruh Koping Religius,


terhadap Kesejahteraan Psikologis siswa di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta.

J. Metode Penelitian
1. Identifikasi Variabel
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Variabel Eksogen, yaitu variabel yang tidak diprediksi oleh variabel lain.
Variabel ini bersifat mempengaruhi variabel lain (independent). Variabel
eksogen dalam penelitian ini adalah Peer Koping Religius.
b. Variabel Endogen, yaitu variabel yang diprediksikan oleh satu atau
beberapa variabel lain. Variabel ini bersifat dipengaruhi (dependent) oleh
variabel lain. Dalam penelitian ini, variabel yang termasuk variabel
endogen adalah Kesejahteraan Psikologis.
31

Data variabel-variabel tersebut diambil dengan menggunakan skala


psikologis untuk masing-masing variabel. Skala-skala tersebut disusun oleh
peneliti sendiri dengan mempertimbangkan semua komponen dan indikator
yang ada pada setiap variabel (konstruk psikologis).

2. Definisi Variabel
a. Definisi Konseptual
Definisi Konseptual, yaitu batasan istilah yang dijadikan landasan
konseptual sesuai dengan kajian secara teoritik. Definisi untuk masing-
masing variabel terdiri dari :
1) Koping Religius
Adalah ukuran sejauhmana siswa (responden) menggunakan strategi
coping religius yang dimilikinya baik positif maupun negatif dalam
bentuk keyakinan dan ritual keagamaannya guna memfasilitasi proses
pemecahan masalah serta penyesuaian dirinya terhadap situasi
lingkungan yang penuh tekanan (stressful).

2) Kesejahteraan Psikologis
Adalah sebuah konstruk psikologis yang memberikan informasi
tentang perasaan subyektif siswa (responden) akan pencapaian
dirinya sebagai hasil dari evaluasi diri dan kualitas pribadi serta
pengalaman hidupnya.
b. Definisi Operasional
Definisi Operasional, yaitu aspek dalam penelitian yang memberikan
informasi tentang bagaimana cara mengukur variabel penelitian. Adapun
definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1) Koping Religius
Adalah skor skor yang diperoleh dari skala Koping Religius yang
dikerjakan oleh subyek penelitian berdasarkan dimensi Koping
Religius Positif (Positive Religious Coping) dan Koping Religius
32

Negatif (Negative Religious Coping) serta sesuai komponen-


komponennya seperti diuraikan di atas.
Adapun dimensi dan komponen tersebut antara lain :
a) Koping Religius Positif, meliputi :
(1) Religious Forgiveness (Pengampunan Dosa)
(2) Seeking Spiritual Support (Mencari Dukungan Spiritual)
(3) Collaborative Religious Coping (Strategi Kolaboratif)
(4) Spiritual Connection (Hubungan Spiritual)
(5) Religious Purification (Pemurnian Religius), dan
(6) Benevolent Religious Reappraisal (Penilaian Kebajikan)
b) Koping Religius Negatif meliputi :
(1) Spiritual Discontent (Ketidakpuasan spiritual)
(2) Punishing God Reappraisals (Penyalahkan Hukuman Tuhan)
(3) Interpersonal Religious Discontent (Ketidakpuasan Religius
antar pribadi)
(4) Demonic Reappraisal (Penyalahan Syaitan) , dan
(5) Reappraisal of God Powers (Penilaian kembali Kekuatan
Tuhan)

2) Kesejahteraan Psikologis
Yaitu skor yang diperoleh dari skala Kesejahteraan Psikologis yang
dikerjakan oleh subyek penelitian. Skor tersebut diperoleh dari aitem-
aitem yang diturunkan dari dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis
sebagaimana diuraikan di atas, yaitu :
a) Dimensi Penerimaan Diri (Self-acceptance)
b) Dimense Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive
Relationship with Others)
c) Dimensi Otonomi (Autonomy)
d) Dimensi Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
e) Dimensi Tujuan Hidup (Purpose in Life)
f) Dimensi Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
33

Dimensi-dimensi di atas, merupakan intisari dari teori Ryff tentang


Kesejahteraan Psikologis yang nantinya akan diukur dalam penelitian.

3. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang berusaha mengeksplorasi
pengaruh Koping Religius, Interaksi Teman Sebaya dan Kultur Sekolah
terhadap Kesejahteraan Psikologis siswa khususnya di Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta. Eksplorasi yang dilakukan adalah berdasarkan
pada data-data kuantitatif berupa skor dari tiap skala baik skala Koping
Religius, Interaksi Teman Sebaya, Kultur Sekolah maupun skala
Kesejahteraan Psikologis.

4. Metode Pengumpulan Data


Data kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan skala psikologis, yakni
skala Koping Religius, Interaksi Teman Sebaya, Kultur Sekolah dan
Kesejahteraan Psikologis yang disusun oleh peneliti sendiri berdasarkan
pertimbangan dan referensi dari skala yang sudah ada sebelumnya (telah
dikembangkan oleh peneliti lain sebelumnya). Skala yang telah disusun sesuai
prosedur yang ada guna mendapatkan validitas konten dan konstruk kemudian
diujicobakan kepada subyek uji coba guna mendapatkan validitas empirik
sesuai kriteria dan syarat sebuah skala yang valid dan reliabel. Skala-skala
yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya baik secara tampilan muka (face),
konstruk, kontens, maupun empirik tersebut kemudian dapat digunakan
sebagai alat ukur dalam penelitian.

5. Metode Analisis Data


Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik analisis
jalur (path analysis). Guna mempermudah peneliti dalam menganalisis,
digunakan program software komputer SPSS Versi 15.00.

6. Subyek Penelitian
a. Populasi
34

Populasi penelitian ini adalah Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah


Yogyakarta dengan sebaran jumlah siswa sebagai berikut
Tabel 1
Sebaran Siswa Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta
Tahun Pelajaran 2017/2018

DATA MADRASAH MU’ALLIMIN


Jenjang MTs MA
Rombel VII VIII IX X XI XII
Populasi 239 239 203 189 165 160
Jumlah 681 514
Total 1195
b. Sampel
Berdasarkan populasi di atas, maka diambillah sampel para siswa dari
lembaga pendidikan pesantren tersebut, baik Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta dengan menggunakan tehnik Proporsional
Random Sampling. Proposional random sampling adalah cara
pengambilan sampel yang memperhatikan pertimbangan unsur-unsur atau
kategori dalam populasi penelitian serta diambil dalam setiap unsur atau
kategori tersebut secara acak (random). Dengan demikian, maka
bedasarkan sebaran populasi di atas, akan diambil untuk masing-masing
kategori dalam penelitian ini berupa sejumlah sampel dari tiap-tiap rombel
(rombongan belajar) baik dari Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah
Yogyakarta. Adapun sampel dari masing-masing rombel tersebut
ditentukan secara proporsional, artinya, peneliti menentukan proporsi
berupa prosentase sebesar 10 persen dari masing-masing rombel, baik
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Dengan demikian,
maka diperoleh sebaran jumlah sampel dalam penelitian ini sebagai
berikut :

Tabel 2

Sebaran Jumlah Sampel berdasarkan Robongan Belajar siswa


Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

ASPEK MADR. MU’ALLIMIN


Jenjang MTs MA
35

Rombel VII VIII IX X XI XII


Populasi 239 239 203 189 165 160
Sampel 24 24 20 19 17 16
(10%)
JUMLAH 120

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Afrizal, 1996. Kepentingan pendidikan dalam Pembentukan Kualiti


Hidup. Kelantan : Pusat Pengajian Sains Kesihatan Universitas Sains
Malaysia

______, 2002. Manajemen Strategis II. Jakarta : Salemba Empat

Arifin Z. Rahayu, I. T., 2011. Hubungan antara Religius Orientation, Lokus of


Control dan Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Malang : Jurnal
El Qudwah No. 4, 2011.

Azani, 2012. Gambaran Kesejahteraan Psikologis Mantan Narapidana.Yogyakarta


: Jurnal EMPATHY Vol. 1 No. 1 Universitas Ahmad Dahlan.

Carpenter, T.P., Laney, T., & Mezulis, A. 2011. Religious Coping, Stress and
Depressive Symptoms among Adolescence: A Prospective Study. Seatle
36

Pacific University. Journal of Pstchology of Religion and Spirituality,


American Psychological Association

Chaplin. J. P. 2008. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada

Dantes, Nyoman.2012. Metode Penelitian. Yogyakarta : Andi Offset

Daradjat, Zakiyah. 2001. Kesehatan Mental. Jakarta : Gunung Agung

Elu, W.B., Purwana,I.& Margono, A.M. 2003. ModeL Budaya Pembelajaran


Organisasi yang Komprehensif . Jakarta : Jurnal Universitas Paramadina
Vol. 2 No. 3

Geertz, Clifford, 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta :Kanisius Press

Ghozali, Imam, 2011. Model Persamaan Struktural, konsep dan aplikasi dengan
program AMOS 21.0. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Hungu, 2007. Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta : Penerbit Grasindo.

Hurlock, Elizabeth, B. 2002. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga

Jaya, Yahya. 2004. Spiritual Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian


dan Kesehatan Mental. Jakarta : Ruhama

Kiuru, N. 2011. The Role of Adolescent’s Peer Groups In The School Context.
Jyvaskyla : Jyvaskyla Printing House.

Langgulung, Hasan. 2002. Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan


Sains Sosial. Jakarta : Gaya Media Pratama

Maulina, S. I., 2012. Hubungan antara Religiusitas Dengan Kesejahteraan


Psikologis Pada Lansia. Jakarta : e-journal psikologi Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma.

Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf. 2002. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada

Panal, Abdul, Haris. 2011. Keluarga sebagai Lembaga Pendidikan Pertama dan
Utama dalam Membina Kesehatan Jiwa/Mental Anak. Gorontalo :
Universitas Negeri Gorontalo.

Rini, M. P. & Kumolohadi R. A. R, 2008. Dinamika Kesejahteraan Psikologis


Survivor Kekerasan Seksual. Yogyakarta : Fak. Psikologi Universitas
Islam
37

Rosyidin. 20011. Pengaruh Puasa terhadap Kesehatan Mental Siswa di MTs Al


Khairiyah Kedoya Selatan Jakarta Barat. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah

Safaria, Triantoro, 2011. Peran Koping Religius sebagai Moderator dari Job
Insecurity terhadap Stress Kerja pada Staf Akademik. Yogyakarta : Jurnal
Humanitas, Vol. VIII, No. 2 Agustus, 2011

Seligman, Martin E. P. 2009. Positive Education : Positive Psychology and


Classroom Intervention. Philadelphia :Oxford Review of Education Vol.
35 No. 3

Siagian, S. P., 2002. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara.

Soeroso, Santoso. Masalah Kesehatan Remaja, Seri Pediatri Vol. 3 No. 3,


Desember 2001.

Sondang P. Siagian, 2002. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara

Suldo, S.M, Shaunessy, E., & Hardesty, R. 2008. Relationship among Stress,
Coping, and Mental HealthIn High-achieving High School Students.
Journal of Psychology in Schools, Vol. 45 (4). Willey InterScience
(www.interscience.willey.com)

Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa

Wang, Yanping, 2004. Children’s Religious Coping Following Residential Fires :


An Explanatory Study. Blacksburg : Virginia Polytechnic and State
University.

Wells, I. E., 2010. Kesejahteraan Psikologis: Psychology of Emotions,


Motivations and Actions. New York : Nova Science Publishers.

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF


Publishing

SUMBER JURNAL

Amalia Juniarly M. Noor Rochman Hadjam : Peran Koping Religius Dan


Kesejahteraan Subjektif Terhadap Stres pada Anggota Bintara Polisi di
Polres Kebumen, Jurnal : PSIKOLOGIKA Fakultas Psikologi, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta Email: lia_uii@yahoo.com : 2012, Volume 17,
Nomor 1, hlm., 5 – 12.
38

Bonar Hutapea dan Yohanes Budiarto ; Aplikasi Psikologi Positif Untuk


Meningkatkan Wellbeing Guru-guru Bruderan Purwokerto, Kaji Tindak:
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat, Mei 2016, ISSN: 2503-4979, P-ISSN:
2407-1773, Volume 3, Nomor 1, hlm., 25 – 38.

Elisha Maris Tobing; Subjective Well-Being Papa Realawan Skizofrenis Yayasan


Sosial Joint Adulam Ministry (JAM) Di Samarinda, eJournal Psikologi,
2015, ISSN ; - , Volume 3, Nomor 1,hlm., 407 – 420.

Iredho Fani Reza, Implementasi Coping Religious dalam Mengatasi Gangguan


Fisik-Psikis-Sosial-Spiritual pada Pasien Gagal Ginjal Kroni, Jurnal :
Intizar, Fakultas Psikologi Islam, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Indonesia , 2016, e - mail:
iredhofanireza@gmail.com, Volume 22, Nomor 2, hlm., 243 – 280.
Jati Ariati, Subjective Well-Being (Kesejahteraan Subjektif) dan Kupasan Kerja
pada Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas
Diponegoro: Jurnal Psikologi Undip , e-mail :jatiariati@undip.ac.id,
Oktober 2010, Volume 8, Nomor 2, hlm., 117 – 123.

Muhana Sofiati Utami : Religiusitas, Koping Religius, dan Kesejahteraan


Subjektif , Jurnal Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada,
Juni 2012, ISSN: 0215-8884, Volume 39, Nomor 1, hlm., 46 – 66.

Noraini Abdur Roup dan Nor Ba’yah Abdul Kadir : Pengertian Hidup, Syukur
Dan Hubungannya Dengan Kegembiraan Subjektif di Kalangan Pekerja
(Meaning in life, gratitude and its relationship to wellbeing among
workers), e-Bangi, Jurnal of Social Science and Humanities, FSSK,
UKM.: 2011, ISSN : 1823-884, Volume 6, Nomor 2, hlm., 349-358.

Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana Sofiati Utami :
Religiusitas  dan Psychological  Well‐Being Pada Korban Gempa,  
Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Uinversitas Gadjah Mada, ISSN:
0215-8884, Volume 34, Nomor, 2, hlm.,164 – 176.

Titi Angraeni Ika Yuniar Cahyanti, Perbedaan Psychological Well-Being Pada


Penderita Diabetes Tipe 2 Usia Dewasa Madya Ditinjau dari Strategi
Coping, Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga Surabaya, Juni 2012, Volume 1, Nomor 02, hlm., 86
– 93.

Wendio Angganantyo Purwacaraka, Coping Religius pada Karyawan Muslim


Ditinjau dari Tipe Kepribadian : Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan,
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang Malang, Januari
39

2014, ISSN: 2301-8267, e-mail : kamaelxeon@yahoo.co.id, Volume 02,


Nomor 01, hlm., 50 – 61.

Anda mungkin juga menyukai