Anda di halaman 1dari 10

JURNAL KONSELING LINTAS BUDAYA

KONSEP DASAR KONSELING LINTAS BUDAYA

Oleh:
Fijar Kusuma Putra
18020024

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2021
Abstrak
Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keragaman budaya yang sangat kompleks.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat khususnya pada era
globalisasi ini, pertemuan serta benturan-benturan budaya seringkali tidak dapat dihindarkan. Hal
ini akan berdampak pada layanan bimbingan dan konseling yang menyebabkan “Perjumpaan
budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien yang berbeda budaya tidak dapat dihindari.
Untuk itu, seorang konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari
bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural, karena dalam konseling lintas budaya
yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, sangat
rawan terjadinya bias-bias budaya menyebabkan konseling tidak berjalan efektif. Dalam konteks
budaya Indonesia salah satu komponen budaya yang perlu menjadi perhatian seorang konselor
adalah yang berkaitan dengan orientasi nilai budaya, yang disebut oleh Koentjaraningrat sebagai
mentalitas. Pemahaman terhadap orientasi nilai budaya ini akan sangat membantu seorang
konselor dalam memberikan bimbingan dan konseling kepada kliennya secara efektif.
A. Pendahuluan

Istilah budaya berasal dari kata “budaya”yanag berarti “pikiran, akal, budi,adat
itiadat, sesuai yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah”. Kebudayaan
itu sendiri berarti “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kesenian,
kepercayaan dan adat istiadat” ( kamus besar bahasa Indonesia, 1998:149). Menurut
Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya dapt dimaknai sebagai keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam
kehidupa masyarakat, yang dijadikan milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu,
tingkah laku individu sebgai anggota masyarakat terkaib dengan budaya yang diwujudkan
dalam berbagai pranata. Pranata tersebut berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi
tingkahlaku manusia untuk memenuhi kebutuhanya.

Manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh.
Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada perilaku yang
ditampilkan. Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji
dan dianalisis oleh ilmuantropologi. Sedangkan bagaimana individu berperilaku akan
banyak disoroti dari sudut tinjauan psikologi. Manusia adalah miniatur kebudayaannya.
Oleh karena itu, tingkah laku manusia perlu dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang
individu itu sendiri, melainkan juga dari sudut pandang budayanya, outside dan within him
(Kneller, 1978). Manusia adalah produk dan sekaligus pencipta aktif suatu kelompok
sosial, organisasi, budaya dan masyarakat. Sebagai produk, manusia memiliki ciri-ciri dan
tingkah laku yang dipelajari dari konteks sosialnya. Sebaliknya sebagai pencipta yang aktif
manusia juga memberikan kontribusinya kepada perkembangan budayanya (Ritzer,
Kammeyer, dan Yetman, 1979).

Pelayanan konseling hakikatnya merupakan proses pemberian bantuan dengan


penerapkan prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis dalam kegiatan konseling akan terjadi
hubungan antara satu dengan individu lainnya (konselor dengan klien). Dalam hal ini
individu tersebut berasal dari lingkungan yang berbeda dan memiliki budayanya masing-
masing. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan
unsur-unsur budaya.

Keragaman budaya dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan


komunikasi. Etnosetrisme mengacu pada adanya perasaan superior pada diri individu karena
kebudayaan atau cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih baik. Sedangkan bahasa adalah
simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan manusia untuk mengkomunikasikan apa yang
dirasakannya dan dipikirkannya. Apabila terjadi perbedaan dalam menginterpretasikan symbol
simbol verbal dan nonverbal diantara dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi, maka akan
timbul persoalan.

Lebih jelas Clemon E. Vontres mengemukakan bahwa jika konselor dan klien merasakan
persamaan budaya meskipun sebenarnya secara budaya mereka berbeda maka interaksi tersebut
tidak boleh dinamakan konseling lintas budaya. Sebaliknya jika konselor dan klien secara budaya
sama tetapi masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka interaksinya dapat dinamakan
lintas budaya. Jadi dalam konseling lintas budaya, yang menjadi standar adalah interaksi yang
terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi dirasakan serta dihayati oleh konselor
dan klien. Jika dalam interaksi itu dirasakan adanya perbedaan-perbedaan secara budaya maka
interaksi tersebut dinamakan konseling lintas budaya. Dengan demikian dalam konseling lintas
budaya perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak pada adanya perbedaan bangsa
saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas.

B. Pembahasaan

1. Konsep Dasar Budaya Dalam KLB

Dalam konseling lintas budaya, budaya atau kebudayaan (culture) meliputi tradisi,
kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa, keyakinan dan berpikir yang telah terpola dalam
suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi serta memberikan identitas pada
komunitas pendukungnya (Prosser, 1978). Secara singkat dapat pula diartikan bahwa
budaya adalah pandangan hidup sekelompok orang (Berry, dkk.,1998), atau dalam
rumusan yang lebih umum adalah “cara kita hidup seperti ini”, the way we are, yang
diekspresikan dalam cara (sekelompok orang) berpikir, mempersepsikan, menilai, dan
bertindak. Kata “sekelompok orang” (a group of people) perlu digaris bawahi untuk
menunjukkan bahwa budaya selalu menunjukkan pada ciri-ciri yang melekat pada
kelompok, tidak pada (seseorang) individu.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras,
etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk
mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabelvariabelnya (Sue dan Sue, 1990).

Adapun yang dimaksud dengan konseling lintas budaya (cross-cultural counseling,


counseling across cultures, multicultural counseling) adalah konseling yang melibatkan
konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu
proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya (cultural biases) pada pihak
konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif (Anak Agung Ngurah
Adhiputra, 2013). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya
harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan
hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas,
agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman,
1994; Arrendondo, Psalti, dan Cella, 1993; Pedersen, 1991).

Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan
konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn (1992)
menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling individuals who are of
different culture/cultures than that of the therapist. Oleh sebab itu menurutnya sensitivitas
konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat penting.
Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau etnik yang
sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya yang dapat dijadikan
rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan
konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok
minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara
rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-
variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson,
Morten, dan Sue, 1989:37).

Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah


mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Konseling lintas budaya melibatkan
konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu
proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang
mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor
dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya,
mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-
keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang
sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.

Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang
berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin
disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan perbedaan ini
memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif
lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang
berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu
berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini
dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan
untuk timbul hambatan dalam konseling.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan
nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat
konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan
atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya.
Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga
elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.

Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991)
dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
1. latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
2. latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien,
3. asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
4. nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan
hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.

Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling
lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat
tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi
seperti agama, adat, sistem nilai.

2. Kaitannya dengan Psikologi, Antropologi, dan Sosiologi

Psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno yang terdiri dari kata psyche berarti
jiwa dan logos berarti ilmu dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung
karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan
ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau
kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku dan proses mental.

Sosiologi ilmu yang mempelajari apa yang sedang terjadi saat ini, sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan lain oleh sebuah kelompok atau individu.
Contoh : kebudayaan hindu budha adanya kontak dagang antara indonesia dengan
india maka mengakibatkan adanya kontak budaya yang menghasilkan bentuk-bentuk
akulturasi kebudayaan baru tetapi tidak melenyapkan kebudayaan sendiri.

Dalam bimbingan konseling lintas budaya, ketiga disiplin ilmu tersebut yaitu
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan
mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang
dihasilkan.Dan Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur
sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial. Serta Psikologi adalah
ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Dan ketiga disiplin ilmu tersebut
memiliki sumbangsi yang sangat besar sekali kepada konselor, dalam bimbingan dan
konseling sudah barang tentu konselor atau klien memiliki corak budaya yang
berbeda, maka sangatlah penting sekali konselor memahami manusia sebagai
mahkluk yang berbudaya dan budaya ini akan tercermin dalam bentuk tingkah laku
individu.

Pada prinsipnya semua ini merupakan cara untuk


menghindari “Encapsulated” pada diri konselor yaitu konselor yang berkungkung
pada budaya sendiri, sehingga setiap masalah yang terjadi konselor akan memberikan
pelayanan konseling berdasarkan sudut pandang budayanya sendiri tanpa
mempertimbangkan latar belakang budaya klien dan jelas kalau seorang konselor
memandang semua budaya itu dari sudut pandang dia sendiri, maka hasilnya konselor
tidak akan masuk ke dalam frame of reference atau ke dalam diri klien sehingga
penyelesaian masalah tidak akan tepat, dan proses konseling akan terkungkung pada
budaya konselor.

Antropologi berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti manusia atau orang,
dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk
biologis sekaligus makhluk sosial.

Menurut Koentjaraningrat, Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat


manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat
serta kebudayaan yang dihasilkan.

Jadi perbedaan Psikologi lintas budaya dengan Antropologi adalah Psikologi lintas
budaya melihat persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam
berbagai budaya dan kelompok etnik sedangkan Antropologi melihat bagaimana manusia
dalam suatu masyarakat melahirkan suatu kebudayaan.

3. Tujuan Konseling Lintas Budaya

Agar Konselor dapat menyadari keberadaan budaya klien dan sensitif terhadap
kebudayaan klien, sehingga dapat menghargai perbedaan dan hal itu dapat membuat
konselor merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam
bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan. Dan juga supaya konselor dapat
memahami bagaimana ras, kebudayaan, etnik, dan sebagainya yang mungkin
mempengaruhi struktur kepribadian, pilihan karir, manifestasi gangguan psikologis,
perilaku mencari bantuan, dan kecocokan dan ketidakcocokan dari pendekatan
konseling.

Tujuan-tujuan Lainnya

1. Menolong individu agar lebih mengenal budayanya sendiri, nilai-nilai dirinya,


adat-istiadatnya dalam masyarakat dia berada atau dibesarkan dan kebiasaan
lingkungannya.

2. Menolong individu agar mengenal budaya orang lain, nilai-nilai


lingkungannya, adat-istiadat orang lain.

3. Menolong individu memahami bahwa budaya, nilai-nilai, kebiasaan,


pandangan, hidup setiap individu tidak terlalu sama.
C. Kesimpulan

Penerapan konseling lintas budaya hendaknya mengharuskan konselor yang peka


dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar
kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri
dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses
konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu
dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-
unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di
lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.
DAFTAR PUSTAKA

http://fauzizdeslav.blogspot.com/2013/09/makalah-konseling-lintas-budaya.html
http://pembelajaranbimbingandankonseling.blogspot.com/2014/03/konseling-lintas-
budaya.html
http://konselorindonesia.blogspot.com/2010/11/konseling-lintas-budaya.html

Anda mungkin juga menyukai