Anda di halaman 1dari 16

PERAN PENTING EMPATI BUDAYA DALAM KONSELING

LINTAS BUDAYA

Lilik Sahal Dzul Fahmi


Universitas PGRI Semarang
e-mail: liliksahal@gmail.com

Abstrak : Konseling lintas budaya merupakan suatu proses bantuan terhadap


individu yang berbeda budaya, suku, ras dan agama. Pelaksanaan konseling lintas
budaya dibutuhkan empati budaya oleh konselor kepada konselinya. Empati
merupakan kemampuan merefleksikan perasaan sendiri pada suatu kejadian,
suatu objek terhadap kebutuhan dan penderitaan pribadi orang lain. Empati
budaya penting dimiliki seorang konselor sebagai penerimaan tanpa syarat oleh
konselor kepada konseli, membina hubungan baik konselor dengan konseli serta
untuk mendorong eksplorasi diri pada pihak konseli sehingga konseling
berlangsung dengan baik.
Kata Kunci : Konseling, Empati, budaya

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara majemuk dengan beraneka ragam suku
atau etnik seperti suku Aceh, Batak, Melayu, Minang, Jawa, Sunda, Minahasa,
Bugis, Ambon Dan Papua hidup secara berdampingan (Erlamsyah, 2011).
Keragaman yang dimiliki merupakan sebuah anugrah untuk Indonesia yang
menjadi sebuah khasanah kearifan lokal yang tidak dimiliki oleh negara lain.
Perbedaan Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memicu lajunya
perkembangan peradaban manusia, yang berdampak pada mobilitas penduduk,
modal, nilai dan ideologi dan lain sebagainya dari suatu tempat ke tempat yang
lain. Akibatnya, tercipta suatu pemukiman dengan beragam budaya.
Keragaman budaya ini pada kondisi normal dapat menumbuhkan
keharmonisan hidup, namun dalam kondisi bermasalah dapat menimbulkan
hambatan dalam berkomunikasi dan penyesuaian antar budaya.
Adanya keragaman budaya merupakan realitas hidup, yang tidak dapat
dipungkiri mempengaruhi perilaku individu dan seluruh aktivitas manusia,
yang termasuk di dalamnya adalah aktivitas konseling. Konseling yang

1
dimaksud adalah konseling lintas budaya. Hal ini sangat berbahaya ketika
konseling yang tidak mempertimbangkan budaya konseli yang berbeda akan
merugikan konseli. Konseling yang tidak melihat budaya konseli adalah
konseling yang menindas. Kesadaran budaya harus menjadi tujuan konseling
termasuk konseling yang lebih mengena (Freire, 1993).
Kinerja konselor dalam menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan
konseling senantiasa digerakkan oleh motif altruistik, sikap empatik,
menghormati keragaman, serta mengutamakan kepentingan konseli dengan
selalu mencermati dampak jangka panjang dari pelayanan yang diberikan.
Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan
profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan
ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling.
Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi
profesional, yang meliputi memahami secara mendalam konseli yang dilayani,
menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling,
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan,
dan mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan.
Kerja konselor sangat dipengaruhi oleh kualitas penguasaan keempat
kompetensi tersebut yang dilandasi oleh sikap, nilai, dan kecenderungan
pribadi yang mendukung. Kompetensi akademik dan profesional konselor
secara terintegrasi membangun keutuhan kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional.
Motif altruistik dalam pelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan ditunjukkan dengan salah satu sikap yaitu sikap empati. Empati
menjadi hal yang sangat penting untuk awal mula membentuk komunikasi saat
proses konseling dilakukan. Konselor dengan sikap empati akan menciptakan
suasana yang nyaman, terpercaya dan penuh kejujuran dalam proses konseling
untuk konseli. Sikap empati konselor yang tinggi inilah yang nantinya akan
mempengaruhi proses pelayanan yang diberikan.
Substansi dari keterampilan empati yaitu bahwa dengan adanya sikap
ini, konseli akan secara terbuka menceritakan permasalahan yang dihadapi

2
kepada konselor. Namun, empati menjadi hal yang sering diabaikan dalam
proses konseling. Konselor menganggap bahwa dengan mendengarkan dengan
seksama kemudian memberikan sebuah tanggapan sudah sangat cukup
mewakili untuk proses konseling tanpa mencoba untuk menempatkan dirinya
lebih dalam pada posisi yang dihadapi oleh konseli. Mendengarkan dengan
seksama berbeda dengan proses empati, walaupun awal mula terbentuknya
sikap empati dari mendengarkan dengan seksama.
Menampilkan sikap empati pada proses konseling akan membuat pada
satu kondisi yaitu bahwa konseli lebih didengar, dihargai dan merasakan
bahwa ada orang lain yang mampu untuk merasakan apa yang dirasakan oleh
dirinya pada saat itu. Sehingga, konselor dengan sikap empati merupakan
konselor yang mampu menempatkan dirinya lebih dalam menuju posisi yang
dihadapi oleh konseli. Konselor secara utuh masuk dalam proses konseling,
sehingga tidak hanya mengganggap dirinya sebagai seorang konselor namun
mampu memposisikan dirinya sebagai konseli dan mencoba untuk memberikan
pemahaman lebih kepada konseli melalui berbagai macam intervensi yang
dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, empati menjadi penting untuk
dikembangkan oleh konselor yang akan membantu memfasilitasi konseli dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, dan diperlukan latihan untuk
menampilkan sikap empati sehingga pelayanan konseling yang dilakukan
menjadi lebih efektif. Empati secara akurat akan membantu konselor untuk
mampu secara utuh menempatkan dirinya dalam proses konseling.

2. Pembahasan
A. Pengertian Empati
Konsep empati merupakan istilah umum yang dapat digunakan
untuk pertemuan, pengaruh dan interaksi di antara-antara kepribadian.
Empati merupakan arti dari kata “einfulung” yang digunakan oleh para
psikolog Jerman. Secara harfiah berarti “merasakan ke dalam”. Empati
berasal dari kata Yunani “Pathos”, yang berarti perasaan yang mendalam
dan kuat yang mendekati penderitaan, dan kemuadian diberi awalan “in”.

3
Clemmont Vontress, yang telah aktif dalam perdebatan kompetensi
konseling multikultural, terutama menekankan pengalaman bersama dalam
definisi tentang empati. Empati berasal dari kata Jerman Einfuhlung, yang
berarti "satu perasaan." Ini menunjukkan reaksi subjektif seseorang untuk
satu atau lebih proksimat individu. Karena itu harus dipahami dalam
konteks budaya. Manusia selalu berbagi kesamaan. Pengalaman dan kondisi
bersama menghasilkan budaya umum. Mereka juga memungkinkan para
peserta untuk berempati dengan rekan-rekan mereka, karena mereka telah
"berada di sana dan melakukan hal itu. Dengan mudah mereka
mengidentifikasi dengan mereka. (C. Vontress, 2006).
Chaplin (1993) mendefinisikan bahwa empati adalah kemampuan
merefleksikan perasaan sendiri pada suatu kejadian, suatu objek alamiah
atau karya estetis dan realisasi pengertian terhadap kebutuhan dan
penderitaan pribadi lain. Roger (1961) menggambarkan empati sebagai
kemampuan konselor untuk masuk kedalam dunia fenomenal klien, untuk
merasakan dunia klien seperti layaknya dunianya sendiri tanpa kehilangan
kualitasnya. Empati juga dapat diartikan kepribadian yang ikut merasakan
dan berpikir ke dalam kepribadian lain sehingga tercapai suatu keadaan
identifikasi. Dalam identifikasi ini pemahaman antar manusia yang
sebenarnya dapat terjadi. Dalam kenyataanya, tanpa empati tidak mungkin
ada pengertian. Pengalaman empati terjadi pada konselor berhari-hari baik
ia mengenalinya atau tidak. Empati tampaknya sulit dipahami justru karena
empati merupakan sesuatu yang sudah umum dikenali serta mendasar.
Seperti yang ditunjukkan oleh Adler, bahwa identifikasi kepada diri
seseorang ini muncul sampai batas-batas tertentu dalam setiap percakapan.
Empati merupakan proses mendasar dalam cinta.
Carls Rogers (1959) mendefinisikan empati sebagai kemampuan
untuk melihat kerangka internal referensi lain dengan akurasi dan dengan
komponen emosional dan makna yang berkaitan dengannya seolah-olah
adalah orang tanpa pernah kehilangan seolah-olah kondisi. Empati berfungsi
sebagai komponen penting dalam penyediaan lingkungan terapeutik yang

4
optimal di mana kesehatan psikologis klien ditingkatkan. Baru-baru ini,
teori berpendapat bahwa empati dan hal positif tanpa syarat secara efektif
sisi berlawanan dari koin yang sama. Hal ini untuk mengatakan bahwa
terapis tidak dapat memiliki empati untuk klien mereka jika mereka tidak
juga memiliki hal positif tanpa syarat (Bozarth, 1997).
Meurut Sutardi (2007) pengertian empati dapat dianggap kelanjutan
dari toleransi. Empati dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk merasakan
apa yang dirasakan orang lain oleh seorang individu atau suatu kelompok
masyarakat. Budaya orang lain menjadi landasan bersikap dalam setiap
interaksi yang terjalin. Empati berpotensi untuk mengubah perbedaan
menjadi saling memahami dan mengerti secara mendalam.

B. Dimensi Empati Budaya


Dimensi dalam empati budaya yang telah dikemukakan oleh banyak
ahli bahwa kedua dimensi emosional dan kognitif yang diperlukan untuk
respon empatik yang akurat. Ketika empati dianggap sebagai respons
emosional, fokusnya adalah umumnya pada komponen afektif hubungan
terapeutik. Dari perspektif empati ini merupakan respon emosional yang
konektivitas pengalaman konselor dimana lebih dalam dengan klien adalah
hasilnya. Sebuah anggapan dasar definisi empati adalah bahwa beberapa
orang mungkin memiliki kecenderungan yang lebih alami untuk mengalami
empati dari pada yang lain. Contoh dari perspektif ini diperjelas dengan
pernyataan bahwa “empati dalam arti luas mengacu pada respon individu
terhadap perasaan orang lain”.
Budaya dalam arti nilai-nilai atau kepercayaan, yang bersifat
universal dan dalam bentuk ideal serta manifes dapat disebut sebagai budaya
nasional, menurut George Kneller (1965) nilai-nilai itu dapat diidentifikasi
antara lain sebagai pandangan bahwa manusia Indonesia adalah
monodualistik, yaitu sebagai makluk pribadi dan juga sebagai makluk sosial
yang berakibat bahwa manusia Indonesia tidak otonom. Pandangan bahwa
pada dasarnya individu memelihara asas keserasian, keselarasan,

5
keseimbangan dengan masyarakat dalam kehidupan. Berdasarkan
pandangan itu timbul nilai-nilai kekeluargaan, tolong menolong, gotong
royong, tenggang rasa, dan sebagainya. Menghormati dan menunjukkan
kesetiaan kepada orang tua. Kepercayaan kepada kekuatan supranatural.
Dalam komunikasi dengan orang lain individu sangat mementingkan
konteks atau situasi dalam mana konomunkasi itu berlangsung. Demi untuk
memelihara hubungan baik dengan pihak lain maka orang dapat berkata
kepada orang lain yang mungkin bertentangan dengan apa yang ada dalam
hatinya. Menjadi dewasa artinya meningkat kemampuan orang dalam
pengendalian diri perasaan.
Seorang konselor yang efektif menyadari kerangka kultural yang
menjadi acuan tindakan kliennya, termasuk proses persepsi dan kognitifnya.
Sensitivitas semacam ini jika menjembatani kesenjangan budaya antara
konselor dan klien dikenal sebagai empati sensitif berdasarkan budaya dan
merupakan sebuah kualitas yang dapat ditumbuhkan oleh konselor.
Bagaimanapun juga, seorang konselor yang dapat mempersepsikan secara
tepat bagaimana rasanya menjadi klien namun tidak dapat mengungkapkan
pengalaman tersebut adalah seorang konselor yang kurang cakap. Konselor
semacam itu dapat memahami dinamika kliennya, namun tidak seorang pun,
termasuk klien itu sendiri, mengetahui kesadaran konselor. Kemampuan
berkomunikasi jelas memainkan peranan yang penting dalam setiap
hubungan konseling. Dapat disimpulankan bahwa pengertian empatik ialah
kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa
dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empatik
dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending
mustahil terbentuk empatik.

C. Tujuan Empati Budaya Dalam Konseling


Konseling lintas budaya merupakan sebuah bantuan kepada
seseorang yang berbeda kebudayaan. Empati sangat diperlukan dalam
proses konseling lintas budaya. Ada beberapa tujuan empati budaya dalam

6
pelaksanaan konseling lintas budaya diantaranya sebagai penerimaan tanpa
syarat oleh konselor pada konseli. Seorang konselor menerima konseli tanpa
memandang ras, gender, suku, budaya, agama dan warna kulit. Tidak
membeda bedakan dalam artian menyamaratakan konseli satu dengan
konseli lainnya. Penerimaan konseli tanpa syarat oleh konselor dalam proses
konseling merupakan sebuah keharusan dan telah menjadi kode etik seorang
konselor. Konselor dengan empati budaya yang baik akan memberikan
pelayanan yang baik kepada konseli tanpa harus memandang perbedaan
budaya yang da sehingga proses konseling yang dilakukanya berjalanan
dengan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konseli yang
bersangkutan.
Tujuan empati budaya dalam konseling lintas budaya selanjutnya
untuk mengembangkan hubungan baik antara konselor dan konseli. Rapot
adalah suatu bentuk hubungan yang ditandai oleh adanya suatu keterbukaan,
kejujuran dan kepercayaan. Dengan mengkomunikasikan empati, maka
konseli akan mengembangkan sikap percaya dan terbuka kepada konselor.
Sikap ini sangat potensial untuk mendorong konseli untuk membicarakan
kesulitan-kesulitanya atau masalahnya, perasaannya, pikirannya, dan
tindakan-tindakannya secara terbuka dan terus terang. Keterbukaan ini tentu
saja memungkinkan konselor memperoleh banyak informasi obyektif
tentang masalah yang sedang dialami  oleh kenseli beserta dengan seluruh
aspek perkembangan dan latar belakangnya. Apabila konseli sudah
melakukan hal tersebut, maka proses konseling akan lebih maksimal karena
data atau keterangan yang diperoleh lebih akurat dan akan lebih tepat dalam
memilih perilaku atau tindakan apa yang akan dilakukan konseli setelah
terjadinya proses konseling. Tujuan berikutnya untuk mendorong eksplorasi
diri pada konseli. Kesediaan konseli untuk membicarakan masalahnya
secara terbuka dan terus terang tentu saja akan mempermudah terjadinya
eksplorasi (pengungkapan) diri. Dari pengungkapan diri ini maka konselor
akan dapat mengetahui dan memahami bukan hanya masalah atau kesulitan
konseli tetapi juga potensi-potensi (keunggulan) dan kelemahan-kelemahan

7
yang dimiliki konseli. Namun untuk mendorong eksplorasi diri pada konseli
tidaklah mudah. Penting untuk seorang konselor mampu untuk membina
hubungan baik dengan konseli agar konseli merasa nyaman dalam proses
konseling dan ketika konseli merasa nyaman kepada konselor maka potensi
untuk eksplorasi masalah pada diri konseli akan berjalan dengan baik.
Konseling lintas budaya dalam penerapanya disekolah juga memiliki
tujuan lebih khusus. Menurut American School Counselor Asociation

(1999) Konseling lintas budaya merupakan konsep baru dalam pelayanan


konseling untuk membantu individu yang mengalami masalah belajar
karena hambatan budaya. Tujuan pelayanan konseling lintas budaya juga
untuk membantu anak-anak dari berbagai budaya atau kultur agar mereka
dapat menyelesaikan masalah yang mereka alami dalam belajar di sekolah
yang berkaitan dengan faktor budaya. Konselor sekolah lintas budaya perlu
menjamin siswa yang memiliki latar belakang budaya dapat memperoleh
akses dan bantuan yang sesuai dan kesempatan memperomosikan
perkembangan optimal sebagai individu. Secara khusus konseling lintas
budaya di sekolah bertujuan membantu siswa-siswa dari berbagai latar
belakang budaya agar dapat berkembang dalam suasana lintas budaya,
menunjukkan identitas dan respek terhadap budaya mereka sendiri dan
respek terhadap budaya orang lain, memiliki rasa sensitif, respek terhadap
budaya orang lain yang berbeda dari budaya mereka sendiri, meningkatkan
kesensitifan dan kesadaran siswa terhadap perbedaan budaya, seseorang
berbeda secara budaya, dan meningkatkan iklim sekolah dan masyarakat,
diterima dan direspek dan semua kebutuhan siswa ditemukan, dan intervensi
konseling yang memaksimalkan potensi siswa.

D. Karakteristik Konselor Lintas Budaya


Memahami pengaruh nilai budaya, keyakinan, perilaku dan hal
lain terhadap klien jelas penting ketika individu-indivu seperti klien dan
konselor dari latar belakan budaya yang berbeda berusaha membangun
hubungan dan memahami satu sama lain. Isu konselor dalam

8
penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat
memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki
latar belakang budaya yang berbeda. Dalam pelaksanaan konseling lintas
budaya konselor tidak saja dituntut untuk mempunyai kompetensi atau
kemampuan seperti yang telah disajikan di atas. Selanjutnya Sue (Dalam
George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor.
Konselor lintas budaya diharapkan sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang
dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia.
Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya,
seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus
dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma
yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di
sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya
adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan
dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang
berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya. Konselor lintas budaya sadar
terhadap karakteristik konseling secara umum.
Karakteristik konselor selanjutnya diharapkan dalam
melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah
dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian
terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam
memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai
kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling lintas budaya.
Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka
harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan
yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang
berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimiliki oleh suku suku
tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di
indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357
etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda. Untuk

9
mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar
dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan
mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya,
diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau
pertentangan selama proses konseling. Konselor lintas budaya tidak boleh
mendorong seseorang konseli untuk dapat memahami. Untuk hal ini, ada
aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai
kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa konselor tidak
boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan
bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada
klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus
mempergunakan pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu
pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan
beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan
masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang
mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat
berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan
yang digali dari masyarakat pribumi.

E. Mengupayakan Berempati Budaya Dalam Konseling


Keberhasilan seorang konselor tidak terlepas dari yang namanya
komunikasi. Komunikasi dalam proses konseling merupakan hal utama
dalam mencapai keberhasilan proses konseling, dalam hal ini konselor dan
konseli harus saling memahami apa yang menjadi tata aturan etika maupun
budaya di masing masing konselor dan konseli terlebih lebih adalah sebagai
seorang konselor. Seorang konselor harus bisa mengupayakan empati atau
peka terhadap konseli dari mana sehinggah proses konseling dilaksanakan
maka konselor dengan konseli tidak terjadi miskomunikasi.

10
Empati dalam konseling merupakan hal yang sangat penting.
Mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan melalui interaksi.
Salah satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya rasa empati dalam
berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman interaksi
komunikasi sehingga konseli frustasi dan tidak ada manfaat yang dihasilkan
dari proses konseling tersebut. Empati merupakan dasar hubungan
interpersonal. Hal yang juga penting diungkap dalam konteks peningkatan
mutu empati seseorang adalah berlatih menampakkan ekspresi-ekspresi atau
isyarat-isyarat non-verbal yang membuat orang lain merasa dimengerti dan
diterima, karena kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan
seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-
isyarat non verbal orang lain.
Dalam dunia konseling, pada dasarnya seorang konselor bekerja atas
dasar dan melalui proses empati. Pada proses konseling, baik konselor
maupun klien dibawa keluar dari dalam dirinya dan bergabung dalam
kesatuan psikis yang sama sehingga emosi dan keinginan keduanya menjadi
bagian dari kesatuan psikis yang baru. Oleh sebab itu seorang konselor di
tuntut untuk mampu mempergunakan empati baik empati primer maupun
empati tingkat tinggi.
Ivey (1988) menyatakan bahwa penggunaan keterampilan
komunikasi konseling hendaknya memperhatikan latar belakang budaya dan
kebiasaan konseli, timbul dilematis tentang nilai-nilai budaya yang relevan
untuk penerapan dalam komunikasi konseling dan penerapannya seperti apa.
Berikut gambaran nilai budaya yang bisa diterapkan pada konseling lintas
budaya di Indonesia. Untuk melaksanakan ketrampilan komunikasi
konseling bagi klien Indonesia maka kita perlu memperhatikan latar
belakang budaya mereka. Hubungan konselor-klien bersifat hirarkis.
Pengembangan diri berfokus pada keluarga atau kelompok dan mereka
saling bergantung, kematangan psikologis berarti kemampuan meningkat
dalam pengendalian emosi, sumber kendali dan sumber tanggung jawab
terletak di luar diri, pemecahan masalah menjadi tanggung jawab konselor,

11
empati atau tenggang rasa yaitu peka dan memahami perasaan orang lain,
menghormati dan setia kepada orang tua, komunikasi dengan pengaruh
tinggi konteks atau situasi, keserasian dengan lingkungan alam dan orang
lain, berorientasi waktu lalu dan kini.
Ada beberapa keterampilan komunikasi untuk mengupayakan
empati budaya dalam konseling lintas budaya. Ada keterampilam
memperhatikan, memantulkan perasaan, menggunakan pertanyaan untuk
membuka interviu, menstruktur, pemecahan masalah, memahami jalan
pikiran klien, dan memahami tingkah laku klien. Keterampilan
memperhatikan terdiri atas empat dimensi yaitu kontak mata, bahasa tubuh,
kualitas suara, penelurusan verbal. Konseling dibarat mengatakan jika
berbicara dengan orang lain maka pandanglah lawan bicara. Tingkah laku
ini tidak seluruhnya tepat bagi klien Indonesia. Kebiasaan sehari-hari jika
kita berbicara dengan orang lain, kita tidak terus menerus menatap muka
lawan bicara, apa lagi orang lain itu orang lebih usia, tidaklah sopan
mengarahkan pandangan mata kepadanya. Klien akan mengasosiasikan
pembicaraan konseling seperti pembicaraan dengan kontak mata keseharian
kepada orang tua. Selanjutnya adalah bahasa tubuh. Masyarakat Indonesia
tidak biasa menggunakan bahasa tubuh untuk menyertai pembicaraan kita
dengan orang, kecuali yang banyak kita lakukan adalah penggunaan gerakan
tangan. Berikutnya adalah kualitas suara. Bahasa Indonesia yang kita
gunakan tidak termasuk bahasa berlagu, klien dalam kehidupan sehari-hari
dalam percakapan biasa mendengar kata-kata orang lain dengan intonasi
yang lebih mendatar. Klien mendengarkan kata-kata konselor dengan
intonasi suara yang lebih variatif mungkin klien akan merasa asing dalam
komunikasi itu.
Keterampilan memantulkan perasaan juga merupakan hal yang perlu
mendapatkan perhatian. Keterampilan konselor dalam pemilihan kata-kata
perasaan negatif dalam pemantulan perasaan, terutama bagi perasaan
terhadap orang tua. Keterampilan memantulkan perasaan klien yang negatif
kepada orang tua hendaknya dilakukan dengan hati-hati karena nilai budaya

12
klien tidak mengijinkan menggunakan kata-kata perasaan negatif yang
sangat keras terhadap orang tua. Keterampilan berikutnya adalah
menggunakan pertanyaan untuk membuka interviu. Interviu dimulai dengan
pertanyaan terbuka diikuti dengan pertanyaan tertutup untuk diagnosis dan
klarifikasi. Bagi klien Indonesia, mungkin lebih efektif jika dimulai dengan
pertanyaan tertutup dari pada pertanyaan terbuka, karena kebiasaan berpikir
klien dari hal yang kongkrit baru kemudian ke yang lebih abstrak.
Selanjutnya Keterampilan Menstruktur penstrukturan adalah ketrampilan
konselor untuk pembatasan pembicaraan agar proses konseling dapat
berjalan pada tujuan yang ingin dicapai. Salah satu pembatasan adalah
penegasan peran konselor, yaitu peran konselor bukan untuk membuatkan
keputusan bagi klien, bukan untuk memberikan pemecahan masalah. Tetapi,
bagi klien Indonesia penegasan peran konselor demikian tidak bisa
dimengerti karena tidak sesuai budaya yang dia ikuti bahwa konselor
dianggap sebagai tokoh yang dia minta bantuan untuk pemecahan masalah
adalah tokoh yang mau dan mampu memberikan pilihan jalan keluar dari
masalah yang dialami.
Keterampilan pemecahan masalah penting dimiliki seorang konselor
dalam pelaksanaan konseling lintas budaya. Salah satu dari tahap-tahap
pemecahan masalah ialah memperjelas nilai-nilai yang ada dibelakang
pilihan pribadi. Menurut budaya klien Indonesia, pertimbangan atas nilai-
nilai bersangkutan dengan keluarga atau orang tua hendaknya mendapat
bobot yang tinggi. Anak dituntut untuk menunjukkan penghormatan dan
kesetiaan kepada orang tua pada penentuan pilihan atau keputusan.
Keterampilan memahami jalan pikiran klien pandangan barat menyatakan
bahwa individu yang sehat jika pola pikir mereka lebih berdasar pada
kerangka acuan internal, lebih menekankan pada otonomi pribadi dan
sumber kendali internal serta sumber tanggung jawab internal. Klien
Indonesia, berdasar budaya menalar sesuatu peristiwa lebih meninjau dari
kerangka acua eksternal dengan sumber kendali eksternal dan sumber
tanggung jawab eskternal pula.

13
Keterampilan memahami tingkah laku klien konteks dan situasi sesaat
dalam komunikasi serta guna memelihara keserasian hubungan dengan orang
lain maka klien Indonesia dapat menjawab tidak atau ya atas pertanyaan yang
dia terima, meskipun yang sebenarnya bukan seperti apa yang dikatakan. Dan
sudah barang tentu masih banyak lagi isu-isu budaya terkait dengan
ketrampilan komunikasi yang harus dapat dijawab dengan baik oleh konselor
kita. Pertanyaannya ialah bagaimana agar isu-isu budaya itu dapat dijawab
dengan baik oleh konselor? Jawabannya adalah konselor yang mempunyai
kompetensi budaya, yaitu konselor yang memiliki wawasan dan ketrampilan
tinggi dalam konseling Barat, memiliki wawasan luas mengenai budaya
nasional, dan mempunyai kemampuan memadukan secara kreatif pendekatan
konseling Barat dengan budaya nasional. Secara teoritis, usaha memadukan
itu tidak akan berhasil baik oleh konselor berwawasan tinggi konseling Barat
tetapi berwawasan rendah mengenai budaya nasional, atau oleh konselor yang
berwawasan rendah mengenai konseling Barat tetapi berwawasan tinggi
mengenai budaya Nasional, apalagi oleh konselor yang berwawasan Barat
rendah dan juga berwawasan budaya nasional rendah.

3. Simpulan dan Saran


a. Simpulan
Penerapan konseling lintas budaya hendaknya mengharuskan
konselor yang peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan
adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan
kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya.
Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses
konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah
dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa
muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin
masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu
budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan
individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. 

14
b. Saran
Pelaksanaan konseling lintas budaya diharapkan untuk
mengedepankan empati budaya konselor kepada konselinya. Hakikat
layanan konseling adalah sebuah rasa kepercayaan, penerimaan serta
hubungan baik atara seorang konselor dengan konselinya. Banyak
konselor yang belum memahami akan pentingnya empati budaya dalam
pelaksanaan konseling lintas budaya. Kompetensi konselor juga sebaiknya
disesuaikan dengan karakteristik konselor lintas budaya agar konseli
nyaman sehingga pelaksanaan konseling berjalan dengan baik dan sesuai
dengan apa yang diharapkan.

Daftar Pustaka

American School Counselor Asociation.(1999). Position Statement: Multicultural


Counseling. Alexandria, VA: Autor.

Darubigso, Pamungkas. 2015. Sikap Empati Dalam Konseling Multikultural

Davis, M.H., Measuring Individual Deferences In Empaty. (Journal of


Personality And Social Psycology Vol. 44 No. 1) hlm 165

Departemen Pendidikan Nasional, Penataan Pendidikan Profesional Konselor


dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal,
(Jakarta: Depdiknas, 2008), hlm. 142.

Elizar. 2018. Urgensi Konseling Multikultural Di Sekolah. Jurnal Elsa, Volume


16, Nomor 2.

Erlamsyah. (2011). Layanan Konsultasi di Sekolah. Jurnal Ilmiah Ilmu


Pendidikan. Vol: XI No.2 November 2011, p. 220-234.

Gustini, Neng. 2017. Empati Kultural Pada Mahasiswa. Jomsign: Journal of


Multicultural Studies in Guidance and Counseling. Volume 1, No. 1,
Maret 2017: Page 17-34.

Hartinah, Siti. Konseling Bercorak Budaya : Penerapannya Dalam Komunikasi


Konseling. Universitas Pancasakti Tegal.

15
Hunainah. Etika Profesi Bimbingan Konseling. 2016. Rizqi Press: Bandung

Ivey, A.E. dan Ivey, M.B. 2003. Intentional Interviewing and Counseling.
Singapore. Thomson Brooks Cole.

Kneller, G.F. 1965. Educational Anthropology : An Introduction. New York John


Wiley and Sons, Inc.

May, Rollo. 2010. Seni Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

16

Anda mungkin juga menyukai