Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 10

KONSELING LINTAS BUDAYA

Dosen:
Prof. Dr. Firman, M.S., Kons.

Oleh:
Zikra Noviyas
18006163

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KONSELING LINTAS
BUDAYA

INTERFASE (PERJUMPAAN BUDAYA) KONSELOR DENGAN


EMPATI DAN SIMPATI DALAM KONSELING
KLIEN DALAM KONSELING

Dalam konseling lintas budaya akan terjadi Menurut (Asih dan Pratiwi, 2010), empati
“perjumpaan budaya”melibatkan konselor dan klien diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian
terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
pengalaman atau secara tidak langsung merasakan
dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh penderitaan orang lain. Dalam konseling, empati
terjadinya biasbias budaya pada pihak konselor yang adalah kondisi inti untuk memberikan konseling yang
efektif. Empati telah digambarkan sebagai
mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif.
kemampuan konselor untuk memasuki dunia klien,
Efektifitas pelaksanaan konseling, bagi konselor merasakan perasaan.
dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan
Empati berbeda dengan simpati, simpati bisa
melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dikatakan sebagai perasaan peduli terhadap perasaan
dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki orang lain, tapi simpati tidak sedalam empati, kita
keterampilan-keterampilan yang responsif secara belum dikatakan bisa merasakan sesuatu yang
dirasakan oleh orang lain. Empati lebih powerful jika
kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang
kita pernah mengalami kejadian yang sama, atau
sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) minimal orang yang terdekat dengan kita (Amalia,
antara konselor dan klien (Syahril, 2018). 2019).
KONSELING LINTAS BUDAYA

A. Interfase ( Perjumpaan Budaya) Konselor dengan Klien dalam Konseling


Dalam konseling lintas budaya akan terjadi “perjumpaan
budaya”melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya
biasbias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif. Efektifitas pelaksanaan konseling, bagi konselor dituntut untuk
memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti
dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-
keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling
dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan
klien (Syahril, 2018).
Mengingat setiap klien memiliki kekhasan perilaku yang melekat
berdasarkan budaya yang dibawa, maka dalam perspektif budaya Indonesia,
salah satu komponen budaya di Indonesia yang perlu menjadi perhatian konselor
adalah orientasi nilai budaya yang dianut oleh masyarakat yang disebut oleh
Koentjaraningrat sebagai mentalitas, yang meliputi orientasi budaya yang
berkaitan:
1. Konsep waktu yang sifatnya sirkuler (waktu itu “beredar” tidak
“berlangsung”).
2. Menggantungkan hidup pada nasib.
3. Sikap kekeluargaan dan gotong-royong yang sangat kuat.
4. Orientasi nilai budaya vertikal. Pengetahuan serta pemahaman terhadap
orientasi nilai budaya dalam masyarakat akan sangat membantu seorang
konselor dalam memberikan bimbingan dan layanan kepada klien secara
lebih efektif.
B. Empati dan Simpati dalam Proses Koseling
Empati merupakan kemampuan untuk memahami apa yang orang lain
rasakan dan pikirkan yang merupakan keterampilan penting dalam proses
konseling. Empati sebagai dasar dari kepribadian konselor. dalam membina
kepribadian konselor agar mampu berkomunikasi dengan klien dan dapat
merasakan apa yang dirasakan klien. Konselor harus dapat merasakan apa yang
dirasakan, dipikirkan, dan dialami klien sehingga konselor dapat memasuki dunia
klien dan memahami permasalahan klien. Empati dalam konseling merupakan
hal yang sangat penting. Mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan
melalui interaksi. Salah satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya rasa
empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman (Amalia,
2019).
Menurut (Asih dan Pratiwi, 2010), empati diartikan sebagai perasaan
simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman
atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain Sears. Dalam
konseling, empati adalah kondisi inti untuk memberikan konseling yang efektif.
Empati telah digambarkan sebagai kemampuan konselor untuk memasuki dunia
klien, merasakan perasaan. Hal senada diungkapkan Mappiare (2006) empati
membentuk konseling efektif dengan kemampuan konselor memasuki cara
pandang klien kadang dipandang sama dengan emphatic understanding.
Empati berbeda dengan simpati, simpati bisa dikatakan sebagai perasaan
peduli terhadap perasaan orang lain, tapi simpati tidak sedalam empati, kita
belum dikatakan bisa merasakan sesuatu yang dirasakan oleh orang lain. Empati
lebih powerful jika kita pernah mengalami kejadian yang sama, atau minimal
orang yang terdekat dengan kita (Amalia, 2019).
KEPUSTAKAAN

Amalia, Rizki. 2019. Empati Sebagai Dasar Kepribadian Konselor. Jurnal


Pendidikan dan Konseling. Vol1 (1)

Asih, Gusti Y. & Pratiwi Mageretha M.S. 2010. Prilaku Prososial ditinjau dari
Empati dan Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus.
Vol.1 No.1.

Mapiarre, Andi. 2006. Kamus Istilah Konseling dan Terapi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Syahril. 2018. Konseling Lintas Budaya Dalam Perspektif Indonesia. Jurnal Al-
Taujih. Vol 4(1).

Anda mungkin juga menyukai