Anda di halaman 1dari 24

PATOLOGI DAN REHABILITAS SOSIAL

“PROSTITUSI”

Dosen Pengampu: Nindy Amita, M. Psi., Psikolog

Kelompok 6

Davina Setyowati 188110209

Kezia Miranda Sihotang 188110121

Natasja Marfeilly Utami 188110046

Paulina Wilana 188110009

Sherina Khairunnisa 188110053

PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nantinatikan syafa’atnya di akhirat nanti. Penulis
mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Patologi dan Rehabilitas Sosial.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. semoga
makalah ini dapat bermanfaat.

Terima kasih.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Prostitusi merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama di dunia, tidak
terkecuali di Indonesia. Prostitusi di Indonesia bermula sejak zaman kerajaan-
kerajaan Jawa yang menggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem
feodal. Fenomena prostitusi hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum
terselesaikan.
Hidup adalah pilihan, orang yang mau hidup tentu harus membuat pilihan
diantara banyak hal yang harus dijalaninya. Orang bisa memilih sesuatu hal yang
sungguh-sungguh berlainan dengan apa yang menjadi pilihan orang lain. Pilihan
itu bisa bertentangan dengan nilai, norma, hukum, atau bahkan agama. Pilihan
inilah yang dikenal dengan pilihan menyimpang. Pilihan yang secara diametrik
berbeda dengan mainsteam (arus utama) moralitas dianggap sebagai pilihan yang
salah. Ukuran baik-buruk dan benar-salah selalu menggunakan tolak ukur
moralitas.
Pada dasarnya mereka para Pekerja Seks Komersial sudah tahu bahwa apa
yang telah mereka lakukan adalah salah dan merupakan perbuatan dosa.
Moralitas, etika dan agama yang sering diagung-agungkan tidak akan mampu
membuat mereka hidup secara nyata di masyarakat. Mereka sudah menganggap
pelacur itu menjadi sebuah profesi atau pekerjaan dan tumpuan pencaharian
mereka untuk mendapatkan penghasilan.
Masalah moralitas dan etika biarlah menjadi urusan mereka sendiri.
Namun, meskipun mereka mempunyai pemikiran seperti itu, ada suatu hal yang
harus mereka lakukan dalam kehidupannya sehari-hari, moralitas merupakan
fenomena manusiawi yang universal, tentunya para Pekerja Seks juga mempunyai
batasan-batasan sendiri tentang moralitas yang mereka aplikasikan / wujudkan di
dalam kehidupan mereka sehari-hari baik dengan sesama Pekerja Seks maupun
dengan para pelanggannya.
Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan
atau moral dan melawan hukum. Dalam praktiknya, prostitusi tersebar luas,
ditoleransi, dan diatur. Pelacuran adalah praktik prostitusi yang paling tampak,
seringkali diwujudkan dalam kompleks pelacuran Indonesia yang juga dikenal
dengan nama “lokalisasi”, serta dapat ditemukan diseluruh negeri. Praktik
prostitusi merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial yang dilakukan oleh
masyarakat sejak zaman dahulu sampai sekarang. Praktik yang dilakukan di
tempat lokalisasi biasanya berada jauh dari pemukiman warga, dengan
pertimbangan agar tidak mudah diakses. Selain itu, dikarenakan warga pada
umumnya keberatan jika ada tempat lokalisasi yang didirikan di lingkungannya.
Kecenderungan ini didasarkan pada kuatnya rasa malu dan kemungkinan
timbulnya dampak negatif terhadap perkembagan jiwa anak-anak di sekitar
lingkungan lokalisasi, cukup beralasan jika tempat lokalisasi dalam pandangan
masyarakat umum selalu dipahami sekedar sebagai tempat mangkal resmi Pekerja
Seks Komersial (PSK).

Abdul Wahid dan Mohammad Labib mengatakan bahwa :

“Kejahatan adalah tiap perbuatan yang bersifat tidak susila, melanggar norma,
mengacaukan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam
kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat berhak untuk mencela, mereaksi,
atau mengatakan penolakannya atas perbuatan itu. Masyarakat berhak
membenci segala tindak kejahatan, karena di dalam kejahatan bukan hanya
mengandung perbuatan melanggar hukum, tetapi juga melanggar hak-hak sosial,
ekonomi dan lain sebagainya”.

Sementara itu, kehidupan prostitusi merupakan keadaan yang sangat


berbahaya dan dapat menghancurkan generasi muda bangsa ini, jika keadaan
seperti ini terus dibiarkan tanpa adanya upaya penyelesaian yang tepat, maka
dapat menjadi bom waktu yang kapan saja dapat meledak dan benar-benar
menghancurkan bangsa ini juga, sebab generasi muda ini adalah tulang
punggung/penerus kehidupan bangsa ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan mulai diterapkannya
sistem demokrasi liberal dalam pemilihan Kepala Daerah, banyak tempat
lokalisasi yang ditutup. Hal ini terkait dengan pemberian otonomi daerah yang
memungkinkan bagi Kepala Daerah untuk membuat Perda pelarangan tentang
lokalisasi. Pemerintah Daerah banyak yang beranggapan bahwa lokalisasi
merupakan wujud dari pemberian legalitas terhadap praktik prostitusi, anggapan
seperti ini menjadi isu sensitif bagi Kepala Daerah yang berasal dari Partai Politik
yang berbasis agama.
“Prostitusi merupakan peristiwa penjualan diri dengan memperjual
belikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk
memuaskan nafsu-nafsu seks dengan suatu imbalan pembayaran”. Prostitusi
merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari
itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo,
para calo, serta pengguna jasa yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-laki
yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum.
Profesi sebagai PSK dikatakan oleh Kartini Kartono sebagai profesi yang
sangat tua usianya yang berupa tingkah laku bebas tanpa kendali untuk
melampiaskan nafsu seks kepada lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas
kesopanan. Prostitusi selalu ada pada semua negara sejak zaman purba sampai
sekarang dan senantiasa menjadi obyek urusan hukum baik hukum positif maupun
hukum agama dan tradisi karena dengan perkembangan teknologi, industri,
kebudayaan manusia turut berkembang pula prostitusi dalam berbagai bentuk dan
tingkatannya.
Hukum sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat dan sebagai
alat untuk menjaga ketertiban di masyarakat sangat dibutuhkan dalam mencegah,
menanggulangi, membatasi. Hukum merupakan suatu aturan yang hidup
dimasyarakat yang oleh masyarakat harus dipatuhi dan dijalankan.
Unsur-unsur hukum sendiri menurut para sarjana hukum Indonesia
adalah :
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
c. Peraturan itu bersifat memaksa.
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan itu adalah tegas

Unsur diatas mengharuskan masyarakat untuk bertindak berdasarkan


hukum yang berlaku agar tercipta ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum dan
nantinya timbul kesejahteraan di masyarakat yang merupakan tujuan dan dambaan
dari adanya hukum itu sendiri.
Pengertian tentang hukum sendiri menurut L.J Van Apeldoorn dalam
bukunya yang berjudul Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht bahwa
hukum sulit untuk didefinisikan bahkan tidak mungkin untuk mendefinisikannya
karena luasnya gambaran tentang hukum dan untuk memberikan batasan tentang
hukum sangat sulit dan tidak memberi kepuasan.
Pembagian tentang macam-macam hukum terbagi menjadi berbagai
macam golongan diantaranya dilihat dari isinya. Hukum dilihat dari isinya
dibedakan menjadi hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan
hukum yang mengatur kepentingan umum, hubungan antara negara dengan
perseorangan. Kemudian hukum privat merupakan hukum yang mengatur
hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, yang menitik
beratkan kepada kepentingan perseorangan.
Dalam ketentuan hukum positif yang ada di Indonesia hanya melarang
mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya
larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, para calo, dan pelacur
sedangkan pengguna jasa seks komersial sendiri sama sekali tidak ada pasal yang
mengaturnya.
Dalam pelaksanaannya, penanggulangan prostitusi lebih banyak dilakukan
dengan menertibkan dan menangkap perempuan pelacur yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum, sedangkan laki-laki para pelanggan atau pengguna jasa
seks komersialnya jarang dan bahkan tidak pernah ditangkap atau luput dari
perhatian aparat penegak hukum.
Cara penertiban seperti ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender,
karena terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Adanya ketidakadilan gender
dapat menyebabkan sulitnya penanggulangan prostitusi, karena pelacur
merupakan paradigma interaksi antara perempuan dan laki-laki diluar perkawinan.
Dalam interaksi tersebut perempuan diibaratkan sebagai pihak yang disewa,
sedangkan laki-laki (pengguna jasa) sebagai pihak penyewa.
Penanggulangan prostitusi hanya pelacurnya saja selaku pihak yang
disewa dikenakan sanksi sedangkan pihak yang menyewa tanpa diberi sanksi.
Secara normatif diskriminasi terhadap perempuan telah dihapuskan berdasarkan
Konvensi Wanita yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984. Namun dalam kenyataanya masih tampak adanya nilai-nilai budaya
masyarakat yang bersifat diskriminatif. Hal tersebut dapat menghambat
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam penegakkan hukum terkait
dengan penanggulangan prostitusi. Padahal jika merujuk pada hukum ekonomi,
orang akan menyediakan jasa/barang dikarenakan adanya permintaan. Dengan
demikian, pelacur muncul karena ada yg membutuhkan. Seharusnya jika ada
istilah Wanita Tuna Susila (WTS) sebagai penjual layanan seks komersial
harusnya juga ada istilah Pria Tuna Susila (PTS) sebagai pengguna jasa layanan
seks komersial sebagai padanan yang tepat, sehingga dengan demikian baik laki-
laki maupun perempuan yang terlibat dalam prostitusi mempunyai kedudukan
yang sama untuk disalahkan, termasuk diberi label yang sama sebagai suatu
perbuatan yang tidak bermoral.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), prostitusi tidak
dilarang. KUHP hanya melarang mereka yang mempunyai profesi sebagai
penyedia sarana (germo) dan mereka yang mempunyai profesi PSK untuk
dijadikan PSK serta mucikari atau pelindung PSK. Namun dengan tidak
dilarangnya prostitusi dan hukum pidana menurut Moeljatno bukan berarti bahwa
prostitusi itu tidak merugikan masyarakat, melainkan sukarnya untuk
merumuskan dengan tepat sifat perbuatan tersebut.
Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-
praktek prostitusi. Dikatakan tidak tegas karena pengaturan mengenai tindak
pidana prostitusi tidak adanya mengatur ketentuan tentang hukuman bagi
pengguna jasa seks komersial. Sehingga mereka yang menggunakan jasa pekerja
seks komersialpun dapat dengan leluasa tanpa takut terjerat sanksi hukum pidana.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ketentuan yang berhubungan
dengan masalah prostitusi sangat sedikit dan sederhana, yaitu Pasal 290, Pasal 297
dan Pasal 506 KUHP. Ketentuan ini tidak dapat digunakan terhadap pengguna
jasa prostitusi itu secara tegas, karena ketentuan ini hanya berlaku terhadap pelaku
dan pengguna yang telah menikah, penyedia fasilitas dan penerima keuntungan
atau yang disebut mucikari atau germo.
Pasal 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang
berbunyi : “setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menawarkan, memperjual-belikan, atau menyediakan jasa
pornografi yang secara skslisif memuat :
a. Persenggamahan, termasuk persenggemahan yang menyimpang.
b. Kekerasan seksual.
c. Matsurbasi atau onani.
d. Ketelanjangan atau tampilan yang yang mengesankan ketelanjangan.
e. Alat kelamin.
Pasal 30 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
menjelaskan sanksi yang berbunyi : “setiap orang yang menyediakan jasa
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 3.000.000.000,- (Tiga milliard rupiah).
Pekerja Seks Komersial tidak diatur mengenai larangan dan sanksi baginya
dalam undang-undang, tetapi bukan berarti PSK bebas dari hukum untuk
menjalankan profesinya, sebab larangan PSK sudah diatur di masing-masing
Peraturan Daerah (Perda) yang mana cara pengaturan dan sanksinya berbeda,
sehingga perbedaan kebijakan dan sanksi tersebut dapat dipandang tidak relevan
lagi.
Sementara itu tidak ada satu norma pun yang mengatur tentang Pengguna
Jasa Prostitusi yang jika dilihat statusnya adalah sama dengan Pekerja Seks
Komersial dalam hal membuat keresahan dan merugikan benyak pihak sehingga
jika undang-undang itu hanya mengatur Mucikari dan Pekerja Seks Komersial
saja maka sangatlah tidak relevan sebab semua pihak yang tersebut sama-sama
terlibat dalam prostitusi. Oleh karena itu Penulis menilai bahwa Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia belumlah lengkap dengan tidak adanya aturan
secara jelas dan tegas bagi pengguna Jasa Seks Komersial.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji mengenai kejahatan prostitusi lebih mendalam dan menyusunnya dalam
bentuk skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Pidana Bagi Pengguna Jasa Seks
Dan Pekerja Seks Komersial”. Dengan harapan masalah prostitusi ini segera bisa
diatasi dan tidak berdampak pada kehidupan masyarakat yang mana saat ini
merupakan masalah yang sangat penting untuk diperhatikan.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Prostitusi?
2. Faktor faktor apa saja yang membuat terjadinya prostitusi?
3. Siapa saja para Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Prostitusi

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai Prostitusi
di Indonesia dan tanggung jawab pekerja seks komersial ditinjau dari KUH
Pidana.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Prostitusi

Secara etimonologi kata prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu “pro-stituere”
artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan
pergendakan. Sedangkan kata ‘prostitute’ merujuk pada kata keterangan yang berarti
WTS atau sundal dikenal pula dengan istilah Wanita Tuna Susila (WTS). Merujuk pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) WTS adalah orang celaka atau perihal menjual
diri (persundalan) atau orang sundal. Prostitusi juga dapat diartikan sebagai suatu
pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk
melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan sesuai dengan apa
yang diperjanjikan sebelumnya. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut WTS, yang
kini kerap disebut dengan istilah Pekerja Seks Komersial (PSK).

Prostitusi (pelacuran) secara umum adalah praktik hubungan seksual sesaat, yang
kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama
dalam praktik pelacuran adalah: pembayaran, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional.
Para wanita yang melakukan pelacuran sekarang ini dikenal dengan istilah PSK (Pekerja
Seks Komersial ) yang diartikan sebagai wanita yang melakukan hubungan seksual
dengan lawan jenisnya secara berulangulang, diluar perkawinan yang sah dan
mendapatkan uang, materi atau jasa.

Beberapa definisi prostitusi menurut para ahli:

Koentjoro: “yang menjelaskan bahwa Pekerja Seks Komersial merupakan bagian


dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam-macam
orang yang melibatkan beberapa pria dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai
sumber pendapatan.”

Paul Moedikdo Moeliono: “prostitusi adalah penyerahan badan wanita dengan


menerima bayaran, guna pemuasan nafsu seksual orang-orang itu.”

Prof W.A Bonger: “Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita


menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.”

Kartini Kartono mengemukakan definisi pelacuran sebagai berikut:

1. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi


impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk
pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas),
disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan
memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang
untuk memuaskan nafsunafsu seks dengan imbalan pembayaran.

3. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan


badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa paling tidak terdapat empat elemen
utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan yaitu, (1) bayaran, (2)
perselingkuhan, (3) ketidakacuhan emosional, dan (4) mata pencaharian. Dari keempat
elemen utama tersebut, pembayaran uang sebagai sumber pendapatan dianggap sebagai
faktor yang paling umum dalam dunia pelacuran.

Apabila dilihat dari norma-norma sosial sudah jelas melarang atau mengharamkan
prostitusi dan sudah ada pengaturan tentang larangan bisnis prostitusi terletak dalam
Pasal 296 KUHP menentukan bahwa pemidanaan hanya dapat dikenakan bagi orang yang
dengan sengaja menyebabkan sebagai pencarian atau kebiasaan.

Melihat dari rumusan pasal-pasal tersebut maka pemidanaan hanya dapat


dilakukan kepada mucikari atau germo (pimp) sedangkan terhadap pelacur (Prostitute)
dan pelanggannya (client) sendiri tidak dapat dikenakan pidana. Dengan demikian
penegak hukum baik dalam konteks transnasional dan nasional yang dimaksudkan adalah
terhadap mucikari (pimp).

Mucikari merupakan profesi dalam masyarakat yang diatur di dalam KUHP dan
sangat bertentangan dengan kesusilaan, disebutkan istilah mucikari yang tergolong
sebagai kejahatan kesusilaan yang diatur dalam BAB XIV Buku ke-II KUHP. Namun
istilah pengertian tersebut perlu diartikan secara jelas dan dapat diterima mengapa istilah
mucikari termasuk kejahatan kesusilaan. Pengertian mucikari adalah seorang lakilaki atau
wanita yang hidupnya seolah-olah dibiayai oleh pelacur, yang dalam pelacuran menolong
mencarikan langganan-langganan dari hasil mana ia mendapatkan bagiannya dan menarik
keuntungan dari pekerjaan yang dilakukan oleh pelacur. Yang dimaksud dengan orang
yang menarik keuntungan di sini adalah mucikari tersebut.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu sendiri, prostitusi


diatur pada Pasal 296 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja
menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan
menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu
rupiah.” Bagian inti delik (delicts bestanddelen):

1. sengaja

2. menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain

3. dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan.


R. Soesilo mengatakan bahwa pasal ini untuk memberantas orang-orang yang
mengadakan rumah bordil atau tempat-tempat pelacuran. Supaya dapat dihukum
berdasarkan pasal ini, harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi “pencaharian”
(dengan pembayaran) atau “kebiasaannya” (lebih dari satu kali).

Lebih lanjut dikatakan bahwa yang dapat dikenakan Pasal 296 KUHP misalnya
orang yang menyediakan rumah atau kamarnya kepada perempuan dan laki-laki untuk
melacur (bersetubuh atau melepaskan nafsu kelaminnya). Biasanya untuk itu disediakan
pula tempat tidur. Maka sanksi bagi pemilik rumah yang menjadikan rumahnya sebagai
tempat prostitusi untuk perbuatan pelacuran dengan membuatnya sebagai pencaharian,
maka pemiliknya dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 296 KUHP.

Namun demikian, ada yang perlu dicermati di sini adalah bahwa arti prostitusi
adalah pemanfaatan seseorang dalam aktifitas seks untuk suatu imbalan. Dari sini kita
bisa lihat dua kemungkinan, yakni apakah orang yang melakukan pelacuran tersebut
melakukannya tanpa paksaan atau tidak dengan paksaan. Apabila kegiatan melacur
tersebut dilakukan tanpa paksaan, maka pelakunya dikenakan sanksi sesuai dengan perda
daerah setempat.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satupun pasal
yang mengatur secara khusus tentang pelacuran atau wanita pelacur, padahal di dalam
hukum pidana terdapat asas legalitas yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang
menyebutkan “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas aturan pidana dalam
perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.”

Hal ini berarti segala perbuatan yang belum diatur di dalam undang-undang tidak
dapat dijatuhi sanksi pidana. Jadi, belum tentu semua perbuatan melawan hukum atau
merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Namun, Moeljatno mengartikan pelacuran
tidak dijadikan larangan dalam hukum pidana, janganlah diartikan bahwa pelacuran itu
tidak dianggap merugikan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dicari rumusan hukum atau
peraturan yang tepat menindak aktivitas pelacuran, yang selama ini dalam praktik dapat
dilaksanakan oleh penegak hukum.

Ketentuan Pasal 296 KUHP tersebut mengatur perbuatan atau wanita yang
melacurkan diri tidak dilarang oleh undang-undang, sedangkan yang bisa dikenakan pasal
ini adalah orang-orang yang menyediakan tempat kepada laki-laki dan perempuan untuk
melacur, dan agar dapat dihukum perbuatan itu harus dilakukan untuk mata pencaharian
atau karena kebiasaannya.

Sementara itu, orang yang tidak masuk dalam ketentuan Pasal 296 KUHP ini
adalah orang yang menyewakan rumah atau kamarnya kepada perempuan atau laki-laki
yang kebetulan pelacur, dikarenakan tidak ada maksudnya sama sekali untuk
mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, ia sebab hanya menyewakan rumah dan
bukan merupakan mata pencaharian yang tetap.
2.2 Faktor-Faktor Terjadinya Prostitusi

Beberapa faktor terjadinya prostitusi sebagai sebab atau alasan seorang


perempuan terjun dalam dunia prostitusi. Ada pun pekerja sosial asal Inggris mengatakan
dalam bukunya, Women of The Streets, tentang keadaan individu dan sosial yang dapat
menyebabkan seorang wanita menjadi pelacur adalah:

1. Rasa terasingkan dari pergaulan atau rasa diasingkan dari pergaulan hidup pada
masa tertentu di dalam hidupnya.

2. Faktor-faktor yang aktif dalam keadaan sebelum diputuskan untuk melacurkan


diri, dalam kenyataan ini merupakan sebab yang langsung tapi hampir selalu dan
hanya mungkin terjadi karena keadaan. Sebelumnya yang memungkinkan hal
tersebut terjadi.

3. Tergantung dari kepribadian wanita itu sendiri.

Kemudian dalam bukunya Reno Bachtiar dan Edy Purnomo menjelaskan


beberapa alasan dasar seseorang perempuan menjadi pelacur yaitu:

1. Faktor ekonomi
Permasalahan ekonomi yang sangat menyesakkan bagi masyarakat yang
tidak memiliki akses ekonomi mapan. Jalan pintas mereka tempuh sehingga
lebih mudah untuk kemudahan mencari uang. Faktor ini bukan faktor utama
seorang perempuan memilih profesi pelacur. Hal ini merupakan tuntutan
hidup praktis mencari uang sebanyak-banyaknya bermodal tubuh/fisik.
Mereka melakukannya bukan hanya demi dirinya sendiri, tapi orang tua,
keluarga dan anak. Kemiskinan memang tidak mengenakkan, sehingga untuk
keluar dari belitan ekonomi, mereka rela “berjualan diri” agar hidup lebih
layak.

2. Faktor kemalasan
Mereka malas untuk berusaha lebih keras dan berfikir lebih inovatif dan
kreatif untuk keluar dari kemiskinan. Persaingan hidup membutuhkan banyak
modal baik uang, kepandaian, pendidikan, dan keuletan. Kemalasan ini
diakibatkan oleh faktor psikis dan mental rendah, tidak memiliki norma
agama, dan susila menghadapi persaingan hidup. Tanpa memikirkan semua
itu, hanya modal fisik, kecantikan, kemolekan tubuh, sehingga dengan mudah
mengumpulkan uang.

3. Faktor pendidikan
Mereka yang tidak bersekolah, mudah sekali untuk terjerumus ke lembah
pelacuran. Daya pemikiran yang lemah menyebabkan mereka melacurkan diri
tanpa rasa malu. Mungkin kebodohkan telah menuntun mereka untuk
menekuni profesi pelacur. Hal ini terbukti ketika ditemukan pelacur belia
berusia belasan tahun di lokalisasi. Bukan berarti yang berpendidikan tinggi
tidak ada yang menjadi pelacur.

4. Niat lahir batin


Hal ini dilakukan karena niat lahir batin telah muncul di benaknya untuk
menjadi pelacur yang merupakan jalan keluar “terbaik”. Tidak perlu banyak
modal untuk menekuninya, mungkin hanya perlu perhiasan palsu, parfum
wangi, penampilan menarik, keberanian merayu, keberanian diajak tidur oleh
orang yang baru dikenal, hanya beberapa menit, tidur lalu mereka langsung
dapat uang. Niat lahir batin diakibatkan oleh lingkungan keluarga yang
berantakan, tidak ada didikan dari orang tua yang baik, tuntutan untuk
menikmati kemewahan tanpa perlu usaha keras, atau pengaruh dari diri sendiri
terhadap kenikmatan duniawi. Niat ini muncul di semua kalangan, dari kelas
bawah sampai kelas atas. Profesi ini tidak di dominasi oleh kelas bawahan
saja, tetapi juga merata di semua kalangan. Buktinya ada mahasiswa yang
berprofesi pelacur.

5. Faktor persaingan
Kompetisi yang keras di perkotaan, membuat kebimbangan untuk bekerja
di jalan yang “benar”. Kemiskinan, kebodohan, dan kurangnya kesempatan
bekerja di sektor formal, membuat mereka bertindak criminal, kejahatan,
mengemis di jalan-jalan, dan jadi gelandangan. Bagi perempuan muda yang
tidak kuat menahan hasrat terhadap godaan hidup, lebih baik memilih jalur
“aman” menjadi pelacur karena cepat mendapatkan uang dan bisa bersenang-
senang. Maka, menjadi seorang pelacur dianggap sebagai solusi.

6. Faktor sakit hati


Maksudnya seperti gagalnya perkawinan, perceraian, akibat pemerkosaan,
melahirkan seorang bayi tanpa laki-laki yang bertanggung jawab, atau gagal
pacaran karena sang pacar selingkuh. Lalu mereka marah terhadap laki-laki,
menjadi pelacur merupakan obat untuk mengobati luka yang paling dalam.
Cinta mereka gagal total sehingga timbul rasa sakit hati, pelampiasan bermain
seks dengan laki-laki dianggap sebagai jalan keluar.

7. Tuntutan keluarga
Seorang pelacur mempunyai tanggung jawab terhadap orang tuanya di
desa, atau anak-anak yang masih membutuhkan uang SPP. Setiap bulan harus
mengirimkan uang belanja kepada orang tua. Jika mempunyai anak, maka
uang kiriman harus ditambah untuk merawatnya, membeli susu, atau pakaian.
Mereka rela melakukan ini tanpa ada paksaan dari orang tuanya.
Kadangkadang ada orang tua yang mengantarkan mereka ke germo untuk
bekerja sebagai pelacur. Pelacur sendiri tidak ingin anaknya seperti dirinya.
2.3 Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Prostitusi

Berikut beberapa pelaku dalam praktek prostitusi:

1. Mucikari
Mucikari atau dalam kamus besar bahasa Indonesia merujuk kepada kata
Muncikari adalah induk semang bagi perempuan lacur atau germo. Namun
pemahaman masyarakat secara luas adalah orang yang berperan sebagai
pengasuh, perantara, dan "pemilik" pekerja seks komersial (PSK). Dalam
kebanyakan bisnis seks, khususnya yang bersifat massal, pekerja seks
biasanya tidak berhubungan langsung dengan pengguna jasa. Mucikari
berperan sebagai penghubung kedua pihak ini dan akan mendapat komisi dari
penerimaan PSK yang persentasenya dibagi berdasarkan perjanjian. Mucikari
biasanya amat dominan dalam mengatur hubungan ini, karena banyak PSK
yang "berhutang budi" kepadanya. Banyak PSK yang diangkat dari
kemiskinan oleh mucikari, walaupun dapat terjadi eksploitasi oleh mucikari
kepada "anak asuh" nya. Seperti ini pula mucikari dalam dunia prostitusi,
mereka hanya sebagai penghubung antara Pekerja Seks Komersial dengan
mereka lelaki hidung belang.

2. Pekerja Seks Komersial (PSK)


Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah seseorang yang menjual jasanya
untuk melakukan hubungan seksual untuk uang atau disebut pelacur. Pekerja
Seks Komersial sebutan yang di perhalus dari sebutan pelacur selain itu ada
pula sebutan wanita tunasusila yang juga mengacu kepada layanan seks
komersial. Praktek prostitusi dimanapun Pekerja Seks Komersial inilah yang
menjadi objek eksploitasi utama dari mata rantai praktek prostitusi.

3. Pengguna jasa PSK


Dari semua pihak yang telah disebutkan, pihak pengguna inilah yang
menjadi titik bagaimana bisa transaksi prostitusi ini bisa terjadi. Walaupun
tentu pihak lain itu juga memberikan dorongan hingga terjadinya praktek
prostitusi ini.

Para ahli memiliki pandangan tersendiri terhadap pengertian jasa, yaitu:

a. Pengertian “jasa” menurut Phillip Kotler adalah:“Jasa adalah setiap


tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain
yang secara prinsip intangibel dan tidak menyebabkan perpindahan
kepemilikan apapun. Produksinya bisa terkait dan bisa juga tidak terikat pada
suatu produk fisik”.

b. Pengertian “jasa” menurut Rangkuti adalah: “jasa merupakan pemberian


suatu kinerja atau tindakan kasat mata dari suatu pihak ke pihak lain”.
c. Pengertian “jasa” menurut Christian Gronross adalah: “Jasa adalah proses
yang terdiri atas serangkaian aktivitas intangible yang biasanya (namun tidak
harus selalu) terjadi pada interaksi antara pelanggan dan karyawan jasa dan
atau sumber daya fisik atau barang dan atau sistem penyedia jasa, yang
disediakan sebagai solusi atas masalah pelanggan".

Menurut Kartini Kartono, jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktifitasnya, yaitu
yang terdaftar dan terorganisir, dan yang tidak terdaftar dalam penjabarannya sebagai
berikut:

1. Prostitusi yang terdaftar dan terorganisasi


Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari kepolisian, yang
dibantu dan bekerja sama dengan jawatan sosial dan jawatan kesehatan.
Pada umumnya mereka dilokalisasi dalam suatu daerah tertentu.
Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau
petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai
tindakan kesehatan dan keamanan umum.

2. Prostitusi yang tidak terdaftar


Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan
prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun
dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya pun tidak
tertentu. Bila disembarang tempat, baik mencari mangsa sendiri, maupun
melalui calo-calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri kepada
yang berwajib. Sehingga kesehatannya sangat diragukan, karena belum
tentu mereka itu mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter.

PSK di Indonesia beraneka ragam, PSK mempunyai tingkatantingkatan


operasional, diantaranya :

1. Segmen kelas rendah


Dimana PSK tidak terorganisir. Tarif pelayanan seks terendah yang
ditawarkan, dan biaya beroperasi di kawasan kumuh seperti halnya pasar,
kuburan,taman-taman kota dan tempat lain yang sulit dijangkau, bahkan
kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan dengan para PSK
tersebut.

2. Segmen kelas menengah


Dimana dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa wisma
menetapkan tarif harga pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar
untuk di booking semalaman.
3. Segmen kelas atas.
Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang
relatif tinggi yang menggunakan night club sebagai ajang pertama untuk
mengencani wanita panggilan atau menggunakan kontak khusus hanya untuk
menerima pelanggan tersebut.
4. Segmen kelas tertinggi
Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita
model. Super germo yang mengorganisasikan perdagangan wanita kelas atas
ini.

Kegiatan prostitusi ditentukan oleh modus operandi di WTS (Wanita Tuna Susila)
dan WTS dalam melakukan kegiatannya. Ada yang berdiri di pinggiran jalan, ada duduk
di taman, ada yang mendapatkan tamu di bar, ada yang menunggu panggilan melalui
telepon, dan ada yang menempati lokasi tempat tertentu sebagai tempat praktik prostitusi.
Dari berbagai cara WTS menawarkan pelayanan seksual, maka dapat diklasifikasikan
cara melakukan kegiatan prostitusi. Cara melakukan kegiatan prostitusi yang dimaksud
ialah dengan cara prostitusi jalanan, prostitusi panggilan, prostitusi rumah bordil,
prostitusi terselubung.

Pengklasifikasikan cara melakukan kegiatan prostitusi dipandang perlu untuk


memudahkan pembinaan prostitusi baik pembinaan mental maupun spiritual, seperti
pelayanan kesehatan, disamping itu juga memudahkan penulis untuk mengidentifikasikan
jumlah prostitusi sebagai berikut:

1. Prostitusi jalanan
Pada umumnya pelayanan yang diberikan oleh jenis prostitusi semacam
ini diberikan kepada laki-laki atau langganan yang penghasilan rendah,
misalnya buruh, abang becak, sopir dan pedagang kecil lainnya. Hal ini
disebabkan karena tarif pelayanan seksual yang ditawarkan tidak mahal dan
mudah terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah.
Kalau ditinjau dari segi ekonomi, maka WTS semacam ini umumnya
dikategorikan sebagai golongan ekonomi lemah dan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mereka rela memberikan pelayanan seksual kepada setiap
laki-laki yang membutuhkannya. Oleh karena itu hubungan seksual dengan
kegiatannya prostitusi jalanan ini akan berisiko terhadap kesehatan, ini
disebabkan mereka jarang, ataupun tidak pernah sama sekali memeriksa
kesehatannya khususnya alat kelamin yang mungkin mendatangkan penyakit.
Para pelacur jalanan tidak terikat pada seorang germo, mereka
mendapatkan keuntungan dan seksual itu hanya untuk diri sendiri. Dalam
praktiknya sering terjadi para pelacur jalanan mendapatkan perlindungan dari
seorang atau beberapa orang laki-laki bagi keselamatan mereka dari laki-laki
yang berlaku kasar atau tidak bersedia membayar. Untuk urusan tersebut para
pelacur jalanan bersedia membagi penghasilan mereka dengan laki-laki yang
memberikan perlindungan tersebut.
2. Prostitusi Panggilan
Prostitusi ini sering disebut call girl. Di Indonesia prostitusi semacam ini
biasanya dilakukan melalui perantara seperti mucikari, menajer, mamas atau
mami sekaligus operasi kegiatan seks tersebut di bawah pengawasan perantara
tadi dan semakin berkembangnya teknologi biasanya cara memesan para PSK
menggunakan media online. Seperti menggunakan Blackbarry Messenger,
Facebook, WhatsApp, dan lain-lain.
Salah satu ciri khas dari prostitusi panggilan biasanya bila mengadakan
hubungan seks tidak dilakukan pada tempat-tempat tertentu saja akan tetapi
selalu berubah-ubah. Pemilihan tempat didasarkan pada kesepakatan antara
kedua belah pihak, adakalanya dilakukan di hotel-hotel, tempat rekreasi atau
pegunungan.
Bila dibandingkan dengan prostitusi jalanan, prostitusi panggilan ini
tergolong pelacur yang memiliki posisi tawar yang cukup tinggi. Mereka
biasanya meminta bayaran dengan tarif mencapai ratusan ribu untuk short
time. Penghasilan yang di peroleh dari pelayanan seksual tersebut dibagi dua
berdasarkan kesepakatan dengan germo ataupun mucikari.

3. Prostitusi Rumah Bordil


Prostitusi rumah berdil yaitu praktik pelacuran, dimana pelacur dapat
dijumpai di tempat-tempat tertentu, berupa rumah-rumah yang dinamakan
bordil, yang mana umumnya di setiap bordil dimiliki oleh namanya mucikari
atau germo.
Sering disebut bahwa jenis prostitusi yang berbentuk rumah bordil
mempunyai fungsi social karena memberikan lapangan kerja pada berbagai
pihak, antara lain penjual makanan, tukang cuci pakaian, penjual obat dan
usaha-usaha lainnya yang mendapatkan keuntungan dengan adanya rumah
bordil tersebut.

4. Prostitusi Terselubung
Prostitusi terselubung, itulah sebagian kalangan menyebutkan karena
mereka adanya di jalanan. Tentu saja illegal, dan bukan tak pernah mereka
diterbitkan. Prostitusi yang terjadi bukan hanya secara langsung antara penjual
dan pembeli, tetapi bisa juga melalui perantara (mucikari atau germo),
prostitusi dengan kedok salon dan spa atau bisa juga melalui internet. Sudah
rahasia umum mereka tak bekerja sendirian. Ada tangan-tangan kuat yang
mengatur kerja mereka.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian yang telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya mengenai sanksi


terhadap mucikari dapat disimpulakan sebagai berikut:
1. Prostitusi merupakan bentuk penyimpangan seksual, yang menyimpang dari
nilai sosial, agama, dan moral bangsa Indonesia. Sedangkan prostitusi online
merupakan bentuk dari kegiatan prostitusi yang dilakukan melalui media sosial
maupun internet. Pengaturan tindak pidana dalam hukum positif di Indonesia
terhadap sanksi prostitusi online dapat dijerat dengan menggunakan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang terdapat dalam pasal 296 dan 506 bagi
seorang mucikari kemudian mengenai seorang PSK Kitab Undang-undang
Hukum Pidana menyebutkannya sebagai pesenggamaan atas dasar suka sama
suka, yang dilakukan oleh seseorang dengan orang yang telah bersuami atau
beristri (permukahan) sebagaimana yang terdapat dalam pasal 284 KUHP.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang didalamnya telah diatur pada pasal 27 ayat (1) hanya membatasi
larangan begi penyedia layanan seks komersial dan pemilik website semata. Dan
menurut penulis terhadap sanksi tersebut masih kurang berat, sebab denda
maksimal Rp. 1 miliar yang masih relatif kecil jika dibandingkan dengan
keuntungan yang dapat diperoleh dalam mengelola jaringan prostitusi online
tersebut.
2. Dalam hukum Islam sanksi bagi seorang PSK adalah dihukum dengan
hukuman rajam (dilempari batu sampai meninggal dengan disaksikan banyak
orang) jika muhsan. Jika ia ghairu mushan, maka ia dihukum cambuk 100 kali.
Dan telah dijelaskan bahwasannya Dalam surat anNur ayat 33 tidak diatur secara
jelas tentang sanksi terhadap mucikari, meskipun demikian, tidak berarti bagi
para mucikari tidak ada hukumannya. Sanksi terhadap mereka dapat ditentukan
melalui lembaga ta’zi>r, karena bahwa setiap perbuatan maksiat yang tidak
dapat dikenai sanksi hudud (termasuk didalamnya qishas) atau kaffarah
dikualifikasikan sebagai jarimah ta’zi>r. Dengan ukuran dan jenis sanksi yang
preventif, agar mereka jera dan tidak berusaha mengulangi perbuatan maksiat itu
lagi.
3. Mengenai persamaan dan perbedaan sanksi prostitusi online menurut hukum
positif dan hukum Islam, yang mana persamaannya terletak pada sama-sama
diberi sanksi pidana bagi pelaku prostitusi online, kemudian mengenai
perbedaannya terletak pada berat ringannya hukuman yang diberikan kepada
pelaku prostitusi online tersebut.
3.2 Saran

1. Perlu ditingkatkan kontrol dan pengawasan pemerintah dan aparat penegak hukum
terhadap situs-situs di internet dan penggunaannya.
2. Intensifikasi pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk menginsafkan kembali
dan memperkuat iman terhadap nilai religius serta norma kesusilaan.
3. Sanksi untuk prostitusi online yang telah diatur dalam Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik sebaiknya mencantumkan batas hukuman secara lebih tegas, yakni
dengan ditentukan batas minimum penjara atau dendanya.
4. Membentengi diri sendiri dan keluarga dengan mempertebal moral dengan norma
agama dan norma-norma lainnya.

Anda mungkin juga menyukai