Anda di halaman 1dari 7

Pengembangan Pribadi Konselor

Ira Fasira, 2)Syafril Bagus Kurniawan, 3)Imam Muhsinin, 4)Ubaidillah


1)

Dosen Pengampu :
Muhammad Ridwan Arif M.Pd.

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Konseling merupakan kegiatan pemberian bantuan dari konselor kepada konseli.
Dalam memberikan bantuan seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik.
Karena hal ini dapat berpengaruh terhadap keberhasilan konseling. Sebagai calon
konselor masalah pengembangan pribadi konselor merupakan hal yang sangat penting
agar dikemudian hari dapat mencapai profesionalitasnya dan keberhasilan dalam belajar
sehingga mampu mandiri dalam melaksanakan tugas seorang konselor dikemudian hari.

Artikel ini akan memberikan pemahaman kepada kita sebagai pembaca dan calon
konselor tentang apa yang dimaksud dengan pengembangan pribadi konselor dan
bagaimana penerapannya dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling serta artikel ini
juga memberikan pemahaman mengenai pengaruh pengembangan pribadi konselor bagi
keberhasilan konseling dengan kata lain pengembangan pribadi konselor juga menjadi
penentu dalam keberhasilan konseling.

Pengembangan pribadi konselor dalam hal ini membahas mengenai pengembangan


landasan dan identitas religius dari konselor, pengembangan empati konselor, refleksi
integritas dan stabilitas kepribadian konselor, dan pengembangan berfikir positiif
konselor. Dengan adanya artikel ini diharapkan memudahkan pembaca dalam
memahami pengembangan pribadi konselor sebagai bekal dalam melaksanakan tugas
sebagai seorang konselor dikemudian hari.
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengembangan landasan dan identitas religius dari konselor ?
2. Bagaimana pengembangan empati konselor ?
3. Bagaimana pengembangan refleksi integritas dan stabilitas kepribadian konselor?
4. Bagaimana pengembangan berfikir positif konselor?

PEMBAHASAN

1. Pengembangan landasan dan identitas religius dari konselor

Konseling merupakan proses pemberian bantuan dari konselor kepada konseli


dalam memecahkan masalah yang tengah dihadapi konseli. Dalam proses pemberian
bantuan tersebut, konselor harus menanamkan nilai-nilai keagamaan. Konserlor
diharuskan untuk memahami tentang hakikat manusia dalam pandangan keagamaan
dan posisi (peran) agama dalam kehidupan umat manusia. Pada hakikatnya, manusia
adalah makhluk yang beranekaragam. Sebagai seseorang yang betugas memberikan
bantuan (konselor) hendaknya berpegang teguh kepada agama dan mengamalkan
agama yang diyakininya. Sehingga konselor sebisa mungkin dapat menyampaikan
prinsip-prinsip agama sesuai dengan permasalahan yang tengah dihadapi konseli.

Nilai-nilai moral, etika dan gaya hidup telah dipengaruhi oleh modernisasi,
industrialisasi, kemajuan tekhnologi dan juga ilmu pengetahuan yang membuat
terjadinya perubahan sosial yang sangat pesat. Perubahan sosial tersebut sangat
mempengaruhi manusia, karena tidak semua manusia dapat beradaptasi dengan
perubahan tersebut sehingga membuat manusia mengalami perubahan dalam tatanan
nilai kehidupan. Perubahan tata nilai kehidupan tersebut dapat kita lihat dari kehidupan
masyarakat yang awalnya sosial-religius menjadi individualis, material dan sekunder.
Masyarakat yang awalnya sederhana dan produktif mengalami perubahan hidup
dengan pola hidup yang mewah, konsumtif dan serba instan, idalam keluarga yang
awalnya keluarga besar menjadi keluarga inti hingga keluarga tunggal.
Perubahan sosial yang amat pesat tersebut membentuk karakter budaya bangsa.
Untuk itulah sebagai konselor harus berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan dalam
mengambangkan diri konselor. Nilai-nilai keagamaan ini haruslah diterima diberbagai
kalangan (universal) seperti menjadi pribadi yang ikhlas, berakhlak baik, empati,
berhati-hati, ridho (rela), jujur, penutup aib orang lain dan beberapa nilai keagamaan
lainnya sesuai dengan ajaran nabi Muhammad SAW (Awalya, 2012:1-10).

2. Pengembangan empati konselor

Ada beberapa definisi mengenai empati, diantaranya ialah:

 Keen
Menurut Keen empati ialah bagaimana kita mengetahui perasaan orang lain dan
memahami rasa emosional orang lain tanpa harus mengalami peristiwa yang
sama.
 Hurlock
Mendefinisikan empati sebagai kesanggupan individu dalam mengerti dan
memahami perasaan yang tengah orang lain rasakan dan kemampuan dalam
memposisikan diri kita mengalami hal yang sama seperti yang tengah orang lain
alami.
 Gagan
Menurutnya, empati merupakan suatu kemampuan seseorang dalam merasakan
perasaan orang lain (Silfiasari dan Susanti Prasetyaningrum, 2017:129).
 Menurut Muhammad Muchlish Hsyim dan Muhammad Farid empati
meruapakan keadaan psikologis yang mendalam, yang dimana seseorang
menempatkan pikiran dan perasannya ke dalam pikiran dan perasaan orang lain
baik orang yang dikenal maupun tidak (Muhammad Muchlish Hsyim dan
Muhammad Farid, 2012:502).

Dapat disimpulkan bahwa empati merupakan bagaimana seseorang mengetahui,


merasakan, memahami dan mengerti akan perasaan yang tengah dihadapi oleh orang
lain tanpa harus mengalami hal (kejadian) yang sama serta orang tersebut menempatkan
pikiran dan perasannya kepada pikiran dan perasaan yang tengah dialami orang lain.
Konselor harus mempunyai empati agar mampu merasakan apa yang tengah konseli
alami. Konselor yang memiliki rasa empati akan membuat konseli merasa didengar,
dihargai, dan merasa bahwa ada orang lain yang merasakan hal yang sama dengan
dirinya. Dengan rasa empati inilah konselor bisa memposisikan dirinya sebagai konseli
dan memberikan pengertian lebih kepada konseli melalui berbagai macam intervensi
yang dilakukan. Oleh karena itulah, pengembangan empati konselor menjadi hal yang
penting sebagai fasilitas dalam menyelesaikan permasalahan yang konseli hadapi dan
rasa empati ini perlu dilatih agar konselor dapat menampilkan rasa empati saat
melakukan bimbingan dan konseling sehingga dapat berjalan dengan efektif (Sai
Handari, 2016:52)

Latihan empati bagi calon konselor dimasa yang akan datang ialah dengan melatih
sifat-sifat konselor yang diperlukan konseli sehingga kegiatan konseling mampu
mencapai tujuan konseling. Keberhasilan empati dapat terlihat dari bagaimana konseli
dapat memahami emosi yang diperlihatkan konselor, sehingga konseli akan lebih
mudah dalam menceritakan masalahnya dan memecahkan masalah yang sedang ia
hadapi sehingga konseli akan mengembangkan dirinya menjadi lebih baik (Awalya,
2012:1-10).

3. Pengembangan refleksi integritas dan stabilitas kepribadian konselor

Konselor haruslah memiliki kepribadian yang baik karena konselor merupakan


profesi yang dipandang baik oleh semua manusia, terutama manusia yang sedang
mengalami masalah dan butuh konseling (konseli). Menurut Phares, kepribadian ialah
bagaimana cara kita berfikir, tentang perasaan, dan perilaku yang dapat membedakan
kita dengan orang lain, tetap stabil dan tidak berubah dalam waktu dan situasi apapun
(Muhimmatul Hasanah, 2015:112). Dalam KBBI, Kepribadian didefinisikan sebagai
cara individu bertingkah laku, ciri khas seseorang, dan bagaimana hubungannya dengan
lingkuan sekitarnya (Hengki Yandri, 2016:2). Dari definisi diatas dapat kita ambil
kesimpulan bahwa kepribadian merupakan ciri khas seseorang dalam berfikir, tantang
perasaan, perilaku kita dengan orang disekitar kita (lingkungan) yang bisa membedakan
kita dengan orang lain.

Individu dengan pribadi yang matang akan mampu memberikan kehangatan


pada sekitarnya, bisa dijadikan sebagai panutan, mempunyai rasa aman dan nyaman,
seta dapat menerima diri dan lingkungan sekitarnya secara objektif dan dinamis.
Konselor yang memiliki kepribadian yang matang akan menjadi panutan bagi siapapun
khususnya bagi konseli, jika konselor tidak memiliki kepribadian yang baik, maka
konselor tidak akan diakui/tidak dianggap baik dalam lingkungan sekolah atau
lingkungan masyarakat. Secara logika seeorang tidak mungkin menerima masukan,
pendapat, atau saran dari orang yang kurang baik peribadiannya. Akan tetapi seseorang
atau konselor yang memiliki kepribadian yang baik tentunya akan membuat konseli
menerima masukan, saran ataupun bantuan yang diberikan oleh konselor. Kepribadian
efektif dan matang dari konselor akan memperlihatkan/memberikan ketulusan, empati,
dan kehangatan (Hengki Yandri, 2016:2).

Menurut Bahri, Konselor harus memiliki integritas dan stabiliitas kepribadian


yang kuat (baik) bukan hanya ketika bertugas, tetapi pada situasi apapun konselor harus
memiliki kepribadian yang baik untuk menjaga wibawa seorang konselor yang menjadi
panutan bagi masyarakat sekitar terutama konseli. (Heru Andrian Fatmawijaya, 2015;
127). Berikut ini merupakan bentuk-bentuk integritas dan stabilitas pribadi konselor:

 Kualitas pribadi konselor, yang ditandai dengan beberapa karakteristik


diantaranya ialah pemahaman diri, psikologis yang sehat, dapat dipercaya,
penuh kehangatan, kuat, sabar, responsive, sensitive, memiliki kesadaran
yang holistic, kompeten, jujur.
 Karakteristik konselor, Murno ddk (1970) mengungkapkan bahwa terdapat
empat sifat-sifat kepribadian konselor yang harus ada diantanya ialah 1).
Konselor sebagai model 2). Hubungan konseling 3) Keberanian melakukan
konseling 4) Karakteristik konselor yang meliputi sikap, ras, jenis kelamin,
umur, pengalaman, keterbukaan, persepsi, konsep diri dan komunikasi.
(Alwaya, 2012:38-40).

4. Pengembangan berfikir positif konselor

Manusia diharuskan untuk dapat berfikir positif dalam hal apapun terutama saat
menghadapi masalah, karena dengan berfikir positif akan membantu kita lebih
mudah dalam memecahkan masalah. Burhanuddin menyampaikan bahwa berfikir
merupakan kegiatan untuk menemukan suatu hal yang benar atau mencari
kebenaran. Pemikiran tersebut bisa saja positif maupun negative. Pada dasarnya,
berfikir positif selalu menjadi keputusan terbaik dalam menyelesaikan masalah
(Fitri Yana et al.,2017:3). Berfikir positif haruslah dimiliki oleh konselor, seperti
yang sudah kita ketahui bahwa tugas seorang konselor ialah memberikan bantuan
atau memberi petunjuk kepada konseli dalam memecahkan masalah yang tengah
dihadapi.

Beberapa ahli telah mendefinisikan tetang berfikir positif, diantaranya ialah:

 Definisi berfikir posistif menurut Winda Adelia ialah seuatu pemikiran


yang membangun dan memperkuat kepribadian atau karakter.
 Menurut Sisca Wahyono, berpikir positif adalah berpikir, menduga dan
menghadapkan hal-hal baik tentang suatu keadaan ataupun berfikir baik
tentang seseorang (Yuan Andinny, 2015:130)
 Menurut Page, Berfikir positif ialah ketika seseorang berperasangka baik
terhadap setiap persoalan yang datang dan memiliki keyakinan bahwa
setiap permasalahan pasti ada jalan untuk menyelesaikannya dan
meyakini bahwa masalah akan terselesaikan dengan pikiran yang
baik/sehat (Ilma Fa’atin, 2018:2).

Dalam penelitiannya, Limbert menyampaikan bahwa berfikir positif dapat membuat


individu menghadapi situasi dengan lebih positif (Enik Nur Kholidah dan Asmadi Alsa,
2012:70). Ada beberapa manfaat jika kita berfikir positif, yaitu dapat mengatasi stress,
percaya diri, menjadi lebih sehat, dapat mengambil keputusan dengan sebaik mungkin,
meningkatkan konsentrasi, lebih sukses dalam hidup, mengatur dengan baik,
mempunyai banyak teman, menjadi seorang pemberani dan hidup menjadi lebih baik
(Alwaya, 2012:73). Konselor harus dapat berfikir positif untuk membantu konseli
dalam menyelesaikan masalahnya. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Carver bahwa
seseorang yang berfikit positif akan menghadapi situasi dengan optimisme dan jika
dihadapkan dengan sesuatu yang membuatnya stress maka akan mengontrol dan
menggunakan cara penanggulangan yang fungsional, efesion dan fikirannya focus
terhadap masalah yang ia hadapi (Riska Ade Rima dan Raudatussalamah, 2018:115)

KESIMPULAN

Pengembangan pribadi konselor dapat dikembangkan dengan cara


menerapkan nilai-nilai keagamaan, memiliki rasa empati yang tinggi, dapat berfikir
positif, refleksi integritas dan stabilitas kepribadian konselor. Dengan cara tersebut
proses konseling akan berjalan dengan lancar dan tercapainya tujuan-tujuan
konseling. Sehingga konselor dapat menjadi panutan bagi siswa, konseli maupun
lingkungan sekitarnya serta dapat menjadi konselor yang profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai