Anda di halaman 1dari 11

MATERI II

MEMAHAMI KARAKTERISTIK KLIEN


A. Memahami klien

Semua individu yang diberi bantuan profesional oleh seorang


konselor atas permintaan sendiri atau atas permintaan orang
lain, dinamakan klien. Ada klien yang datang atas kemauan
sendiri, karena dia membutuhkan bantuan. Dia sadar bahwa
dalam dirinya ada suatu kekurangan atau masalah yang
memerlukan bantuan seorang ahli. Akan tetapi, ada pula
individu yang tidak sadar akan masalah yang dialaminya,

Gambar 1. karena kurangnya kesadaran diri.


Secara umum, jika klien sudah sadar akan diri dan masalahnya maka
dia mempunyai harapan terhadap konselor dan proses konseling yaitu supaya
dia tumbuh, berkembang, produktif, kreatif, dan mandiri. Harapan,
kebutuhan, dan latar belakang klien akan menentukan terhadap
keberhasilan proses konseling.

Shertzer dan Stobe (1987) mengemukakan bahwa keberhasilan dan


kegagalan proses konseling ditentukan oleh tiga hal, yaitu: (1) kepribadian
klien, (2) harapan klien, dan (3) pengalaman/pendidikan klien.

1. Kepribadian klien
Kepribadian klien cukup menentukan keberhasilan proses konseling.
Aspek-aspek kepribadian klien adalah sikap, emosi, intelektual, motivasi,
dan sebagainya. Seorang klien yang cemas akan tampak pada perilakunya
dihadapan konselor.seorang konselor yang efektif akan mengungkap
perasaan-perasaan cemas klien semaksimal mungkin dengan cara menggali
atau eksplorasi sehingga keluar dengan leluasa bahkan mungkin diiringi oleh
air mata klien.
Jika perasaan-perasaan klien sudah dikeluarkan dengan leluasa baik
secara verbal maupun dalam bentuk perilaku nonverbal, dengan jujur maka
kecemasan klien akan menurun, dia merasa lega. Bila keadaan ini terjadi
berarti jiwa klien sudah tenang dan pikirannya jadi jernih. Pada sitausi
seperti ini konselor akan menemukan intelektual klien. Terutama jika
konselor meminta padanya rencana, ide, tanggapan, pikiran, dan
sebagainya. Akan tetapi dalam keadaan tegang, stres, kesulitan, marah,
sedih atau keadaan emosional negatif yang lainnya, sudah tentu klien akan
gelap pikirannya. Jadi jika konselor ingin mengetahui tanggapan, tujuan,
maksud dan sebagainya sebaiknya setelah semua perasaan negatif telah
dikeluarkan, dinyatakan secara verbal oleh klien, juga dapat diamati melalui
bahasa tubuh (body language).
Sebagaimana konselor, klien juga dilatarbelakangi oleh sikap, nilai-
nilai, pengalaman, perasaan, budaya, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Semua itu membentuk kepribadiannya. Saat berhadapan dengan konselor di
dalam proses konseling, maka latar belakang tersebut akan muncul dengan
sendirinya seperti sikap klien. Terdapat klien yang bersikap curiga terhadap
konselor sehingga enggan terbuka dalam proses konseling, dan klien yang
emosional, marah, dan menyerang konselor dengan kata-kata yang tidak
baik. Dibalik itu terdapat klien yang diam saja, mengangguk-angguk saja dan
sedikit sekali kalimat yang keluar dari mulutnya. Ada juga klien yang acuh
tak acuh alias cuek, tapi akan ditemukan pula yang angkuh, manja, dan
sebagainya.
Ragam keadaan klien bukan berarti membuat konselor putus asa,
akan tetapi sebenarnya belajar lebih banyak bagaimana cara
mengantasipasinya. Tentu tidak cukup hanya dengan penguasaan teknik
konselings aja, akan tetapi harus pula memiliki kepribadian membimbing,
dan wawasan yang luas. Salah satu aspek yang penting adalah harapan klien,
harapan ini mempengaruhi proses konseling serta persepsi terhadap
konselor.
2. Harapan Klien
Pada umumnya, harapan klien terhadap proses konseling adalah
untuk memperoleh informasi, menurunkan kecemasan, memperoleh
jawaban atau jalan keluar dari persoalan yang dialami, dan mencari upaya
bagaimana menjadi pribadi yang lebih baik.
Shertzer & Stone (1980) mengemukakan bahwa secara umum harapan
klien atau conselees adalah agar proses konseling dapat menghasilkan
pemecahan masalah. Sering terjadi bahwa klien manaruh harapan terlalu
timggi terhadap proses konseling, sedangkan kenyataannya konseling tidak
dapat memenuhi harapan. Terjadinya diskrepansi antara harapan dan
kenyataan, mungkin dapat membuat klien kecewa, sehingga bisa membuat
putus hubungan konseling selanjutnya (drop out-do) di mana klien tidak
datang lagi pada proses konseling berikutnya. Seorang konselor sebaiknya
mengetahui dengan pasti apa yang menjadi latar belakang harapan klien.
Mungkin belum tentu harapan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Sebab
klien muncul dari lingkungan sosial budaya dan sosial-psikologis tertentu.
Tanpa keterbukaan dan keterlibatan klien dalam proses konseling
tidak mungkin terjadi diskusi mendalam mengenai harapan-harapan dan
cita-cita klien. Dengan mendalamnya pembicaraan tersebut, besar
kemungkinan semua aspek tentang harapan dan cita-cita klien dapat
diketahui, dan dipertimbangkan oleh klien secara matang, realistis, dan
objektif. Akhirnya klien dapat menjawab sendiri apakah harapannya
tersebut logis, realistis, dan mungkin akan tercapai.
3. Pengalaman dan Pendidikan Klien
Pengalaman dan pendidikan sangat menentukan atas keberhasilan
proses konseling. Sebab dengan pengalaman dan pendidikan tersebut, klien
akan mudah menggali dirinya sehingga persoalannya makin jelas dan upaya
pemecahannya makin terarah. Pengalaman yang dimaksud adalah
pengalaman dalam melakukan konseling, wawancara, berkomunikasi,
berdiskusi, pidato, ceramah, mengajar/melatih, keterbukaan, dalam
suasana demokratis dikeluarga, sekolah dan lain sebagainya.
Pengalaman dan pendidikan yang baik pada umumnya memudahkan
jalannya proses konseling. Seorang klien yang berpengalaman dalam
berdiskusi, berpidato, ceramah, dan berdialog dengan orang lain biasanya
lebih mudah mengungkapkan perasaan, dan lebih mudah kalimat-kalimatnya
untuk dipahami, serta arah pembicaraannya lebih jelas. Konselor hanya
mengarahkan dengan teknik-teknik yang bervariasi dan menghargai
pandangan-pandangannya. Pengalaman menunjukkan bahwa makin rendah
taraf pendidikan dan kurangnya pengalaman berkomunikasi, makin sulit
proses konseling dilakukan oleh konselor.
Masalah lingkungan sosial budaya siswa/klien seperti keluarga dan
sekolah, tetap menentukan pembentukan pengalaman berkomunikasi dan
kemajuan pendidikan. Keluarga yang demokratis, mendorong/memotivadi,
ceria, dan sering diskusi akan membuat anak-anaknya berkembang dalam
hal kemampuan berbicara, berdialog, atau berkomunikasi terhadap orang
lain. Anak-anak akan lebih mantap dan percaya diri, kuat mental, dan dapat
memanajemen emosinya.
Sebaliknya, keluarga yang broken home, orang tua banyak mengalami
stres, suka marah, menekan anak, maka anak-anak akan tumbuh menjadi
anak yang kurang percaya diri, emosional tidak stabil, cepat marah, dan
kurang bersahabat. Kemampuan berkomunikasi cukup lamban, bahkan
termasuk jelek, dan bisa pula agak gugup dan gagap dalam berbicara.
Oleh karena itu, penting bagi konselor memperhatikan latar belakang
pengalaman hidup dan pendidikan siswa/klien. Sehingga dapat memahami
secara penuh tentang diri klien dan permasalahan yang dihadapi oleh klien.

B. Aneka Ragam Klien


1. Klien sukarela
Klien sukarela artinya klien yang hadir ke ruang konseling atas
kesadaran sendiri dan kemauan sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun.
Secara umum, ciri-ciri klien sukarela sebagai berikut:
a. Hadir atas kehendak sendiri
b. Segera dapat menyesuaikan diri dengan konselor
c. Mudah terbuka
d. Bersungguh-sungguh mengikuti proses konseling
e. Sikap bersahabat dan mengharapkan bantuan konselor
f. Bersedia mengungkap rahasia walaupun menyakitkan
Bagi para konselor terutama konselor pemula, amat diinginkan
mendapat klien sukarela. Namun walaupun klien sudah datang dengan
sukarela jika konselor kurang terampi;, kurang bersahabat, maka klien
tersebut akan kecewa dan mungkin DO (drop out). Karena itu konselor perlu
mempelajari kliennya dengan memperhatikan sikap, emosi,d an bahasa non
verbal.
2. Klien terpaksa
Klien terpaksa adalah klien yang kehadirannya di ruang kosneling
bukan atas keinginannya sendiri. Klien datang atas dorongan orang tua, wali
kelas, teman, guru, dan sebagainya. Ciri-ciri klien terpaksa adalah sebagai
berikut:
a. Bersifat tertutup
b. Enggan berbicara
c. Curiga terhadap konselor
d. Kurang bersahabat
e. Menolak secara halus bantuan konselor

Untuk menghadapi klien terpaksa konselor tidak boleh memaksa


untuk memberi bantuan. Hal ini akan lebih menjauhkan klien dari proses
konselinh, salah satu strategi adalah menjelaskan secara bijak apa yang
dimaksud dengan konseling. Sebab kebanyakan klien enggan atau tidak mau
mendatangi konselor karena nama baik bimbingan dan konseling telah
tercemar akibat konselor yang tidak profesional di lapangan.

Mereka memandang bahwa konseling adalah: (a) proses nasehat


supaya klien menjadi baik, (2) konseling hanya bagi kasus-kasus orang yang
mengalami masalah.

3. Klien enggan (reluctant client)


Salah satu bentuk klien enggan adalah klien yang banyak berbicara,
pada prinsipnya enggan untuk dibantu. Hanya senang berbicara dengan
konselor tanpa penyelesaian masalah, atau klien yang diam saja. Upaya yang
dilakukan untuk menghadapi klien semacam ini adalah :
a. Menyadarkan akan kekeliruannya
b. memberi kesempatan agar dia dibimbing orang lain atau mencari lawan
bicara yang lain.
4. Klien bermusuhan/menentang
Klien terpaksa dan bermasalah dapat menjadi klien yang menentang
sifat-sifatnya adalah: (a) Tertutup, (b) Menentang, (c) Bermusuhan, (d)
Menolak secara terbuka. Klien terpaksa harus diperlakukan ramah,
perlakukan sebaik mungkin tapi tegas dan negosiasi. Cara-cara efektif
menghadapi klien semacam ini adalah :
a. Ramah, bersahabat, dan empati
b. Toleransi terhadap perilaku klien yang nampak
c. Tingkatkan kesabaran menanti saat yang tepat untuk berbicara sesuai
bahasa tubuh klien
d. Memahami keinginan klien yaitu tidak sudi dibimbing
e. Membuat bentuk negosiasi, kontrak waktu dan penjelasan tentang
konseling.
5. Klien krisis
Apabila seseorang menghadapi musibah, seperti kehilangan orang
yang dicintai, diperkosa dll, yang dihadapkan pada konselor untuk diberi
bantuan agar jiwanya stabil dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan
yang baru. Beberapa gejala klien krisis adalah:
a. Tertutup, atau menutup diri dengan dunia luar
b. Amat emosional, tidak berdaya, bahkan histeri
c. Kurang mampu berpikir rasional
d. tidak mampu mengurus diri dan keluarga
e. membutuhkan orang yang amat dipercayai
Lindeman (1944) melukiskan karakteristik individu yang mengalami
duka cita yang mendalam sebagai berikut:
a. Keadaan fisik yang menderita, sesak, tidak bisa tidur, kehilangan nafsu
makan, pencernaan terganggu, lemah, sesak nafas.
b. Perasaan hampa, tegang, kelelahan (exhaustion), hilang rasa kehangatan
dan menjauh dari orang banyak
c. Kadang-kadang keasyikan dengan khayal kematian
d. Kadang-kadang timbul perasaan bersalah terhadap kejadian atau
kegagalan yang dialami, atau menyalahkan diri secara berlebihan.
e. Berubah pola kegiatan, gelisah, tanpa arah, mencari aktivitas tapi tanpa
motivasi untuk meneruskannya.
Tujuan utama membantu klien yang mengalami kesedihan mendalam (grief)
adalah:
a. Agar klien menerima kesedihannya secara wajar
b. Agar klien dapat mengekspresikan (mengungkapkan dengan bebas) segala
rasa kesedihan
c. Menghilangkan ingatan terhadap almarhum
d. Membentuk lagi lingkungan yang baru aga dapat melupakan almarhum
e. Membentuk relasi (kawan/sahabat) yang baru
Menurut Brammer (1979) ada tiga langkah penting untuk membantu klien
krisis adalah:
a. Tentukan lebih dahulu konsdisi krisis itu, seberapa parah keadaan itu.
Konselor menentukan tipe bantuan yang amat dibutuhkan klien saat itu
berdasarkan penilaian awal tentang kondisi krisis klien
b. Tentukan sumber-sumber yang dapat membantu klien secepatnya,
misalnya saudara, teman, kelompok dan bantuan apa yang dapat mereka
berikan untuk klien.
c. Bantuan dalam bentuk pertolongan langsung, konselor memberi peluang
agar kepada klien bisa menyalurkan perasaannya seperti rasa takut, rasa
bersalah dan amarah. Konselor dapat memberikan bantuan psikologis
dengan penyaluran dan penyadaran akan emosional
d. kemudian membawa klien ke alam nyata, kepada kondisi dan relasi yang
baru

C. Peranan Negoisasi dalam Konseling


Salah satu cara yang dianggap lebih baik adalah melalui negosiasi.
Istilah negosiasi dikutip dari dunia diploma yaitu untuk mempengaruhi pihak
lain agar dapat menerima suatu konsep, rencana, atau progress sebagai goal
dari negosiasi. Orang yang melakukan negosiasi disebut negosiator. Istilah
negosiasi sering disingkat menjadi “nego”, seperti juga demokrasi disingkat
“demo”. Syarat – syarat untuk dapat melaksanakan negosiasi dengan baik,
adalah sebagai berikut:
a. Kecerdasan dan wawasan yang luas
b. Keterampilan berbicara dan komunikasi yang menghargai
c. Bersikap ramah, murah senyum, sopan, cermat, dan empati
d. Pemahaman yang memadai tentang subyek (individu) yang dihadapi yaitu
semua informasi penting tentang orang tersebut
e. Tidak membosankan, tidak memaksa, tidak menyimpulkan, dan tidak
mengecewakan orang lain.
1. Negoisasi dalam konseling
Negosiasi kita praktekkan didalam rangka konseling adalah upaya
untuk “membujuk” agar calon klien kita merasa menghindarkann hambatan
– hambatan administrative, psikologis, dan sosi – kultural. Jika klien sudah
bersedia untuk melakukan dialog konseling maka kesempatan tersebut
jangan diabaikan lagi. Lakukanlah konseling individual.
Pertama, bentuklah hubungan konseling melalui keramahan senyum,
sikap empatik, terbuka menghargai, bertanya terbuka, penuh perhatian, dan
cepat memahami keadaan klien. Mulailah pembiacaraan yang membuat
klien senang berbicara, misalnya diawali kata “maaf dan dengan
menawarkan “apakah mungkin kita dapat membiacarakan hal – hal yang
menurut anda penting?” “apakah anda sudi meluangkan waktu untuk saya
berbicang – bincang dengan anda barang 5 – 10 menit?, atau pembicaraan
dimulai dengan minat, bakat, dan kemauan demikian juga hobi.
Setelah negosiasi, konselor membuat perjanjian dengan klien, kapan
dan dimana bisa berbicara lebih serius. Jadi kapan dan dimana bisa
mengadakan hubungan konseling. Paling baik seorang konselor adalah sejak
awal sudah memiliki informasi tentang klien terutama hal – hal yang
menyenangkan klien. Yang penting diciptakan hubungan konseling yang
menggembirakan klien dan tidak langsung ke persoalan inti, kecuali jika dia
yang memulai.
Disamping itu agar klien dapat terbuka, maka hubungan konseling
hendaklah bernuansa afektif dimana konselor bersikap empati dan
mendorong klien agar terus berbicara perasaannya.
Kedua, tangkaplah isu penting seberapa mungkin yang bisa anda
lakukan. Karena hal ini amat tergantung kepada kecerdasan konselor untuk
memiirkan ungkapan – ungkapan verbal dan nonverbal yang mungkin
mengandung isu/masalah dirinya menjadi masalah baginya.
Makin banyak klien berbicara mengenai dirinya yang kait – mengait
denga lingkungan, maka memungkinkan muncul isu tentang dirinya. Karena
itu keterampilan konseling pada ntinya adalah keterampilan bahasa/kalimat
– kalimat isi hati. Dalam situasi demikiankonselor akan mudah menangkap
isu – isu mengenai diri klien.
Ketiga berbekal isu – isu tentang diri klien yang telah ditangkap maka
konselor bekerja isu – isu tersebutm artinya melakukan proses konseling
yang sebenarnya yaitu membantu agar klien: (a) Menurunkan stresnya, (b)
mampu memahami diri dan masalahnya, (c) mampu menyusun rencana atua
ide – ide yang baik agar dia dapat mengatasi masalahnya sendiri.
Keempat, klien menarik beberapa kesimpulan dengan bantuan
konselor. Kemudian agar klien memberikan evaluasi mengenai jalannya
proses konseling serta sikap dan kemampuan calon konselor dan upaya
memberikan bantuan. Akhirnya klien mengemukakan rencana/ programnya.
Selanjutnya janji untuk mendakan pertemuan berikutnya dengan konselor,
dengan tujuan untuk mengecek sejauh mana rencana klien sudah
dilaksanakan.
2. Praktek negoisasi
Untuk mempraktekkan upaya negosiasi dengan calon klien khususnya
para siswa/I, dapat ditempuh kegiatan berikut:
a. Tandai calon klien berdasarkan informasi yang ada. Kalau bisa dikaji data
yang berkaitan dengan potensinya seperti keahlian, keterampilan, bakat
khusus, hobi, dan sebagainya. Guna data seperti ini adalah untuk
memudahkan pembicaaan tahap awal sehingga membuat klien gembira
dan senang untuk berbicara mengenai dirinya.
b. Amati calon klien saat dia santi diluar pelajaran. Misalnya dia sedang
“ngobrol” dengan seorang teman atau sekelompok teman. Jika mmen
sudah dianggap tepat, mulailah mendekat dengan ramah dan baik, serta
lakukanlah dialog seperti ini:

Calon konselor (CK):” maaf, boleh saya mengganggu sebentar?”

Para siswa (PS):”o, silahkan.”


CK: “saya perkenalkan diri saya sebagai mahasiswa sedang praktek
bimbingan dan konseling di sekolah ini.”

PS: “o, jadi apa yang Bapak inginkan dari kami?”

CK: “maaf, penggil saja saya kakak, dan jangan sungkan – sungkan terhadap
saya. Sebenarnya saya ingin berbincang – bicang dengan sdr. D di tempat
terpisah. Bagaimana D, apakah anda bersedia?”

D: “ada apa ya?” (agak ragu dan curiga)

CK: tidak, hanya sekedar “ngobrol” ringan. Boleh kan?”

D: “Baiklah, kalau begitu permisi teman – teman.”

CK: “Saya permisi juga”

Jika negosiasi berhasil diawal seperti contoh dialog di atas, maka


negosiasi selanjutnya adalah dengan D, kapan dia bersedia untuk berbincang
– bincang lebih jauh dengna dirinya, dalam arti proses konseling. Pada nego
kedua ini mungkin bisa dibuat appointment (perjanjian) hari, waktu, dan
tempat sesuati degnan kesediaan dan kebutuhan siswa tersebut.

Anda mungkin juga menyukai