Dosen Pengampu :
Drs. Sutijono, MM
Dimas Ardika Miftah F., M.Pd
Disusun Oleh :
Kelompok 9
Deviani Putri Ismawati (205000052)
Javeline Difta Putri Maydiva (205000055)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa
adanya suatu halangan apapun. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Pengembangan Pribadi Konselor Prodi
Bimbingan Konseling Angkatan 2020.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
JUDUL.............................................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 5
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 6
C. Tujuan Masalah.......................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ................................................................................................. 26
B. Saran............................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 27
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan bantuan
yang diberikan kepada siswa dalam upaya menemukan pribadi, mengenal
lingkungan dan merencanakan masa depan siswa yang bersangkutan.
Layanan bimbingan dan konseling bertujuan agar para siswa dapat
mewujudkan diri sebagai pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, pelajar
yang kreatif dan pekerja produktif.
Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Pasal 1 ayat 13, mencantumkan bahwa
saat ini konselor merupakan salah satu tenaga pendidik. Yang mana hal
tersebut merupakan indikator secara tidak langsung bahwa konselor sudah
mulai di butuhkan dalam suatu intitusi pendidikan. Maka dari itu, hal ini
perlu diperhatikan dengan diperlukannya suatu klasifikasi khusus akan
konselor sebagai tenaga pendidik ini, sebagai upaya dalam membangun
profesi konselor yang professional. Selain itu dalam pencapaiannya sebagai
suatu profesi yang professional, Beberapa dari hasil penelitian menunjukan,
kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapain konseling
yang efektif, di samping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan
keterampilan teurapeutik atau konseling. Hal ini juga merupakan faktor
pendukung bagi tercapainya suatu profesi konselor yang professional.
Kegiatan konseling yang dilakukan oleh setiap konselor tentunya
tidak akan terlepas dari berbagai aspek penting mengenai komunikasi.
Suatu komunikasi yang baik tidak akan tercapai bila tidak adanya rasa
saling percaya antara kedua belah pihak. Ketercapaian rasa saling percaya
ini dapat tercapai dengan pengetahuan atau keterampilan, dan kepribadian
yang dimiliki oleh konselor. Kualitas hubungan dalam proses bimbingan
dan konseling sangat dipengaruhi oleh kualitas pribadi konselor (Guru
Pembimbing). Kepribadian konselor merupakan intervensi utama, karena
5
seseorang tidak akan dapat memberikan bantuan tanpa memiliki
kepribadian membantu. Konselor menciptakan dan mengembangkan
interaksi yamng membantu peserta didik untuk mengaktualisasikan
potensi secara optimal, mengembangkan pribadi yang utuh dan sehat, serta
menampilkan prilaku efektif, kreatif, produkti dan adjusted.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Empati dan cara pengembangannya?
2. Apa Genuieneness dan cara pengembangannya?
3. Apa Acceptance dan cara pengembangannya?
4. Apa Opened-mindedness dan cara pengembangannya?
5. Bagaimana Cognitive complexity dan pemanfaatannya?
6. Apa Psychological adjustment dan pengembangannya?
7. Bagaimana Kompetensi dan pengembanganya?
8. Apa Self-disclousure konselor?
C. TUJUAN
1. Mengetahui empati dan cara pengembangannya.
2. Mengetahui genuieneness dan cara pengembangannya.
3. Mengetahui acceptance dan cara pengembangannya.
4. Mengetahui opened-mindedness dan cara pengembangannya.
5. Mengetahui cognitive complexity dan pemanfaatannya.
6. Mengetahui psychological adjustment dan pengembangannya.
7. Mengetahui kompetensi dan pengembangannya.
8. Mengetahui self-disclousure konselor.
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
d) Berkeinginan mengomunikasikan caring dan respek untuk
orang yang sedang dibantunya.
e) Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang
sedang dibantunya sebagai sarana untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri.
f) Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang
akan mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya.
g) Mampu memahami tingkah laku orang yang dibantunya
tanpa menerapkan value judgments.
h) Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir
dalam kerangka sistem.
i) Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas
tentang hal-hal yang terjadi di dunia.
j) Mampu mengidentifikasi pola-pola tingkah laku yang self-
defeating, yang merugikan dan membantu orang lain
mengubah tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini
menjadi pola tingkah laku yang lebih memuaskan.
k) Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam
dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak defensif terhadap
pertanyaan “Siapakah Saya?”.
8
3. Memahami tetapi tidak ada arahan; merefleksikan perasaaan
dan makna/situasi.
4. Memahami dan memberi arahan; mengidentifikasi perasaan
dan kekurangan klien.
5. Mengandung semua isi tataran satu hingga empat ditambah
sekurang-kurangnya satu langkah tindakan yang dapat
diambil klien untuk menangani kelemahan dan mencapai
tujuan.
9
nonverbal yang menunjukkan keaslian atau ketulusan konselor
adalah seperti kontak mata (cara pandang konselor dengan
konseli). Selain itu dari senyuman konselor, cara duduk konselor
pada saat berkomunikasi dengan konseli. Apabila konselor
memunjukkan posisi badan yang condong sedikit ke depan,
menunjukkan bahwa konselor tulus dengan konseli. Sebaliknya,
jika konselor yang saat duduk selalu bersandar dapat dipersepsi
oleh konseli bahwa konselor tidak sungguh-sungguh melayani
konseli.
2. Tindakan yang berkaitan dengan peran atau kedudukan
Pada proses konseling, hendaknya konselor menjauhkan
peran, kekuasaan, atau kedudukannya dengan konseli, demi
menjaga kenyamanan konseli pada saat konseling berlangsung.
3. Kongruensi
Kongruensi menunjukkan kekonsistenan konselor untuk
menjadi dirinya sendiri antara lain dalam hal kata-kata,
perasaan, dan tindakan. Melalui kongruensi, dapat menunjukkan
apakah konselor bersungguh-sungguh dan tulus dalam
membantu konseli. Menurut Rogers (dikutip dari Sedanayasa,
2014) bahwa konselor yang semakin dapat mendengarkan dan
menerima apa yang terjadi dalam dirinya, dan semakin mampu ia
memahami kompleksitas perasaannya, tanpa rasa takut, maka
semakin tinggi derajat kongruensinya.
4. Spontanitas
Ketika konseling berlangsung, konselor dapat
mengekspresikan diri secara natural tanpa dibuat-buat namun
tetap bijaksana dalam arti, apa yang diekspresikannya harus
tetap membuat konseli nyaman merupakan maksud dari
spontanitas dalam konteks pribadi konselor. Kemampuan
spontanitas dalam pribadi konselor memang perlu dilatih bagi
konselor agar selalu berhati-hati dengan apa yang
10
diekspresikannya terutama dari perasaan-perasaan negatif agar
tidak sampai terlihat oleh konseli.
5. Keterbukaan
Keterbukaan atau biasa disebut dengan transparansi
merupakan kemampuan konselor untuk mau berbagi dan
membuka diri. Keterbukaan atau transparansi dibutuhkan oleh
seorang konselor karena dapat membantu konseli agar dapat
mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka.
11
yaitu bentuk cinta seseorang ketika berusaha membantu orang lain untuk
berkembang. Menurutnya, acceptance juga bersifat tidak menilai, artinya
konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang dianut oleh klien.
Melalui konseling, orang harus mempelajari cara bersikap dan
bertingkah laku positif yang hanya bisa terjadi dalam situasi kondusif.
Konselor ada dalam posisi menciptakan hubungan kasih sayang yang
punya efek konstruktif atau destruktif pada sistem sekuritas klien dan
kemampuannya untuk memberi dan menerima cinta. Acceptance dalam
konseling ini sama dengan bentuk cinta, yaitu suatu bentuk cinta seseorang
ketika berusaha membantu orang lain untuk berkembang, ketika seseorang
berusaha secara maksimal untuk kesejahteraan dari objek cinta tersebut.
Beberapa konselor mempunyai keberatan dengan penggunaan kata cinta
dan kasih sayang, konselor lebih menyukai istilah caring yang juga memiliki
arti bahwa konselor menunjukkan rasa keprihatinan yang mendalam untuk
kesejahteraan klien.
Acceptance merupakan suatu motivasi spontan dan juga memiliki
sifat altruistik, dalam arti konselor memang mengusahakan kesejahteraan
psikologis klien dan tidak mengeksploitasinya. Acceptance juga bersifat
tidak menilai, dalam arti konselor bersikap netral terhadap nilai-nilai yang
dipegang oleh klien.
Adapun cara mengembangkan Acceptance:
1. Hargai diri sendiri
Menaruh respek kepada orang lain harus dimulai dari diri
sendiri. Hargai diri sendiri dengan menyadari bahwa kita
memiliki hak sebagai individu dan kebebasan untuk mengambil
keputusan. Menghargai diri sendiri berarti menggunakan hak
tersebut untuk menerapkan batasan dalam menjaga kesehatan
dan memenuhi kebutuhan hidup. Kita adalah satu-satunya orang
yang bertanggung jawab atas diri sendiri, tindakan, dan perasaan
kita, bukan orang lain. Ini berarti kita boleh menolak permintaan
orang lain tanpa merasa bersalah atau bersikap negatif.
2. Perlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan
12
Jika kita ingin agar orang lain bersikap baik kepada kita,
bersikaplah baik kepada semua orang. Jika kita ingin orang lain
berbicara dengan tenang kepada kita, berbicaralah dengan
tenang kepada semua orang. Apabila seseorang berperilaku
buruk kepada kita, maka jangan berperilaku buruk kepada orang
lain. Ucapkan dan lakukan hal-hal positif seperti yang kita
harapkan dari orang lain. Contohnya: jika seseorang membentak
kita, maka cukup tanggapi dengan nada suara yang tenang dan
kata-kata yang penuh pengertian.
3. Tempatkan diri sendiri di posisi orang lain
Kita akan kesulitan menghargai perspektif orang lain apabila
kita tidak bisa memahami apa yang mereka rasakan dan alami.
Contohnya: kalau kita sedang berkonflik dengan teman,
bayangkan apa yang kita rasakan jika mengalami hal yang sama.
Cara ini membuat kita mampu berempati sehingga lebih mudah
memahami perspektifnya dan memberikan respons yang
simpatik.
Empati adalah keterampilan yang bisa dikembangkan dengan
berlatih. Kita akan semakin terhubung dengan orang lain jika kita
mampu memahaminya. Contohnya: jika ada hal yang belum kita
mengerti atau sedang berbeda pendapat dengan seseorang,
mintalah ia menjelaskan atau memberikan contoh.
4. Hormati harkat dan martabat setiap orang
Kita harus menghormati semua orang, bukan hanya orang
yang kita sukai. Hargai hak asasi setiap orang, terlepas dari latar
belakang atau cara ia memperlakukan kita. Walaupun kita
kecewa atau marah kepada seseorang, ia tetap layak dihormati.
Apabila kita kesulitan mengendalikan perilaku sehingga ingin
melontarkan kata-kata yang kasar atau menyakitkan,
bernapaslah dalam-dalam beberapa kali. Cara ini membantu kita
menunda berbicara agar sempat menenangkan diri.
13
D. OPENED-MINDEDNESS DAN CARA PENGEMBANGANNYA
Keterbukaan memiliki beberapa fungsi penting dalam konseling
menurut Hackney dan Cormier (2001). Pertama-tama seorang konselor
yang memiliki keterbukaan, dapat mengakomodasi perasaan, sikap dan
tingkah laku klien yang berbeda dengan dirinya. Kedua, konselor
memungkinkan untuk berinteraksi dengan berbagai macam jenis klien. Dan
akhirnya, keterbukaan merupakan persyaratan untuk komunikasi yang
jujur. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa orang yang kurang terbuka,
sulit mengubah pemikirannya tentang sesuatu dan meskipun ada bukti-
bukti yang sebaliknya, tetap bertahan dengan ide semula yang sudah
terpaten dalam pikirannya.
Dengan perkataan lain, seorang konselor harus bersedia membuka
dirinya untuk segala macam pengalaman yang ada. Ia harus selalu berusaha
memperkaya dirinya dengan berbagai macam pengetahuan. Dan ia harus
bisa menerima bahwa ada berbagai macam pengalaman di dunia, bukan
dirinya atau kelompoknya yang satu-satunya benar. Ada norma-norma lain
di dunia dan ia harus bisa menerimanya dan norma yang dianutnya
bukanlah satu-satunya yang benar.
14
Cognitive adalah keyakinan seseorang tentang sesuatu yang
didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses
yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi
pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami,
menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Perbedaan antara kedua
detektif itu adalah bahwa seseorang dapat, melalui pengalaman dan
pelatihan, untuk mendeteksi petunjuk yang tidak jelas.Ini adalah salah satu
tanda dari sesuatu yang disebut kompleksitas kognitif. Dalam psikologi,
kompleksitas kognitif adalah seberapa baik orang memandang sesuatu. Ini
berkaitan dengan bagaimana seseorang melihat peristiwa, struktur, atau
pengalaman dan seberapa tepat seseorang menganalisis berdasarkan
seberapa kompleks kognisi, atau pemikiran, struktur mereka. Misalnya,
seorang individu membutuhkan trotoar dari pintu belakang mereka ke
drive depan yang dibangun. Seorang teman memberi tahunya bahwa yang
harus dia lakukan hanyalah meratakan tanah, mengatur beberapa bentuk,
dan menuangkan trotoar. Tapi, karena lebih bijaksana dari itu dia menyewa
kontraktor untuk melakukan pekerjaan itu. Kontraktor melakukan semua
yang diminta teman tersebut, tetapi dia juga melihat pada permukaan
tanah, posisi relatif trotoar ke rumah dan perkiraan garis es untuk area
tersebut. Dia juga melihat bagaimana kondisi cuaca seharusnya untuk
beberapa hari ke depan untuk memastikan beton punya waktu untuk
menyelesaikan. Kompleksitas kognitif adalah tentang bagaimana
menggunakan lebih banyak struktur mental untuk menentukan nuansa
aktivitas yang tidak akan dipertimbangkan oleh orang lain, dengan
menggunakan struktur yang kurang kompleks.
15
hanya sepihak, seperti orang tertentu memiliki sifat tertentu karena mereka
berasal dari suku, jenis kelamin atau kelas sosial tertentu. Sebaliknya, jika
seseorang memiliki sistem kognitif yang lebih kompleks, maka cenderung
memiliki pengertian yang lebih luas terhadap prespektif orang lain dan
memiliki kemampuan lebih baik dalam membingkai pesan sehingga mudah
difahami orang lain.
16
penulis sebagai respon afektif dalam menghadapi lingkungan dan budaya
baru untuk mendapatkan kepuasan hidup.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi psychological adjustment menurut
Ward (2006) adalah :
1. Perubahan kehidupan pada individu yang pindah ke lingkungan
baru dapat mempengaruhi psychological adjustment nya.
2. Faktor Kepribadian Karakteristik dari individu yang
membedakan setiap individu dalam psychological adjustment.
3. Dukungan Sosial Dalam menjalani proses psychological
adjustment adanya dukungan sosial dari teman, guru ataupun
orang tua baik yang di host country ataupun negara asal.
17
atas kehidupannya. Berdasarkan Ryff, ada tiga faktor yang mempengaruhi
psychological well-being seseorang, yaitu jenis kelamin, usia, dan personal
trait (Ryff, 1989; Schmutte dan Ryff, 1997; Keyes, Shmothkin dan Ryff,
2002). Psychological well-being diukur dengan Scale of psychological well-
being yang disusun oleh Carol Ryff (1989). Alat ukur ini mencakup enam
dimensi psychological well-being yang sudah dijelaskan sebelumnya. Siswa
akseleran dengan keberbakatan intelektual yang dimilikinya memiliki sifat-
sifat tertentu sebagai anak berbakat intelektual yang berbeda dengan anak
pada umumnya dengan usia yang sama.
18
G. KOMPETENSI DAN PENGEMBANGANNYA
Kegiatan bimbingan dan konseling dalam pendidikan sekolah,
diselenggarakan oleh pejabat fungsional yang secara resmi dinamakan guru
pembimbing ( guru kelas di sekolah dasar ). Dengan demikian, kegiatan
bimbingan dan konseling di sekolah merupakan kegiatan atau pelayanan
fungsional yang bersifat profesional atau keahlian dengan dasar keilmuan
dan teknologi.
Rumusan Standar Kompetensi Konselor telah dikembangkan dan
dirumuskan atas dasar kerangka fikir yang menegaskan konteks tugas dan
ekspekstasi kinerja konselor. Namun bila ditata dalam keempat kompetensi
pendidik sebagaimana tertuang dalam PP 19/2005, maka rumusan
kompetensi akademik dan professional konselor dapat dipetakan dan
dirumuskan ke dalam empat kompetensi yaitu :
1. Kompetensi Pedagogik
a. Menguasai teori dan praksis pendidikan
i. Menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya.
ii. Mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan dan proses
pembelajaran.
iii. Menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan.
b. Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis serta
perilaku konseling
i. Mengaplikasikan kaidah-kaidah perilaku
manusia, perkembangan fisik dan psikologis individu
terhadap sasaran pelayanan bimbingan dan konseling dalam
upaya pendidikan
ii. Mengaplikasikan kaidah ― kaidah kepribadian individualitas
dan perbedaan konseling terhadap sasaran pelayanan
bimbingan dan konseling dalam upaya pendidikan.
c. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur,
jenis, dan jenjang satuan pendidikan
i. Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jalur
pendidikan formal, nonformal dan informal.
19
ii. Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan
jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah, serta
tinggi.
2. Kompetensi Kepribadian
a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
i. Menampilkan kepribadian yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
ii. Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan
toleran terhadap pemeluk agama lain.
b. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
individualitas dan kebebasan memilih
i. Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang
manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial,
individual, dan berpotensi.
ii. Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan
konseling pada khususnya Peduli terhadap kemaslahatan
manusia pada umumnya dan konseling pada khususnya.
c. Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat
i. Menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji (seperti
berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten ).
ii. Peka, bersikap empati, serta menghormati keragaman dan
perubahan.
d. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi
i. Menampilkan tindakan yang cerdas, kreatif, inovatif, dan
produktif.
ii. Bersemangat, berdisiplin, dan mandiri.
3. Kompetensi Sosial
a. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja
i. Memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak
lain (guru, wali kelas, pimpinan sekolah/madrasah, komite
sekolah/madrasah) di tempat bekerja.
20
ii. Mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan
bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat
bekerja.
b. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan
konseling
i. Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi
bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri dan
profesi.
ii. Aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling
untuk pengembangan diri dan profesi.
c. Mengimplementasikan kolaborasi antarprofesi
i. Mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan
konseling kepada organisasi profesi lain.
ii. Memahami peran organisasi profesi lain dan
memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan
dan konseling.
4. Kompetensi Profesional
a. Menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi,
kebutuhan, dan masalah konseling.
i. Menyusun dan mengembangkan instrumen asesmen untuk
keperluan bimbingan dan konseling.
ii. Memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk
mengungkapkan kondisi aktual konseling berkaitan dengan
lingkungan.
b. Menguasai kerangka teoretik dan praksis bimbingan dan konseling
i. Mengaplikasikan pendekatan /model/jenis pelayanan dan
kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.
ii. Mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai
kondisi dan tuntutan wilayah kerja.
c. Menganalisis kebutuhan konseling
21
i. Menyusun program bimbingan dan konseling yang
berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara
komprehensif dengan pendekatan perkembangan.
ii. Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan
konseling.
d. Mengimplementasikan program Bimbingan dan Konseling yang
komprehensif
i. Melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam pelayanan
bimbingan dan Konseling.
ii. Memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan
sosial konseli.
e. Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling
i. Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan
dan konseling.
ii. Menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan
bimbingan dan konseling kepada pihak terkait.
f. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional
i. Menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kewenangan
dan kode etik profesional konselor.
ii. Mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut
dengan masalah konseling.
g. Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam bimbingan dan
konseling
i. Memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan
konseling dengan mengakses jurnal pendidikan bimbingan
dan konseling.
ii. Mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling.
H. SELF-DISCLOUSURE KONSELOR
Self-disclousure adalah pegungkapkan informasi tentang diri sendiri
kepada orang lain (West & Turner, 2008). West dan Turner (2008)
mengatakan bahwa self-disclousure dapat membantu membentuk
22
keakraban dan kedekatan dengan orang lain. Dengan demikian, self-
disclousure merupakan pengungkapan informasi pribadi yang bertujuan
untuk membentuk keakraban dan kedekatan kepada orang lain.
Menurut Wood (2012) self-disclousure adalah pengungkapan
informasi mengenai diri sendiri yang biasanya tidak diketahui oleh orang
lain. Individu membuka diri ketika ia membagikan informasi pribadi
mengenai diri sendiri seperti harapan, ketakutan, perasaan, pikiran dan
pengalaman. Membuka diri akan cenderung mengundang orang lain untuk
membuka diri juga (Wood, 2012). Hal ini dikarenakan adanya sikap saling
percaya satu sama lain sehingga individu yang mengetahui informasi
pribadi orang lain akan membuka diri juga kepada orang tersebut.
Leung (2002) mengungkapkan 5 aspek self-disclousure, yaitu :
1. Control of depth
Individu mengakui bahwa mereka berbicara cukup panjang
tentang diri sendiri, mengungkapkan hal yang intim atau pribadi,
dan sepenuhnya mengungkapkan perasaan
diri sendiri di media sosial.
2. Accuracy
Berkaitan dengan ketulusan, keterbukaan, dan kejujuran
tentang perasaan, emosi, dan pengalaman individu ketika
menggunakan media sosial.
3. Amount of disclousure
Berkaitan dengan seberapa banyak individu mengungkapkan
diri sendiri di media sosial.
4. Valence
Berkaitan dengan isi dari apa yang diungkapkan individu,
dimana hal tersebut bersifat lebih positif dan diinginkan, atau
lebih negatif dan tidak diinginkan.
5. Intent of disclousure
Berkaitan dengan apakah individu menyadari apa yang
mereka ungkapkan di media sosial.
23
Faktor-faktor Self-Disclousure
24
introvert. Demikian juga individu yang kurang berani
bicara pada umumnya juga kurang mengungkapkan diri
dibandingkan individu yang merasa lebih nyaman dalam
berkomunikasi.
f. Topik
Pada umumnya informasi yang lebih pribadi seperti
keadaan keuangan atau ekonomi serta topik-topik negatif
lebih kecil kemungkinannya untuk di ungkapkan sehingga
individu cenderung membuka diri tentang topik tertentu.
g. Jenis kelamin
Jenis kelamin menjadi faktor terpenting yang
mempengaruhi pengungkapan diri. Namun, perbedaan
jenis kelamin ini bukan dari segi biologis, tetapi dari
perbedaan gender. Contohnya, wanita yang maskulin
kurang membuka diri ketimbang wanita yang memiliki
skala maskulinitas rendah dan pria feminim melakukan
pengungkapan diri yang lebih besar daripada pria yang
memiliki skala femininitas yang lebih rendah.
25
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konselor yang memiliki kepribadian yang utuh, yaitu konselor yang
tidak mudah terpengaruh oleh suasana yang timbul pada saat konseling.
Konselor seperti ini adalah konselor yang dapat mengendalikan dirinya dari
pengaruh suasana hati yang dialaminya sebagai konselor atau sebagai
anggota keluarga atau masyarakat. Konselor juga harus punya karakter
untuk membentuk kepribadian yang dapat ditiru oleh orang lan khususnya
para siswa, membiasakan untuk mempunyai etika da eriked yang bagus
dalam kehidupan sehari-hari.
Profil Guru BK atau Konselor Sekolah adalah guru yang memiliki
standar kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur
pendidikan formal dan nonformal adalah Sarjana Pendidikan (S-1) dalam
bidang Bimbingan dan Konseling atau berpendidikan Profesi Konselor.
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK) telah
disusun oleh BSNP dan ditetapkan dalam Permendiknas Nomor 27 Tahun
2008, bagi Konselor yang telah memenuhi SKAKK harus mampu
menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling sesuai dengan beban
26
kerja yang diamanatkan yaitu mencakup kegiatan; merencanakan program,
melaksanakan, menilai, menganalisis serta menindaklanjuti hasil analisis
evaluasi kegiatan bimbingan dan konseling.
B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Untuk
itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
27
28