Anda di halaman 1dari 35

1

Teori Konseling Feminis


(Gender Sensitive Family Therapy (Woman))

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bimbingan dan Konseling
Keluarga yang diampu oleh Prof. Dr. Hj. Melly Sri Sulastri, M.Pd. dan
Dr. Euis Farida, M.Pd.

Oleh
FITRI HUSAIBATUL KHAIRAT HSB
1605242

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2017
31

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT karena atas kuasanya


diberikan kekuatan dan kesehatan serta kemampuan yang dimiliki sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Teori Konseling
Feminis (Gender Sensitive Family Therapy (Woman))”.
Adapun tujuan pembuatan tugas ini bukan hanya sekedar memenuhi tugas
pada mata kuliah, namun diharapkan menjadi bahan tambahan pengetahuan dan
ilmu pengetahuan, sebagai pengembangan kualitas mahasiswa, serta dapat
dijadikan bahan pertimbangaan dalam mengambil kebijakan pemberian tugas dan
pengembangan disiplin ilmu bimbingan dan konseling dimasa yang akan datang.
Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.
Dr. Hj. Melly Sri Sulastri, M.Pd. dan Dr. Euis Farida, M.Pd. selaku dosen
pengampu yang telah banyak membantu baik kritik maupun saran konstruktif
demi kesempurnaan tugas yang dimaksud.
Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan
sumbangsih ilmiah bagi pembaca dan penulis.

Bandung, Oktober 2017

Penulis
31

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar belakang ...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 3
C. Rumusan Masalah................................................................................. 4
D. Tujuan .................................................................................................... 5
E. Manfaat .................................................................................................. 5
F. Sistematika ............................................................................................. 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................ 7
A. Sejarah ................................................................................................... 7
B. Konsep Teori ......................................................................................... 11
C. Pengembangan ...................................................................................... 15
D. Langkah-langkah Penerapan Konseling Feminis .............................. 17
E. Penerapan Teori Konseling Feminis ................................................... 22
BAB III APLIKASI TEORI KONSELING FEMINIS ................................. 27
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................... 30
A. Kesimpulan ............................................................................................ 30
B. Implikasi ............................................................................................... 30
1. Teoritis ............................................................................................ 30
2. Praktis .............................................................................................. 30
C. Rekomendasi ......................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga merupakan institusi terkecil dari masyarakat dan negara,
yang memiliki struktur sosial serta sistemnya sendiri. Keluarga
didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah
yang masih mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan darah
karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya (Willis:2009).
Konseling keluarga yang sensitif gender merupakan solusi alternatif
untuk membantu pasangan suami istri yang ingin membangun
keharmonisan dengan memberi tanggung jawab, pemberdayaan,
penguatan kepada keduanya, suami dan istri, terhadap masing-masing
peran yang harus dijalankan secara sinergi, kemitraan, dan kerja sama
berasaskan sendi saling mencintai, menyayangi, dan menghargai, untuk
menciptakan kebahagiaan yang dapat dinikmati bersama seluruh anggota
keluarganya secara lahir dan batin.
Gender identik dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Permasalahan yang dibawa ke dalam proses konseling akan melibatkan
seluruh anggota keluarga, karena pada dasarnya jenis kelamin laki-laki dan
perempuan ini akan selalu hadir dalam sebuah keluarga manakala mereka
sudah diikat oleh tali perkawinan yang syah. Oleh karena itu
membicarakan gender secara otomatis akan berbicara juga masalah
keluarga. Kompleksnya permasalahan yang diakibatkan oleh gender dalam
sebuah keluarga, misalnya perbedaan pendapat tentang pentingnya
pendidikan dalam keluarga, karir suami/istri, kepengurusan anak,
kenakalan anak, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang
dialami istri/perempuan dan anak-anak, semua ini harus diselesaikan
secara kekeluargaan dengan bantuan konselor yang memahami gender
dengan segala permasalahan yang ditimbulkannya.
Konseling yang sensitif gender tersebut dilakukan karena pada
dasarnya keutuhan rumah tangga adalah menjadi tanggung jawab bersama

33
31

antara suami dan istri. Namun, kenyataan yang terjadi bahwa pihak istri
sering menjadi korban yang disalahkan, dan menjadi pihak yang lemah,
dan kalah saat permasalahan rumah tangga terjadi. Untuk itu, konseling
sensitif gender ini mencoba untuk mengentaskan permasalahan rumah
tangga dengan menghadirkan pihak suami maupun istri dalam proses
layanannya, guna menggali informasi lebih dalam titik permasalahan.
Selain itu, konseling yang sensitif gender ini ditujukan juga untuk
menyadarkan pasangan suami istri untuk menjaga keutuhan rumah tangga
secara bersama-sama, seberapa jauh salah satu pihak menjaga
keharmonisan, sedangkan pihak lain tidak menghiraukan hal itu, maka
yang terjadi tidak akan bisa terbangun hubungan yang sejalan dan
sepemikiran. Hal yang terjadi justru akan terus terulang kembali
permasalahan-permasalahan yang semakin membesar sehingga berujung
perceraian.
Makna dari sensitifitas gender pada akhirnya kembali pada nilai
kesetaraan gender. Yaitu suatu sikap, baik dalam bentuk perkataan
maupun perbuatan yang mendukung kesetaraan gender, dan sangat
menghindari diskriminasi atas jenis kelamin tertentu. Sedangkan lawan
katanya adalah bias gender. Pandangan tentang konsep gender secara
tradisional menempatkan pihak laki-laki pada sektor publik (di luar rumah
tangga) sementara pihak perempuan berada di sektor domestik (rumah
tangga). Peran gender diarahkan pada konsep kesetaraan dengan
memberikan peluang kepada laki-laki dan perempuan untuk dapat
beraktivitas di sektor publik. Terapi feminis merupakan kajian terkait
dengan psikologi perempuan, penelitian pengembangan, teknik cognitive-
behavior, kesadaran multikultural dan aktivitas sosial (Evans, et. al.,
2005).
Terapi Feminis dikembangkan untuk menanggapi tantangan dan
kebutuhan yang muncul dari wanita (Brabeck & Brown, 1997). Terapi
feminis muncul empat dekade yang lalu sebagai salah satu kebutuhan
psikologis bagi perempuan yang mengalami gangguan psikologis. Pada
awal berkembangnya terapi feminis masih ekslusif pada kelompok
31

perempuan. Hal ini disebabkan karena gerakan perempuan untuk


mendekonstruksi peran gender bertujuan untuk memperoleh kesetaraan
dengan laki-laki. Namun dalam perkembangannya, feminis terapi tidak
bersifat non sexist, sehingga pendekatan terapi feminist dapat
diaplikasikan pada laki-laki maupun perempuan.
B. Identifikasi Masalah
Perubahan pada struktur dapat dilihat melalui peran yang dimainkan
oleh laki laki dan perempuan berdasarkan pembagian kerja dan status.
Status dapat dilihat dari distribusi kekayaan, pengambilan keputusan,
penghasilan, kekuasaan dan prestise. Misalnya, peran dan posisi
perempuan dikaitkan dengan lingkup domestik dan berurusan dengan
lingkup kerumahtanggaan, sementara laki laki urusan publik atau luar
rumah (pembagian kerja dalam rumahtangga). Oleh karena itu, perempuan
selalu ditempatkan dalam peran dan posisi minoritas karena dianggap
mempunyai status lebih rendah daripada laki-laki. Bagi perempuan,
struktur tersebut masih sulit untuk mengimbangi laki-laki, karena bagi
perempuan yang ingin berkiprah di ranah publik masih harus
bertanggungjawab di ranah domestik (beban ganda). Perempuan dalam hal
ini tidak berdaya untuk menghindar dari ranah tersebut karena sudah
menjadi persepsi budaya secara umum. Kontrol budaya yang bersifat
patriarkhi menjadi penghambat adanya perubahan peran gender (Lindsey,
1990 : 89).
Pengembangan karir perempuan masih memiliki banyak kendala,
terlebih adanya keyakinan masyarakat yang kurang menerima jika
perempuan lebih sukses dari pasangannya. Jika terjadi kasus demikian,
tidak jarang muncul konflik yang berakar dari kesuksesan pada pihak
perempuan. Problem lain yang tidak cukup mengerikan adalah masalah
kekerasan seksual, pelecehan dan perkosaan. Problem ini hampir selalu
ditemukan pada semua negara. Beberapa catatan yang menunjukkan
beragam problem perempuan seperti yang di laporkan oleh Rita Chi dan
Ying Chung (2005) memaparkan bahwa data statistik dari catatan WHO
(2003) menunjukkan ada perbedaan pola stres antara laki-laki dan
31

perempuan yang dipicu oleh keadaan kehidupan sosial seperti


ketidakberdayaan, kelelahan, kemarahan, ketakutan, kelaparan,
kemiskinan, kelebihan pekerjaan, kekerasan dan ketergantungan ekonomi.
Sementara itu sebuah survey juga mencatat bahwa sejumlah 10% s.d. 69%
perempuan di dunia mengalami serangan fisik dari pasangan (Rita Chi dan
Ying Chung, 2005).
Problematika yang dihadapi oleh laki-laki berbeda dengan perempuan.
Peran tradisional laki-laki menempatkan posisi laki-laki sebagai figur yang
mandiri. Stereotype ini berdampak pada peran sosial laki-laki yang
dianggap sebagai pelindung dan Problem pada laki-laki adalah
keengganan untuk dibantu karena stereotype bahwa laki-laki harus
mandiri, tegas dan kuat, turut berkontribusi terhadap ketidakmauan laki-
laki untuk memperoleh atau mencari bantuan (Good, 1990). Lebih lanjut
Good (1990) menggaris bawahi bahwa salah satu problem serius bagi laki-
laki adalah disfungi seksual.
Berbeda dengan kedua problem sebelumnya, masalah pasangan dan
keluarga problem gender terfokus pada upaya yang lebih erat (intimasi).
Pemahaman gender juga diperlukan dalam kehidupan perkawinan dan
keluarga. Pola komunikasi, perkawinan yang kurang memuaskan
pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah finansial keluarga,
mengasuh anak, semua berakar dari pemahaman tentang konsep gender.
Prinsip-prinsip gender aware therapy berkontribusi pada efektivitas
treatmen untuk mengatasi kompleksitas problem perkawinan dan keluarga
(Good, 1990).

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah, dapat
dirumuskan lima pokok permasalahan sebegai berikut:
1. Bagaimana sejarah teori konseling feminis?
2. Apa konsep dasar teori konseling feminis?
3. Bagaimana pengembangan teori konseling feminis?
4. Bagaimana langkah-langkah penerapan teori konseling feminis?
31

5. Permasalahan apa saja yang dapat ditangani menggunakan proses


konseling teori konseling feminis?
D. Tujuan
Adapun penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui sejarah teori konseling feminis.
2. Mendeskripsikan konsep dasar teori konseling feminis.
3. Mengetahui pengembangan teori konseling feminis.
4. Mengetahui langkah-langkah penerapan teori konseling feminis.
5. Mengkaji permasalahan yang dapat ditangani menggunakan proses
konseling teori feminis terapi.

E. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, makalah ini diharapkan dapat memberikan mafaat
berupa pemberian gambaran secara umum mengenai model teori
gender sensitive family therapy yang dibahas pada makalah ini adalah
konseling feminis
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, makalah ini diharapkan dapat memberikan dasar
dalam mengaplikasikan konseling keluarga dengan menggunakan
model-model teori ekperiensial, serta bagi konselor diharapkan dapat
dijadikan dasar untuk mendesain program bimbingan dan konseling
keluarga berdasarkan teori eksperiensial.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri atas empat bab, yakni Bab I :
Pendahuluan, Bab II : Kajian Pustaka, Bab III : Aplikasi Toeri, Bab IV:
Kesimpulan.
Bab I : Pendahuluan menguraikan inti dan arah penulisan makalah,
meliputi latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan,
manfaat, dan sistematika penulisan.
31

Bab II: Kajian Pustaka terdiri dari sejarah teori konseling feminis,
konsep dasar teori konseling feminis, pengembangan teori konseling
feminis, langkah-langkah penerapan teori konseling feminis, dan kajian
mengenai permasalahan-permasalahan yang dapat ditangani melalui
proses konseling menggunakan konseling feminis.
Bab III: Aplikasi Teori yang membahas beberapa contoh kasus serta
pengaplikasian penggunaan teori eksperiensial dalam pelaksanaan
konseling keluarga.
Bab IV: Kesimpulan yang menguraikan kesimpulan, implikasi secara
teoritis dan praktis, serta rekomendasi. Kesimpulan pada makalah ini
diuraikan secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah pada Bab I.
Rekomendasi dirumuskan bagi konselor keluarga dan guru bimbingan dan
konseling.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Konseling pernikahan yang sensitif gender merupakan solusi alternatif


untuk membantu pasangan suami istri yang ingin membangun keharmonisan
dengan memberi tanggung jawab, pemberdayaan, penguatan kepada
keduanya, suami dan istri, terhadap masing-masing peran yang harus
dijalankan secara sinergi, kemitraan, dan kerja sama berasaskan sendi saling
mencintai, menyayangi, dan menghargai, untuk menciptakan kebahagiaan
yang dapat dinikmati bersama seluruh anggota keluarganya secara lahir dan
batin. Konseling pernikahan merupakan konseling yang bertujuan untuk
membantu pasangan suami-istri mengurangi gangguan keharmonisan rumah
tangga. Suami dan istri sama-sama berhak merasakan dan berkewajiban
menciptakan kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan dalam rumah tangga
(Nurhayati, 2011).. Praktik konseling feminis adalah yang praktik konseling
yang pertama yang sensitif gender (Enns, 2004).

A. Sejarah Konseling Feminis


Teori dan praktik terapi feminis berawal dari gerakan feminisme pada
tahun 1960-an, di mana para wanita membentuk sebuah forum untuk secara
aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal
yang memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua.
Feminisme, yang merupakan dasar filosofis bagi konseling feminis, “bertujuan
untuk menumbangkan patriarki dan mengakhiri diskriminasi gender melalui
transformasi kultural dan perubahan sosial radikal” (Brown, 1994, hal. 19).
Betty Freidan, salah satu aktivis feminis paling vokal menuliskan wajah
feminisme ini dalam bukunya, The Feminine Mystique(1963).
The National Organization for Women (Organisasi Nasional Para Wanita),
yang lazim disingkat NOW, merupakan organisasi yang sangat getol dalam
mengupayakan reformasi struktur sosial dan peran-peran tradisional wanita,
serta menyuarakan feminisme antara tahun 1960 hingga 1970-an. Seiring
dengan pertumbuhan gerakan feminis, beberapa perempuan membentuk

33
31

kelompok-kelompok untuk melakukan penyadaran (consciousness raising)


dan mendiskusikan lemahnya suara kolektif mereka dalam politik, tempat
kerja, ekonomi, pendidikan, dan arena sosiopolitik signifikan lainnya
(Kaschak, 1992; Kirsh, 1987). Kelompok consciousness raising (usaha
penyadaran para wanita) awalnya merupakan kelompok-kelompok para wanita
yang bertemu secara semi terstruktur untuk berbagi pengalaman atas tekanan
dan ketidakberdayaan yang mereka alami. Kelompok-kelompok ini kemudian
berkembang menjadi kelompok self-help (tolong diri) yang tertata dalam
memberdayakan para perempuan dan menentang norma sosial yang ada saat
itu (Evans, Kincade, Marbley & Seem, 2005).
Konseling feminis berkembang dari kelompok-kelompok consciousness
raising ini, yang kemudian memainkan peranan penting dalam pendidikan,
radikalisasi, dan mobilisasi perempuan pada awal tahun 1970-an. Meskipun
telah menjadi instrumen penting bagi penyadaran para wanita, namun dalam
hal usaha perubahan secara politis, kelompok-kelompok consciousness
raising ini tidak seefektif organisasi semacam The National Organization for
Women (Freeman, 1989). Karena itu, kelompok-kelompok consciousness
raising ini lebih banyak mengambil peran dalam melakukan perubahan
personal dan memberikan support bagi para anggotanya (Lieberman, Solow,
Bond & Reibstein, 1979).
Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya konseling feminis sebagai salah
satu pendekatan dalam psikoterapi. Konseling dan psikoterapi feminis tidak
dikembangkan oleh tokoh tertentu, tidak memiliki posisi teoretis tertentu, serta
tidak dilengkapi dengan teknik tertentu (Enns, 2004; Evans et al., 2005).
Konseling dan psikoterapi feminis fase awal ini didasari oleh pandangan
bahwa para perempuan sama-sama memiliki pengalaman ditekan dan menjadi
korban. Karena itu, hanya pendekatan proaktiflah yang secara efektif dapat
membantu mereka.
Teori feminis berkembang melalui tiga fase yang berbeda: radikal, liberal,
dan moderat. Teori feminis awal mengambil bentuk konseling dan psikoterapi
radikal, di mana teori ini menggunakan teknik-teknik yang didesain untuk
membantu para wanita agar dapat menyadari bahwa masyarakat yang
31

patriarkal merupakan pusat dari kebanyakan masalah mereka, dan perubahan


tidak akan terjadi kecuali jika mereka diberdayakan agar dapat merasa dan
bertindak sejajar dengan para pria. Para konselor dan terapis feminis radikal
dengan penuh semangat akan mengemukakan tujuan dan prinsip-prinsip
feminisme dalam konseling, yang berisi di antaranya: (1) mendorong
independensi finansial, (2) memandang bahwa masalah para wanita
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, dan (3) menyarankan agar konseli
dapat terlibat dalam aksi-aksi sosial (Enns, 2004). Konseling dan psikoterapi
feminis radikal ini mendorong agar konseli berpartisipasi aktif dalam
kelompok-kelompok aksi sosial dan gerakan-gerakan keadilan sosial lainnya
untuk memperjuangkan perubahan sosial yang akhirnya akan menghasilkan
keadilan gender.
Walstedt (dalam Enns, 1993) menyebut konseling feminis sebagai “terapi
kesetaraan radikal” yang membuatnya memiliki ciri berbeda dari konseling
tradisional dengan komposisi hierarkisnya dan penekanan pada advokasi dan
aktivisme. Fase radikal teori konseling feminis ini berlangsung kira-kira
selama 10 tahun dan menjadi awal bagi perkembangan institusi-institusi
advokasi perempuan lain, seperti pusat-pusat krisis korban perkosaan, yang
menyediakan berbagai layanan untuk para wanita (Enns, 1993).
Tidak semua tokoh feminis menerima konseling dan psikoterapi feminis
ini. Beberapa tokoh, selama periode ini, berpendapat bahwa feminisme dan
konseling tidaklah sejalan, karena dalam konseling terjadi “salah satu
berposisi di atas dan salah satu di bawah, yang mendorong para konseli wanita
untuk memberikan ruang dominasi pada konselornya dan bukannya
mengambil tanggung jawab pribadi” (Enns, 1993, hal. 8). Karena itu,
pendekatan kelompok lebih dipilih oleh konselor feminis sebab di dalamnya
relatif akan terjadi keseimbangan power antara konselor dan konseli, di mana
antara keduanya akan saling menerima dan memberi dukungan emosional.
Selain itu, dengan pendekatan kelompok, lebih banyak lagi wanita yang akan
dapat dibantu, sehingga akan lebih berefek pada perubahan sosial (Kaschak,
1981).
31

Tahun 1980-an dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut pemikiran


feminis (Dutton-Douglas & Walker, 1988). Gagasannya adalah menguji teori-
teori konseling tradisional dalam perspektif feminisme, dan kemudian
menghilangkan bagian-bagian pendekatan tradisional yang memandang pria
dan wanita secara dikotomis (patriarkal) (Elliott, 1999). Beberapa praktisi
konseling feminis awal mengajukan androgini, yaitu integrasi antara
karakteristik maskulin dan feminin tradisional, sebagai kondisi kesehatan
mental ideal yang menjadi tujuan konseling (Enns, 2004). Konselor dan
terapis feminis didorong untuk memilih metode-metode, yang terdapat dalam
pendekatan-pendekatan tradisional, yang tidak berpotensi bias gender (Enns,
1993).
Secara berlawanan dan dalam waktu yang sama, konseling dan psikoterapi
feminis juga didefinisikan sebagai entitas yang berbeda (Enns, 1993). Selama
masa ini, para ahli konseling feminis menyusun tahap-tahap konseling dan
keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam melakukan konseling
feminis (Ballou & Gabalac, 1984; Fitzgerald & Nutt, 1986). Begitu pula, teori
kepribadian feminis diajukan untuk mendukung dan mengintegrasikan
praktik-praktik terapi ini (Enns, 1993).
Konseling dan psikoterapi feminis kemudian menjadi semakin liberal dan
kurang radikal. Feminis liberal menekankan tujuan yang berbeda dari feminis
radikal. Feminis liberal memandang konseling sebagai proses untuk
memperoleh pemahaman diri serta memandang perlunya fleksibilitas dalam
membantu konseli menyelesaikan masalahnya (Enns, 2004).
Sejak akhir tahun 1980-an, terjadi pergerakan dalam teori feminis yang
memperkenalkan potensi feminin, fokus pada kesetaraan, dan mengajukan
asumsi bahwa sebagian besar masalah wanita diciptakan oleh masyarakat
yang tidak menghargai atau membebaskan para wanita untuk melakukan
kehendaknya. Tidak seperti konseling feminis di tahun-tahun sebelumnya,
nada konseling dan psikoterapi feminis menjadi lebih moderat; feminis
moderat mengadaptasi tujuan-tujuan feminis radikal dan liberal. Semenjak
tahun 1980-an, penggunaan pendekatan kelompok menjadi berkurang, dan
konseling individual lebih sering diterapkan dalam praktik feminis (Kaschak,
31

1981). Fase ketiga perkembangan konseling dan psikoterapi feminis ini masih
terus mengalami pengembangan dan terus berusaha memperjelas tugas
konselor/terapis feminis (Enns, 2004; Walker, 1990).

B. Konsep Dasar Teori


1. Hakikat Manusia menurut Konseling Feminis
Wanita, dalam banyak kultur besar, ditekan dan dieksfloitasi secara
sistematis. Dalam hal ini Llewelyn dan Osborne (1983) berpendapat bahwa
terapi keluarga dibangun di atas empat asumsi dasar tentang pengalaman
sosial wanita :
a) Wanita secara konsisten berada dalam posisi berbeda dengan pria.
Misalnya, wanita cenderung memiliki kekuasaan dan status yang lebih
lemah dalam pekerjaan. J.B. Miller (1987) mengobservasi bahwa
wanita yang berusaha menjadi berkuasa ketimbang pasif dipandang
sebagai egois, desktruktif dan tidak feminin.
b) Wanita diharapkan untuk sensitif terhadap perasaan orang lain, dan
memberikan pelayanan emosional, terutama terhadap pria.
c) Wanita diharapkan untuk terhubung dengan pria, dengan demikian
maka mendapatkan otonomi adalah hal yang sulit.
d) Masalah seksualitas menjadi sangat sulit bagi wanita. Faktor ini
bersumber dari konteks sosial di mana imaji tubuh wanita yang ideal
digunakan untuk menjual komoditas, kepercayaan diri seksualitas
wanita merupakan ancaman bagi banyak pria dan kekerasan seksual
terhadap wanita menyebar dengan luas.

Konselor dan terapis feminis kontemporer berpraktik dengan perspektif


teori yang bermacam-macam. Namun Enns, Sinacore, Ancis dan Philips
(2004) mengidentifikasi 4 feminisme yang muncul dan berfokus pada
diskriminasi-diskriminasi gender:
31

1) Feminis Posmodern. Mereka berpendapat bahwa realita merupakan


konstruksi sosial. Feminis ini berfokus pada mengubah konteks di mana
tekanan terhadap wanita terjadi.
2) Womanist, adalah sebuah istilah yang sering diungkapkan oleh para
feminis warna (kulit), yang berfokus pada adanya interaksi seksisme,
pengkelas-kelasan (classism), dan rasisme, serta berusaha untuk
menghapus segala bentuk tekanan.
3) Feminis Lesbian. Mereka percaya bahwa heteroseksisme merupakan
inti dari tekanan terhadap wanita.
4) Feminis Trans-nasional atau Feminis Global. Feminis ini berusaha
menghubungkan pengalaman-pengalaman wanita dan eksploitasi
terhadap mereka di seluruh dunia.

Berdasar perspektif-perspektif tersebut, menjadi jelaslah bahwa teori


feminis tidak hanya satu dan tidak ada teori feminis yang disepakati bersama.
Seperti juga pada pergerakan feminis itu sendiri, terjadi banyak pro dan kontra
terhadap konseling dan psikoterapi feminis. Kritik seringkali datang dari
mereka yang tidak familiar dengan teori-teori feminisme dan mereka yang
memiliki konsep keliru bahwa terapi feminis adalah terapi yang anti laki-laki.
Menurut Ballou dan Gabalac (1984) dan Enns (1992), para konselor dan
terapis feminis tidaklah anti laki-laki; mereka hanya berusaha agar terjadi
kesetaraan sosial bagi wanita.
Karena banyak praktik konseling tradisional yang “berbahaya” jika
digunakan untuk wanita (hooks, 2000), maka para konselor dan terapis
feminis berusaha menguji orientasi teoretis konseling tradisional tersebut dari
sudut pandang feminis (Enns, 1993). Meskipun terdapat banyak perspektif,
Evans et al. (2005) mendeskripsikan konseling feminis modern sebagai
pendekatan yang mengintegrasikan psikologi wanita, riset-riset tentang
perkembangan wanita, teknik-teknik kognitif behavioral, kesadaran
multibudaya, dan aktivisme sosial ke dalam sebuah teori dan paket terapi yang
koheren
31

2. Tujuan Konseling Feminis


Tujuan konseling pernikahan sensitif gender adalah untuk memberi
wawasan kepada suami istri dalam mengembangkan relasi harmoni antara
keduanya sehingga harapan ideal pernikahan mereka dapat terwujud
(Nurhayati, 2011:267). Menurut Enns (2004), tujuan konseling feminis
berkisar pada pemberdayaan, menghargai dan menyatakan perbedaan,
berusaha melakukan perubahan daripada hanya sekedar penyesuaian,
kesetaraan, menyeimbangkan independesi dan interdependensi, perubahan
sosial, dan self-nurturance (menjaga diri). Enns juga menambahkan bahwa
tujuan kunci konseling ini adalah untuk membantu individu agar dapat
memandang dirinya sebagai agen kepentingan dirinya dan kepentingan orang
lain. Yang pasti, tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan
seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di
masyarakat (Worell & Remer, 2003).
Menurut Enns (dalam Corey, 2009), tujuan konseling feminis berkisar
pada pemberdayaan, menghargai perbedaan, berusaha melakukan perubahan
(daripada hanya sekedar penyesuaian), kesetaraan, menyeimbangkan
independesi dan interdependensi, perubahan sosial, dan self-
nurturance (peduli diri). Enns juga menambahkan bahwa tujuan kunci
konseling adalah untuk membantu individu agar dapat memandang diri
sebagai agen kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain. Yang pasti,
tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan seksisme serta
segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di masyarakat. Konseling
feminis berusaha melakukan transformasi, baik terhadap konseli secara
individual maupun terhadap masyarakat secara umum.
Pada level individual, konselor feminis bekerja untuk membantu para
wanita dan pria agar mengenali, menuntut, dan mendapatkan powerpersonal
mereka. Pemberdayaan konseli merupakan inti dari konseling ini, yang
merupakan tujuan jangka panjang konseling. Dengan diberdayakan, konseli
akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari ikatan-ikatan peran gender
serta dapat menantang tekanan-tekanan institusional atas dirinya.
31

Menurut Worell & Remer (dalam Corey, 2009), konseling feminis


membantu konseli untuk:
a) Menyadari proses sosialisasi peran gendernya sendiri.
b) Mengidentifikasi pesan-pesan yang telah terinternalisasi dalam dirinya
untuk kemudian menggantinya dengan yang lebih konstruktif
(membuatnya lebih dapat berkembang).
c) Memahami bahwa keyakinan-keyakinan serta praktik-praktik
masyarakat yang seksis dan opresif memberikan pengaruh negatif pada
dirinya.
d) memperoleh keterampilan-keterampilan untuk melakukan perubahan
pada lingkungan.
e) Merestrukturisasi institusi-institusi untuk membersihkannya dari
praktik-praktik diskriminasi.
f) Mengembangkan sejumlah perilaku yang dipilih secara bebas.
g) Mengevaluasi dampak faktor-faktor sosial terhadap kehidupannya.
h) Mengembangkan rasa personal dan daya sosial.
i) Mengenali kekuatan relasi dan keterhubungan.
j) Mempercayai pengalaman pribadi dan intuisinya.

Secara lebih khusus, Klein, Sturdivant, dan Enns (dalam Sharf, 2004)
memaparkan enam tujuan konseling feminis:
1) Penghilangan symptom (symptom removal). Tujuan ini merupakan
tujuan konseling tradisional, di mana juga dapat digunakan dalam
konseling feminis asalkan tidak mengganggu tumbuh kembang
wanita.
2) Self-esteem (harga diri). Yang dimaksud dengan self-esteem dalam
terapi feminis adalah adalah tidak menggantungkan diri pada sumber-
sumber eksternal (apa yang dipikirkan oleh orang lain), namun
berdasar pada perasaan pribadi terhadap dirinya sendiri. Untuk wanita,
ini artinya melakukan sesuatu berdasarkan kriteria dirinya sendiri dan
tidak terlalu memikirkan apa yang orang lain (teman, keluarga, dan
31

media) katakan tentang bagaimana seharusnya ia berpenampilan,


bertindak dan berpikir.
3) Kualitas hubungan interpersonal. Kualitas hubungan interpersonal ini
harus meningkat setelah berlangsungnya konseling. Bagaimanapun,
menjadi lebih ekspresif, fasilitatif, dan peduli pada teman dan
keluarga tidak perlu sampai mengorbankan kebutuhan pribadi konseli.
Daripada menjadi tergantung pada orang lain, para wanita dapat
meningkatkan hubungannya dengan cara bersikap lebih asertif. Tujuan
terapi feminis tidaklah hanya untuk meningkatkan hubungan dengan
teman dan keluarga, namun konseling ini juga memberikan perhatian
pada kualitas hubungan dengan para wanita.
4) Body image dan sensualitas seringkali dicirikan untuk wanita oleh
media dan laki-laki, karena masyarakat memang sangat
mementingkan kemenarikan fisik bagi wanita. Tujuan terapi feminis
adalah untuk membantu individu-individu agar menerima kondisi fisik
dan seksualitasnya, serta tidak menggunakan standar orang lain dalam
menilai kondisi fisiknya sendiri. Keputusan orientasi seksual juga
harus diputuskan oleh individu tanpa adanya paksaan dari orang lain.
5) Perhatian pada perbedaan (attention to diversity) merujuk pada
penghargaan atas perbedaan budaya konseli. Walaupun para konseli
perempuan memiliki beberapa masalah dan tujuan yang nyaris
seragam, kehidupan mereka dibentuk oleh pengalaman yang beragam
yang berasal dari latar belakang budaya, bahasa, agama, ekonomi, dan
orientasi seksual yang berbeda.
6) Kesadaran politik dan aksi sosial adalah tujuan pokok terapi feminis.

C. Pengembangan Teori
Perspektif feminis didasari oleh sebuah keyakinan bahwa teori-teori
tradisional mengenai hakikat dan perkembangan manusia, yang
ditemukembangkan dengan perspektif pria-pria Barat, tidaklah dapat
diterapkan secara universal. Kebanyakan teori-teori tersebut dikembangkan
berdasarkan studi atas laki-laki (sementara perempuan dianggap sama). Para
31

feminis menentang hal ini karena mereka memandang bahwa perempuan dan
laki-laki bersosialisasi dengan cara yang berbeda. Ekspektasi peran gender
berpengaruh sangat besar pada laki-laki dan perempuan, sehingga teori-teori
tradisional tersebut tidak mengena secara tepat pada perempuan.
Sosialisasi peran gender (gender-role socialization) merupakan proses
multifase, terjadi selama rentang kehidupan, serta menguatkan keyakinan-
keyakinan dan perilaku-perilaku tertentu yang oleh masyarakat dianggap
sebagai hal yang tepat berdasar jenis kelamin biologis (Remer, Rostosky &
Wright, 2001). Proses tersebut berdampak membatasi kepada perempuan dan
laki-laki. Sebagai contoh, mitos dan cerita-cerita yang sering kita sampaikan
pada anak-anak bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat, cerdik, dan mampu
dalam banyak hal, sementara wanita adalah sosok yang pasif, tergantung, dan
tidak memiliki banyak harapan. Contoh-contoh cerita tersebut seperti:
Oedipus yang memecahkan teka-teki Sphinx; Arthur yang mencabut pedang
Excalibur dari batu untuk menunjukkan bahwa ia adalah sang raja; dan Jack
yang memanjat batang pohon kacang raksasa untuk mendapatkan kekayaan
dan keberuntungan. Sebaliknya, Rapunzel dipenjara di sebuah menara tanpa
pintu, ditakdirkan menunggu pria penyelamat; nyawa Cinderella bergantung
pada pangeran yang memakaikan sepatu kaca di kakinya; dan Putri Tidur yang
baru dapat bangun jika dicium oleh laki-laki (Polster, 1992).
Cerita-cerita dan hal sejenis demikian akan berdampak luas bagi wanita
yang sedang bertumbuhkembang yang belajar bahwa femininitas adalah
kebalikan dari kekuatan, asertivitas, kompeten, dan bagi laki-laki yang
mempelajari bahwa maskulinitas merupakan kebalikan dari rasa takut,
ketergantungan, emosionalitas, atau kelemahan (Lerner, 1988). Di antara
dampak-dampak tersebut antara lain:
a) Pria didorong untuk bersikap dan bertindak cerdas, berprestasi, asertif,
dan mengejar cita-cita. Sebaliknya, wanita diupayakan untuk memiliki
kebijaksanaan yang dikenal dengan “intuisi wanita”, namun dicegah
untuk maju secara intelektual, kompetitif, atau agresif. Meskipun para
wanita saat ini sudah tidak diperlakukan seperti beberapa dekade lalu,
31

mereka masih tetap diharapkan untuk mendahulukan keluarga dan


menomorduakan karier dan kegiatan lainnya.
b) Laki-laki dituntut untuk menjadi mandiri. Laki-laki yang tidak mandiri
sering diistilahkan dengan “lemah” atau “keperempuan-perempuanan”.
Sebaliknya, kemandirian perempuan seringkali dipandang sebagai hal
yang negatif.
c) Laki-laki diharapkan untuk bersikap dan bertindak rasional, logis dan
pandai. Wanita, walaupun diharapkan emosional, akan dicap “histeris”
jika ia terlalu ekspresif dalam mengungkapkan emosinya. Untuk lak-
laki, kemarahan merupakan ekspresi emosi yang dapat diterima,
sebaliknya luapan emosi yang dapat diterima untuk wanita adalah
menangis.
Menurut Enns (2004), tujuan konseling feminis berkisar pada
pemberdayaan, menghargai dan menyatakan perbedaan, berusaha
melakukan perubahan daripada hanya sekedar penyesuaian, kesetaraan,
menyeimbangkan independesi dan interdependensi, perubahan sosial,
dan self-nurturance (menjaga diri). Enns juga menambahkan bahwa
tujuan kunci konseling ini adalah untuk membantu individu agar dapat
memandang dirinya sebagai agen kepentingan dirinya dan kepentingan
orang lain. Yang pasti, tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk
menghilangkan seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan
penindasan lainnya di masyarakat (Worell & Remer, 2003).

D. Penerapan Konseling Feminis


1. Fungsi dan Peran Konselor
Konseling feminis bersandar pada seperangkat asumsi filosofis yang dapat
diterapkan pada berbagai orientasi teoretis. Teori konseling apapun dapat
dievaluasi dengan kriteria gender-fair, flexible-multicultural, interaksionis,
dan orientasi sepanjang rentang kehidupan. Peran dan fungsi konselor akan
berbeda satu sama lain bergantung pada teori apa yang dikombinasikan
dengan prinsip dan konsep feminis. Dalam buku Case Approach to
Counseling and Psychotherapy (Corey, 2009, Bab 10) tiga terapis feminis
31

(Drs. Evans, Kincade, dan Seem) berkolaborasi untuk mendemonstrasikan


berbagai pendekatan intervensi feminis dalam menangani seorang konseli
bernama Ruth. Mereka juga mengkonseptualisasikan kasus Ruth ini dari
perspektif terapi feminis.
Para konselor feminis telah mengintegrasikan feminisme ke dalam
pendekatan konseling dan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tindakan,
keyakinan, serta kehidupan personal dan profesional mereka sejalan dengan
feminisme ini. Mereka berkomitmen untuk selalu memonitor bias dan distorsi
pribadi mereka, khususnya mengenai dimensi sosial dan kultural pengalaman
wanita. Konselor feminis juga berkomitmen untuk memahami
penindasan/opresi dalam segala bentuknya –seksisme, rasisme,
heteroseksisme– dan mencoba menyadari dampak penindasan dan
diskriminasi tersebut pada kesejahteraan psikologis seseorang. Mereka
bersedia hadir secara emosional untuk konselinya, mau berbagi selama sesi
konseling, menjadi model perilaku-perilaku proaktif, dan berkomitmen pada
proses peningkatan kesadaran (counsciousness-raising) pribadinya. Akhirnya,
walaupun para konselor feminis mungkin menggunakan teknik dan strategi
dari teori lain, mereka sangat unik dengan asumsi-asumsi feminis yang
mereka pegang teguh.
Konselor feminis memiliki dasar yang sama dengan konselor Adlerian
dalam hal tekanan utamanya pada kesetaraan dan minat sosial. Konselor
feminis sama dengan konselor eksistensial yang menekankan konseling
sebagai perjalanan bersama; bahwa kehidupan berubah tidak hanya untuk
konseli, namun juga untuk konselor, serta sama dalam meyakini bahwa
konseli mampu untuk bergerak maju secara positif dan konstruktif. Para
konselor feminis meyakini bahwa hubungan konseling harus tidak bersifat
hierarkikal, harus hubungan person-to-person (antar pribadi), dan mereka
berusaha memberdayakan konseli untuk menjalani hidup menurut nilai
pribadinya serta bersandar pada lokus kontrol internal (bukan eksternal) dalam
menentukan mana yang baik untuk dirinya. Seperti juga konselor person-
centered, konselor feminis menunjukkan genuineness(ketulusan) dan sikap
saling empati antara konselor dan konseli. Namun tidak sama dengan
31

konselor person-centered, konselor feminis tidak memandang hubungan


konseling semata sebagai sesuatu yang mencukupi untuk terjadinya
perubahan; insight, introspeksi, dan kesadaran diri merupakan batu loncatan
untuk menuju aksi. Konselor feminis bekerja untuk membebaskan para wanita
(dan pria) dari peran-peran yang telah mengikat mereka untuk merealisasikan
potensi masing-masing.
Beberapa konselor feminis sama dengan konselor posmodern dalam hal
penekanan pada politik dan power relationship dalam proses konseling, serta
dalam hal concern pada power relation di dunia secara umum. Baik konselor
feminis maupun posmodern menyatakan bahwa konselor seharusnya tidak
mereplikasi ketidakseimbangan power di masyarakat atau menciptakan
dependensi pada konseli. Sebaliknya, konselor dan konseli harus mengambil
peran yang aktif dan setara, bekerja bersama untuk menentukan tujuan dan
prosedur. Kesamaan umum antara pendekatan feminis dan posmodern adalah
penolakan atas peran konselor sebagai ahli yang tahu segalanya. Menurut
kedua pendekatan ini konselor seharusnya memegang peran sebagai
“relational-expert”.
2. Pengalaman Konseli dalam Konseling
Konseli merupakan partisipan aktif dalam proses konseling. Konselor
feminis akan memastikan bahwa konseling tidak akan menjadi arena di mana
konseli (terutama konseli wanita) tetap pasif dan menjadi dependen. Sangatlah
penting agar konseli bercerita dan memberikan pendapat mengenai
pengalamannya. Self-disclosure yang tepat dibenarkan dalam konseling
feminis. Konselor perempuan dibenarkan berbagi pengalaman pribadinya,
termasuk mengenai opresi/penindasan peran gender. Kesadaran konseli akan
semakin meningkat begitu dilakukan analisis stereotip peran gender.
Konselor feminis tidak hanya memberikan layanan pada konseli
perempuan; ia juga melayani konseli laki-laki, pasangan, keluarga, dan anak-
anak. Hubungan konseling selalu berbentuk hubungan partnership. Bila
konselinya pria, konseli didaulat sebagai ahli untuk menentukan apa yang ia
butuhkan dan inginkan dari konseling. Ia akan mengeksplorasi hal-hal di mana
sosialisasi peran gender telah membatasinya. Ia akan menjadi lebih menyadari
31

bagaimana ia terbelenggu untuk mengekspresikan emosi. Dalam sesi


konseling yang aman ini, ia dapat mengalami secara penuh perasaan-perasaan
seperti kesedihan, kelembutan, ketidakpastian, dan empati. Begitu ia
mentransfer gagasan-gagasan ini ke dalam kehidupan nyata, ia akan rasakan
perubahan hubungan dalam keluarga dan dunia sosial lainnya.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tujuan utama konseling
feminis adalah pemberdayaan, yang merupakan manifestasi dimilikinya rasa
penerimaan diri, kepercayaan diri, rasa bahagia, dan otentisitas. Worell &
Remer (dalam Corey, 2009) mengatakan bahwa konseli akan memperoleh
cara baru dalam memandang dan merespon dunianya. Konseli dan konselor
akan merasakan perjalanan bersamanya sebagai sesuatu yang menakutkan
sekaligus menarik. Konseli harus disiapkan untuk perubahan mendasar dalam
cara memandang dunia sekitarnya, perubahan cara mempersepsi diri, dan
transformasi hubungan interpersonalnya.
3. Hubungan Konselor dan Konseli
Hubungan konseling didasari oleh upaya pemberdayaan dan
egaliterianisme. Struktur hubungan konselor-konseli memperagakan
bagaimana mengidentifikasi dan menggunakan kekuatan secara
bertanggungjawab. Konselor feminis menyatakan secara jelas nilai-nilai yang
dianutnya untuk mengurangi kesempatan pemaksaan nilai. Hal ini akan
memberikan kesempatan pada konseli untuk memilih apakah ia akan
meneruskan konseling bersama konselor atau tidak. Ini juga merupakan
langkah untuk men-demistifikasi proses konseling.
Seperti sudah dijelaskan, walaupun perbedaan power dalam konseling
adalah sesuatu yang niscaya ada, konselor feminis akan berusaha untuk
menyamaratakan power tersebut dengan melakukan beberapa strategi
(Thomas, 1977). Pertama, para konselor feminis akan berusaha menjadi sangat
sensitif terhadap hal-hal yang memungkinkannya
menyalahgunakan power dalam konseling, seperti: melakukan diagnosa yang
tidak perlu, memberikan interpretasi atau nasehat, berperan sebagai ahli, atau
mengabaikan dampak ketidakseimbangan power konselor dan konseli dalam
konseling.
31

Kedua, konselor secara aktif akan berfokus pada power konseli dan
menjadikannya sebagai bagian dari proses informed consentnya. Konselor
akan mendorong konseli untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan
perasaannya, agar ia menyadari bagaimana ia melepaskan powernya dalam
berhubungan dengan orang lain sebagai hasil dari sosialisasi, dan untuk
membuat keputusan dengan pengetahuan ini sebagai basisnya.
Ketiga, konselor feminis melakukan demistifikasi hubungan konseling
dengan berbagi persepsi pribadinya pada konseli tentang apa yang sedang
terjadi dalam hubungan konseling tersebut, dengan menjadikan konseli
sebagai rekan aktif dalam menentukan diagnosa, dan dengan
menggunakan self-disclosure yang tepat. Jika konselor menganjurkan sebuah
teknik tertentu, ia akan menjelaskan secara lengkap efek yang mungkin terjadi
dan alasan ia menyarankan teknik tersebut. Konselor juga akan menghormati
secara utuh keputusan konseli untuk melakukan atau tidak melakukan teknik
itu. Beberapa konselor feminis juga menggunakan kontrak sebagai cara untuk
membuat tujuan dan proses konseling menjadi jelas dan tidak samar/misterius.
Tema utama yang tergambar dalam hubungan konselor-konseli adalah
keikutsertaan dan peran utama konseli dalam asesmen dan proses konseling.
Komitmen untuk selalu mengikutsertakan konseli sejak awal hingga sesi
terakhir ini bertujuan untuk menjaga agar hubungan konseling tetap seegaliter
mungkin. Walden (dalam Corey, 2009) menekankan nilai mendidik dan
memberdayakan konseli. Jika konselor tidak memberikan informasi yang
cukup pada konseli mengenai hakikat proses konseling, itu artinya konselor
tersebut menolak potensi partisipasi aktif konseli dalam konselingnya. Jika
konselor membuat keputusan tentang konseli untuk konseli, dan bukannya
bersama konseli, itu artinya konselor telah merampok power konseli dalam
hubungan konseling. Kolaborasi dengan konseli dalam segala aspek konseling
akan membawa pada hubungan yang tulus dengan konseli.
31

E. Penerapan Konseling Feminis


1. Teknik-teknik Konseling
Para konselor feminis telah mengembangkan beberapa teknik secara
mandiri serta mengadaptasi beberapa teknik dari pendekatan lain. Teknik yang
sangat penting adalah Consciouness Raising Technique yang akan membantu
para wanita membedakan antara hal yang diterima dan diharapkan secara
sosial dengan hal yang benar-benar sehat untuk mereka. Teknik-teknik
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pemberdayaan (empowerment)
Tujuan utama strategi-strategi konseling feminis adalah untuk
memberdayakan konseli. Konselor akan mengarahkan perhatian pada isu-
isu informed consent, mendiskusikan bagaimana supaya konseli dapat
memperoleh manfaat secara optimal dari konseling, memperjelas harapan-
harapan, mengidentifikasi tujuan, serta menyusun kontrak yang akan
memandu proses konseling. Dengan memberikan penjelasan tentang proses
konseling dan menjadikan konseli sebagai mitra aktif dalam proses
terapiutik, proses terapi menjadi terdemistifikasi dan konseli akan menjadi
partisipan yang kedudukan dan perannya sejajar dengan konselor. Konseli
akan menemukan bahwa ia dapat menentukan sendiri arah, durasi, dan
prosedur konselingnya.
2) Membuka diri (self-disclosure)
Konselor feminis menggunakan teknik self-disclosure untuk
membuat hubungan konselor-konseli menjadi sejajar, menyediakan model,
untuk menormalisasi pengalaman kolektif para wanita, untuk
memberdayakan konseli, serta untuk memformulasikan informed consent.
Konselor menggunakan self-disclosure (membuka diri) dalam hal-hal yang
disukai konseli dengan mempertimbangkan waktu yang tepat dan
hakikat disclosure itu sendiri. Self-disclosure yang tepat dapat membantu
untuk mengurangi kesenjangan power, berguna untuk
memberikan support pada konseli, serta dapat membebaskan dan
memberdayakan konseli (Enns, 2004).
31

Konselor juga perlu menyatakan nilai dan keyakinan yang dianutnya


tentang masyarakat agar konseli dapat memilih untuk melanjutkan atau tidak
melanjutkan konseling dengan konselor ini. Konselor juga menjelaskan
teknik-teknik intervensi yang mungkin akan digunakannya. Sebagai
konsumen yang telah memiliki informasi tentang proses konseling, konseli
dilibatkan untuk mengevaluasi efektivitas strategi-strategi yang dijalankan
dan sejauh mana ia telah mencapai tujuannya melalui konseling.
3) Analisis peran gender (gender-role analysis)
Sebagai ciri khas konseling feminis, analisis peran gender bertujuan
untuk mengeksplorasi dampak ekspektasi peran gender pada keadaan
psikologis konseli dan menjadikannya dasar untuk membuat keputusan
tentang perilaku-perilaku peran gender selanjutnya (Enns, 2004). Teknik ini
berfungsi sebagai asesmen sekaligus untuk mendorong perubahan konseli.
Analisis peran gender dimulai dengan mengidentifikasi pesan-pesan dari
masyarakat yang diinternalisasi oleh konseli mengenai bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan (Remer, 2008).
4) Analisis power (power analysis)
Power analysis mengacu pada sejumlah metode yang bertujuan
untuk membantu konseli memahami mengenai bagaimana ketimpangan
akses power dan sumber daya dapat mempengaruhi realitas personal
individu. Secara bersama-sama, konselor dan konseli mengeksplorasi
bagaimana ketimpangan atau penghalang-penghalang institusional seringkali
membatasi aktualisasi diri dan usaha menjadi pribadi yang baik (Enns,
2004). Dengan teknik power analysis ini, konselor juga akan berfokus untuk
membantu konseli mengidentifikasi bentuk power alternatif yang akan
dicobanya untuk menantang pesan-pesan peran gender yang melarangnya
untuk mencoba power tersebut. Intervensi ini bertujuan untuk membantu
konseli belajar menghargai dirinya sendiri dengan apa adanya, memperoleh
kembali kepercayaan dirinya berdasarkan atribut kepribadian yang
dimilikinya, dan merancang tujuan yang dapat memuaskannya.
31

5) Biblioterapi
Buku-buku nonfiksi, buku-buku teks konseling dan psikologi,
otobiografi, buku-buku self-help, video edukasional, film-film, dan bahkan
novel dapat digunakan sebagai sumber biblioterapi. Membaca tentang
perspektif feminis mengenai masalah-masalah umum dalam kehidupan
wanita (seperti incest, perkosaan, pemukulan, dan pelecehan seksual) akan
menyadarkan wanita dari kecenderungan menyalahkan dirinya sendiri dalam
masalah-masalah tersebut (Remer, 2008). Dalam praktiknya, teknik ini
dilakukan dengan konselor terlebih dulu menyebutkan beberapa buku yang
membahas mengenai ketimpangan-ketimpangan antara pria dan wanita,
kemudian konseli memilih salah satunya untuk dibaca selama beberapa
minggu/hari. Memberikan materi bacaan juga akan meningkatkan
pengetahuan dan mengurangi ketimpangan power antara konseli dan
konselor. Bacaan dapat menjadi suplemen bagi hal-hal yang telah dipelajari
konseli dalam sesi konseling.
6) Assertive training
Dengan mengajarkan dan mendorong perilaku asertif, para wanita
dapat menyadari hak-hak interpersonalnya, tidak stereotip peran gender,
dapat mengubah keyakinan-keyakinan negatifnya, serta dapat melakukan
perubahan-perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Konselor dan konseli
mencari perilaku apa yang tepat secara budaya, dan konseli membuat
keputusan mengenai kapan dan bagaimana menggunakan keterampilan
asertif tersebut.
Dengan mempelajari dan mempraktikkan perilaku dan komunikasi
yang asertif, konseli akan mengalami peningkatan power. Dengan teknik ini,
konseli akan belajar mengenai bahwa ia berhak meminta apa yang ia
inginkan dan butuhkan. Konselor juga perlu membantu konseli untuk
mengevaluasi dan mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi perilaku
asertifnya, yang mungkin berbentuk kritik atau ia mendapatkan apa yang
diinginkannya.
31

7) Reframing dan relabeling


Seperti juga biblioterapi, self-disclosure, dan assertive
training, reframing bukanlah teknik yang hanya dilakukan oleh konseling
feminis. Namun, reframing versi konseling feminis ini memang memiliki
keunikan. Reframing bisa berbentuk pengalihan dari “menyalahkan korban”
menjadi menyadari faktor-faktor sosial dalam lingkungan yang berkontribusi
pada masalah konseli. Dalam reframing, daripada bersusahpayah membahas
faktor-faktor intrapsikis, fokus lebih baik diarahkan untuk menguji dimensi-
dimensi sosial dan atau politik. Adapun Relabeling adalah intervensi yang
dilakukan dengan mengubah label atau cara mengevaluasi karakteristik
perilaku tertentu.
8) Aksi sosial (social action)
Aksi sosial atau aktivisme sosial merupakan hal yang esensial dalam
konseling feminis (Enns, 2004). Ketika konseli sudah memiliki banyak
pemahaman mengenai feminisme, konselor dapat menyarankannya agar
terlibat dalam aktivitas-aktivitas seperti menjadi relawan lembaga pusat
krisis korban perkosaan, melobi pembuat kebijakan, atau menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan pencerahan gender pada masyarakat. Partisipasi dalam
segenap aktivitas tersebut dapat dapat memberdayakan konseli dan
membantunya melihat hubungan antara pengalaman pengalaman-
pengalaman personalnya dengan konteks sosiopolitik di masyarakat.
9) Bergabung dengan group work
Group work menjadi populer sebagai cara bagi para wanita untuk
mendiskusikan kurang dihargainya suara mereka dalam berbagai aspek di
masyarakat. Secara historis, group work telah digunakan dalam rangka
penyadaran (consciousness-raising) dan memberikan dukungan kepada para
wanita (Herlihy & McCollum, 2007). Kelompok consciousness-
raising adalah kelompok yang pertama kali memfasilitasi para wanita untuk
berbagi pengalaman ditekan dan tidak berdaya. Dengan cepat kelompok ini
kemudian berubah menjadi kelompok self-help yang memberdayakan para
wanita dan menantang pola-pola sosial saat itu (Evans, Kincade, Marbley, &
Seem, 2005). Konselor feminis dapat mendorong konselinya untuk
31

bertransisi dari konseling individual ke format kelompok ini (Herlihy &


McCollum, 2007).
Dengan bergabung bersama group work tersebut, konseli akan
menyadari bahwa ia tidak sendiri. dengan bergabung di group work, ia akan
memperoleh validasi atas pengalamannya. Kelompok ini akan menambah
jaringan sosial konseli, mengurangi perasaan terisolasi, dan menciptakan
lingkungan yang memungkinkan untuk saling berbagi (Eriksen & Kress,
2005). Kelompok menyediakan dukungan di mana para wanita dapat saling
berbagi dan mengekplorasi secara kritis pesan-pesan yang telah
diinternalisasinya mengenai harga diri dan posisi di masyarakat. Saling
keterbukaan antara anggota dan pemimpin kelompok akan menyebabkan
eksplorasi diri yang lebih dalam, rasa universalitas, dan meningkatkan
kohesivitas. Para anggota kelompok dapat belajar
menggunakan power secara efektif dengan saling mendukung satu sama
lain, mempraktikkan keterampilan-keterampilan berperilaku,
mempertimbangkan aksi sosial/politik, dan dengan mengambil resiko
interpersonal dalam seting yang aman (Enns, 2004).
31

BAB III
APLIKASI KONSELING FEMINIS
Contoh Kasus

“Siti Nurjazilah atau lebih dikenal dengan nama Lisa, terpaksa harus menjalani hari-
harinya dengan mengurung diri di rumah. Wajahnya rusak karena disiram oleh air
keras oleh suaminya sendiri. Suaminya yang sangat pencemburu melakukan
penyiraman agar Lisa yang berwajah cantik tidak mungkin lagi berhubungan dengan
laki-laki lain. Setelah disiram air keras pun, Lisa tidak diijinkan untuk keluar rumah.
Hal ini disebabkan karena suaminya takut tindakannya terhadap Lisa diketahui oleh
masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya” (Gema Pria BKKBN, 10 Oktober 2006).

Fenomena KDRT seringkali diselesaikan dengan berbagai cara, seperti


contoh kasus diatas dimana kasus KDRT ‘selesai’ dengan cara membuat korban
mengalami cacat permanen di tubuhnya. Terdapat banyak kasus KDRT pula yang
diselesaikan dengan jalan lainnya, misalnya saja perceraian. Fenomena KDRT
dalam kasus perceraian artis bisa jadi hanya sebagian kecil contoh dari banyak
kasus KDRT yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil pemantauan di 43
Pengadilan Agama (PA) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) mencatat banyak kasus perceraian yang didasari oleh
berbagai bentuk KDRT (Hukumonline, 4 Juli 2008).
Banyaknya kasus KDRT yang terjadi di Indonesia merupakan cerminan
gagalnya sebuah keluarga membangun dan membina sebuah kondisi rumah
tangga yang kondusif dan nyaman bagi setiap anggota keluarga yang berlindung
didalamnya . Istilah “keluarga” mengacu pada rasa aman dan dilindungi, kondisi
yang bersifat pribadi dan sebagai tempat berteduh dari tekanan-tekanan dan
kesulitan di luar rumah. Keluarga juga berarti tempat dimana anggota keluarga
bisa merasakan eksistensinya dalam keadaan damai, aman dan tentram. Namun
ironisnya, keluarga bisa berpotensi sebagai “pusat terjadinya kekerasan” dimana
anggota keluarga bisa menjadi sasaran kekerasan. Contoh kasus yang dipaparkan
diatas mencerminkan bahwa keluarga bisa sangat berpotensi sebagai pusat
terjadinya kekerasan.
31

KDRT dapat berbentuk beberapa tindakan kekerasan, diantaranya kekerasan


fisik, kekerasan emosional, maupun penelantaran ekonomiKekerasan fisik yang
dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat. Misalnya saja bentuk kekerasan yang menggunakan tangan kosong, seperti
menyiram dengan air panas, menjambak rambut, mendorong, meludahi dan
menampar. Sedangkan kekerasan psikis merupakan perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Kekerasan jenis ini dapat berbentuk hinaan atau kata-kata kotor yang
merendahkan diri perempuan, seperti “kamu tidak berguna” atau “kamu tidak
menarik”. Luka terdalam sebagai dampak kekerasan psikis yang dialami individu
dapat juga menimbulkan trauma berkepanjangan. Selain itu, korban kekerasan
bisa juga jadi pelaku kekerasan di masa mendatang.

Pembahasan
Berdasarkan contoh kasus di atas, maka penyelesaian yang mungkin
dilakukan adalah dengan menggunakan konseling feminis dengan menggunakan
berbagai teknik yang ada didalam konseling feminis itu sendiri contohnya dengan
menggunakan teknik Group work menjadi populer sebagai cara bagi para wanita
untuk mendiskusikan kurang dihargainya suara mereka dalam berbagai aspek di
masyarakat. Secara historis, group work telah digunakan dalam rangka
penyadaran (consciousness-raising) dan memberikan dukungan kepada para
wanita (Herlihy & McCollum, 2007). Kelompok consciousness-raising adalah
kelompok yang pertama kali memfasilitasi para wanita untuk berbagi pengalaman
ditekan dan tidak berdaya. Dengan cepat kelompok ini kemudian berubah menjadi
kelompok self-help yang memberdayakan para wanita dan menantang pola-pola
sosial saat itu (Evans, Kincade, Marbley, & Seem, 2005). Konselor feminis dapat
mendorong konselinya untuk bertransisi dari konseling individual ke format
kelompok ini (Herlihy & McCollum, 2007).

Dengan bergabung bersama group work tersebut, konseli akan menyadari


bahwa ia tidak sendiri. dengan bergabung di group work, ia akan memperoleh
validasi atas pengalamannya. Kelompok ini akan menambah jaringan sosial
31

konseli, mengurangi perasaan terisolasi, dan menciptakan lingkungan yang


memungkinkan untuk saling berbagi (Eriksen & Kress, 2005). Kelompok
menyediakan dukungan di mana para wanita dapat saling berbagi dan
mengekplorasi secara kritis pesan-pesan yang telah diinternalisasinya mengenai
harga diri dan posisi di masyarakat. Saling keterbukaan antara anggota dan
pemimpin kelompok akan menyebabkan eksplorasi diri yang lebih dalam, rasa
universalitas, dan meningkatkan kohesivitas. Para anggota kelompok dapat belajar
menggunakan power secara efektif dengan saling mendukung satu sama lain,
mempraktikkan keterampilan-keterampilan berperilaku, mempertimbangkan aksi
sosial/politik, dan dengan mengambil resiko interpersonal dalam seting yang
aman (Enns, 2004).
BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Konseling pernikahan yang sensitif gender merupakan solusi alternatif untuk
membantu pasangan suami istri yang ingin membangun keharmonisan dengan
memberi tanggung jawab, pemberdayaan, penguatan kepada keduanya, suami dan
istri, terhadap masing-masing peran yang harus dijalankan secara sinergi,
kemitraan, dan kerja sama berasaskan sendi saling mencintai, menyayangi, dan
menghargai, untuk menciptakan kebahagiaan yang dapat dinikmati bersama
seluruh anggota keluarganya secara lahir dan batin. Konseling pernikahan
merupakan konseling yang bertujuan untuk membantu pasangan suami-istri
mengurangi gangguan keharmonisan rumah tangga. Suami dan istri sama-sama
berhak merasakan dan berkewajiban menciptakan kedamaian, ketentraman, dan
kebahagiaan dalam rumah tangga (Nurhayati, 2011).. Praktik konseling feminis
adalah yang praktik konseling yang pertama yang sensitif gender (Enns, 2004).

B. Implikasi
1. Teoritis
Secara teoritis makalah ini memperlihatkan bahwa Konseling Feminis
merupakan salah satu alternative bantuan yang dapat diberikan oleh terapis
atau konselor dalam menangani berbagai persoalan dalam keluarga, terutama
berkaitan dengan pola komunikasi dan relasi dalam keluarga.
2. Praktis
Secara praktis makalah ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para
pendidik, konselor, orangtua, dan pihak-pihak yang terlibat dalam pembinaan
keluarga dan pendidikan. Makalah ini diharapkan mampu memberikan
wacana, masukan, gagasan, dan ide baru dalam pelaksanaan terapi keluarga.

C. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat diusulkan berkaitan dengan penulisan
makalah ini adalah :

33
31

1. Orangtua sangat berperan dalam mendidik anak menuju hidup


bermasyarakat, maka dari itu orang tua mempunyai peran yang cukup
penting dalam perkembangan anak berdasarkan gender di lingkungan
keluarga.
2. Bagi terapis atau konselor, pendekatan terapi konseling feminis dapat
menjadi salah satu alternatif dalam pemecahan masalah konseli mengingat
banyak akar permasalahan dalam keluarga disebabkan permasalahan
gender. Dengan pendekatan ini diharapkan konseli dapat memperoleh
pengalaman yang lebih berarti dalam kehidupan sehari-hari yang mampu
mengembangkan kehidupan keluarga menjadi damai, aman, sejahtera dan
langgeng.
3. Setiap individu yang hendak membina sebuah keluarga diarahkan agar
dapat memahami satu sama lain antara suami dan istri, serta tetap
memperhatikan perannya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Capuzzi, D. & Gross, D. R. 2007. Counseling and Psychotherapy: Theories and


Interventions. New Jersey: Pearson Merril Prentice Hall.

Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont:


Brooks/Cole.

Enns, Carolyn Zebre. (2004). Gestalt Therapy dan Feminist Therapy: a Proposal
Integration. Journal of Counseling and Development, Vol 66, 93-95:
Tersedia: http://searchebscohost.com (22 Agustus 2009)

Good, Glenn E; Gilbert, Lucia A; Scher, Murray. (1990). Gender Aware Therapy:
A Synthesis of Feminist Therapy and Knowledge about Gender. Journal of
Counseling and Development : JCD; Mar 1990; 68, 4; Research Library.
pg. 376.

Hoffman, Rose Marie. (2001). The Measurement of Masculinity and Femininity :


Historical Perspective and Implications in Counseling. Dalam Journal of
Counseling and Development : JCD. [Online]. Vol. 79 (4). 472-485.
Tersedia : http://www.proquest/pqdweb.

Keeling , Margaret L & Piercy, Fred P. (2007). A Careful Balance: Multinational


Perspectives on Culture, Gender, and Power in Marriage and Family
Therapy Practice. Journal of Marital and Family Therapy; Oct 2007; 33, 4;
ProQuest Education Journals. pg. 443

Ivey, A. E., D’Andrea, M., Ivey, M. B., & Morgan, L. S. 2009. Theories of
Counseling & Psychotherapy: A Multicultural Perspective. Boston:
Pearson Education, Inc.

33

Anda mungkin juga menyukai