Anda di halaman 1dari 24

KREATIVITAS KONSELOR DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

Dalam pelaksanaan proses konseling, adakalanya seorang konselor

mengalami kesulitan disetiap kali melakukan wawancara dan pengambilan

keputusan terhadap konselinya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan keterampilan

baik dalam berbicara, mewawancarai konselinya, bahkan pengambilan tindakan

dan keputusan. Dewasa ini, kekuatan utama dalam melakukan komunikasi atau

wawancara pada proses konseling tergantung pada kreativitas dan ketelitian

konselor. Usaha untuk terus-menerus belajar mengenai diri dan orang lain harus

menjadi tuntutan seorang konselor. Menurut Willis (2005:134),”Konselor yang

memiliki pengetahuan yang luas tentang permasalahan yang dihadapi konseli, akan

lebih mudah menanganinya ketika proses konseling berlangsung.” Untuk dapat

mencapai pengetahuan terhadap permasalahan konseli, konselor harus mengetahui

ilmu perilaku, filsafat, dan pengetahuan tentang lingkungan sekitar konseli.

Di samping itu, pihak konseli harus memiliki rasa terlibat, terbuka, dan

mampu mengambil keputusan pula. Sehingga menurut Sofyan (2004:134) “Hal-hal

penting yang mampu mendukung tercapainya proses konseling yang baik adalah

ketika konselor memiliki kreativitas dan generativitas tinggi dalam wawancara dan

merespon konseli.” Selain itu, menurut McLeod (2010:537),”mampu mebentuk


hubungan produktif dengan konseli, menyusun laporan atau kontak, merupakan hal

yang dotekankan oleh semua pendekatan konseling.

Menurut Yusuf (2014:246),”Kreativitas adalah kemampuan utnuk mencipta

suatu produk baru, atau kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan

menerapkannya dalam pemecahan masalah.” Dalam hal ini, kreativitas adalah

kemampuan untuk memunculkan sesuatu yang baru dalam kondisi yang lama,

bersifat spontan, dan kebebasan untuk mencipta. Saat proses konseling, tugas

konselor adalah membantu konseli dalam menciptakan altermatif-alternatif baru

untuk bertindak. Diharapkan akhir dari pelaksanaan konseling adalah terciptanya

suasana nyaman baik fisik, jiwa, dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan

pendapat Daryanto & Farid (2015:28) yang menyatakan “Perkembangan konseli

tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis, dan sosialnya.” Sifat yang

melekat pada lingkungan adalah perubahan, dimana perubahan yang terjadi dalam

lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup warga masyarakat.

Tugas konselor dalam hal ini adalah membantu konseli menciptakan

alternative-alternatif baru untuk bertindak. Tentang kreativitas konselor,

beberapa teori konseling membahasanya dalam Psikodinamika dan freud, teori

behavioral tentang kreativitas, dan teori psikologi eksistensial-humanistik. Menurut

Freud (dalam Prawira 2012:186) menjelaskan “bahwa Freud percaya bahwa mind

(pikiran) manusia terdiri atas tiga lapisan yakin kesadaran, ambang sadar, dan

bawah sadar.” Dari penjelasan-penjelasan tersebut, walaupun seseorang menerima

pandangan-pandangan ketidaksadaran yang kreatif dari Freud, konsep-konsep

sistematik tentang behaviorisme dan teori pertumbuhan alamiah dari Rogers, suatu
hal yang amat penting bahwa semua teori-teori konseling memberikan

perhatiannya pada proses kreativitas.

A. Posisi Kreativitas dalam Proses Konseling

Di dalam proses konseling, pemikiran kreatif adalah amat penting baik

terhadap konselor maupun konseli. Seperti yang telah dibahasiakan sebelumnya,

mengenai kreativitas konseling juga terdapat pandanagan dari Freud tentang

Psikodinamika. Menurut McLeod (2010:89), “Konseling psikodinamika memberikan

perhatian besar terhadap kemampuan konselor untuk menggunakan apa yang

terjadi dalam hubungan antara konseli dan konselor yang bersifat segera serta

terbuka, utnuk mengeksplorasi tipe perasaan dan dilemma hubungan yang

mengakibatkan kesulitan bagi konseli dalam kehidupannya sehari-hari.” Sehingga

di lain sisi konselor harus pertama mendengarkan dengan aktif terhadap konseli

dan memperhatikan kata-katanya dengan cermat dan tepat yang disampaikan

konseli dengan sadar.

Berdasarkan informasi yang disampaikan konseli, konselor kemudian

memunculkan defenisi-defenisi alternatif dari problem yang dikemukakan dan

memberikan alternatif-alternatif solusi, membantu memutuskan sesuatu cara

tindakan konseli dan memunculkan alternatif interpretasi dari hasil yang mungkin

terhadap perilaku yang diharapkan. Yang kritis adalah mengembangkan insigts

(Pemahaman-pemahaman) baru konseli yaitu dengan berbagai skill, kualitas

pribadi konselor, dimensi-dimensi wawasan, dan teori-teori konseling.” Hal ini

mungkin bisa dikembangkan pertama sekali melalui upaya yang disadari

(Counscious efforts). Ketika diserap dan dipraktikkan, pengetahuan ini mungkin


masuk ke preconscious dan inconscious dan dipanggil kembali jika dibutuhkan

dalam sesi-sesi konseling.

Menurut Willis (2005:136) “Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka

konselor yang efektif bukan sama sekali karena sihir atau sulap akan tetapi adalah

karena hasil kerja yang bertahun-tahun melalui studi sistematik dalam profesi

konseling digabungkan pengalaman-pengalaman melalui observasi dan

mendengarkan beragam-ragam konseli didalam setting kantor (formal) dan jalanan

(Informal) –office and street setting.” Selain itu, menurut McLeod (2010:536-

537),”posisi kreativitas konselor sangat ditentukan oleh keterampilan

interpersonalnya, keyakinan dan sikap personal, kemampuan konseptual,

ketegaran personal, menguasai teknik, kemampuan untuk paham dan bekerja

dalam sistem sosial.” Dari pendapat lain, yakni menurut Lubis (2011:25),” seorang

konselor yang berperan sebagai”pembantu” bagi klien memiliki karakteristik yang

positif untuk menjamin kefektifannya dalam memberikan penanganan.

Konseli datang dengan permasalahan yang belum mampu ia pecahkan,

bahkan kadang-kadang masih samar-samar tapi menekan. Konseli harus dapat

mengemukakan ide-ide dan fakta-fakta secara sadar. Tapi ia sering tak dapat me-

reorganisasinya menjadi suatu kesatuan yang dapat dimanfaatkan. Tugas konselor

adalah membantu konseli menguji hal-hal yang disadari atau tak disadari dan

membantu konseli untuk menampilkan respon-respon yang lebih kreatif untuk

kehidupannya. Memunculkan ide-ide dan respom-respon baru tergantung kepada

kreatifitas konselor yang kaya dengan alternatif-alternatif.


B. Mengambil keputusan

Konseli biasanya datang meminta bantuan karena mereka mempunyai hal-

hal yang harus diputuskannya karena adanya konflik. Di samping itu, mereka

datang karena mengalami hambatan dalam perilaku, pemikiran, dan perasaan.

Juga berkonsultasi untuk menemukan upaya-upaya terbaik dalam mengembangkan

dirinya agar potensinya teraktualisasikan dan tidak mubasir. Menurut Nurihsan

(2006:12), “dalam konseling terdapat hubungan yang akrab dan dinamis. Individu

merasa ditetima dan dimengerti oleh konselor. Dalam hubungan tersebut, konselor

menerima individu secara pribadi dan tidak memberikan penilaian. Individu

(konseli), merasakan adan orang yang mengerti masalah pribadinya, mau

mendengarkan keluhan dan curahan perasaannya.

Konseli sering mempunyai persoalan-persoalan yang tak terselesaikan

(unfinished business) dan kebutuhan-kebutuhan untuk meluaskan perspektif

(cakrwala), meninggalkan pola-pola perilaku lama, mengembangkan perilaku baru,

dan memilih alternatif-alternatif yang terbaik.Menurut Corey (dalam Lesama

2008:202-203) menyatakan,”langkah-langkah yang dapat membantu para konselor

untuk membuat keputusan yang etis terdiri atas identifikasi masalah atau

dilemma, identifikasi isu0isu potensial, lohatlah kode etik yang relevan dengan

permasalahan untuk dipakai sebagai penuntun umum, pahamilah hukum atau

aturan yang berlaku, carilah konslutasi lebih dari satu sumber untuk mendapatkan

berbagai perspektif tentang dilemma tersebut, lakukanlah brainstorming mengenai

berbagai macam tindakan yang dapat dijalankan, jelaskanlah konsekuensi dari

berbagai macam tindakan dan refleksikan implikasi dari setiap tindakan untuk

konseli anda, dan tentukan langkah yang kemungkinannya paling baik.”


Menurut Willis (2005:137),”Tugas konselor adalah berupaya untuk

membangkitkan alternatif-alternatif, membantu konseli menghilangkan pola-pola

lama yang tak baik memudahkan terjadinya proses pengambilan keputusan, dan

menemukan solusi-solusi yang mengarah untuk memecahkan masalah.” Terutama

pada tahap awal konseling dapat memberi keuntungan untuk mengambil

keputusan, karena di tahap ini konselor bersama konseli dapat mendefenisikan

masalah konseli.

Secara sistematik, dari tahap awal itu dikembangkan ke tahap berikut

(pertengahan dan akhir) yaitu : (1) memulai dengan mendefenisikan masalah; (2)

meneruskan dengan membangkitkan altenatif-alternatif dari defenisi masalah; (3)

menyimpulkan dan menyeleksi suatu alternatif dalam bentuk tindakan konseli

(action) dan implementasi.

Pengalaman-pengalaman yang disekolah menunjukkan kebanyakan konselor-

konselor (yang tidak efektif) sering gagal untuk mendefenisikan suatu masalah yang

akan dipecahkan dalam interview konseling. Mereka seolah-olah bekerja tanpa

tujuan dan hanya dari topik ke topik, dan menemukan banyak hal tapi sedikit

sekali yang dapat terselesaikan.Konselor yang tidak efektif sering puas jika

konselinya mempunya suatu pilihan baru atau menerima fakta bahwa dia sekarang

sudah OK. Konselor yang tak efektif sering tak pernah sampai kepada tahap akhir

(tahap tindakan) konseling yang berisi keputusan atau perencanaan yang efektif.

Konselor-konselor yang efektif tidak demikian. Mereka mendefenisikan isu

dan masalah dengan segera, serta memegangnnya sampai akhir tuntasnya masalah

tersebut. yaitu adanya suatu keputusan konseli berupa rencana konkrit yang

mungkin dilaksanakan konseli dalam kehidupannya. Konselor yang efektif


mengemukakan paling sedikit tiga alternatif pilihan bagi konseli manakala konseli

tidak punya alternatif pemecahan.

Tahapan dalam proses konseling dalam perkembangannya terdapat

beberapa pandangan. Seperti apa yang telah di sampaikan oleh Brammer, Abrego

& shostrom (dalam Lubis 2010:83), “tahapan konseling terdiri atas membangun

hubungan, identifikasi dan penilaian masalah, memfasilitasi perubahan konseling,

dan evaluasi/terminasi. Dari pandangan lain yakni menurut Willis (2004:138),

”Dalam proses konseling, ada tiga tahapan konseling yakni; (1) tahap

mendefenisikan masalah (tahap awal); (2) tahap atau fase bekerja dengan defenisi

masalah (tahap pertengahan); (3) tahap keputusan untuk berbuat (action) disebut

juga tahap akhir.”

1. Tahap pertama (Awal): Mendefenisikan masalah

Konselor yang tidak efektif sering gagal untuk mengidentifikasi masalah

pokok konseli. Paling bisa dia hanya mampu menemukan defenisi tunggal dari

kepedulian konseli. Artinya, kemungkinan besar dia kehilangan butir-butir kritis

(Critical points) pada tahap awal konseling tersebut. isu-isu utama konseling yang

ditemukan konselor adalah untuk membuat komitmen dengan konseli tentang

pokok-pokok yang akan diperbincangkan. Konseli sering mengemukakan

masalahnya hanya diperlukan saja (at a surface level). Konselor dan konseli

bersama membangun alternatif masalah dan membuat defenisi yang dimufakati

bersama sejak awal. Keputusan untuk melahirkan defenisi masalah sudah harus

terjadi pada fase pertama (awal).

Pengambilan keputusan di tahap awal mengimplikasikan tiga fase aktivitas

yakni; (1) mendefenisikan masalah; (2) mempertimbangkan alternatif defenisi


masalah; (3) komitmen konselor-konseli tentang defenisi yang terbaik dari sekian

alternatif.

Mari kita perhatikan dialog konseling tahap awal dibawah ini.

Bagaimana kemungkinan konselor menangkan isu-isu utama? Isu apa yang

hendak ditangani terlebih dahulu jika saudara seorang konselor? Apakah hipotesa-

hipotesa konselor dalam menangani masalah itu terutama latar belakangnya?

Apakah masalah itu akan saudara garap dari sisi konseli atau lingkungan?

Defenisikan masalah konseli dengan pertanyaan singkat dari sudut pandanganan

anda.

Ko: “Yeni, saya dengar tadi selingtingan bahwa kamu ingin membicarakan sesuatu

mengenai pekerjaan.”Ki: “Ya pak, pekerjaan saya banyak hambatan.”Ko: “Banyak

hambatan? Bagaimana itu?”Ki: “Coba bapak pikir, boss saya yang telah anak empat

mulai menggoda saya sehingga membuat saya puyeng. Tadinya saya bekerja

dibagian pemasaran. Saya senang dibagian itu karena sesuai dengan minat. Dan

saya ingin betul-betul mengembangkan diri di situ. Tiba-tiba, saya dipindahkan

menjadi sekretaris boss. Dan si Tuti dialihtugaskan kebagian lain. Kasihan teman

itu. saya tidak berminat menjadi sekretaris boss. Terutama karena sifat boss yang

doyan cewek cantik. Namun saya perlu uang untuk biaya hidup keluarga karena

ayah saya sudah meninggal dan saya adalah anak tertua di keluarga. Jadi saya

amat bingung apakah saya harus bertahan disana atau pindah saja demi keamanan

jiwa saya.’’

Biasanya godaan yang muncul pada diri konselor adalah menerima saja

masalah sebagaimana yang diberi oleh konseli, dan kemudian mengangkatnya

segera untuk mencarikan solusi. Definisi dan alternatif pemecahan masalah oleh
konseli besar kemungkinan merupakan definisi yang terbatas tentang kejadian yang

mengenai dirinya.Dari dialog di atas misalnya dapat dilihat bahwa jika konselor

hanya menangkap isu utama adalah hambatan dalam pekerjaan yakni faktor

lingkungan (luar diri konseli), lalu mengupayakan agar hambatan luar saja yang

dibenahi, munkin konselor ini tidak akan efektif. Padahal masalah internal

(konflik) dalam diri konseli adalah amat penting untuk diungkap.

Konflik yang terjadi dalam diri Yeni adalah, antara kebutuhan uang dengan

menjaga keselamatan diri dari kemungkinan pelecehan seksual oleh boss. Dan

antara pekerjaan sebagai sekretaris relatif hal baru,dibandingkan bidang

pemasaran yang sudah dikuasainya. Sebaiknya konselor mengatakan kepada Yeni

sebagai berikut;

KO: “Yeni, dari ungkapan perasaanmu tadi saya melihat bahwa kamu sedang

mengalami konflik batin yang cukup berat dalam pekerjaan. Pertama, kamu ingin

punya uang untuk membiayai keluarga. Akan tetapi disamping itu berdasarkan isu-

isu selama ini, jabatan sekretaris boss adalah sumber pelecehan seksual oleh boss,

sehingga rasanya kamu tidak tahan memegang jabatan barumu tersebut. kedua,

kamu sudah mulai ahli dengan pekerjaan pemasaran, dan dengan jabatan

sekretaris tentu kamu akan mengulangi karirmu sejak awal lagi.”

Keputusan yang diambil konselor untuk memperluas dan memperjelas

definisi masalah konseli tadi, adalah terobosan yang amat penting dan merupakan

aspek mendasar bagi seorang konselor yang efektif. Walaupun informasi dari Yeni

tidak begitu luas, konselor harus dapat menangkap isu sentral dari pesan-pesan

Yeni tadi.
Masalah Yeni adalah konflik karena jabatan baru tidak sesuai dengan

keinginannya dan kekhawatiran akan mengalami pelecehan seksual oleh bosnya.

Dengan sedikit informasi dari Yeni, konselor harus mampu membuat beberapa

kemungkinan definisi masalah. Jika Yeni dapat menerima definisi-defenisi masalah

itu, maka proses konseling dapat dilanjutkan ke tahap II, atau tahap pertengahan

disebut juga tahap kerja (work phase)

KO: “Yeni, dari pembicaraan sekitar 20 menit, saya menangkap bahwa pertama.

Anda sedang mengalami konflik karena jabatan baru (sekretaris) tidak sesuai

dengan keinginan anda atas dasar jabatan lama (pemasaran) rasanya makin anda

kuasai. Kedua, adanya kecemasan anda dengan kedudukan sebagai sekretaris bos,

yaitu tentang kemungkian terjadinya pelecehan seksual terhadap diri anda. Ketiga,

anda berpikir bahwa kebutuhan biaya yang besar untuk adik-adik anda membuat

anda terpaksa harus bekerja, namun menghadapi risiko dengan kemungkinan

pelecehan.”Yeni: “Ya pak, saya sependapat dengan rumusan-rumusan bapak tadi,

karena itulah yang amat saya rasakan.”

2. Tahap II (Pertengahan): Tahap kerja

Tugas fase ini adalah untuk memeriksa kembali definisi masalah dan

mengembangkan suatu solusi-solusi alternatif. Proses ini terutama memasukkan

pengujian masalah sehingga menjadi fakta-fakta spesifik tentang situasi felling,

thinking, dan experiences konseli yang terjadi saat ini. Apa yang terjadi pada fase

kerja ini banyak tergantung kepada konselornya dengan latar belakang teori

konseling yang dia kuasai.

Konselor psikodinamika akan cenderung kurang tertarik pada data-data

tetapi akan meneliti data tentang proses ketidaksadaran konseli. Sebaliknya


konselor trait and factor akan cenderung tertarik pada pengungkapan sebanyak

mungkin data atau fakta. Konselor humanistik menekankan pada kondisi self yang

realistik memahami kelemahan dan potensi diri dalam situasi lingkuangan saat ini,

percaya kualitas self yang mampu mengatasi.Pandangan berdasarkan satu teori

adalah kurang bijaksana, karena itu pendekatan ekletisistik (meramu semua unsur-

unsur baik ditiap teori) adalah lebih objektif mengingat amat beragamnya konseli

dan problemnya (potensi dan masalah). Pendekatan ekletisistik cenderung

menghargai semua pendekatan, namun memiliki bagian-bagian penting dan sesuai

dengan masalah konseli yang dihadapi, karena itu bisa jadi pendekatan humanistik

digandengkan dengan trait and factor atau psikodinamika.

3. Tahap III (Akhir): Tahap Penentuan Keputusan untuk Bertindak

Pada tahap yang ketiga ini, akan dibahas mengenai hal-hal yang dilakukan

pada proses konseling yakni penentuan keputusan untuk bertibdak. Dimana, tahap

ini berhubungan dengan:

(a) Mengembangkan alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah.(b) Menguji

solusi-solusi itu pada kenyataan, keinginan dan harapan konseli.(c) Memutuskan

mana solusi yang paling tepat dengan konseli.(d) Konseli menyusun rencana atas

solusi yang telah dia ambil tadi.Jika rencananya sudah meyakinkan konseli, dan

berdasarkan pada kenyataan potensi diri dan lingkungan konseli, maka sesi

konseling sudah dapat diakhiri.

C. Efektivitas Konselor dalam Wawancara Konseling

Menurut Nurihsan (2005:54),” Dalam konseling diharapkan konseli dapat

mengubah sikap, keputusan diri sendiri sehingga ia dapat lebih baik menyesuaikan
diri dengan lingkungannya dan memberikan kesejahteraan pada diri sendiri dan

masyarakat sekitarnya.” Pemilihan dan penyesuaian yang tepat dapat memberikan

perkembangan yang optimal kepada individu dan dengan perkembangan ini

individu dapat lebih baik menyimbngkan dirinya atau ambil bagian yang lebih baik

dalm lingungannya. Konseling bertujuan membantu individu untuk memecahkan

masalah-masalah pribadi, baik sosial maupun emosional yang dialami saat sekarang

dan yang akan datang. Oleh karenanya, seorang konselor dituntut untuk dapat

melakukan wawancara atau komunikasi yang efektif.

Proses konseling yang intensional(mendalam) dan efektif akan membantu

konseli untuk berkembang secara optimal. Sebaliknya jika proses konseling

berjalan berjalan tidak efektif dan kurang mendalam, maka sudah dapat dipastikan

akan gagal mencapai tujuan dan bahkan dapat merusak konseli. Oleh karena itu,

seorang konselor harus memiliki karakteristik yang baik seperti yang tekah

disampaikan oleh Hikmawati (2016:59),”seorang konselor harus memiliki

pengetahuan mengenai diri sendiri, memiliki kompetensi, kesehatan psikologis

yang baik, dapat dipercaya, kejujuran, kekuatan dan daya, kehangatan, pedengar

yang baik, kesabaran, kepekaan, kebebasan, dan kesadaran holistik atau

utuh.”Menurut hasil penelitian Hadley dan Stupp (dalam Willis 2004:144) faktor-

faktor penyebab yang bisa merusak konseli adalah:

(1) Konselor terlalu dalam menggali konseli.Hal ini sampai melampaui batas

toleransi. Konselor terlalu dalam menggali diri konseli, sehingga cenderung

terburu-buru dan menekan pribadi konseli. Akibatnya konselor kehilangan kunci

atau isu sentral, sebagai contoh, konselor sering terlalu asik menggali pribadi

konseli yaitu tentang usia, situasi kehidupan pribadi seks, faktor ras, lingkungan
budaya dan sebagainya. Disamping itu konselor terjebak diskusi dengan konseli

mengenai latar belakang kesulitan konseli, menjelaskan nilai-nilai fungsional

konseling, menjelajahi tingkat motivasi, dan juga tentang kekuatan ego konseli.

(2) Konselor terlalu hati-hati dalam menggali konseliHal ini menyebabkan konselor

gagal membuat perubahan diri konseli. Karena inti masalah atau isu sentral tak

pernah tersinggung oleh konselor.Kehati-hatian konselor mungkin karena dia

kurang penguasaan teknik atau lemah dalam memahami etika konseling. Munkin

pula kepribadian konselor kurang mantap atau cenderung tidak stabil, jadi konseli

tidak mampu menggali.

(3) Aplikasi teknikSeorang konselor terlampau percaya diri karena merasa

mengetahui banyak mengenai apa saja tentang teknik konseling. Padahal dia

sebenarnya kurang terampil menggunakan teknik-teknik konseling. Juga

kekurangan pengetahuan atau teori konselingdan tentang konseli. Ada lagi seorang

konselor munkin mampu menggunakan teknik yang baik namun kurang tepat dalam

menggunakannya terhadap konseli.

(4) Hubungan konselingDi dalam hubungan konseling mungkin saja konselor terlalu

banyak atau terlalu sedikit rapport. Tambahan lagi terjadi tranferensi dan

countertransferensi dimana terjadi suasana emosional pribadi yang kuat antara

konselor dan konseli. Konseli mungkin merasakan konselor sebagai pacarnya atau

sebaliknya, atau konseli merasakan konselor sebagai ayahnya atau ibunya. Atau

sebaliknya terjadi countertransferensi yaitu konseli diserang habis-habisan oleh

konselor. Terjadinya hal-hal seperti itu disebabkan:a) Kurangnya respek atau

penghargaan terhadap konselib) Konselor gagal mengarahkan konseli untuk

memilih pengalamanc) Konselor terlalu bersemangat menyerang self-defense


konselid) Konselor kurang menghargai keberhasilan konselie) Egoistik konselor

terlalu besar (kesombongan ilmiah-scientific arrogance)

(5) Masalah komunikasiMasalah-masalah yang berhubungan dengan komunikasi

adalah: (a) ketidakmampuan konselor untuk berkomunikasi dengan jelas dan tidak

mampu menangkap apa yang dikatakan konseli; (b) konselor gagal mengenali

generalisasi dan distorsi(penyimpangan).

(6) FokusDalam hal fokus pada saat proses konseling juga terdapat masalah-

masalah yaitu:a) Konselor gagal membuat fokus masalah atau mengembangkan isu

sentral.b) Kadang-kadang fokus tidak ada atau kebanyakan membuat fokus yang

sempit dan kaku dengan topik tunggal.c) Terdapat fokus yang eksklusif tentang

konseli akan tetapi mengabaikan konteks lingkungan dan sosial budaya.d) Hasil

wawancara konselor dengan konseli merupakan hasil kekurangan pengertian dan

kelemahan struktur konseling.

(7) Kelemahan konselora) Konselor terikat pada teori sendiri sehingga gagal

melihat pendekatan lain yang mungkin lebih efektif.b) Kesalahan proses konseling

berasal dari perilaku konselor.c) Penafsiran konselor tidak correct (tidak cermat)

sehingga tidak menjangkau kebutuhan dan sensivitas konseli.d) Konselor tidak

mempunyai beragam alternatif, sehingga tidak mampu merespon perilaku konseli

yang beragam.

Menurut Lubis (2011:81),”Apapun masalah yang terjadi dalam proses

konseling, sudah menjadi kewajiban bagi konselor untuk segera mungkin

mengambil tindakan yang dapat meminimalisir permasalahn tersebut.” Konselor

yang efektif mempunyai kemampuan melihat bagaimana keadaan konseli saat ini,

dan dapat memilih intervensi yang sesuai (strategi dan teknik). Untuk menunjang
kemampuan dan keterampilan konselor perlu kepribadian yang empati. Empati

merupakan kunci menjadikan hubungan konseling berkualitas.

Empati diartikan oleh Carl Rogers (dalam Willis 2004:145) sebagai

“kemampuan merasakan dunia pribadi konseli, merasakan apa yang dirasakannya

tanpa kehilangan kesadaran diri.” Empati mempunyai subkomponen yaitu; (1)

positive regard (penghargaan positif); (2) respect (rasa hormat); (3) warmth

(kehangatan); (4) concreteness (kekonkritan); (5) immediacy (kesiapan,

kesegaran); (6) confrontation (konfrontasi); (7) congruence/ genuineness

(keaslian).

Zimmer (dalam Willis 2004:145)” menjelaskan bahwa konselor yang

menggunakan empati cenderung menggunakan attending dimana komponen-

komponennya termasuk didalam empati (kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa

lisan).” Empati dekat dengan perilaku attending, paraphrasing, refleksi feeling.

Bahkan komponen-komponen attending amat besar perannya dalam empati.

Dengan perkataan lain bahwa jika ia ingin memahami empati secara

mendasar haruslah melalui perilaku attending. Sebab dengan perilaku attending

maka konselor akan mudah melakukan empati. Dengan adanya empati dan

attending maka konseli akan terlibat dan terbuka dalam hubungan konseling.

Bagaimana kata Rogers konselor membatu konseli dengan sikap empati?

Ikutilah hal-hal berikut ini.(1) Dalam hubungan konseling, konselor merasakan

hubungan yang sejajar dan terintegrasi dengan klien.(2) Konselor bersikap

unconditional positive regard terhadap konseli(3) Komunikasi yang empati dengan

konseli.
Berdasarkan empati yang dikemukakan Rogers, Egan (dalam Willis 2004:149)

“mengembangkan dua jenis empati yakni: (1) empati primer (primary emphaty-

PE), yaitu suatu perasaan bagaimana masuk ke dunia dalam konseli merasakan apa

yang dirasakannya,dan dengan perilaku attending; (2) empati tingkat tinggi yang

lebih akurat (advanced accurate emphty-AAE) yatu konselor memberi empati yang

lebih mendalam dan mengena sehingga pengaruhnya lebih terasa mendalam pada

diri konseli, dan pada gilirannya lebih membangkitkan suasana emosional konseli.”

Menurut Lesmana (2008:62),”memahami orag dari sudut pandang kerangka

berpikir orang lain tersebut, empati yang dirasakan harus juga diekspresikan, dan

orang yang melalukan empati harus orang yang kuat, ia harus dapat menyingkirkan

nilai-nilainya sendiri, tetapi ia tidak pula boleh terlarut di dalam nilai-nilai orang

lain.” Sehinganya empati dilaksanakan konselor dengan menggunakan keterampilan

mempengaruhi (influencing skill) dengan komponen-komponennya, keterbukaan

diri (self-disclosure), pengarahan (direvtive), dan penafsiaran (interprelation).

Dengan adanya komponen-komponen itu maka empati akan menjadi mendalam dan

akurat serta nilainya tinggi sehingga serta dapat mengubah perilaku konseli.

Berikut ini sebuah contoh dialog konselor dengan konseliKI: “Yahh…,

keadaan saat ini telah membuat saya sangat gugup dan tegang. Setiap kami berdua

pergi keluar, selalu saja pacar saya itu menemui wanita lain. Hal itu menimbulkan

persaan tidak aman pada diri saya. Kadang-kadang saya mau memukulnya. Kami

sering bertengkar. Akan tetapi dia selalu menolak tuduhan saya. Suatu malam di

sebuah klub malam saat kami minum berdua, dia menemui seorang wanita, sampai

saya putuskan pulang sendirian.”KO (PE): “Anda merasa tidak aman ketika melihat

dia. Saya merasakan perasaan anda. Akan tetapu anda mempunyai kekuatan untuk
bangkit dan pergi meninggalkannya.”KO (AAE): ”Saya merasakan perasaan cemas

yang anda alami. Saya ikut terluka dengan peristiwa tersebut. namun saya

terkesan dengan kekuatan anda untuk bangkit meninggalkan dia.”

Dalam PE yang ditampilkan di atas adalah kombinasi dengan menangkap inti

permasalahan dan membahasakan dengan bahasa konselor sendiri (paraphrasing),

refleksi perasaan (felling), dan interpretasi (interpretation) yang

sesuai.Penjelasan:(1) Konseli terluka tapi masih bisa bangkit menangkap inti

permasalahan (paraphrasing);(2) Memahami perasaan konseli yang terluka, cemas,

akan tetapi memiliki kekuatan mental, direfleksikan kepada konseli refleksi

perasaan (reflection of feeling);(3) Mengatakan bahwa konseli punya kekuatan

untuk bertindak dan pergi meninggalkan pacarnya yang menyeleweng –interpretasi

konselor (interpreatation).Dalam empati PE dan AAE konselor akan mampu

menggali keterbukaan diri konseli (self-disclosure). Hal ini membuat perasaan

konseli terbuka lalu menyatakan perasaan dengan bebas dan terus bergerak kearah

pemahaman dan penyadaran diri. Akibatnya konseli menjadi rasional dalam

menghadapi masalahnya sehingga melahirkan rencana-rencana yang realistis untuk

mengatasinya.

Carkhuff (dalam willis 2004:147) mengemukakan lima tingkat empat yakni

“Level 1-3 adalah empati untuk menyalurkan perasaan-perasaan negatif atau

detruktif konseli. Level 4,5 adalah empati tambahan (additive empathy) yang

bersifat akurat, mendalam, dan self-disclosure yang lebih kuat.”

Secara ideal, empati merupakan suatu arus atau aliran antara konselor dan

konseli, dan kebanyakan merupakan proses bantuan yang diberikan seperti berikut

ini.
(1) Mendengar, memperhatikan dengan penuh hati-hati, teliti terhadap konseli

dengan mengunakan keterampilan-keterampilan attending dalam berkomunikasi,

sehingga konseli merasakan bahwa dia didengar dan diperhatikan.Pada level ini

konselor menggunakan empati primer (Primary empathy-PE) dimana respon

konselor masih kasar dan belum begitu tajam.

(2) Mendengarkan dengan hati-hati terhadap konseli lalu menilai ketepatan

komunikasi konselor dengan menggunakan keterampilan mempengaruhi

(influencing skill) dengan teknik-teknik mengarahkan secara halus (directing), self

disclosure, dan interpretasi.Jika menggunakan keterampilan-keterampilan

tersebut, sehingga dapat menyentu dunia dalam konseli maka empati konselor

meninkat menjadi advance accurate empathy (AAE) yaitu empati tingkat tinggi

yang akurat. Menggunakan AAE adalah jika emosi konseli begitu mendalam,

sehingga membutuhkan empati yang tajam dan mendalam.

(3) Konselor mengecek teknik yang digunakan dengan bertanya seperti “Apakah

saya cukup akurat dalam mendengarkan (keluhan) anda?” atau “Bagaimana

kedengarannya oleh anda apakah saya benar?”Terjadilah hubungan konselor-

konseli yang timbal balik, dan hubungan itu efektif yakni membuat konseli lebih

self-disclosed, maka empati konselor makin akurat dan bergerak maju dengan

lancer.Empati amat dekat dengan dimensi-dimensi konselor lainnya yaitu

menghargai dengan positif (positif regard), menghormati (respect), hangat

(warmth), ketelitian (concreteness), konfrontasi (confrontation), kesegaran

(immediacy), dan genuine atau congruence (jujur, asli).

Masing-masing dimensi akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Positive Regard
Dalam upaya membantu konseli supaya dia berubah, seorang konselor harus

percaya bahwa konseli itu dapat berubah. Konseli mempunyai aspek-aspek positif

untuk menunjang perubahan itu. Agar konseli berubah, seorang konselor harus

memiliki sikap positive regard yaitu perhatian terseleksi terhadap aspek-aspek

positif dari pada ucapan dan perilaku konseli.Konselor-konselor yang efektif

berasumsi sama yakni bahwa konseli dapat dibantu dengan modal potensi konseli.

Jika konselor tak percaya dengan asumsi ini maka konseli akan merasakannya, dan

selanjutnya dia tak dapat dibantu lagi. Rogers percaya bahwa manusia harus

dihargai, manusia berpotensi untuk maju, dia positif dan dapat

berkembang.Positive regard menuntut konselor agar menemukan asset dan

kekuatan konseli dan terus terang memberikan penghargaan terhadap keunggulan

konseli. Keunggulan adalah dunia konseli, karena itu harus dipahami konselor.

2. Respect and Warmth (Hormat dan Hangat)

Konselor yang pura-pura hormat dan hangat yaitu dipertemukan saja (facade)

mungkin merupakan ungkapan bahwa sadarnya. Keadaan ini tak disukai konseli.

Konselor efektif (intensional) selalu hangat, senang dan respek terhadap orang

lain. Konselor yang dingin dan kurang respek mempunyai ciri-ciri yaitu: (1) terlalu

formal; (2) berjarak; (3) hormat dibuat-buat; (4) kaku; (5) merasa tinggi dan; (6)

menyombongkan diri; (7) berlebih-lebihan dalam mengungkap soal seks dan ras,

dan; (8) kurang rasa hormat.Ciri-ciri tersebut tidak mungkin ada pada konselor

professional, tapi bisa saja terjadi karena mereka adalah manusia biasa. Sebagai

contoh, seorang konselor mengeluarkan pernyataan negatif tentang konseli apakah

secara terang-terangan ataupun secara halus.Ada beberapa cara-cara yang positif

tentang bagaimana mengkomunikasikan rasa hormat;(1) Dengan cara memperkaya


(enhancing), misalnya(a) “Saudara telah mengemukakan dengan cara yang sangat

baik(b) “Pemahaman yang tepat!”(2) mengahargai walaupun beda pendapat

(apresiasi), misalnya(a) “Saya belum begitu yakin dengan ide anda, tetapi sebagai

suatu pendapat saya sangat menghargainya.”(b) “Saya kurang setuju dengan cara

anda, tetapi kalau memang demikian maunya saya akan

mendukungnya.”Tampaknya rasa hormat dan menghargai dengan positif sangat

berdekatan. Jika anda mendemonstrasikan bahwa anda respek terhadap konseli,

yang anda lakukan adalah apakah anda mendorong atau mengembangkan potensi

konseli dengan ucapan-ucapan (verbal) anda, namun harus pula didukung oleh

bahasa badan anda.Zimmer dan Anderson (1968) menyebutkan istilah verbal

support sebagai ungkapan verbal untuk mendongkrak kecerdasan dan potensi

konseli dengan cara empati yang tinggi. Respek atau rasa hormat, penghargaan

positif, dan kehangatan, bisa berkembang adanya dukungan rasa empati dari

konselor. Dengan respek yang didukung empati akan membuat hubungan konseling

menjadi terus terang, blak-blakan, sehingga dapat mempercepat proses konseling

tanpa rasa tersinggung konseli. Bahkan dia senang dengan kritik konselor

umpamanya menggunakan teknik konfrontasi, dan dianggap sebagai obat baginya.

Akan tetapi bagi konselor yang kurang intensional dan kurang efektif (kaku dalam

perilakunya, terlalu formal, tidak fair, tidak professional, tidak empati), maka rasa

hormat pura-pura tidak akan membuat konseli terbuka (disclosed) dan berkata

terang-terangan. Jika konselor demikian beraksi, maka besar kemungkinan konseli

akan tersinggung, dan akan terjadi drop-out (memutuskan hubungan konseling dan

tak akan datang lagi pada sesi berikut).

3. Warmth (Rasa Hangat)


Pada prinsipnya warmth berhubungan erat dengan empati. Warmth (rasa hangat)

dapat didefinisikan dengan suatu sikap emosional terhadap konseli, yang

dinyatakan dengan cara-cara nonverbal dan didukung dengan verbal. Menurut

Hikmawati (2016:61),”kehangatan mempunyai makna sebagai satu konidis yang

mampu menjadi pihak yang ramah, peduli dan dapat menghibur orang lain.”

Bentuk-bentuk nonverbal konselor yakni: (1) nada suara; (2) posisi tubuh; (3)

gerakan isyarat tubuh (gesture); (4) air muka, dan; (5) sentuhan (sesuai etika

moral). Semua perilaku nonverbal mendukung pernyataan verbal dengan hangat

dan akan member dorongan pada diri konseli. Menurut hasil penelitian Bayes

(1973) senyum adalah salah satu ciri warmth (kehangatan) yang mempunyai

keunggulan tersendiri.Dalam perilaku konselor disaat melakukan konseling, tidak

mungkin sama sekali untuk memisah-misahkan antara kehangatan, penghargaan

positif, dan rasa hormat. Karena saat melakukan kehangatan, maka otomatis rasa

hormat dan penghargaan positif harus terjadi.Mengormati pendapat konseli adalah

mutlak, walaupun kadang-kadang mungkin saja tidak sesuai dengan nilai-nilai.

Namun sebagai konselor yang efektif, harus mampu menemukan celah-celah asset

atau kekuatan konseli sehingga hal inilah yang harus kita kembangkan. Sebagai

contoh, berikut ini adalah kasus wanita hamil karena berzinah. Mari kita ikuti

pernyataan konseli berikut ini.KI: “Anda telah mendengarkan penjelasan saya yang

cukup panjang. Bagaimna pendapat bapak konselor, apa yang harus saya lakukan?

Saya dalam keadaan sangat bingung.”Dari ungkapan itu terlihat bahwa konseli

mengharapkan sekali saran, pendapat, bahkan nasehat konselor, sebab dia dalam

keadaan bingung sekali karena menghadapi kehamilan diluar nikah. Orang tuanya

tidak setuju, bahkan ayahnya mengusir dia. Disamping itu sang pacar tidak

bertanggung jawab.Dalam kondisi seperti ini sebaiknya konselor tidak cepat-cepat


untuk member nasehat, sebab akan mengurangi kemandirian konseli. Kedua,

mungkin saja nasehat konselor tidak mengena atau meleset. Yang pasti seorang

konselor yang intensional (efektif) berupaya menemukan potensi-potensi konseli

dan menghargainya dengan pernyataan yang mendorong dan meyakinkan konseli.

Karena itu pernyataan konseli tadi sebaiknya direspon dengan kalimat-kalimat

seperti iniKO: “Sayaa pahami dari perasaan dan ucapan-ucapanmu sejak tadi,

tampaknya anda cenderung untuk memelihara bayi itu, bukan melakukan aborsi.

Saya suka perasaan anda tersebut, yang menghargai kehidupan dan menjaga

amanah tuhan. Jika saya seperti anda, saya kira saya akan seperti perasaan anda.

Terus terang, saya berharap anda memiliki bayi itu. Namun, semua terserah pada

keputusan saudara. Apakah pendapat anda mengenai jawaban saya? Saya anda

tentu dapat mengatasinya, keputusan yang jernih benilai tinggi”Dari respon

konselor di atas ada beberapa tujuan yang hendak dicapainya terhadap konseli

tadi;(a) Meyakinkan konseli bahwa dia memiliki asset/potensi penting yakni nilai

kemanusiaan untuk memelihara bayi. Hal itu dikemukakan oleh konselor, lalu

konselor memberi teknik refleksi felling dab refleksi content yaitu dengan

ungkapan “Tampaknya abda cenderung ingin memelihara bayi itu.”(b) Nilai

kemanusiaan sebagai asset konseli, dihargai dan dihormati oleh konselor dengan

ucapan “saya suka perasaan anda itu.”(c) Konselor tidak langsung member nasehat

kepada konseli, akan tetapi member empati atas assetnya yaitu nilai luhur untuk

memlihara bayi, kemudian menghargai asset tersebut. Berarti memberi dorongan

terhadap potensi nilainya untuk menjadi manusia yang bermoral. Cuma sedikit saja

konselor berharap agar konseli memilikin bayi itu, serta memberi keyakinan bahwa

konseli akan mampu mengatasi persoalannya.(d) Tujuan terakhir adalah agar


konseli menjadi terbuka. Dimana dengan self-disclosed itu konseli mengeluarkan

perasaan-perasaannya terus, dan pada gilirannya keluar akal sehatnya.

4. Concreteness (Kekonkritan-Bersikap konkrit)

Dalam hubungan konseling, sering konseli datang dengan keluhan-keluhan yang

samar-samar (tidak jelas), dan kadang-kadang bermakna ganda. Tugas konselor

yang intensional/efektif adalah memperjelas dan memahami ide-ide dan masalah

yang samar-samar yang dikemukakan konseli.Wawancara konseling yang efektif

bergerak dari deskripsi-deskripsi yang samar-samar tentang isu-isu global menuju

diskusi yang konkrit, spesifik tentang apa yang telah terjadi dan yang terus terjadi

dalam kehidupan keseharian konseli. Sebagai contoh, seorang konseli perempuan

mengatakan tentang pacranya, bahwa dia telah berkelahi dengan Doni dan dia

yakin bahwa hubungan mereka akan putus. Di sini digaris bawahi berkelahi dan

hubungan putus, seolah-olah sudah jelas, sehingga konselor dapat meneruskannya.

Padahal jika konselor teliti, dia belum pasti, sebab berkelahi dan hubungan putus

itu masih samar-samar. Karena dialog berikut akan mengarah kepada yang lebih

konkrit atau spesifik

5. Konfrontasi

Konfrontasi di dalam proses konseling didefinisikan sebagai adanya perbedaan-

perbedaan antara sikap-sikap, pemikiran-pemikiran, atau perilaku-perilaku.

Menurut Willis (2004:154), ”Dalam teknik konfrontasi, konseli dihadapkan secara

langsung dengan fakta, dimana konseli mungkin mengatakan lain daripada yang dia

maksud; atau melakukan yang lain/berbeda dari apa yang dia katakan.”Suatu

konfrontasi bukan bermaksud mengatakan bahwa konseli itu orang yang salah atau

orang yang jelek. Kritik dalam konfrontasi adalah mengemukakan dalm bentuk
kata-kata tentang adanya incongruity (ketidaksesuaian) dan discrepancy

(perbedaan). Konseli sering mengungkapkan cerita yang ganda dalam wawancara

konseling.Disamping hal-hal yang dapat merusak proses konseling, perlu kiranya

pemahaman terkait hal-hal yang perlu kita dalami terkait efektivitas dalam

melakukan wawancara, keterampilan intervensi, dan memcahkan masalah.

Menurut Anthony (dalam Yusuf 2016:66),”Seorang konselor harus memiliki

karakteristik seperti beliefs, Self-awarness, Knowledge and skills, a rapor view of

his role, personal qualities, dan Interpersonal skills”. Ketika hal-hal seperti itu

telah dimiliki oleh seorang konselor makan bukan tidak mungkin proses konseling ia

akan kuasai dengan baik khusunya dalam keterampilan wawancara konseli.

Anda mungkin juga menyukai