ALI MUKSIN
MEDAN
T.A 2017/2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata profesionalisme rupanya bukan hanya digunakan untuk pekerjaan yang telah diakui
sebagai suatu profesi, melainkan hampir pada semua pekerjaan. Dalam bahasa awam, segala
pekerjaan (vocation) kemudian disebut sebagai profesi. Dalam bahasa awam pula, seseorang
disebut profesional jika kerjanya baik, cekatan, dan hasilnya memuaskan.
Etika profesi sangatlah dibutuhkan dalam berbagai bidang khususnya bidang pendidikan
keguruan. Kode etik sangat dibutuhkan dalam bidang keguruan karena kode etik tersebut dapat
menentukan apa yang baik dan yang tidak baik serta apakah suaprofesiatan yang dilakukan oleh
guru itu dapat dikatakan bertanggung jawab atau tidak. Pada jaman sekarang banyak sekali orang
yang berprofesi sebagai guru menyalahgunakan profesinya untuk merugikan orang lain,
contohnya guru yang tak mampu menyalurkan informasi-informasi yang berisikan pengetahuan
kepada peserta didik yang berdampak pada menurunnya minat peserta didik untuk mengikuti
KBM. Contoh seperti itu, harus segera diluruskan. Agar nantinya, profesi guru akan berjalan
sesuai kode etik seorang guru yang semestinya sesuai undang-undang yang berlaku.
2
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini yaitu :
Bagaimana perkembangan profesi ?
Apa itu AD/ART ABKIN ?
Apa pengertian, fungsi, dasar, dan tujuan kode etik profesi
Apa usaha ABKIN dalam mengembangkan profesi
C. Tujuan
Dari perumusaan masalah diatas maka, makalah ini memiliki beberapa tujuan yakni :
Untuk mengetahui pengertian, fungsi, dasar, dan tujuan kode etik profesi
BAB II
3
PEMBAHASAN
Pada awal tahun 1960-an, LPTK-LPTK di Indonesia sudah mendirikan jurusan untuk
mewadahi tenaga akademik yang akan membina program studi yang menyiapkan para konselor.
Jurusan tersebut dinamakan Jurusan Pendidikan dan Penyuluhan. Terdapat 2 program jenjang
studi yaitu jenjang Sarjana Muda dengan masa belajar selama 3 tahun dan jenjang Sarjana
dengan masa belajar 5 tahun.
Pada tahun 1970, kedua jenjang pendidikan pada dekade tahun 1960-an dilebur menjadi
S-1 dengan masa belajar 4 tahun. Di tahun yang sama mulai ada para lulusan program Sarjana
(lama) di bidang Bimbingan dan Konseling, juga beberapa tenaga akademik LPTK lulusan
perguruan tinggi luar negeri yang kembali ke tanah air.
Tercantum dalam kurikulum tahun 1975, layanan Bimbingan dan Konseling menjadi
salah satu dari wilayah layanan dalam sistem persekolahan yang dimulai dari jenjang SD, SMP
dan SMA. Adalah menjadi pembelajaran yang didampingi layanan Manajemen dan Layanan
Bimbingan dan Konseling. Bimbingan dan konseling di jenjang SD belum terwujud sesuai
dengan harapan dan belum ada konselor yang diangkat di SD, terkecuali di sekolah swasta
tertentu. Untuk jenjang sekolah menengah diisi oleh konselor yang seadanya_semisal para SPG
yang di phase out mulai akhir tahun 1989_.Sebagian dari guru-guru SPG yang tidak
diintegrasikan ke lingkungan LPTK sebagai dosen Program D-II PGSD, kemudian ditempatkan
sebagai guru pembimbing, umumnya di SMA.
Pada tahun 1976, SMK memperoleh aturan yang sama, karenanya terjadilah kerja sama
dengan Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang. Di tahun
yang sama, Direktorat Jendral Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan guna penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan
konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk. Tindak lanjut dari pelatihan tersebut seolah raib
karena pihak sekolah tidak memberikan ruang gerak bagi alumni pelatihan bimbingan dan
konseling sekembalinya mereka ke sekolah masing-masing. Penetapan jurusan yang telah pasti
4
sejak kelas 1 SMK terealisasi menjadi sedikit terbatas ruang gerak yang tersisa, misalnya untuk
melaksanakan bimbingan karier terhadap para peserta didik (konseli).
Ketika ketentuan tentang Akta Mengajar diberlakukan, tidak ada ketentuan tentang ‘Akta
Konselor’. Oleh karena itu, IPBI mencari jalan keluar yang bersifat ad hoc agar para konselor
lulusan program studi Bimbingan dan Konseling dapat diangkat sebagai PNS, dengan
mewajibkan para mahasiswa program S-1 Bimbingan dan Konseling untuk mengambil program
minor sehingga dapat mengajarkan 1 bidang studi.
Ruang gerak bagi layanan bimbingan dan konseling mulai terasa sejak diberlakukannya
kurikulum tahun 1994. Pada saat itu telah diwajibkan bagi sekolah di Indonesia untuk ada
seorang konselor dan ruangnya untuk 150 konseli, meskipun realisasi hanya pada jenjang
pendidikan menengah, dan masih banyak sekolah dengan keadaan 1 orang konselor dengan
ruang kecil serta menghandle layanan bimbingan dan konseling untuk lebih dari 150 orang
konseli.
Pada tahun 1987/1988, Ditjen Dikti melakukan kebijakan untuk menciutkan jumlah
LPTK Penyelenggara Program S-1 Bimbingan dan Konseling yang berdampak pada jumlah
kelulusan yang sangat terbatas. Kondisi tersebut pun kemudian mengakibatkan semua sekolah
menengah mengalih tugaskan guru-gurunya yang paling bisa dilepas (dispensable) untuk
mengemban tugas melaksanakan layanan bimbingan dan konseling setelah sebelumnya dilatih
melalui Crash Program, lulusan pelatihan tersebut disebut Guru Pembimbing.
Pada tahun 2001, di Lampung, dilaksanakan kongres IPBI dengan salah satu hasil
kongres adalah digantinya nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) menjadi Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Di dalam UU nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (6), tersebut mengenai jabatan
‘konselor’, namun tidak ditemukan kelanjutan di dalam pasal-pasal berikutnya. Dalam pasal 39
ayat (2) menyatakan bahwa: ‘Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
5
terutama pendidik pada perguruan tinggi.’Walaupun tugas ‘melakukan pembimbingan’
tercantum sebagai salah satu unsur dari tugas pendidik itu, namun jelas tugas tersebut merujuk
pada tugas guru, maka secara sepihak tidak dapat ditafsirkan sebagai indikasi tugas konselor.
BAB I
Pasal 1
(1) Organisasi ini bernama ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA yang
disingkat ABKIN, merupakan perubahan nama dari Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI).
(2) ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA didirikan untuk waktu tidak
ditentukan lamanya.
(3) Organisasi ini berkedudukan di tempat kedudukan (ketua umum) Pengurus Besar
BAB II
Pasal 2
Pasal 3
6
(1) Aktif dalam upaya menyukseskan pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan
dengan jalan memberikan sumbangan pemikiran dan menunjang pelaksanaan program yang
menjadi garis kebijakan pemerintah.
(2) Mengembangkan serta memajukan bimbingan dan konseling sebagai ilmu dan profesi yang
bermartabat dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga 3 Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
(3) Mempertinggi kesadaran, sikap dan kemampuan professional konselor agar berhasilguna
dan berdayaguna dalam menjalankan tugasnya.
BAB III
Pasal 4
Pasal 5
(1) Sebagai wadah persatuan, pembinaan dan pengembangan anggota dalam upaya mencapai
tujuan organisasi.
(2) Sebagai wadah peran serta profesional bimbingan dan konseling dalam usaha
mensukseskan pembangunan nasional.
(3) Sebagai sarana penyalur aspirasi anggota serta sarana komunikasi sosial timbal balik antar
organisasi kemasyarakatan dan pemerintah.
BAB IV
Pasal 6
(1) Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia memiliki dan menegakkan Kode Etik
Bimbingan dan Konseling Indonesia.
(2) Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia tercantum dalam naskah tersendiri ditetapkan
dalam kongres.
BAB V
7
ATRIBUT
Pasal 7
(1) Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia memiliki atribut organisasi yang terdiri dari
lambang, logo, panji, bendera, mars, dan hymne.
(2) Bentuk dan isi atribut, serta ketentuan penggunaannya diatur dalam peraturan tersediri.
BAB VI
Pasal 8
Untuk dapat melaksanakan fungsi, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang meliputi:
Penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi dalam bidang bimbingan dan konseling
Pasal 9
(1) Menyelenggarakan rencana dan program kerja organisasi yang mencakup isi
Pasal 8.
8
(2) Memperkuat kedudukan dan pelayanan bimbingan dan konseling pada bidang pendidikan
dan pengembangan kemanusiaan pada umumnya.
(3) Membina hubungan dengan organisasi profesi dan lembagalembaga lain di dalam negeri
maupun di luar negeri.
BAB VII
SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 10
Susunan organisasi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia meliputi seluruh Wilayah
Republik Indonesia yang terdiri atas : Organisasi Tingkat Nasional, Organisasi Tingkat Propinsi,
dan Organisasi Tingkat Kabupaten/Kota
Pasal 11
Di tingkat Nasional dibentuk PENGURUS BESAR yang merupakan badan pelaksana organisasi
tertinggi yang meliputi wilayah seluruh Indonesia.
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
BAB VIII
KEANGGOTAAN
Pasal 16
Anggota Biasa
Anggota Kehormatan
9
(2) Keanggotaan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia untuk Anggota Biasa diperoleh
melalui keanggotaan aktif yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan jenis
jabatan/pekerjaan.
(3) Hak, kewajiban, dan syarat-syarat anggota diatur di dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB IX
PERTEMUAN ORGANISASI
Pasal 17
Kongres
Konvensi Nasional
Konferensi Daerah
Konferensi Cabang
(2) Tugas dan wewenang pertemuan organisasi diatur dalam Anggaran Rumah Tangga
BAB X
KEKAYAAN ORGANISASI
Pasal 18
Keuangan
Perlengkapan
(2) Keuangan organisasi diperoleh melalui iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat dan
usaha-usaha lain yang sah.
10
(3) Perlengkapan organisasi diperoleh dari penggunaan dana organisasi dan bantuan pihak lain
yang sah dan tidak mengikat.
BAB XI
Pasal 19
(1) Perubahan Anggaran Dasar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia adalah
wewenang Kongres.
(2) Kongres sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) adalah sah apabila dihadiri utusan dari
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah pengurus Daerah yang telah terbentuk.
(3) Perubahan Anggaran Dasar adalah sah apabila disetujui oleh 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
peserta yang hadir dalam Kongres.
BAB XII
PEMBUBARAN ORGANISASI
Pasal 20
(1) Pembubaran organisasi diputuskan dalam Kongres yang khusus diadakan untuk itu yang
dihadiri utusan dari sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah Pengurus Daerah yang telah
terbentuk.
(2) Keputusan pembubaran harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah peserta yang hadir.
(3) Dalam hal organisasi dibubarkan, maka kekayaan organisasi dapat diserahkan kepada
badan/lembaga sosial.
Bab XIII
PENUTUP
Pasal 21
(1) Hal-hal yang belum ditetapkan dalam Anggaran Dasar ini, diatur dalam Anggaran Rumah
Tangga, atau peraturan-peraturan organisasi lainnya.
(2) Anggaran Dasar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan oleh Kongres. (DITETAPKAN DI : SURABAYAPADA TANGGAL : 16 APRIL
2005, PENGURUS BESAR ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA (PB-
ABKIN) 2005- 2009)
11
C. Kode Etik Profesi
Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu
kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila
ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.
Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam
melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara
sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-
baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang
tidak profesional
Kode etik profesi itu merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai
seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang
merupakan fungsi dari kode etik profesi:
Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip
profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi
mampu mengetahui suatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang
bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada
masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan
pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan sosial).
Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang
hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana
profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan
profesi di lain instansi dan perusahaan.
Dalam lingkup TI, kode etik profesinya memuat kajian ilmiah mengenai prinsip atau
norma-norma dalam kaitan dengan hubungan antara professional atau developer TI dengan klien,
antara para professional sendiri, antara organisasi profesi serta organisasi profesi dengan
pemerintah. Salah satu bentuk hubungan seorang profesional dengan klien (pengguna jasa)
misalnya pembuatan sebuah program aplikasi.
Seorang profesional tidak dapat membuat program semaunya, ada beberapa hal yang
harus ia perhatikan seperti untuk apa program tersebut nantinya digunakan oleh kliennya atau
user, ia dapat menjamin keamanan (security) sistem kerja program aplikasi tersebut dari pihak-
12
pihak yang dapat mengacaukan sistem kerjanya (misalnya: hacker, cracker, dll). Kode etik
profesi Informatikawan merupakan bagian dari etika profesi.
Jika para profesional TI melanggar kode etik, mereka dikenakan sanksi moral,
sanksisosial, dijauhi, di-banned dari pekerjaannya, bahkan mungkin dicopot dari jabatannya.
Tuntutan profesi, yang mengacu pada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai denagn
norma-norma yang berlaku.
1. Panduan perilaku berkarakter dan profesional bagi anggota organisasi dalam memberikan
pelayanan BK
3. Landasan dan arah menghadapi permasalahan dari dan mengenai diri anggota asosiasi
Etika organisasi profesi BK adalah kaidah nilai dan moral sebagai rujukan bagi anggota
organisasi melaksanakan tugas atau tanggungjawabnya dalam layanan BK kepada konseli. Wajib
dipatuhi dan diamalkan oleh seluruh jajaran pengurus dan anggota organisasi tingkat nasional,
provinsi, kabupaten/kota.
13
2. Menyusun kompetensi konselor (2001).
Pelantikan lulusan pendidikan profesi konselor (UNP) dan sertifikasi jalur pendidikan
(UNJ).
Masukan terhadap rancangan pedoman pelaksanaan tugas guru dan pengawas, khusus
tentang BK.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa bimbingan dan konseling merupakan suatu
profesi karena bimbingan dan konseling dapat memenuhi ciri-ciri atau syarat sebagai profesi
14
yang antara lain yaitu, dilaksanakan oleh petugas yang mempunyai keahlian dan kewenangan,
petugas profesi merupakan lulusan Perguruan Tinggi, merupakan pelayanan kemasyarakatan,
diakui oleh masyarakat dan pemerintah, dalam melaksanakan kegiatan menggunakan
teknik/metode ilmiah, memiliki organisasi profesi, memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran
rumah Tangga (AD/ART), dan memiliki kode etik profesi. Selain itu pengembangan profesi
bimbingan dan konseling ini meliputi standardisasi untuk kerja professional konselor,
standardisasi penyiapan konselor, akreditasi, stratifikasi dan lisensi, dan pengembangan
organisasi profesi.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, Edisi III, hal. 897.
15
Supeno, Hadi. 2001. Potret Guru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Djumhar dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance &
Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Buku Bimbingan & Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan, Refika Aditama
Djumhar dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance &
Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Cetakan ke dua.
16