Anda di halaman 1dari 17

PENGGUNAAN TEKNIK COUPLE MARRIAGE

COUNSELING
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Bimbingan Konseling Keluarga”
Dosen Pengampu : Dr. Musrifah, MA.

Disusun Oleh :
Nama : 1. Akhmad Khoerul Badri
2. M Naufal Fadli Mubarok
Prodi : Bimbingan Konseling Islam
Semester : 4 (Empat)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) BREBES
JL. Yos Sudarso No.26, Ps. Batang, Brebes, Brebes, Jawa Tengah 52211
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan limpahan nikmat sehingga
penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah bertemakan “Penggunaan Teknik
Couple Marriage Counseling” untuk memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan
Konseling Keluarga, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan untuk junjungan
kita baginda Nabi Muhammad SAW.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu, teman-teman
dan semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan maupun penyempurnaan
makalah ini, kami harapkan makalah ini dapat bermanfaat dan mampu menambah
wawasan bagi semua orang.
Akhirnya, Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari banyak pihak sangat kami harapkan
untuk menyempurnakan makalah ini.

Brebes, 18 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 2
A. Pengertian Teknik Couple Marriage Counseling ............................................. 2
B. Konsep Dasar Teknik Couple Marriage Counseling ........................................ 3
C. Fungsi dan Manfaat Couple Marriage Counseling .......................................... 5
D. Teknik Pengaplikasian dari Couple Marriage Counseling ............................... 6
E. Contoh Kasus dengan Teknik Couple Marriage Counseling ............................ 7
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 11
Kesimpulan ......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 1

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak orang yang mencari bantuan dalam kapasitasnya sebagai pasangan
suami-istri atau sebagai anggota dari sebuah sistem keluarga. Mereka menyadari
bahwa masalah mereka bersumber dari hubungan mereka yang mengalami
gangguan, dan gangguan tersebut akan berdampak terhadap kehidupan
perkawinan dan keluarga mereka secara keseluruhan, termasuk akan berdampak
bagi anak-anak mereka sebagai anggota keluarga.
Pada kondisi seperti inilah dibutuhkan layanan konseling perkawinan dan
keluarga dari seorang konselor yang profesional. Konseling adalah bantuan yang
diberikan oleh seseorang pembimbing (konselor) kepada seseorang konseli atau
sekelompok konseli (klien, terbimbing, seseorang yang memiliki problem) untuk
mengatasi problemnya dengan jalan wawancara dengan maksud agar klien atau
sekelompok klien tersebut mengerti lebih jelas tentang problemnya sendiri dan
memecahkan problemnya sendiri sesuai dengan kemampuannya dengan
mempelajari saran-saran yang diterima dari Konselor.
Sedangkan arti dari keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas
dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama
atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau
tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah
rumah tangga.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian teknik couple marriage counseling?
2. Apa konsep dasar teknik couple marriage counseling?
3. Apa fungsi dan manfaat couple marriage counseling?
4. Apa teknik pengaplikasian dari couple marriage counseling?
5. Apa contoh kasus dengan teknik couple marriage counseling?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian teknik couple marriage counseling.
2. Untuk mengetahui konsep dasar teknik couple marriage counseling.
3. Untuk mengetahui fungsi dan manfaat couple marriage counseling.
4. Untuk mengetahui teknik pengaplikasian dari couple marriage counseling.
5. Untuk mengetahui contoh kasus dengan teknik couple marriage counseling.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teknik Couple Marriage Counseling


Konseling perkawinan (married counselling) ialah sualu pembicaraan
professional yang bertujuan untuk membantu memecahkan masalah-masalah
perkawinan agar klien dapat mencapai kebahagiaan dalam kehidupan
perkawinannya. Ahli khusus yang menangani konseling perkawinan dinamakan
konselor perkawinan (married counsellor). Mereka adalah tenaga ahli yang telah
memperoleh pelatihan dan pendidikan secara professional di bidang psikologi dan
konseling perkawinan. Mereka cukup menguasai konsep-konsep psikologi
perkembangan, teknik konseling maupun terapi perkawinan.
Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai konseling yang
diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan
emosional, metode membantu patner-patner yang menikah untuk memecahkan
masalah dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.
Di Amerika Serikat (dalam Olson & DeFrain, 2003), seseorang yang
berprofesi sebagai konselor perkawinan, harus memiliki latar-belakang pendidikan
setingkat magister (master atau S-2), terutama bidang konseling perkawinan,
keluarga dan anak-anak. Di negara Indonesia, tuntutan kebutuhan masyarakat
terhadap professionalisme ahli, maka seorang konselor juga memenuhi standar
pendidikan setingkat master (S-2). Namun demikian, dalam kondisi tertentu
memang ditemukan bahwa seorang konselor perkawinan kadang-kadang masih
berpendidikan setingkat S- 1 (sarjana psikologi) dengan tambahan pendidikan
sebagai profesi psikolog.
Adapun masalah-masalah perkawinan adalah segala masalah yang timbul
selama masa perkawinan antara pasangan suami-istri, seperti komunikasi
perkawinan, kepuasan hubungan sexual suami-istri (dissatisfaction of sexual
relationship), hubungan menantu dengan mertua, masalah keuangan keluarga,
masalah keturunan, maupun masalah orang tua dengan anak, dan sebagainya.
Karena masalah-masalah perkawinan ini timbul dalam kehidupan keluarga,
seringkali konseling perkawinan juga disebut sebagai konseling keluarga (family
conselling). Namun sebagian ahli yang menggabungkan kedua jenis konseling

2
tersebut dan dijadikan satu istilah yaitu konseling perkawinan dan keluarga
(married and family consellor).

B. Konsep Dasar Teknik Couple Marriage Counseling


Konseling merupakan sebuah aktivitas yang professional dan menekankan
aspek etika dan moralitas, guna menghormati, menghargai serta memanusiakan
klien dengan baik. Oleh karena itu, seorang konselor adalah orang yang terdidik
secara teratur, disiplin dan sistematis. Menurut Brammer (dalam Schmith, 1993),
sebagai seorang konselor yang professional, tentu ia harus memiliki dasar-dasar
keahlian konseling, antara lain:
1. Mendengar aktif (active listening)
Seorang konselor yang tidak mampu mendengar dengan sabar
terhadap segala keluh kesah dan perasaan klien, akan sulit membantu
menyelesaikan masalah klien. Mendengar tidak sekedar mendengar, akan
tetapi mampu secara aktif mengikuti pola pemikiran klien yang diceritakan di
hadapan konselor. Dengan aktif memahami perasaan klien, maka konselor
dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memperdalam masalah klien
sampai tuntas.
2. Mengarahkan (leading)
Pertanyaan maupun komentar konselor masih tetap relevan dengan
masalah pembicaraan, agar klien berbicara secara tepat dan tidak menyimpang
dari tema atau topik masalah. Pembicaraan yang terarah dan terfokus akan
memudahkan baik bagi konselor maupun klien. Bagi konselor, pembicaraan
terarah akan memudahkan memahami alur pemikiran dan masalah klien,
sehingga dapat dianalisa dan dicari solusi terbaik sesuai dengan karakter klien.
3. Merefleksikan (reflecting)
Apa yang diungkapkan oleh klien secara panjang lebar merupakan
refleksi permasalahan klien yang sebenarnya. Supaya menyadari apa yang
menjadi masalah dalam dirinya, maka klien diarahkan untuk menerima
kenyataan dan pengalaman tersebut, sebagai bagian dari dalam hidupnya.
Refleksi kesadaran dan penerimaan tersebut, akan memungkinkan klien dapat
menghadapi kenyataan dan dapat memperbaiki perilaku di masa depannya.

3
4. Meringkas pembicaraan (summarizing)
Agar tidak terlalu bertele-tele apa yang dibicarakan dan diungkapkan
oleh klien di hadapan konselor, maka seorang konselor yang berpengalaman
akan segera dapat meringkas pembicaraan tersebut secara sederhana.
Ringkasan pembicaraan akan memudahkan bagi klien memahami topik
masalahnya, dan memfokuskan dalam cara penyelesaiannya.
5. Mengkonfrontasikan (confronting)
Berkonfrontasi dalam suatu pembicaraan antara konselor dengan klien
akan dapat bermanfaat untuk menggugah kesadaran dan penerimaan diri klien
terhadap masalahnya. Dengan melakukan konfrontasi, klien akan diarahkan
untuk memiliki sikap dewasa, tidak kekanak-kanakan, bertanggung-jawab dan
berani menghadapi segala masalahnya dan konsekuensi akibat yang
ditimbulkan oleh masalahnya tersebut. Banyak klien yang berkeinginan untuk
dilindungi oleh konselor bagaikan seorang anak yang belum dewasa, namun
hal ini justru akan membuat ketergantungan klien terhadap konselor. Oleh
karena itu, konselor tidak perlu takut berkonfrontasi dengan klien, dengan
maksud dan tujuan yang baik demi kepentingan klien. Konfrontasi tidak
berarti bertengkar atau konflik, akan tetapi sebagai upaya stimulasi
pendewasaan pemikiran dan sikap klien dalam menghadapi masalahnya.
6. Menginterpretasikan/mengartikan (interpretation)
Agar pembicaraan tidak terlalu panjang dan tidak bermakna bagi klien,
maka konselor perlu segera mengungkapkan arti, pangertian maupun
interpretasi pembicaraan tersebut, supaya dipahami oleh klien dengan baik.
Mengartikan bukan berarti mengadili, menghakimi atau memojokkan pribadi
klien, akan tetapi mendudukkan persoalan secara objektif dan tepat, agar klien
merasa siap untuk menyadari dan menerima segala permasalahannya.
7. Menginformasikan memberitahukan (informing)
Suatu pembicaraan antara konselor dengan klien seringkali
menggunakan waktu yang cukup panjang, sehingga menyimpang dari topik
masalahnya, oleh karena itu, konselor perlu menginformasikan waktu
pembicaraan agar klien dapat berbicara secara efisien dan efektif. Dalam
konseling, terkadang dibatasi waktu hanya satu jam atau 60 menit setiap
pertemuan. Maka mengerti sejak awal, akan membuat pembicaraan terfokus

4
dan tidak bertele-tele.
Selain itu, konselor juga perlu menginformasikan keterbatasan bidang
keahliannya, agar klien tidak kecewa dalam memiliki ekspetasi/harapan yang
tinggi terhadap konselor. Tak kalah pentingnya, adalah informasi tentang
biaya konsultasi atau kegiatan konseling itu sendiri. Banyak konselor yang
merasa sungkan atau malu menginformasikan masalah ini, akibatnya dirinya
merasa dirugikan dalam kegiatan tersebut. Oleh karena itu, sejak awal
diungkapkan masalah harga atau biaya konseling, supaya memperoleh
kesepakatan bersama dengan klien. Dengan demikian tidak terjadi masalah
seusai konsultasi.

C. Fungsi dan Manfaat Couple Marriage Counseling


1. Kehidupan beragama dalam keluarga. Ciptakan kehidupan beragama dalam
keluarga, sebab dalam agama terdapat nilai-nilai moral atau etika kehidupan.
2. Landasan utama dalam kehidupan keluarga berdasarkan ajaran agama ialah
kasih sayang. Cinta mencintai dan kasih mengasihi berarti silaturahmi tidak
terputus, tetapi diperbaiki dan dikembangkan.
3. Hasil penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini menyimpulkan
bahwa keluarga yang tidak religius, yang komitmen agamanya lemah, dan
keluarga yang tidak mempunyai komitmen agama sama sekali, mempunyai
resiko empat kali untuk tidak berbahagia dalam keluarganya.
4. Waktu bersama keluarga. Waktu untuk bersama keluarga itu harus ada.
Menciptakan suasana kebersamaan dengan unsur keluarga itu penting. Untuk
memelihara perkawinan itu sendiri, seorang suami harus menyempatkan waktu
untuk isterinya. Berdua saja, tidak dengan anak-anak lagi pergi ke mana saja
secara pribadi.
5. Hubungan yang baik antar anggota keluarga. Harus dicipta-kan hubungan
yang baik antara anggota keluarga. Harus ada komunikasi yang baik (timbal
balik), demokratis. Ayah dan ibu dituntut untuk menciptakan suasana yang
komunikatif dan demokratis.
6. Saling harga menghargai antar anggota keluarga. Seorang anak perlu
menghargai sikap ayahnya, begitu juga ayah bisa menghargai prestasi anak
atau sikap anak. Seorang isteri menghargai sikap suami dan sebaliknya suami

5
menghargai sikap isteri.
7. Hubungan yang erat dalam keluarga. Hubungan antara ayah, ibu, dan anak
harus erat dan kuat. Jangan longgar dan rapuh. Hubungannya harus
menghasilkan keadaan dekat di mata dekat dihati. Setidaknya jauh di mata
dekat di hati, dan bukannya dekat di mata jauh di hati atau jauh di mata jauh di
hati. Keutuhan keluarga. Jika keluarga mengalami krisis karena sesuatu
persoalan, maka prioritas utama adalah keutuhan keluarga.
8. Keluarga harus kita pertahankan, baru apa masalahnya atau apa krisisnya kita
selesaikan. Jangan karena krisis, lalu ”kita pisah, kita cerai saja”. Apapun
alasan per-ceraian, yang menjadi korban adalah anak-anaknya. Mungkin si
isteri atau suami bahagia, tetapi anak-anaknya akan menderita (Dadang
Hawari, 2006:17- 25).

D. Teknik Pengaplikasian dari Couple Marriage Counseling


Menurut Sofyan S. Wilis ada beberapa teknik konseling pernikahan, yaitu:
1. Sculpting (mematung) yaitu suatu yang mengizinkan salah satu pasangan yang
menyatakan kepada pasangan lain. Klien diberi izin menyatakan isi hati dan
persepsinya tanpa rasa cemas. Pasangan yang mematung tidak memberikan
respon apa-apa selama pasangan lain menyatakan perasaannya secara verbal.
2. Role Playing (bermain peran) yaitu suatu teknik yang memberikan peran
tertentu kepada salah satu pasangan. Misalnya pasangan perempuan
memainkan peran sebagai istri dan pasangan lainnya sebagai suami, kemudian
arahkan untuk menjalani suatu kehidupan pasangan yang harmonis.
3. Silence (diam) konselor hanya diam kemudian memberikan layanan informasi
kepada klien apa yang akan mereka hadapi ketika menjadi pasangan suami
istri.
4. Confrontation ialah suatu teknik yang digunakan konselor untuk
mempertentangkan pendapat-pendapat anggota keluarga yang terungkap
dalam wawancara konseling pernikahan.
5. Teaching Via Question ialah suatu teknik mengajar anggota dengan cara
bertanya.
6. Listening (mendengarkan) teknik ini digunakan agar pembicaraan klien
didengarkan oleh konselor dengan penuh perhatian sehingga ia merasa

6
dihargai.
7. Focusing yaitu upaya konselor untuk memfokuskan materi pembicaraan agar
tidak menyimpang.
8. Summary (menyimpulkan) dalam suatu fase konseling, kemungkinan konselor
akan menyimpulkan sementara hasil pembicaraan, tujuannya agar konseling
bisa berlanjut secara progresif.
9. Clarification (menjernihkan) yaitu usaha konselor untuk memperjelas atau
menjernihkan suatu pernyataan yang terkesan samar-samar.
10. Reflection yaitu cara konselor untuk merefleksikan perasaan yang dinyatakan
klien, baik yang berbentuk kata-kata atau ekspresi wajahnya.
11. Eksplorasi yaitu penjelajahan yang dihadapkan kepada klien untuk
mendapatkan informasi lebih mengenai hal-hal yang belum siap dihadapi klien
dalam menempuh jenjang pernikahan.
12. Memimpin yaitu konselor menggunakan teknik ini untuk melihat bagaimana
kemampuan klien dalam menata dan mengatur keadaan yang akan dilalui
dalam mengarungi bahtera rumah tangga serta bertanggung jawab dalam
berbagai hal.
13. Memfokuskan yaitu konselor menggunakan teknik ini agar klien focus dan
yakin untuk menjalankan pernikahan.

E. Contoh Kasus dengan Teknik Couple Marriage Counseling


Alasan yang melatar belakangi terjadinya pernikahan usia dini pada kedua
subjek yaitu disebabkan oleh subjek Ni mengalami kehamilan di luar nikah.
Sebelum menikah kedua subjek memang telah menjalin hubungan pacaran. Dari
hasil wawancara dengan kedua subjek tersebut ditemukan bahwa dalam
kehidupan pernikahan yang mereka jalani sering kali terjadi pertengkaran, hal
tersebut dipicu kecemburuan istri, kurangnya tanggung jawab suami, masalah
ekonomi, kurangnya kedewasaan. Setelah mengetahui permasalahan-
permasalahan yang terjadi, maka peneliti memberikan loving kindness marriage
counseling pada kedua subjek.
Dengan kasus pengaruh dari pernikahan usia muda dan juga permasalahan
yang mereka hadapi dalam kehidupan rumah tangganya. Pernikahan yang
dilakukan pada usia yang masih sangat muda dapat memengaruhi kedua subjek

7
dalam kehidupan mereka terutama bagaimana mereka menghadapi permasalahan
yang muncul. Karena kurangnya pengalaman maupun kematangan dalam
mengatasi permasalahan tersebut mambuat mereka harus terus menghadapi
pertengkaran yang pada awalnya hanya masalah sepele yang bila di bicarakan
dengan baik pun akan dapat diselesaikan dengan mudah. Tidak bisa dipungkiri
bahwa pada pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan di usia
muda kurang bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya
sebagai suami istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik
maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang
tinggi.
Pernikahan usia dini memberikan pengaruh yang sangat besar terutama
pada perubahan emosi pasangan tersebut. Dalam kehidupan rumah tangga,
hendaknya suami-istri saling menjaga adanya hubungan yang baik, ini
dimaksudkan agar suami-istri menciptakan hubungan yang harmonis yang saling
menjaga, menghargai dan saling memenuhi kebutuhannya masing masing.
Apabila pasangan suami-istri tersebut masih dikatakan berusia dini tidak menutup
kemungkinan bahwa mereka akan melalaikan tugas, fungsi, peran, hak dan
kewajibannya, maka akan terjadi perselisihan di antara mereka. perselisihan
tersebut akan dapat mengakibatkan timbulnya berbagai masalah yang dapat
mengakibatkan kesalahpahaman, ketegangan, dan pada akhirnya menjadi
pertengkaran.
Ini disebabkan karena pemikiran mereka yang masih dipenuhi oleh hala-
hal yang berkaitan dengan kesenangan semata dan usaha untuk membuat diri
mereka bahagia tanpa berpikir bahwa mereka telah memiliki tanggang jawab
masing-masing. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dihadapi oleh kedua subjek
penelitian ini yang mana subjek I (NI) yang merupakan seorang istri selalu
menuntut kepada suaminya. Selain itu Subjek I juga selalu menyampaikan
pendapatnya dengan cara yang tidak disukai oleh suaminya. Serta sifat subjek I
yang selalu berlebihan dalam menghadapi permasalahan membuat sang suami
ikut merasa marah kepadanya.
Demikian juga sang suami yang bisa dibilang juga masih muda, sebagai
kepala rumah tangga. Dia tidak bisa mengarahkan istrinya maupun tidak mampu
menghadapi perselisihan yang terjadi antara dirinya dengan sang istri. Selain itu,

8
subjek II (WL) terlihat masih sangat menikmati masa mudanya. Subjek II masih
sering berkumpul dengan teman-temannya yang belum menikah. Terkadang
subjek II lebih memilih menghindar ketika berselisih dengan sang istri dari pada
dia mencari solusi dari perselisihan tersebut. Dari uraian di atas dapa dilihat
bahwa kedua subjek tersebut belum memiliki kontrol yang baik pada berbagai
emosi yang muncul pada diri mereka.
Ini bisa juga disebabkan oleh usia mereka yang masih terbilang dini untuk
menjalani kehidupan rumah tangga. Sehingga bisa dikatakan pasangan tersebut
belum matang dalam hal mengontrol emosi. Namun, setelah dilakukannya
konseling dengan menerapkan langkah-langkah loving kindness marriage
counseling terlihat bahwa kedua subjek tersebut mulai menyadari akan hadirnya
rasa saling memiliki dan juga saling mebutuhkan akan satu sama lain dalam
menjalankan rumah tangga mereka.
Disini terlihat bahwa kedua subjek tersebut sudah mulai mampu untuk
mengendalikan (meregulasi) emosi-emosi yang kurang baik pada diri masing-
masing. Mereka mulai menyadari apa saja yang telah mereka lakukan selama ini
dan alasan mengapa mereka selalu berselisih yang berujung pada pertengkaran.
Dalam hal ini, kedua subjek telah dikatakan bahwa mereka telah
memenuhi aspek-aspek dari regulasi emosi, yang terdiri dari:
a. memonitor emosi (emotions monitoring), Kedua subjek telah menyadari bahwa
selama ini mereka telah salah dalam menyelesaikan sebuah perselisihan maupun
pertengkaran yang terjadi. Subjek I menyadari bahwa dia selalu mengedepankan
emosinya ketika berselisih, sedangkan subjek II menyadari bahwa seharusnya dia
lebih dewasa dalam menyikapi sebuah permasalahan bukannya menghindar
ataupun menjadikanya lelucon.
b. Mengevaluasi emosi (emotions evaluating), masing-masing subjek mulai
berpikir tentang bagaimana menghadapi dan juga menyelesaikan sebuah
permasalahan tanpa harus saling beradu argument ataupun mencari mana yang
benar. Mereka menyadari bahwa yang terpenting dari sebuah permasalahan
adalah dengan mencari jalan keluar.
c. Modifikasi emosi (emotions modifications), Yang terakhir adalah bagaimana
mereka membangun sebuah kepercayaan akan kelangsungan rumah tangga
mereka. Kedua subjek yang awalnya saling menyalahkan kemudian mereka

9
menyadari apa yang sebenarnya menjadi permasalahan tersebut lalu kemudian
berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi dengan
mengubah pandangan mereka bahwa mereka adalah sebuah satu kesatuan yang
saling membutuhkan dan mengerti bahwa mereka saling membutuhkantanpa
harus saling menuntut dan menyalahkan melainkan saling mengisi kekurangan
yang dimiliki oleh pasangannya.
Kemampuan untuk mengungkapkan dan menerima emosi, menunjukan
kesetiaan, menghargai orang lain secara realitas, menilai orang lain, mengurangi
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat emosional, serta toleransi dan
menghormati orang lain. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
kemampuan meregulasi emosi itu adalah suatu kondisi emosional dimana tingkat
kedewasaan induvidu yang terkendali, tidak kekanankan-kanakan, amarah yang
meluap-luap, dan mampu mengungkapkan emosi sesuai kondisi yang mana
induvidu dapat menilai situasi secara kritis sebelum bereaksi secara emosional
dan perduli terhadap orang lain.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Konseling perkawinan (married counselling) ialah suatu pembicaraan
professional yang bertujuan untuk membantu memecahkan masalah-masalah
perkawinan agar klien dapat mencapai kebahagiaan dalam kehidupan perkawinannya.
Ahli khusus yang menangani konseling perkawinan dinamakan konselor perkawinan
(married counsellor). Mereka adalah tenaga ahli yang telah memperoleh pelatihan dan
pendidikan secara professional di bidang psikologi dan konseling perkawinan.
Mereka cukup menguasai konsep-konsep psikologi perkembangan, teknik konseling
maupun terapi perkawinan.
Konseling merupakan sebuah aktivitas yang professional dan menekankan
aspek etika dan moralitas, guna menghormati, menghargai serta memanusiakan klien
dengan baik. Oleh karena itu, seorang konselor adalah orang yang terdidik secara
teratur, disiplin dan sistematis.

11
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Psikologi Vol. 3 No. 2, Desember 2005 Memahami Bimbingan, Konseling


Dan Terapi Perkawinan Untuk Pemecahan Masalah Perkawinan.
Booth, A, Carver, K & Ganger, D. A. “Biosocial perspective on the Family”,
Journal of marriage and the family. vol. 62, No. 4. p. 1018- 1034, November
2000.
Christopher, F. S R. Sprecher, S, “Sexuality in marriage, dating and other
relationship: A decade review”, Journal of marriage and the family. Vol. 62,
No. 4. p. 1269-1287, November 2000.
George, R. L & Christiani, T. S, “Counseling: Theory and practice”, (3'd edition).
Simon and Shuster Inc, Needham Heigth,1990.
Ginanjar, Adriana S, “Penerapan terapi keluarga di Indonesia”, Dalam makalah
seminar psikoterapi kerjasama antara Fak. Psikologi Untar dengan Himpsi
Jaya Jakarta. Makalah tidak diterbitkan, Fak. Psikologi Untar, Jakarta, 2003.
Gunarsa, S. D, ”Konseling dan psikoterapi”, (Cetakan ke-2) BPK Gumung Mulia,
Jakarta, 1996.
Kartono. Kartini, ”Bimbingan dan dasardasar pelaksanaannya. Teknik petunjuk
praktis”, Rajawali dan UKSW, Jakarta, 1985.
Gunarsa, S.D. Yulia, ”Asas-asas psikologi keluarga idaman”, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 2000.
Brown. Joseph H. 1999. Bowen Family System Theory and Practice. Cole
Publishing Company. California.
Goldberg. Herbert. Goldberg. Irene. 1996. Family Therapy, an overview. Pacific
Grove: Cole Publishing Company.
Becvar. Dorothy Stoh. Becvar. Raphael J. 1996. Family Therapy, a system
integration. Boston: Allyn and Bacon.
Willis. Sofyan S. 2013. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai