Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH PENGEMBANGAN PRIBADI KONSELOR

KIAT-KIAT MENGEMBANGKAN KARAKTERISTIK KONSELOR YANG


EFEKTIF

Dosen Pengampu :
Drs. Sutijono, MM
Dimas Ardika Miftah F., M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 9
Deviani Putri Ismawati (205000052)
Javeline Difta Putri Maydiva (205000055)

UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA


FAKULTAS PEDAGOGIK DAN PSIKOLOGI
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa
adanya suatu halangan apapun. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Pengembangan Pribadi Konselor Prodi
Bimbingan Konseling Angkatan 2020.

Makalah yang berjudul “Kiat-kiat Mengembangkan Karakteristik Konselor


yang Efektif” ini disusun secara sederhana dan sedemikian rupa dengan
kesederhanaan yang diharapkan untuk menambah pengetahuan dan wawasan.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada bapak Dimas Ardika Miftah F,.
M.Pd yang telah membimbing dalam pelaksanaan matakuliah Pengembangan
Pribadi Konselor. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Kami harap implementasi dari makalah
ini dapat dilaksanakan penulis maupun pembaca serta menambah wawasan
mengenai Pengembangan Pribadi Konselor.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan


bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.

Surabaya, 18 Mei 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

JUDUL.............................................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................ 5
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 6
C. Tujuan Masalah.......................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN

A. Empati dan cara pengembangannya………………………………… 7


B. Genuieneness dan cara pengembangannya……………………… 9
C. Acceptance dan cara pengembangannya………………………….. 11
D. Opened-mindedness dan cara pengembangannya……………. 14
E. Cognitive complexity dan pemanfaatannya……………………… 14
F. Psychological adjustment dan pengembangannya……………. 16
G. Kompetensi dan pengembanganya………………………………….. 19
H. Self-disclousure konselor………………………………………………... 22

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................. 26
B. Saran............................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 27

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan bantuan
yang diberikan kepada siswa dalam upaya menemukan pribadi, mengenal
lingkungan dan merencanakan masa depan siswa yang bersangkutan.
Layanan bimbingan dan konseling bertujuan agar para siswa dapat
mewujudkan diri sebagai pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, pelajar
yang kreatif dan pekerja produktif.
Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Pasal 1 ayat 13, mencantumkan bahwa
saat ini konselor merupakan salah satu tenaga pendidik. Yang mana hal
tersebut merupakan indikator secara tidak langsung bahwa konselor sudah
mulai di butuhkan dalam suatu intitusi pendidikan. Maka dari itu, hal ini
perlu diperhatikan dengan diperlukannya suatu klasifikasi khusus akan
konselor sebagai tenaga pendidik ini, sebagai upaya dalam membangun
profesi konselor yang professional. Selain itu dalam pencapaiannya sebagai
suatu profesi yang professional, Beberapa dari hasil penelitian menunjukan,
kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapain konseling
yang efektif, di samping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan
keterampilan teurapeutik atau konseling. Hal ini juga merupakan faktor
pendukung bagi tercapainya suatu profesi konselor yang professional.
Kegiatan konseling yang dilakukan oleh setiap konselor tentunya
tidak akan terlepas dari berbagai aspek penting mengenai komunikasi.
Suatu komunikasi yang baik tidak akan tercapai bila tidak adanya rasa
saling percaya antara kedua belah pihak. Ketercapaian rasa saling percaya
ini dapat tercapai dengan pengetahuan atau keterampilan, dan kepribadian
yang dimiliki oleh konselor. Kualitas hubungan dalam proses bimbingan
dan konseling sangat dipengaruhi oleh kualitas pribadi konselor (Guru
Pembimbing). Kepribadian konselor merupakan intervensi utama, karena

5
seseorang tidak akan dapat memberikan bantuan tanpa memiliki
kepribadian membantu. Konselor menciptakan dan mengembangkan
interaksi yamng membantu peserta didik untuk mengaktualisasikan
potensi secara optimal, mengembangkan pribadi yang utuh dan sehat, serta
menampilkan prilaku efektif, kreatif, produkti dan adjusted.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Empati dan cara pengembangannya?
2. Apa Genuieneness dan cara pengembangannya?
3. Apa Acceptance dan cara pengembangannya?
4. Apa Opened-mindedness dan cara pengembangannya?
5. Bagaimana Cognitive complexity dan pemanfaatannya?
6. Apa Psychological adjustment dan pengembangannya?
7. Bagaimana Kompetensi dan pengembanganya?
8. Apa Self-disclousure konselor?
C. TUJUAN
1. Mengetahui empati dan cara pengembangannya.
2. Mengetahui genuieneness dan cara pengembangannya.
3. Mengetahui acceptance dan cara pengembangannya.
4. Mengetahui opened-mindedness dan cara pengembangannya.
5. Mengetahui cognitive complexity dan pemanfaatannya.
6. Mengetahui psychological adjustment dan pengembangannya.
7. Mengetahui kompetensi dan pengembangannya.
8. Mengetahui self-disclousure konselor.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. EMPATI DAN CARA PENGEMBANNGANNYA


Empati adalah sikap individu yang dapat memahami perasaan atau
kondisi orang lain. Seorang konselor dituntut untuk memiliki sikap empati
kepada para klien/konseli mereka. Untuk bisa bersikap empati, diharapkan
konselor dapat memasuki kerangka diri seorang yang dilayani, dalam hal
ini kerangka pribadi klien/konseli. Menurut Rogers (dikutip dari Willis,
2009) empati sebagai kemampuan yang dapat merasakan dunia pribadi
klien tanpa kehilangan kesadaran diri. Ia menyebutkan komponen yang
terdapat dalam empati meliputi: penghargaan positif (positive regard), rasa
hormat (respect), kehangatan (warmth), kekonkretan (concreteness),
kesiapan/kesegaran (immediacy), konfrontasi (confrontation), dan keaslian
(congruence/genuiness). Memahami orang lain dari sudut pandang
klien/konseli, merasakan apa yang dirasakan oleh klien/konseli, empati yag
dirasakan pun haris diekspresikan, namun kita sebagai konselor tidak boleh
ikut larut didalam nilai-nilai klien/konseli. Bersikap empati berarti kita juga
harut turut andil dalam perasaan konseli/konselor tersebut, dan ada action
dari diri konselor. Menurut Alfred Adler, empati adalah penerimaan
terhadap penerimaan terhadap orang lain dan dapt meletakkan diri kita
pada tempat orang tersebut. Sedangkan menurut Hurlock (1999:118),
empati adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengerti perasaan dan
emosi orang lain, dan juga kemampuan untuk membayangkan diri sendiri
di tempat orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut.
Baruth dan Robinson III (1987), menyebutkan beberapa
karakteristik konselor yang efektif sebagai berikut:
a) Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.
b) Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan
yakin dalam diri orang yang akan dibantunya.
c) Mampu “menjangkau” ke dalam dan ke luar.

7
d) Berkeinginan mengomunikasikan caring dan respek untuk
orang yang sedang dibantunya.
e) Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang
sedang dibantunya sebagai sarana untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri.
f) Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang
akan mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya.
g) Mampu memahami tingkah laku orang yang dibantunya
tanpa menerapkan value judgments.
h) Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir
dalam kerangka sistem.
i) Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas
tentang hal-hal yang terjadi di dunia.
j) Mampu mengidentifikasi pola-pola tingkah laku yang self-
defeating, yang merugikan dan membantu orang lain
mengubah tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini
menjadi pola tingkah laku yang lebih memuaskan.
k) Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam
dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak defensif terhadap
pertanyaan “Siapakah Saya?”.

Untuk dapat berempati, konselor harus memasuki kerangka acuan


klien, yaitu konselor berusaha untuk menempatkan dirinya ke dalam dunia
klien. Respon konselor yang menunjukkan empati terhadap klien, lebih
cenderung menunjukkan bahwa konselor berpikir bersama klien, bukan
berpikir tentang atau untuk klien. Egan (1987) mengemukakan lima tataran
dalam mengkomunikasikan empati secara verbal, diantarnya:

1. Dikomunikasikan dalam bentuk pertanyaan, penentraman,


penyangkalan, dan nasihat.
2. Hanya memusatkan pada isi atau bagian kognisi pesan,
perasaan/emosi diabaikan.

8
3. Memahami tetapi tidak ada arahan; merefleksikan perasaaan
dan makna/situasi.
4. Memahami dan memberi arahan; mengidentifikasi perasaan
dan kekurangan klien.
5. Mengandung semua isi tataran satu hingga empat ditambah
sekurang-kurangnya satu langkah tindakan yang dapat
diambil klien untuk menangani kelemahan dan mencapai
tujuan.

Secara non-verbal, empati dapat dikomunikasikan oleh konselor


dengan cara menjaga kontak mata, mengatur posisi tubuh condong ke arah
konseli, mengikuti gerak tubuh konseli, dan posisi tangan terbuka (tidak
berpangku tangan, atau bersedekap).

B. GENUINENESS DAN CARA PENGEMBANGANNYA


Genuineness atau keaslian merupakan sifat individu yang artinya
dapat merasakan kenyamanan dengan dirinya sendiri. Dalam konteks
konselor, genuineness atau yang sering disebut juga dengan ketulusan,
merupakan komponen penting dalam proses konseling. Karena konselor
dapat menjadi dirinya sendiri saat berinteraksi dengan konseli yang
memiliki sifat/karakter berbeda-beda. Dalam proses konseling, ketulusan
memengaruhi hubungan konseling antara konselor dengan konseli, karena
dengan sikap tulus konselor, konseli akan lebih nyaman saat melakukan
konseling. Konselor yang yakin dan nyaman dengan dirinya sendiri
(keaslian dirinya) akan lebih dewasa dan matang dalam perannya sebagai
konselor.
Dalam melakukan proses konseling, hendaknya konselor menolong
dan membantu konseli karena tulus, bukan karena mengharapkan imbalan
dari konseli. Terdapat lima komponen dalam ketulusan yaitu:
1. Perilaku non verbal
Konseli dapat melihat ketulusan atau keaslian konselor pada
saat konseling melalui komunikasi nonverbal yang dilakukan
oleh konselor pada saat konseling berlangsung. Komunikasi

9
nonverbal yang menunjukkan keaslian atau ketulusan konselor
adalah seperti kontak mata (cara pandang konselor dengan
konseli). Selain itu dari senyuman konselor, cara duduk konselor
pada saat berkomunikasi dengan konseli. Apabila konselor
memunjukkan posisi badan yang condong sedikit ke depan,
menunjukkan bahwa konselor tulus dengan konseli. Sebaliknya,
jika konselor yang saat duduk selalu bersandar dapat dipersepsi
oleh konseli bahwa konselor tidak sungguh-sungguh melayani
konseli.
2. Tindakan yang berkaitan dengan peran atau kedudukan
Pada proses konseling, hendaknya konselor menjauhkan
peran, kekuasaan, atau kedudukannya dengan konseli, demi
menjaga kenyamanan konseli pada saat konseling berlangsung.
3. Kongruensi
Kongruensi menunjukkan kekonsistenan konselor untuk
menjadi dirinya sendiri antara lain dalam hal kata-kata,
perasaan, dan tindakan. Melalui kongruensi, dapat menunjukkan
apakah konselor bersungguh-sungguh dan tulus dalam
membantu konseli. Menurut Rogers (dikutip dari Sedanayasa,
2014) bahwa konselor yang semakin dapat mendengarkan dan
menerima apa yang terjadi dalam dirinya, dan semakin mampu ia
memahami kompleksitas perasaannya, tanpa rasa takut, maka
semakin tinggi derajat kongruensinya.
4. Spontanitas
Ketika konseling berlangsung, konselor dapat
mengekspresikan diri secara natural tanpa dibuat-buat namun
tetap bijaksana dalam arti, apa yang diekspresikannya harus
tetap membuat konseli nyaman merupakan maksud dari
spontanitas dalam konteks pribadi konselor. Kemampuan
spontanitas dalam pribadi konselor memang perlu dilatih bagi
konselor agar selalu berhati-hati dengan apa yang

10
diekspresikannya terutama dari perasaan-perasaan negatif agar
tidak sampai terlihat oleh konseli.
5. Keterbukaan
Keterbukaan atau biasa disebut dengan transparansi
merupakan kemampuan konselor untuk mau berbagi dan
membuka diri. Keterbukaan atau transparansi dibutuhkan oleh
seorang konselor karena dapat membantu konseli agar dapat
mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka.

C. ACCEPTANCE DAN CARA PENGEMBANGANNYA


Penerimaan tanpa syarat atau respek kepada klien harus mampu
ditunjukkan oleh seorang konselor kepada kliennya. Konselor harus dapat
menerima bahwa orang-orang yang dihadapinnya mempunyai nilai dan
kebutuhan masing-masing sehingga jangan mengaharap klien memiliki
nilai-nilai yang sama dengan yang dimiliki oleh konselor. Respek artinya
bahwa seorang konselor dalam memberikan layanan hendaknya
menunjukkan minat yang tinggi. Dengan demikian konseli yang dilayani
akan merasa diperhatikan kebutuhannya. Hal ini mengandung arti juga
bahwa konselor menerima kenyataan setiap konseli mempunyai hak untuk
dilayani, memiliki kebebasan, kemauan, dan mampu membuat
keputusannya sendiri.
Konselor harus dapat menerima respek kepada klien walaupun dengan
keadaan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Rogers mengatakan
bahwa setiap manusia memiliki tendensi untuk mengaktualisasikan dirinya
kearah yang lebih baik. Untuk itulah konselor harus memberikan
kepercayaan kedapa klien untuk mengembangkan diri mereka. Brammer,
Abrego, dan Shostrom (dikutip dari Lesmana,2005) menimpali apa yang
disampaikan oleh Rogers, bahwa klien akan mengalami perubahan yang
efektif apabila ia berada dalam situasi yang kondusif untuk pertumbuhan.
Situasi yang kondusif ini misalnya pengalaman penerimaan (acceptance)
yaitu pengalaman dipahami, dicintai, dan dihargai tanpa syarat. Menurut
Lesmana (2005), acceptance dalam konseling sama dengan bentuk cinta,

11
yaitu bentuk cinta seseorang ketika berusaha membantu orang lain untuk
berkembang. Menurutnya, acceptance juga bersifat tidak menilai, artinya
konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang dianut oleh klien.
Melalui konseling, orang harus mempelajari cara bersikap dan
bertingkah laku positif yang hanya bisa terjadi dalam situasi kondusif.
Konselor ada dalam posisi menciptakan hubungan kasih sayang yang
punya efek konstruktif atau destruktif pada sistem sekuritas klien dan
kemampuannya untuk memberi dan menerima cinta. Acceptance dalam
konseling ini sama dengan bentuk cinta, yaitu suatu bentuk cinta seseorang
ketika berusaha membantu orang lain untuk berkembang, ketika seseorang
berusaha secara maksimal untuk kesejahteraan dari objek cinta tersebut.
Beberapa konselor mempunyai keberatan dengan penggunaan kata cinta
dan kasih sayang, konselor lebih menyukai istilah caring yang juga memiliki
arti bahwa konselor menunjukkan rasa keprihatinan yang mendalam untuk
kesejahteraan klien.
Acceptance merupakan suatu motivasi spontan dan juga memiliki
sifat altruistik, dalam arti konselor memang mengusahakan kesejahteraan
psikologis klien dan tidak mengeksploitasinya. Acceptance juga bersifat
tidak menilai, dalam arti konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang
dipegang oleh klien.
Adapun cara mengembangkan Acceptance:
1. Hargai diri sendiri
Menaruh respek kepada orang lain harus dimulai dari diri
sendiri. Hargai diri sendiri dengan menyadari bahwa kita
memiliki hak sebagai individu dan kebebasan untuk mengambil
keputusan. Menghargai diri sendiri berarti menggunakan hak
tersebut untuk menerapkan batasan dalam menjaga kesehatan
dan memenuhi kebutuhan hidup. Kita adalah satu-satunya orang
yang bertanggung jawab atas diri sendiri, tindakan, dan perasaan
kita, bukan orang lain. Ini berarti kita boleh menolak permintaan
orang lain tanpa merasa bersalah atau bersikap negatif.
2. Perlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan

12
Jika kita ingin agar orang lain bersikap baik kepada kita,
bersikaplah baik kepada semua orang. Jika kita ingin orang lain
berbicara dengan tenang kepada kita, berbicaralah dengan
tenang kepada semua orang. Apabila seseorang berperilaku
buruk kepada kita, maka jangan berperilaku buruk kepada orang
lain. Ucapkan dan lakukan hal-hal positif seperti yang kita
harapkan dari orang lain. Contohnya: jika seseorang membentak
kita, maka cukup tanggapi dengan nada suara yang tenang dan
kata-kata yang penuh pengertian.
3. Tempatkan diri sendiri di posisi orang lain
Kita akan kesulitan menghargai perspektif orang lain apabila
kita tidak bisa memahami apa yang mereka rasakan dan alami.
Contohnya: kalau kita sedang berkonflik dengan teman,
bayangkan apa yang kita rasakan jika mengalami hal yang sama.
Cara ini membuat kita mampu berempati sehingga lebih mudah
memahami perspektifnya dan memberikan respons yang
simpatik.
Empati adalah keterampilan yang bisa dikembangkan dengan
berlatih. Kita akan semakin terhubung dengan orang lain jika kita
mampu memahaminya. Contohnya: jika ada hal yang belum kita
mengerti atau sedang berbeda pendapat dengan seseorang,
mintalah ia menjelaskan atau memberikan contoh.
4. Hormati harkat dan martabat setiap orang
Kita harus menghormati semua orang, bukan hanya orang
yang kita sukai. Hargai hak asasi setiap orang, terlepas dari latar
belakang atau cara ia memperlakukan kita. Walaupun kita
kecewa atau marah kepada seseorang, ia tetap layak dihormati.
Apabila kita kesulitan mengendalikan perilaku sehingga ingin
melontarkan kata-kata yang kasar atau menyakitkan,
bernapaslah dalam-dalam beberapa kali. Cara ini membantu kita
menunda berbicara agar sempat menenangkan diri.

13
D. OPENED-MINDEDNESS DAN CARA PENGEMBANGANNYA
Keterbukaan memiliki beberapa fungsi penting dalam konseling
menurut Hackney dan Cormier (2001). Pertama-tama seorang konselor
yang memiliki keterbukaan, dapat mengakomodasi perasaan, sikap dan
tingkah laku klien yang berbeda dengan dirinya. Kedua, konselor
memungkinkan untuk berinteraksi dengan berbagai macam jenis klien. Dan
akhirnya, keterbukaan merupakan persyaratan untuk komunikasi yang
jujur. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa orang yang kurang terbuka,
sulit mengubah pemikirannya tentang sesuatu dan meskipun ada bukti-
bukti yang sebaliknya, tetap bertahan dengan ide semula yang sudah
terpaten dalam pikirannya.
Dengan perkataan lain, seorang konselor harus bersedia membuka
dirinya untuk segala macam pengalaman yang ada. Ia harus selalu berusaha
memperkaya dirinya dengan berbagai macam pengetahuan. Dan ia harus
bisa menerima bahwa ada berbagai macam pengalaman di dunia, bukan
dirinya atau kelompoknya yang satu-satunya benar. Ada norma-norma lain
di dunia dan ia harus bisa menerimanya dan norma yang dianutnya
bukanlah satu-satunya yang benar.

E. COGNITIVE COMPLEXITY DAN PEMANFAATANNYA


Cognitive complexty adalah kemampuan mental untuk membedakan
kepribadian yang halus dengan perbedaan perilaku diantara
manusia.Secara sederhana yang merupakan sebuah metode penelitian yang
menekankan pada bagaimana kepribadian dan tindakan seseorang dalam
mendefinisikan karakter seseorang. Complexty merupakan suatu tingkat
kerumitan. Bila kompleksitas dihubungkan dengan suatu organisasi maka
dapat kita artikan sebagai berikut, semakin besar ukuran suatu organisasi
semakin cenderung menjadi kompleks keadaannya.Kompleksitas ini
menyangkut berbagai hal seperti kompleksitas alur informasi, kompleksitas
pembuat keputusan, kompleksitas pendelegasian wewenang, kompleksitas
pekerjaan dan sebagainya.

14
Cognitive adalah keyakinan seseorang tentang sesuatu yang
didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses
yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi
pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami,
menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Perbedaan antara kedua
detektif itu adalah bahwa seseorang dapat, melalui pengalaman dan
pelatihan, untuk mendeteksi petunjuk yang tidak jelas.Ini adalah salah satu
tanda dari sesuatu yang disebut kompleksitas kognitif. Dalam psikologi,
kompleksitas kognitif adalah seberapa baik orang memandang sesuatu. Ini
berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat peristiwa, struktur, atau
pengalaman dan seberapa tepat seseorang menganalisis berdasarkan
seberapa kompleks kognisi, atau pemikiran, struktur mereka. Misalnya,
seorang individu membutuhkan trotoar dari pintu belakang mereka ke
drive depan yang dibangun. Seorang teman memberi tahunya bahwa yang
harus dia lakukan hanyalah meratakan tanah, mengatur beberapa bentuk,
dan menuangkan trotoar. Tapi, karena lebih bijaksana dari itu dia menyewa
kontraktor untuk melakukan pekerjaan itu. Kontraktor melakukan semua

yang diminta teman tersebut, tetapi dia juga melihat pada permukaan
tanah, posisi relatif trotoar ke rumah dan perkiraan garis es untuk area
tersebut. Dia juga melihat bagaimana kondisi cuaca seharusnya untuk
beberapa hari ke depan untuk memastikan beton punya waktu untuk
menyelesaikan. Kompleksitas kognitif adalah tentang bagaimana
menggunakan lebih banyak struktur mental untuk menentukan nuansa
aktivitas yang tidak akan dipertimbangkan oleh orang lain, dengan
menggunakan struktur yang kurang kompleks.

Pemanfaatan Cognitive Complexity

Cognitive Complexity menjadi lebih penting karena dapat memandu


bagaimana kita dapat memahami orang lain. Setiap individu memiliki
perbedaan kompleksitas yang digunakannya untuk memahami orang lain.
Misalnya, orang yang sederhana secara kognitif, maka cenderung akan
menyederhanakan setiap hal, dia akan menilai atau memahami seseorang

15
hanya sepihak, seperti orang tertentu memiliki sifat tertentu karena mereka
berasal dari suku, jenis kelamin atau kelas sosial tertentu. Sebaliknya, jika
seseorang memiliki sistem kognitif yang lebih kompleks, maka cenderung
memiliki pengertian yang lebih luas terhadap prespektif orang lain dan
memiliki kemampuan lebih baik dalam membingkai pesan sehingga mudah
difahami orang lain.

Jadi dapat disimpulkan pemanfaatan dari cognitive complexity yaitu


sebagaimana seseorang individu mampu dan dapat bisa memahami orang
lain. Diamna setiap individu memiliki cara tersendiri untu memahami orang
lain.

F. PSYCHOLOGICAL ADJUSTMENT DAN PENGEMBANGANNYA


Definisi Psychological Adjustment Weiten dan Lloyd (2006)
menyebutkan bahwa psychological adjustment merupakan proses
psikologis yang dilakukan oleh individu dalam mengatur atau mengatasi
kebutuhan dan tantangan dalam kehidupannya sehari-hari. Penyesuiaan
diri berhubungan dengan bagaimana ia mengatur atau mengatasi berbagai
kebutuhan dan tekanan.
Ward (2009) mendefinisikan psychological adjustment sebagai
respons afektif yang dikaitkan dengan proses adaptasi kita, dan juga suatu
hal yang memotivasi individu untuk lebih menyesuaikan diri (adjustment)
dalam host culture guna untuk mencapai well being atau kepuasaan dalam
transisi lintas budaya. Lebih lanjut dalam teori Kingsley dan Dakhari (2006)
menambahkan bahwa proses psychological adjustment terhadap proses
adaptasi cross cultural dapat dipengaruhi oleh beberapa dimensi budaya,
seperti cara berpakaian, cuaca, makanan, bahasa, masyarakat sekitar,
sekolah, nilai-nilai kebudayaan. Yang dimaksud dengan nilai-nilai
kebudayaan disini adalah nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam
suatu lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan,
kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang
dapat dibedakan satu dan lainnya dan juga berperan sebagai acuan prilaku
(Tjahyadi, 1997). Dengan demikian psychological adjustment diartikan

16
penulis sebagai respon afektif dalam menghadapi lingkungan dan budaya
baru untuk mendapatkan kepuasan hidup.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi psychological adjustment menurut
Ward (2006) adalah :
1. Perubahan kehidupan pada individu yang pindah ke lingkungan
baru dapat mempengaruhi psychological adjustment nya.
2. Faktor Kepribadian Karakteristik dari individu yang
membedakan setiap individu dalam psychological adjustment.
3. Dukungan Sosial Dalam menjalani proses psychological
adjustment adanya dukungan sosial dari teman, guru ataupun
orang tua baik yang di host country ataupun negara asal.

Pengembangan Psychological Adjustment

Psychological well-being adalah sebuah konsep yang berusaha


memaparkan tentang positive psychological functioning (Ryff, 1989). Belum
ada patokan yang ajeg mengenai pengertian dari psychological well- being
sendiri. Namun berdasarkan penelitian terkait yang mendahului
kemunculannya, psychological well-being dikaitkan dengan bagaimana
kondisi mental yang dianggap sehat dan berfungsi maksimal (Ryff, 1989).
Carol Ryff (1989 dalam Adelemo&Adeleye, 2008; Ryff, 1989) berusaha
mengembangkan konsep positive psychological functioning/ well-being
yang lebih operasional. Konsep ini berisi tentang bagaimana seseorang
menilai dirinya dan kehidupannya lewat enam indikator positive
psychological functioning yang diusulkannya. Carol Ryff (Ryff, 1989; Ryff
dan Keyes, 1995) mengoperasionalkan psychological well-being ke dalam
enam dimensi utama, yaitu: otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan
(environmental mastery), personal growth (pengembangan diri), relasi
yang positif dengan orang lain (positive relation with others), tujuan hidup
(purpose in life) dan penerimaan diri (self-acceptance). Dari penjabaran
literatur yang ada, peneliti lantas menyimpulkan bahwa psychological well-
being adalah suatu kondisi mental yang sehat di mana seseorang dapat
berfungsi optimal dalam kehidupannya dan memiliki penilaian yang positif

17
atas kehidupannya. Berdasarkan Ryff, ada tiga faktor yang mempengaruhi
psychological well-being seseorang, yaitu jenis kelamin, usia, dan personal
trait (Ryff, 1989; Schmutte dan Ryff, 1997; Keyes, Shmothkin dan Ryff,
2002). Psychological well-being diukur dengan Scale of psychological well-
being yang disusun oleh Carol Ryff (1989). Alat ukur ini mencakup enam
dimensi psychological well-being yang sudah dijelaskan sebelumnya. Siswa
akseleran dengan keberbakatan intelektual yang dimilikinya memiliki sifat-
sifat tertentu sebagai anak berbakat intelektual yang berbeda dengan anak
pada umumnya dengan usia yang sama.

Menurut Neihart (1999), sebagai anak berbakat ada tuntutan baik


dari internal maupun eksternal diri yang berkaitan dengan kondisi
keberbakatannya. Inilah yang menyebabkan mereka perlu melakukan
penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan tersebut. Proses penyesuaian
diri ini membawa mereka kepada sejumlah masalah- masalah. Adjustment
problems yang muncul pada anak gifted umumnya, menurut Chan (2006),
bersumber dari penyesuaian anak dengan label ”gifted”, kualitas
pendidikan, lingkungan keluarga mereka, dan karakteristik personal
individu itu sendiri. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada hasil
penelitian David Chan (2003 dalam Chan, 2006) di Hong Kong tentang
adjusment problems yang dialami oleh gifted students. David Chan
menemukan ada enam permasalahan akibat keberbakatan yang dialami
oleh gifted stu dents. Masalah- masalah tersebut adalah tugas sekolah yang
tidak menantang (unchallenging schoolwork), miskinnya hubungan
interpersonal (poor interpersonal relationship), harapan orang tua
(parental expectation), sikap perfeksionis (perfectionism),
multipotensialitas (multipotentiality), dan keterlibatan yang tinggi (intense
involvement). Adjustment problems pada siswa berbakat diukur dengan
Student Adjustment Problems Inventory -24 (SAPI-24) yang meliputi enam
dimensi, yaitu tugas sekolah yang tidak menantang, miskinnya hubungan
interpersonal, harapan orang tua, sikap perfeksionis, multipotensialitas,
dan keterlibatan yang tinggi (Chan, 2006).

18
G. KOMPETENSI DAN PENGEMBANGANNYA
Kegiatan bimbingan dan konseling dalam pendidikan sekolah,
diselenggarakan oleh pejabat fungsional yang secara resmi dinamakan guru
pembimbing ( guru kelas di sekolah dasar ). Dengan demikian, kegiatan
bimbingan dan konseling di sekolah merupakan kegiatan atau pelayanan
fungsional yang bersifat profesional atau keahlian dengan dasar keilmuan
dan teknologi.
Rumusan Standar Kompetensi Konselor telah dikembangkan dan
dirumuskan atas dasar kerangka fikir yang menegaskan konteks tugas dan
ekspekstasi kinerja konselor. Namun bila ditata dalam keempat kompetensi
pendidik sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005, maka rumusan
kompetensi akademik dan professional konselor dapat dipetakan dan
dirumuskan ke dalam empat kompetensi yaitu :
1. Kompetensi Pedagogik
a. Menguasai teori dan praksis pendidikan
i. Menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya.
ii. Mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan dan proses
pembelajaran.
iii. Menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan.
b. Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta
perilaku konseling
i. Mengaplikasikan kaidah-kaidah perilaku
manusia, perkembangan fisik dan psikologis individu
terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam
upaya pendidikan
ii. Mengaplikasikan kaidah ― kaidah kepribadian individualitas
dan perbedaan konseling terhadap sasaran pelayanan
bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan.
c. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur,
jenis, dan jenjang satuan pendidikan
i. Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jalur
pendidikan formal, nonformal dan informal.

19
ii. Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan
jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah, serta
tinggi.
2. Kompetensi Kepribadian
a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
i. Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
ii. Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan
toleran terhadap pemeluk agama lain.
b. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
individualitas dan kebebasan memilih
i. Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang
manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial,
individual, dan berpotensi.
ii. Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan
konseling pada khususnya Peduli terhadap kemaslahatan
manusia pada umumnya dan konseling pada khususnya.
c. Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat
i. Menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti
berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten ).
ii. Peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan
perubahan.
d. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi
i. Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan
produktif.
ii. Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri.
3. Kompetensi Sosial
a. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja
i. Memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak
lain (guru, wali kelas, pimpinan sekolah/madrasah, komite
sekolah/madrasah) di tempat bekerja.

20
ii. Mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan
bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat
bekerja.
b. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan
konseling
i. Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi
bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan
profesi.
ii. Aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling
untuk pengembangan diri dan profesi.
c. Mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi
i. Mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan
konseling kepada organisasi profesi lain.
ii. Memahami peran organisasi profesi lain dan
memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan
dan konseling.
4. Kompetensi Profesional
a. Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi,
kebutuhan, dan masalah konseling.
i. Menyusun dan mengembangkan instrumen asesmen untuk
keperluan bimbingan dan konseling.
ii. Memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk
mengungkapkan kondisi aktual konseling berkaitan dengan
lingkungan.
b. Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling
i. Mengaplikasikan pendekatan /model/jenis pelayanan dan
kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.
ii. Mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai
kondisi dan tuntutan wilayah kerja.
c. Menganalisis kebutuhan konseling

21
i. Menyusun program bimbingan dan konseling yang
berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara
komprehensif dengan pendekatan perkembangan.
ii. Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan
konseling.
d. Mengimplementasikan program Bimbingan dan Konseling yang
komprehensif
i. Melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam pelayanan
bimbingan dan Konseling.
ii. Memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan
sosial konseli.
e. Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling
i. Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan
dan konseling.
ii. Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan
bimbingan dan konseling kepada pihak terkait.
f. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional
i. Menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kewenangan
dan kode etik profesional konselor.
ii. Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut
dengan masalah konseling.
g. Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan
konseling
i. Memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan
konseling dengan mengakses jurnal pendidikan bimbingan
dan konseling.
ii. Mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling.

H. SELF-DISCLOUSURE KONSELOR
Self-disclousure adalah pegungkapkan informasi tentang diri sendiri
kepada orang lain (West & Turner, 2008). West dan Turner (2008)
mengatakan bahwa self-disclousure dapat membantu membentuk

22
keakraban dan kedekatan dengan orang lain. Dengan demikian, self-
disclousure merupakan pengungkapan informasi pribadi yang bertujuan
untuk membentuk keakraban dan kedekatan kepada orang lain.
Menurut Wood (2012) self-disclousure adalah pengungkapan
informasi mengenai diri sendiri yang biasanya tidak diketahui oleh orang
lain. Individu membuka diri ketika ia membagikan informasi pribadi
mengenai diri sendiri seperti harapan, ketakutan, perasaan, pikiran dan
pengalaman. Membuka diri akan cenderung mengundang orang lain untuk
membuka diri juga (Wood, 2012). Hal ini dikarenakan adanya sikap saling
percaya satu sama lain sehingga individu yang mengetahui informasi
pribadi orang lain akan membuka diri juga kepada orang tersebut.
Leung (2002) mengungkapkan 5 aspek self-disclousure, yaitu :
1. Control of depth
Individu mengakui bahwa mereka berbicara cukup panjang
tentang diri sendiri, mengungkapkan hal yang intim atau pribadi,
dan sepenuhnya mengungkapkan perasaan
diri sendiri di media sosial.
2. Accuracy
Berkaitan dengan ketulusan, keterbukaan, dan kejujuran
tentang perasaan, emosi, dan pengalaman individu ketika
menggunakan media sosial.
3. Amount of disclousure
Berkaitan dengan seberapa banyak individu mengungkapkan
diri sendiri di media sosial.
4. Valence
Berkaitan dengan isi dari apa yang diungkapkan individu,
dimana hal tersebut bersifat lebih positif dan diinginkan, atau
lebih negatif dan tidak diinginkan.
5. Intent of disclousure
Berkaitan dengan apakah individu menyadari apa yang
mereka ungkapkan di media sosial.

23
Faktor-faktor Self-Disclousure

Faktor-faktor yang mempengaruhi self-disclousure (DeVito,


1997) antara lain :
a. Besar kelompok
Self-disclousure lebih banyak terjadi dalam kelompok
kecil ketimbang kelompok besar. Dengan satu pendengar
(jika berada di kelompok yang terdiri atas dua orang),
pihak yang melakukan pengungkapan diri dapat meresapi
tanggapan dengan cermat.
b. Perasaan menyukai
Individu membuka diri kepada orang-orang yang
disukai atau dicintainya, dan individu tidak akan
membuka diri kepada orang yang tidak disukai (Derlega
dkk, 1987; DeVito, 1997). Hal ini dikarenakan orang yg
disukai (dan mungkin menyukai balik) akan mendukung
dan positif.
c. Efek diadik
Individu melakukan self-disclousure bila orang yang
mengetahuinya juga melakukan self-disclosure.
Pengungkapan diri menjadi lebih akrab bila itu dilakukan
sebagai tanggapan atas pengungkapan diri orang lain.
d. Kompetensi
Individu yang kompeten lebih banyak melakukan
pengungkapan diri daripada individu yang kurang
kompeten. Hal ini dikarenakan individu yang kompeten
memiliki rasa percaya diri dan memiliki banyak hal yang
positif untuk diungkapkan.
e. Kepribadian
Individu yang pandai bergaul dan ekstrovet
melakukan pengungkapan diri lebih banyak dibandingkan
dengan individu yang kurang pandai bergaul dan lebih

24
introvert. Demikian juga individu yang kurang berani
bicara pada umumnya juga kurang mengungkapkan diri
dibandingkan individu yang merasa lebih nyaman dalam
berkomunikasi.
f. Topik
Pada umumnya informasi yang lebih pribadi seperti
keadaan keuangan atau ekonomi serta topik-topik negatif
lebih kecil kemungkinannya untuk di ungkapkan sehingga
individu cenderung membuka diri tentang topik tertentu.
g. Jenis kelamin
Jenis kelamin menjadi faktor terpenting yang
mempengaruhi pengungkapan diri. Namun, perbedaan
jenis kelamin ini bukan dari segi biologis, tetapi dari
perbedaan gender. Contohnya, wanita yang maskulin
kurang membuka diri ketimbang wanita yang memiliki
skala maskulinitas rendah dan pria feminim melakukan
pengungkapan diri yang lebih besar daripada pria yang
memiliki skala femininitas yang lebih rendah.

25
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Konselor yang memiliki kepribadian yang utuh, yaitu konselor yang
tidak mudah terpengaruh oleh suasana yang timbul pada saat konseling.
Konselor seperti ini adalah konselor yang dapat mengendalikan dirinya dari
pengaruh suasana hati yang dialaminya sebagai konselor atau sebagai
anggota keluarga atau masyarakat. Konselor juga harus punya karakter
untuk membentuk kepribadian yang dapat ditiru oleh orang lan khususnya
para siswa, membiasakan untuk mempunyai etika da eriked yang bagus
dalam kehidupan sehari-hari.
Profil Guru BK atau Konselor Sekolah adalah guru yang memiliki
standar kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur
pendidikan formal dan nonformal adalah Sarjana Pendidikan (S-1) dalam
bidang Bimbingan dan Konseling atau berpendidikan Profesi Konselor.
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK) telah
disusun oleh BSNP dan ditetapkan dalam Permendiknas Nomor 27 Tahun
2008, bagi Konselor yang telah memenuhi SKAKK harus mampu
menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling sesuai dengan beban

26
kerja yang diamanatkan yaitu mencakup kegiatan; merencanakan program,
melaksanakan, menilai, menganalisis serta menindaklanjuti hasil analisis
evaluasi kegiatan bimbingan dan konseling.

B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Untuk
itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Az-Zahroh, T. N. (2015). Karakteristik Konselor Yang Efektif.


Berlian, R. (2021). Pengembangan Pribadi Konselor.
Dewi. (2015). Pengembangan Pribadi Konselor.

27
28

Anda mungkin juga menyukai