MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bimbingan dan Konseling
Keluarga yang diampu oleh Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri, M.Pd. dan
Dr. Euis Farida, M.Pd.
Oleh
FITRI HUSAIBATUL KHAIRAT HSB
1605242
KATA PENGANTAR
Penulis
31
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan institusi terkecil dari masyarakat dan negara,
yang memiliki struktur sosial serta sistemnya sendiri. Keluarga
didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah
yang masih mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan darah
karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya (Willis:2009).
Konseling keluarga yang sensitif gender merupakan solusi alternatif
untuk membantu pasangan suami istri yang ingin membangun
keharmonisan dengan memberi tanggung jawab, pemberdayaan,
penguatan kepada keduanya, suami dan istri, terhadap masing-masing
peran yang harus dijalankan secara sinergi, kemitraan, dan kerja sama
berasaskan sendi saling mencintai, menyayangi, dan menghargai, untuk
menciptakan kebahagiaan yang dapat dinikmati bersama seluruh anggota
keluarganya secara lahir dan batin.
Gender identik dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Permasalahan yang dibawa ke dalam proses konseling akan melibatkan
seluruh anggota keluarga, karena pada dasarnya jenis kelamin laki-laki dan
perempuan ini akan selalu hadir dalam sebuah keluarga manakala mereka
sudah diikat oleh tali perkawinan yang syah. Oleh karena itu
membicarakan gender secara otomatis akan berbicara juga masalah
keluarga. Kompleksnya permasalahan yang diakibatkan oleh gender dalam
sebuah keluarga, misalnya perbedaan pendapat tentang pentingnya
pendidikan dalam keluarga, karir suami/istri, kepengurusan anak,
kenakalan anak, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang
dialami istri/perempuan dan anak-anak, semua ini harus diselesaikan
secara kekeluargaan dengan bantuan konselor yang memahami gender
dengan segala permasalahan yang ditimbulkannya.
Konseling yang sensitif gender tersebut dilakukan karena pada
dasarnya keutuhan rumah tangga adalah menjadi tanggung jawab bersama
33
31
antara suami dan istri. Namun, kenyataan yang terjadi bahwa pihak istri
sering menjadi korban yang disalahkan, dan menjadi pihak yang lemah,
dan kalah saat permasalahan rumah tangga terjadi. Untuk itu, konseling
sensitif gender ini mencoba untuk mengentaskan permasalahan rumah
tangga dengan menghadirkan pihak suami maupun istri dalam proses
layanannya, guna menggali informasi lebih dalam titik permasalahan.
Selain itu, konseling yang sensitif gender ini ditujukan juga untuk
menyadarkan pasangan suami istri untuk menjaga keutuhan rumah tangga
secara bersama-sama, seberapa jauh salah satu pihak menjaga
keharmonisan, sedangkan pihak lain tidak menghiraukan hal itu, maka
yang terjadi tidak akan bisa terbangun hubungan yang sejalan dan
sepemikiran. Hal yang terjadi justru akan terus terulang kembali
permasalahan-permasalahan yang semakin membesar sehingga berujung
perceraian.
Makna dari sensitifitas gender pada akhirnya kembali pada nilai
kesetaraan gender. Yaitu suatu sikap, baik dalam bentuk perkataan
maupun perbuatan yang mendukung kesetaraan gender, dan sangat
menghindari diskriminasi atas jenis kelamin tertentu. Sedangkan lawan
katanya adalah bias gender. Pandangan tentang konsep gender secara
tradisional menempatkan pihak laki-laki pada sektor publik (di luar rumah
tangga) sementara pihak perempuan berada di sektor domestik (rumah
tangga). Peran gender diarahkan pada konsep kesetaraan dengan
memberikan peluang kepada laki-laki dan perempuan untuk dapat
beraktivitas di sektor publik. Terapi feminis merupakan kajian terkait
dengan psikologi perempuan, penelitian pengembangan, teknik cognitive-
behavior, kesadaran multikultural dan aktivitas sosial (Evans, et. al.,
2005).
Terapi Feminis dikembangkan untuk menanggapi tantangan dan
kebutuhan yang muncul dari wanita (Brabeck & Brown, 1997). Terapi
feminis muncul empat dekade yang lalu sebagai salah satu kebutuhan
psikologis bagi perempuan yang mengalami gangguan psikologis. Pada
awal berkembangnya terapi feminis masih ekslusif pada kelompok
31
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah, dapat
dirumuskan lima pokok permasalahan sebegai berikut:
1. Bagaimana sejarah teori konseling feminis?
2. Apa konsep dasar teori konseling feminis?
3. Bagaimana pengembangan teori konseling feminis?
4. Bagaimana langkah-langkah penerapan teori konseling feminis?
31
E. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, makalah ini diharapkan dapat memberikan mafaat
berupa pemberian gambaran secara umum mengenai model teori
gender sensitive family therapy yang dibahas pada makalah ini adalah
konseling feminis
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, makalah ini diharapkan dapat memberikan dasar
dalam mengaplikasikan konseling keluarga dengan menggunakan
model-model teori ekperiensial, serta bagi konselor diharapkan dapat
dijadikan dasar untuk mendesain program bimbingan dan konseling
keluarga berdasarkan teori eksperiensial.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri atas empat bab, yakni Bab I :
Pendahuluan, Bab II : Kajian Pustaka, Bab III : Aplikasi Toeri, Bab IV:
Kesimpulan.
Bab I : Pendahuluan menguraikan inti dan arah penulisan makalah,
meliputi latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan,
manfaat, dan sistematika penulisan.
31
Bab II: Kajian Pustaka terdiri dari sejarah teori konseling feminis,
konsep dasar teori konseling feminis, pengembangan teori konseling
feminis, langkah-langkah penerapan teori konseling feminis, dan kajian
mengenai permasalahan-permasalahan yang dapat ditangani melalui
proses konseling menggunakan konseling feminis.
Bab III: Aplikasi Teori yang membahas beberapa contoh kasus serta
pengaplikasian penggunaan teori eksperiensial dalam pelaksanaan
konseling keluarga.
Bab IV: Kesimpulan yang menguraikan kesimpulan, implikasi secara
teoritis dan praktis, serta rekomendasi. Kesimpulan pada makalah ini
diuraikan secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah pada Bab I.
Rekomendasi dirumuskan bagi konselor keluarga dan guru bimbingan dan
konseling.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
33
31
1981). Fase ketiga perkembangan konseling dan psikoterapi feminis ini masih
terus mengalami pengembangan dan terus berusaha memperjelas tugas
konselor/terapis feminis (Enns, 2004; Walker, 1990).
Secara lebih khusus, Klein, Sturdivant, dan Enns (dalam Sharf, 2004)
memaparkan enam tujuan konseling feminis:
1) Penghilangan symptom (symptom removal). Tujuan ini merupakan
tujuan konseling tradisional, di mana juga dapat digunakan dalam
konseling feminis asalkan tidak mengganggu tumbuh kembang
wanita.
2) Self-esteem (harga diri). Yang dimaksud dengan self-esteem dalam
terapi feminis adalah adalah tidak menggantungkan diri pada sumber-
sumber eksternal (apa yang dipikirkan oleh orang lain), namun
berdasar pada perasaan pribadi terhadap dirinya sendiri. Untuk wanita,
ini artinya melakukan sesuatu berdasarkan kriteria dirinya sendiri dan
tidak terlalu memikirkan apa yang orang lain (teman, keluarga, dan
31
C. Pengembangan Teori
Perspektif feminis didasari oleh sebuah keyakinan bahwa teori-teori
tradisional mengenai hakikat dan perkembangan manusia, yang
ditemukembangkan dengan perspektif pria-pria Barat, tidaklah dapat
diterapkan secara universal. Kebanyakan teori-teori tersebut dikembangkan
berdasarkan studi atas laki-laki (sementara perempuan dianggap sama). Para
31
feminis menentang hal ini karena mereka memandang bahwa perempuan dan
laki-laki bersosialisasi dengan cara yang berbeda. Ekspektasi peran gender
berpengaruh sangat besar pada laki-laki dan perempuan, sehingga teori-teori
tradisional tersebut tidak mengena secara tepat pada perempuan.
Sosialisasi peran gender (gender-role socialization) merupakan proses
multifase, terjadi selama rentang kehidupan, serta menguatkan keyakinan-
keyakinan dan perilaku-perilaku tertentu yang oleh masyarakat dianggap
sebagai hal yang tepat berdasar jenis kelamin biologis (Remer, Rostosky &
Wright, 2001). Proses tersebut berdampak membatasi kepada perempuan dan
laki-laki. Sebagai contoh, mitos dan cerita-cerita yang sering kita sampaikan
pada anak-anak bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat, cerdik, dan mampu
dalam banyak hal, sementara wanita adalah sosok yang pasif, tergantung, dan
tidak memiliki banyak harapan. Contoh-contoh cerita tersebut seperti:
Oedipus yang memecahkan teka-teki Sphinx; Arthur yang mencabut pedang
Excalibur dari batu untuk menunjukkan bahwa ia adalah sang raja; dan Jack
yang memanjat batang pohon kacang raksasa untuk mendapatkan kekayaan
dan keberuntungan. Sebaliknya, Rapunzel dipenjara di sebuah menara tanpa
pintu, ditakdirkan menunggu pria penyelamat; nyawa Cinderella bergantung
pada pangeran yang memakaikan sepatu kaca di kakinya; dan Putri Tidur yang
baru dapat bangun jika dicium oleh laki-laki (Polster, 1992).
Cerita-cerita dan hal sejenis demikian akan berdampak luas bagi wanita
yang sedang bertumbuhkembang yang belajar bahwa femininitas adalah
kebalikan dari kekuatan, asertivitas, kompeten, dan bagi laki-laki yang
mempelajari bahwa maskulinitas merupakan kebalikan dari rasa takut,
ketergantungan, emosionalitas, atau kelemahan (Lerner, 1988). Di antara
dampak-dampak tersebut antara lain:
a) Pria didorong untuk bersikap dan bertindak cerdas, berprestasi, asertif,
dan mengejar cita-cita. Sebaliknya, wanita diupayakan untuk memiliki
kebijaksanaan yang dikenal dengan “intuisi wanita”, namun dicegah
untuk maju secara intelektual, kompetitif, atau agresif. Meskipun para
wanita saat ini sudah tidak diperlakukan seperti beberapa dekade lalu,
31
Kedua, konselor secara aktif akan berfokus pada power konseli dan
menjadikannya sebagai bagian dari proses informed consentnya. Konselor
akan mendorong konseli untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan
perasaannya, agar ia menyadari bagaimana ia melepaskan powernya dalam
berhubungan dengan orang lain sebagai hasil dari sosialisasi, dan untuk
membuat keputusan dengan pengetahuan ini sebagai basisnya.
Ketiga, konselor feminis melakukan demistifikasi hubungan konseling
dengan berbagi persepsi pribadinya pada konseli tentang apa yang sedang
terjadi dalam hubungan konseling tersebut, dengan menjadikan konseli
sebagai rekan aktif dalam menentukan diagnosa, dan dengan
menggunakan self-disclosure yang tepat. Jika konselor menganjurkan sebuah
teknik tertentu, ia akan menjelaskan secara lengkap efek yang mungkin terjadi
dan alasan ia menyarankan teknik tersebut. Konselor juga akan menghormati
secara utuh keputusan konseli untuk melakukan atau tidak melakukan teknik
itu. Beberapa konselor feminis juga menggunakan kontrak sebagai cara untuk
membuat tujuan dan proses konseling menjadi jelas dan tidak samar/misterius.
Tema utama yang tergambar dalam hubungan konselor-konseli adalah
keikutsertaan dan peran utama konseli dalam asesmen dan proses konseling.
Komitmen untuk selalu mengikutsertakan konseli sejak awal hingga sesi
terakhir ini bertujuan untuk menjaga agar hubungan konseling tetap seegaliter
mungkin. Walden (dalam Corey, 2009) menekankan nilai mendidik dan
memberdayakan konseli. Jika konselor tidak memberikan informasi yang
cukup pada konseli mengenai hakikat proses konseling, itu artinya konselor
tersebut menolak potensi partisipasi aktif konseli dalam konselingnya. Jika
konselor membuat keputusan tentang konseli untuk konseli, dan bukannya
bersama konseli, itu artinya konselor telah merampok power konseli dalam
hubungan konseling. Kolaborasi dengan konseli dalam segala aspek konseling
akan membawa pada hubungan yang tulus dengan konseli.
31
5) Biblioterapi
Buku-buku nonfiksi, buku-buku teks konseling dan psikologi,
otobiografi, buku-buku self-help, video edukasional, film-film, dan bahkan
novel dapat digunakan sebagai sumber biblioterapi. Membaca tentang
perspektif feminis mengenai masalah-masalah umum dalam kehidupan
wanita (seperti incest, perkosaan, pemukulan, dan pelecehan seksual) akan
menyadarkan wanita dari kecenderungan menyalahkan dirinya sendiri dalam
masalah-masalah tersebut (Remer, 2008). Dalam praktiknya, teknik ini
dilakukan dengan konselor terlebih dulu menyebutkan beberapa buku yang
membahas mengenai ketimpangan-ketimpangan antara pria dan wanita,
kemudian konseli memilih salah satunya untuk dibaca selama beberapa
minggu/hari. Memberikan materi bacaan juga akan meningkatkan
pengetahuan dan mengurangi ketimpangan power antara konseli dan
konselor. Bacaan dapat menjadi suplemen bagi hal-hal yang telah dipelajari
konseli dalam sesi konseling.
6) Assertive training
Dengan mengajarkan dan mendorong perilaku asertif, para wanita
dapat menyadari hak-hak interpersonalnya, tidak stereotip peran gender,
dapat mengubah keyakinan-keyakinan negatifnya, serta dapat melakukan
perubahan-perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Konselor dan konseli
mencari perilaku apa yang tepat secara budaya, dan konseli membuat
keputusan mengenai kapan dan bagaimana menggunakan keterampilan
asertif tersebut.
Dengan mempelajari dan mempraktikkan perilaku dan komunikasi
yang asertif, konseli akan mengalami peningkatan power. Dengan teknik ini,
konseli akan belajar mengenai bahwa ia berhak meminta apa yang ia
inginkan dan butuhkan. Konselor juga perlu membantu konseli untuk
mengevaluasi dan mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi perilaku
asertifnya, yang mungkin berbentuk kritik atau ia mendapatkan apa yang
diinginkannya.
31
BAB III
APLIKASI KONSELING FEMINIS
Contoh Kasus
“Siti Nurjazilah atau lebih dikenal dengan nama Lisa, terpaksa harus menjalani hari-
harinya dengan mengurung diri di rumah. Wajahnya rusak karena disiram oleh air
keras oleh suaminya sendiri. Suaminya yang sangat pencemburu melakukan
penyiraman agar Lisa yang berwajah cantik tidak mungkin lagi berhubungan dengan
laki-laki lain. Setelah disiram air keras pun, Lisa tidak diijinkan untuk keluar rumah.
Hal ini disebabkan karena suaminya takut tindakannya terhadap Lisa diketahui oleh
masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya” (Gema Pria BKKBN, 10 Oktober 2006).
Pembahasan
Berdasarkan contoh kasus di atas, maka penyelesaian yang mungkin
dilakukan adalah dengan menggunakan konseling feminis dengan menggunakan
berbagai teknik yang ada didalam konseling feminis itu sendiri contohnya dengan
menggunakan teknik Group work menjadi populer sebagai cara bagi para wanita
untuk mendiskusikan kurang dihargainya suara mereka dalam berbagai aspek di
masyarakat. Secara historis, group work telah digunakan dalam rangka
penyadaran (consciousness-raising) dan memberikan dukungan kepada para
wanita (Herlihy & McCollum, 2007). Kelompok consciousness-raising adalah
kelompok yang pertama kali memfasilitasi para wanita untuk berbagi pengalaman
ditekan dan tidak berdaya. Dengan cepat kelompok ini kemudian berubah menjadi
kelompok self-help yang memberdayakan para wanita dan menantang pola-pola
sosial saat itu (Evans, Kincade, Marbley, & Seem, 2005). Konselor feminis dapat
mendorong konselinya untuk bertransisi dari konseling individual ke format
kelompok ini (Herlihy & McCollum, 2007).
A. Kesimpulan
Konseling pernikahan yang sensitif gender merupakan solusi alternatif untuk
membantu pasangan suami istri yang ingin membangun keharmonisan dengan
memberi tanggung jawab, pemberdayaan, penguatan kepada keduanya, suami dan
istri, terhadap masing-masing peran yang harus dijalankan secara sinergi,
kemitraan, dan kerja sama berasaskan sendi saling mencintai, menyayangi, dan
menghargai, untuk menciptakan kebahagiaan yang dapat dinikmati bersama
seluruh anggota keluarganya secara lahir dan batin. Konseling pernikahan
merupakan konseling yang bertujuan untuk membantu pasangan suami-istri
mengurangi gangguan keharmonisan rumah tangga. Suami dan istri sama-sama
berhak merasakan dan berkewajiban menciptakan kedamaian, ketentraman, dan
kebahagiaan dalam rumah tangga (Nurhayati, 2011).. Praktik konseling feminis
adalah yang praktik konseling yang pertama yang sensitif gender (Enns, 2004).
B. Implikasi
1. Teoritis
Secara teoritis makalah ini memperlihatkan bahwa Konseling Feminis
merupakan salah satu alternative bantuan yang dapat diberikan oleh terapis
atau konselor dalam menangani berbagai persoalan dalam keluarga, terutama
berkaitan dengan pola komunikasi dan relasi dalam keluarga.
2. Praktis
Secara praktis makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para
pendidik, konselor, orangtua, dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembinaan
keluarga dan pendidikan. Makalah ini diharapkan mampu memberikan
wacana, masukan, gagasan, dan ide baru dalam pelaksanaan terapi keluarga.
C. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat diusulkan berkaitan dengan penulisan
makalah ini adalah :
33
31
Enns, Carolyn Zebre. (2004). Gestalt Therapy dan Feminist Therapy: a Proposal
Integration. Journal of Counseling and Development, Vol 66, 93-95:
Tersedia: http://searchebscohost.com (22 Agustus 2009)
Good, Glenn E; Gilbert, Lucia A; Scher, Murray. (1990). Gender Aware Therapy:
A Synthesis of Feminist Therapy and Knowledge about Gender. Journal of
Counseling and Development : JCD; Mar 1990; 68, 4; Research Library.
pg. 376.
Ivey, A. E., D’Andrea, M., Ivey, M. B., & Morgan, L. S. 2009. Theories of
Counseling & Psychotherapy: A Multicultural Perspective. Boston:
Pearson Education, Inc.
33