Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Konseling

2.1.1 Pengertian

Konseling (counsel) berasal dari bahasa Latin consilium yang

berarti “bersama-sama” atau “bercakap bersama”. Kata konseling

menurut WHO (1993) terkadang diterjemahkan berbeda. Beberapa

bahasa menerjemahkan konseling sebagai pemberian nasihat (advising).

Konseling dari sekedar member nasehat sederhana, maka dia akan

mengatakan apa yang dipikirkan dan apa yang harus dikerjakan. Hal ini

berbeda apabila seseorang melakukan konseling, maka dia tidak akan

mengatakan apa yang harus dilakukan, tetapi akan membantu

memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya.

Konseling adalah suatu komunikasi dua arah antara konselor dan

klien yang bertujuan membantu klien untuk memutuskan apa yang akan

dilakukan dalam mengatasi masalah yang dialami oleh klien. Dalam

komunikasi tersebut konselor bukan memberi nasihat tetapi memberikan

informasi dan alternatif pemecahan masalah, selanjutnya klien memilih

dan memutuskan sendiri alternatif yang terbaik untuk dirinya (Depkes RI,

2007).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia konseling adalah

pemberian bantuan dari konselor kepada konseli sedemikian rupa

sehingga pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri meningkat dalam

memecahkan masalah, (pusat bahasa Bepdiknas, 2002).

8
9

Definisi konseling sekarang ini lebih menekankan pada kualitas

hubungan antara konselor dan klien. Definisi konseling menurut

Jones (dalam Surya) sebagai suatu hubungan yang biasanya bersifat

individual atau seorang-seorang, meskipun kadang-kadang melibatkan

lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu klien memahami dan

memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup hidupnya sehingga

dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya. Surya (2003)

berpendapat bahwa konseling merupakan sesuatu hubungan yang

bersifat membantu, yaitu interaksi antara konselor dan klien merupakan

suatu kondisi yang membuat klien terbantu dalam mencapai perubahan

yang lebih baik. Pengertian konseling menurut American School Conselor

Association (ASCA) (dalam Ali M. 2007) adalah hubungan tatap muka

yang bersifat rahasia, penuh dengan rahasia penerimaan dan pemberian

kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan

pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya mengatasi

masalah-masalahnya.

Adanya perbedaan definisi konseling menurut (Ali M, 2007)

ditimbulkan karena perkembangan ilmu konseling itu sendiri, juga

disebabkan oleh perbedaan pandangan ahli yang merumuskan tentang

konseling dan aliran dan teori yang dianutnya. Dalam bidang konseling

terdapat berbagai aliran dan teori, yang kemudian dikelompokkan ke

dalam beberapa model kategori pula. Ada ahli yang mengklasifikasikan

konseling berdasarkan fungsinya menjadi tiga kelompok, yaitu: suportif,

reedukatif, dan rekonstuktif. Konseling juga dibedakan berdasarkan

metodenya, yaitu metode direktif dan non-direktif. Pengelompokkan


10

konseling ada pula yang mengatakan penekanan masalah yang

dipecahkan, yaitu: penyesuaian pribadi, pendidikan dan karir.

Pengelompokkan konseling berdasarkan pada kawasan atau ranah

perilaku yang merupakan kepeduliannya, yaitu konseling yang

berorientasi pada ranah kognitif dan ranah afektif.

Konseling yang berhubungan dengan perilaku akan lebih efektif

apabila menggunakan teknik konseling individual. Konseling individual

adalah kunci semua kegiatan yang bermakna pertemuan konselor

dengan klien secara individual dan konselor berupaya memberikan

bantuan untuk mengembangkan pribadi klien serta klien dapat

mengantisipasi masalah- masalah yang dihadapinya (Sofyan, 2004).

Konseling individual merupakan kunci intervensi dan dapat

dilakukan oleh kelompok, pekerja kesehatan, tenaga sukarela, atau diluar

anggota keluarga. Seorang konselor perlu mempunyai pengetahuan dan

keterampilan, kemampuan mengungkapkan sesuatu sehingga menjadi

suatu yang mudah diterima, dan bisa memberikan inspirasi kepada ibu

dengan kemampuan konselor tersebut. Kunjungan rumah (home visit),

kelompok pertemuan, sesi monitoring pertumbuhan dan sesi memasak

merupakan peluang yang baik untuk berbagi informasi dan untuk

konseling individu (WHO, 2003).

Konseling gizi menurut Cornelia merupakan salah satu upaya

untuk mempercepat proses penyembuhan dan mencapai status gizi yang

optimal. Tujuan dari konseling gizi adalah menolong seseorang membuat

dan memelihara perubahan pengetahuan makan. Seseorang yang

mempunyai masalah gizi, memerlukan perubahan untuk makan yang


11

lebih sehat. Seorang konselor menurut Sofyan (2004) akan

mendengarkan apa yang dikatakan kliennya, dan konselor mencoba

memahami apa yang klien rasakan. Konselor membantu klien untuk

meningkatkan kepercayaan, sehingga klien dapat mengontrol situasi yang

diinginkan.

Hubungan konseling bersifat interpersonal. Hubungan konseling

terjadi dalam bentuk wawancara secara tatap muka antara konselor

dengan klien. Hubungan itu tidak hanya dari kedua belah pihak yang

meliputi: pikiran, perasaaan, pengalaman, nilai-nilai, kebutuhan, harapan,

dan lain- lain.

Keefektifan konseling sebagian besar ditentukan oleh kualitas

hubungan antara konselor dengan kliennya. Dilihat dari segi konselor,

kualitas hubungan itu tergantung kemampuannya dalam menerapkan

teknik-teknik konseling dan kualitas pribadinya.

2.1.2 Tujuan Konseling

Membantu orang tua klien bayi dalam melihat permasalahannya

supaya lebih jelas sehingga klien dapat memilih sendiri jalan keluarnya.

2.1.3 Karakteristik konseling

Carl Rogers (1971), menyebutkan tiga karakterisitik konselor

yang efektif adalah:

1. Congruence (Genuineness, Authenticity)

Kongruensi itu sangat penting sebagai dasar sikap yang harus

dipunyai oleh seorang konselor. Ia harus paham tentang dirinya sendiri,

berarti pikiran, perasaan dan pengalamannya haruslah serasi. Kalau


12

seseorang mempunyai pengalaman marah, maka perasaan dan

pikirannya harus marah, yang tercermin pula dalam tindakannya. Ia harus

memahami bias-bias yang ada dalam dirinya, prasangka- prasangka

yang mewarnai pikirannya. Ia harus tau kelemahan dan aset- aset yang

dipunyainya. Kalau ia menyadari hal ini, ia dapat membuat pembedaan

antara dirinya dan orang lain. Ia tahu bahwa orang lain bukanlah dirinya.

2. Unconditional positive regard (Acceptance)

Penerimaan tanpa syarat atau respek kepada klien harus mampu

ditunjukan oleh seorang konselor kepada kliennya. Ia harus dapat

menerima bahwa orang-orang yang dihadapinya mempunyai nilai-nilai

sendiri, kebutuhan-kebutuhan sendiri yang lain dari pada yang dimiliki

olehnya.

Asumsi dasar yang melandasi Acceptande adalah :

a. Individu mempunyai infinite worth and dignity. Individu mempunyai

harkat dan martabat yang tak terbatas.

b. Adalah hak manusia untuk membuat keputusannya sendiri dan untuk

menjalani hidupnya sendiri.

c. Orang mempunyai kamampuan atau potensi untuk memilih secara

bijaksana, dan menjalani hidup yang teraktualisasi dan bermakna

secara sosial.

d. Setiap orang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri.

3. Empati

Empati adalah konsep yang sepertinya mudah dipahami sulit untuk

dicerna. Empati itu sangat sederhana, yaitu dengan memahami orang lain

dari sudut kerangka berpikir orang lain tersebut, empati yang dirasakan
13

harus juga diekspresikan, dan orang yang melakukan empati harus yang

“kuat”, ia harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri, tetapi ia tidak

pula boleh terlarut di dalam nilai-nilai orang lain.

Baruth dan Robinson III (1987), menyebutkan beberapa

karakteristik konselor yang efektif sebagai berikut :

a. Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.

b. Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin

dalam diri orang yang akan dibantunya.

c. Mampu “menjangkau” kedalam dan keluar.

d. Berkeinginan mengkomunikasikan caring dan respek untuk orang

yang sedang dibantunya.

e. Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang

dibantunnya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri.

f. Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan

mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya.

g. Mampu memahami tingkah laku orang yang akan dibantunya tanpa

menerapkan value judgments.

h. Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam

kerangka system.

i. Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal-

hal yang terjadi di dunia.

j. Mampu mengidentifikasi pola-pola tingakh laku yang self- defeating,

yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah

laku yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola

tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku
14

yang lebih memuaskan.

2.1.4 Media Konseling

Media merupakan saluran komunikasi untuk menyampaikan

pesan (FOA 1994). Hal ini diperlukan utuk membedakan antara dua

saluran komunikasi yaitu tatap muka (face to face) dan media masa

(mass media). Konseling menggunakan saluran komunikasi tatap muka.

Komunikasi yang dilakukan dalam tatap muka adalah secara lisan,

sehingga suara merupakan organ komunikasi. Untuk mendukung dalam

proses komunikasi tatap muka, maka sangat dianjurkan menggunakan

bantuan media pendukung dalam bentuk hasil cetakan, gambar dan

audio-visual. Media pendukung ini akan menjadi mengayaan bagi

konselor dan bagi klien.

1. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam bahasa Inggris

Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu

manajemen melalui pendekatan terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana

balita sakit yang datang di pelayanan kesehatan, baik mengenai

beberapa klasifikasi penyakit, status gizi, status imunisasi maupun

penanganan balita sakit tersebut dan konseling yang diberikan (surjono et

al, wijaya, 2009, Depkes RI, 2008).

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) merupakan pendekatan

keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat

kefasilitas rawat jalan pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya

kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria DHF, infeksi

telinga, malnutrisi, pemberian vitamin A dan konseling pemberian makan


15

yang bertujuan untuk menurunkan Angka Kematian Bayi dan Anak Balita

serta menekan morbilitas untuk penyekit tersebut (Depkes RI, 2005).

2. Konseling Dalam MTBS

Konseling merupakan sebuah upaya pemberian bantuan dari

konselor kepada klien, bantuan di sini dalam pengertian sebagai upaya

membantu orang lain agar ia mampu tumbuh ke arah yang dipilihnya

sendiri, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu

menghadapi krisis-krisis yang dialami dalam kehidupannya (Yusuf &

Juntika, 2005).

Pengertian konseling tidak dapat dipisahkan dengan bimbingan

karena keduanya merupakan sebuah keterkaitan. (Muhamad Surya,

1988) mengungkapkan bahwa konseling merupakan bagian inti dari

kegiatan bimbingan secara keseluruhan dan lebih berkenaan dengan

masalah individu secara pribadi. Konseling dalam alur MTBS, pemberian

konseling menjadi unggulan sekaligus pembeda dari alur pelayanan

sebelum MTBS. Materi meliputi kepatuhan minum obat, cara minum obat,

menasehati cara pemberian makanan sesuai umur, memberi nasehat

kapan melakukan kunjungan ulang atau kapan harus kembali segera.

Dengan pemberian konseling diharapkan pengantar atau ibu

pasien mengerti penyakit yang diderita, cara penanganan anak di rumah,

Magester Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan

memperhatikan perkembangan penyakit anaknya sehingga mengenali

kapan harus segera membawa anaknya ke petugas kesehatan serta

diharapkan memperhatikan tumbuh kembang anak dengan cara

memberikan makanan sesuai umurnya. Semua pesan tersebut tercermin


16

dalam kartu.

Nasehat Ibu (KNI) yang diberikan setelah ibu atau pengantar balita

sakit mendapatkan konseling. Ini untuk pengingat pesan- pesan yang

disampaikan serta menjadi pengingat cara perawatan dirumah.

2.1.5 Hal-hal Dalam Konseling

Menurut Enjang AS (2009) Hal-hal yang harus diperhatikan

sebagai konselor adalah:

1. Kesiapan Konseling

Faktor yang mempengaruhi kesiapan konseling adalah motivasi

memperoleh bantuan, pengetahuan klien tentang konseling, kecakapan

intelektual, tingkat tilikan terhadap masalah, dan harapan terhadap peran

konselor.

2. Hambatan dalam persiapan konseling:

a. Penolakan,

b. Situasi fisik

c. Pengalaman konseling yang tidak menyenangkan,

d. Pemahaman konseling kurang,

e. Pendekatan kurang,

f. Iklim penerimaan pada konseling kurang.

3. Penyiapan klien:

a. Orientasi pra konseling,

b. Teknik survey terhadap masalah klien,

c. Memberikan informasi pada klien,

d. Pembicaraan dengan berbagai topik,

e. Menghubungi sumber-sumber referal.


17

4. Memperoleh Riwayat Kasus

Riwayat kasus merupakan kumpulan informasi sistematis

tentang kehidupan sekarang dan masa lalu. Riwayat kasus,

biasanya tercatat dalam rekam medis.

5. Psikodiagnostik

Psikodiagnostik meliputi pernyataan masalah klien, perkiraan

sebab- sebab kesulitan, kemungkinan teknik konseling, perkiraan hasil

konseling.

2.1.6 Proses Konseling

Hubungan antara konselor dan klien adalah inti proses konseling.

Proses konseling meliputi :

1. Pembinaan dan pemantapan hubungan baik (rapport)

“En rapport” mempunyai makna saling memahami dan mengenal

tujuan bersama. Tujuannya adalah menjembatani hubungan antara

konselor dengan klien, sikap penerimaan dan minat yang mendalam

terhadap klien dan masalahnya.

a. memberikan salam, memperkenalkan diri,

b. topik pembicaraan yang sesuai,

c. menciptakan suasanan yang aman dan nyaman,

d. sikap hangat,

e. realisasi tujuan bersama,

f. menjamin kerahasiaan,

g. kesadaran terhadap hakekat klien.

2. Pengumpulan dan pemberian informasi


18

Pengumpulan dan pemberian informasi merupakan tugas dari

konselor. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

a. mendengar keluhan klien,

b. mengamati komunikasi non verbal klien,

c. bertanya riwayat kesehatan,

d. latar belakang keluarga, dan masalah,

e. memberikan penjelasan masalah yang dihadapinya.

3. Perencanaan, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah

Apabila data telah lengkap, maka konselor membantu klien

untuk memecahkan masalah atau membuat perencanaan dalam

pemecahan masalahnya.

Tahapan dalam memecahkan masalah adalah:

a. Menjajagi masalah (menetapkan masalah yang dihadapi klien),

b. Memahami masalah (mempertegas masalah yang sesungguhnya),

c. Membatasi masalah (menetapkan batas-batas masalah),

d. Menjabarkan alternatif pemecahan masalah,

e. Mengevaluasi alternatif (menilai setiap alternatif dg analisis SWOT),

f. Memilih alternatif terbaik,

g. Menerapkan alternatif dan menindaklanjuti pertemuan.

2.1.7 Langkah-langkah Pelaksanaan Konseling

Brammer, Albrego dan Shostrom mengatakan bahwa langkah

konseling ada empat yaitu membangun hubungan, identifikasi dan

penilaian masalah, memfasilitasi perubahan terapeutis, dan

evaluasi/terminasi.
19

1. Langkah pertama bertujuan agar klien menjelaskan permaslahan

yang dihadapinya, keprihatinan yang dihadapi oleh klien dan alasan

kenapa datang kepada konselor. Pada langkah ini sudah mulai

membangun hubungan terapeutik. Pada langkah ini sangat penting

untuk membangun hubungan yang positif berdasarkan rasa

saling percaya, saling terbuka dan kejujjuran berekspresi. Pada

langkah ini konselor harus menunjukan diri sebagai seorang

berkompeten di bidang gizi dapat membantu klien mengatasi

permasalahannya. Konselor menunjukkan diri dan meyakinkan diri

klien bahwa konselor sebagai orang yang dapat dipercaya dan

dapat membantu klien mengatasi masalahnya.

2. Langkah kedua adalah identifikasi dan penilaian permasalahan.

Pada langkah ini konselor mendiskusikan dengan klien tentang

tujuan yang diperoleh dari proses konseling yang akan dilakukan.

3. Langkah ketiga adalah memfasilitasi perubahan terapeutik.

Tujuan dari langkah ini adalah mencari strategi dan intervensi yang

dapat memudahkan terjadinya perubahan perilaku.

4. Langkah keempat adalah evaluasi dan terminasi. Tujuan dari

langkah ini adalah evaluasi terhadap hasil konseling dan akhirnya

terminasi.

2.1.8 Langkah-Langkah Pelaksanaan Konseling MPASI

Menurut (Hidayat, 2009) Konseling Pemberian Makan pada Anak

dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Lakukan evaluasi tentang cara memberikan makanan pada bayi dengan


20

menanyakan cara menyusui bayi berapa kali sehari, apakah pada malam

hari juga menyusui, kemudian apakah bayi mendapatkan makanan atau

minuman lain. Apabila berat badan berdasarkan usia sangat rendah,

dapat ditanyakan berapa banyak makanan atau minuman yang diberikan

pada bayi, apakah anak mendapat makan tersendiri dan bagaimana

caranya, apakah selama sakit makanan diubah, dan lain-lain.

2. Menganjurkan cara pemberian makanan pada ibu antara lain sebagai

berikut:

a. Usia sampai 6 bulan caranya adalah berikan ASI sesuai keinginan

anak, paling sedikit 8 kali, jangan diberikan makanan selain ASI.

b. Usia 6 bulan caranya adalah berikan ASI sesuai dengan keinginan

anak paling sedikit 8 kali, berikan makanan pendamping ASI 2 kali

sehari sebanyak 2 sendok. pemberiannya setelah pemberian ASI,

makanan pendamping dapat berupa bubur tim ditambah ditambah

kuning telur/ ayam/ ikan/ tempe/ tahu/ daging sapi/ wortel/ bayam/

kacang hijau/ santan/ minyak.

c. Usia 6-12 bulan caranya adalah berikan ASI sesuai dengan keinginan

anak, berikan bubur nasi ditambah telur/ ayam/ ikan/ tempe/ tahu/

daging sapi/ wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/ minyak, diberikan 3

kali dengan ketentuan pada usia 6 bulan diberikan 6 sendok makan,

usia 7 bulan diberikan 7 sendok makan, usia 8 bulan diberikan 8

sendok makan, usia 9 bulan diberikan 9 sendok makan, usia 10

bulan diberikan 10 sendok makan, usia 11 bulan diberikan 11 sendok

makan serta diberikan makanan selingan 2 kali sehari, seperti bubur

kacang hijau, pisang, biscuit, nagasari, dan lain-lain.


21

d. Usia 12-24 bulan caranya adalah berikan ASI sesuai dengan

keinginan anak, berikan nasi lembek ditambah telur/ ayam/ ikan/

tempe/ tahu/ daging sapi/ wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/

minyak,berikan makanan tersebut 3 kali sehari dan juga berikan

makanan selingan 2 kali sehari seperti kacang hijau, pisang, biscuit,

nagasari, dan lain-lain.

e. Usia 2 tahun lebih caranya adalah berikan makanan yang dimakan

oleh keluarga 3 kali sehari yang terdiri atas nasi, lauk pauk, sayur,

dan buah. Berikan makanan yang bergizi sebagai selingan 2 kali

sehari seperti kacang hijau, biscuit, nagasari, dan berikan makanan

selingan diantara waktu makanan pokok.

f. Apabila bayi usia kurang 4 bulan dan mendapatkan makanan selain

ASI, maka berikan motivasi terhadap kepercayaan bahwa ibu mampu

memproduksi ASI sesuai kebutuhan anak dan anjurkan untuk sering

memberikan ASI.

g. Apabila ibu menggunakan botol dalam pemberian susu, maka

anjurkan untuk menggantikan botol dengan gelas atau cangkir.

h. Apabila anak tidak diberikan makan secara aktif, maka nasehati ibu

agar duduk disamping anak dan membujuk supaya mau makan

serta mengamati apa yang disukai anak dengan mempertimbangkan

tentang makanan yang diperbolehkan.

i. Apabila anak tidak diberi makan dengan baik selama sakit, maka

nasehati ibu untuk memberikan ASI lebih sering dan lebih lama serta

memberikan makan secara variasi dan berikan dalam porsi sedikit

tapi sering.
22

3. Menurut (Novelasari, 2010) langkah-langkah konseling yaitu :

a. Persiapan konseling

1) Pengumpulan data

2) Pengkajian dan identifikasi data

3) Kesimpulan hasil identifikasi masalah klien

b. Perencanaan konseling

1) Pengkajian kebutuhan gizi klien

2) Menetapkan tujuan : tujuan harus jelas, rasional, menyesuaikan

kebutuhan klien, dibuat berdasarkan perubahan perilaku dan

sesuai dengan target waktu.

3) Sasaran : klien dan keluarganya.

4) Materi : disesuaikan dengan permasalahan klien, diawali dengan

penjelasan tentang hal-hal yang mudah sampai ke yang rumit.

5) Metode : metode yang digunakan adalah menggabungkan

berbagai metode seperti: diskusi dan tanya jawab, demonsterasi

dan lain-lain.

6) Media : sebaiknya menggunakan lebih dari satu media seperti:

leaflet, food model, dan lain-lain

c. Pelaksanaan konseling (Implementasi konseling)

1) Klien datang

2) Klien diterima oleh petugas untuk dilakukan pengukuran

antropometri.

3) Petugas mencatat data klien

4) Tahap penjelasan: food recall 24 jam untuk memperoleh

gambaran pola makanan kebiasaan makan, jumlah yang dimakan


23

dengan daftar konsumsi makanan 24 jam, frekuensi makan tiap

hari dengan menggunakan daftar food frequency, cek kembali

kebenaran masukan makanan 24 jam dengan anamnesa

kualitatif.

5) Tahap pemecahan masalah

6) Rencana pemberian diet yag sesuai untuk anak

7) Penjelasan diet yang tepat untuk anak

8) Kesimpulan: penjelasan kembali bagian yang penting untuk

diingat klien dalam menjalankan diet yang diberikan, memberikan

motivasi untuk merubah kebiasaan makan yang dapat dilakukan

secara bertahap, tidak menekankan kepada kegagalan tetapi

kepada kesuksesan, memberikan harapan yang realistis,

membuat rencana kunjungan ulang bersama klien, menentukan

waktu kunjungan berikutnya, lakukan pencatatan pada dokumen

medik dan dokumen gizi klien tentang anjuran diet, hasil

anamnesa, kebiasaan makan, rencana tindak lanjut

d. Evaluasi konseling: evaluasi pemahaman dan pengetahuan orang

tua anak dalam pemberian makan pada anak.

2.1.9 Waktu, Durasi, Frekuensi Pelaksanaan Konseling MPASI

Kegiatan konseling ini lebih efektif dilakukan untuk satu klien 1 kali

dalam seminggu sebanyak 4 kali pertemuan dalam sebulan dan setiap

sesi berdurasi 25-30 menit (Sofiana dan Noer, 2013).


24

2.2 Konsep Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)

2.2.1 Pengertian MPASI

Defenisi Makanan Pendamping ASI (MPASI) adalah makanan

atau minuman selain ASI yang mengandung nutrisi yang diberikan

kepada bayi setelah bayi siap atau berusia 6 bulan. MPASI merupakan

makanan tambahan bagi bayi. Makanan ini harus menjadi pelengkap dan

dapat memenuhi kebutuhan bayi. Hal ini menunjukkan bahwa MPASI

berguna untuk menutupi kekurangan zat gizi yang terkandung dalam ASI

(Molika, 2014).

Makanan Pendamping ASI (MPASI) adalah makanan atau

minuman yang mengandung gizi diberikan kepada bayi atau anak usia 4-

6 bulan, guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI. MPASI merupakan

makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan

pemberian MPASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun

jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi (Mufida, 2015). Makanan

Pendamping ASI merupakan makanan tambahan bagi bayi. Peranan

makanan pendamping ASI sama sekali bukan untuk menggantikan ASI

melainkan hanya melengkapi ASI (Waryana, 2015).

Jadi dapat disimpulkan bahwa MPASI adalah makanan

pendamping ASI berupa makanan atau minuman yang diberikan kepada

bayi berusia 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan tumbuh

kembang bayi, dimana ASI masih menjadi menu utama bagi bayi hingga

24 bulan.

2.2.2 Tujuan Pemberian MP-ASI

Menurut Diana (2013) mulai mengkonsumsi makanan padat


25

merupakan langkah besar bagi bayi untuk mulai menapaki dunia rasa dan

tekstur makanan-makanan baru, dan menjadi dasar terjalinnya hubungan

yang baik antara bayi dengan makanannya.

Menurut (Molika, 2014) tujuan pemberian MPASI diantaranya :

1. Melengkapi zat gizi yang kurang karena kebutuhan zat gizi yang semakin

meningkat sejalan dengan pertambahan umur anak.

2. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam

makan dengan berbagai bentuk, tekstur dan rasa.

3. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan.

4. Mencoba beradaptasi terhadap makanan dengan kadar energi tinggi.

2.2.3 Syarat MPASI

WHO Global Strategy for Feeding Infant and Young Children

merekomendasikan agar pemberian MPASI memenuhi 4 syarat, yaitu:

1. Tepat waktu (timely), artinya MPASI harus diberikan saat ASI eksklusif

sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi

2. Adekuat, artinya MPASI memiliki kandungan energi, protein, dan

mikronutrien yang dapatmemenuhi kebutuhan makronutrien dan

mikronutien bayi sesuai usianya.

3. Aman, artinya MPASI dipersiapkan dan disimpan dengan cara-cara yang

higienis, diberikan menggunakan tangan dan peralatan makan yang

bersih.

4. Diberikan dengan cara yang benar (properly feed), artinya MPASI

diberikan dengan memperhatikan sinyal rasa lapar dan kenyang seorang

anak.
26

2.2.4 Jenis MPASI

Menurut (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia., 2017) jenis

MPASI yang dapat diberikan adalah :

1. Makanan Lumat (6-9 bulan)

Makanan lumat adalah makanan yang dimasak dengan banyak air dan

tampak berair, contoh : bubur susu, bubur sumsum, pisang saring/kerok,

pepaya saring, tomat saring dan nasi tim saring.

2. Makanan Lunak (9-12 bulan)

Makanan lunak adalah makanan yang dihancurkan atau disaring tampak

kurang merata dan bentuknya lebih kasar dari makanan lumat halus,

contoh : bubur nasi, bubur ayam, nasi tim dan kentang puri.

3. Makanan Padat (12-24 bulan)

Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak tampak berair dan

biasanya disebut makanan keluarga, contoh : lontong, nasi tim, kentang

rebus dan biskuit.

2.2.5 Cara Pemberian MPASI

Menurut (UNICEF, 2014) cara pemberian MP-ASI yang tepat dan

benar sesuai dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) agar

terhindar dari penyakit infeksi seperti diare yaitu sebagai berikut :

1. Ibu mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan dan

memberikannya pada bayi

2. Ibu dan bayi mencuci tangan sebelum makan

3. Ibu mencuci tangan dengan sabun setelah ke toilet dan setelah

membersihkan kotoran bayi.

4. Mencuci bahan bahan makanan (sayuran, beras, ikan, daging, dll)


27

dengan air mengalir sebelum diolah menjadi makanan yang akan

diberikan kepada bayi.

5. Mencuci kembali peralatan dapur sebelum dan sesudah digunakan untuk

memasak.

6. Peralatan makan bayi seperti mangkuk, sendok dan cangkir harus dicuci

kembali sebelum digunakan oleh bayi.

7. Jangan menyimpan makanan yang tidak dihabiskan bayi karena ludah

yang terbawa oleh sendok bayi akan menyebarkan bakteri.

Memberikan makanan pendamping ASI sebaiknya diberikan

secara bertahap baik dari tekstur maupun jumlah porsinya. Kekentalan

makanan dan jumlah harus disesuaikan dengan keterampilan dan

kesiapan dalam menerima makanan. Pada awal pemberian tekstur

makanan diberikan makanan cair dan lembut, kemudian setelah bayi bisa

menggerakkan lidah dan proses mengunyah, bayi sudah dapat diberikan

makanan semi padat. Sedangkan untuk makanan padat diberikan ketika

bayi sudah tumbuh gigi geligi. Porsi makanan bayi juga berangsur-angsur

bertambah (Waryana, 2015).

2.2.6 Waktu pemberian MPASI

Untuk memulai pemberian MPASI yang terpenting adalah

kesiapan bayi untuk dapat menerimanya. Menurut (Riksani, 2012) tanda-

tanda yang dapat diperhatikan pada bayi yang menunjukkan kesiapan

untuk menerima makanan pendamping ASI yaitu sebagai berikut :

a. Bayi dapat menegakkan dan mengontrol kepalanya dengan baik.

b. Bayi dapat duduk dengan bersandar tanpa bantuan.

c. Bayi menunjukkan minat terhadap makanan keluarga, seperti


28

memperhatikan ibu yang sedang makan dan berusaha meraih

makanan tersebut.

Menurut (Maryunani, 2015) usia yang tepat untuk pemberian

makanan pendamping ASI yaitu :

a. Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian makanan pendamping ASI

memberikan perlindungan besar dari berbagai penyakit.

b. Hal ini disebabkan sistem imun bayi kurang dari 6 bulan belum

sempurna sehingga pemberian MP-ASI dini sama halnya dengan

membuka pintu gerbang untuk masuknya berbagai jenis kuman dan

penyakit.

c. Belum lagi jika pemberian makanan pendamping ASI yang disajikan

tidak hygienis akan meningkatkan resiko terserang diare, sembelit,

batuk pilek dan panas dibandingkan bayi yang hanya mendapat ASI

ekslusif.

Alasan pemberian MPASI pada usia 6 bulan disebabkan karena

makanan padat lebih sulit ditelan dan dicerna oleh bayi yang masih

berusia dibawah 6 bulan. Memberikan MPASI sebelum waktunya dapat

meningkatkan resiko masalah kesehatan seperti alergi, diare dan sembelit

karena lambung bayi belum mampu mencerna makanan padat (Gabriela,

2018).

2.2.7 Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengenalan MPASI

Menurut (Molika, 2014) menyebutkan hal- hal yang perlu

diperhatikan dalam pengenalan MP-ASI adalah sebagai berikut :

1. MP-ASI diberikan sedikit demi sedikit, misalnya 2-3 sendok pada saat

pertamanya, dan jumlahnya bisa ditambah seiring perkembangan bayi


29

agar terbiasa dengan teksturnya.

2. Pemberian MP-ASI dilakukan di selasela pemberian ASI dan dilakukan

secara bertahap. Misalnya untuk pertama diberikan 1 kali dalam sehari,

kemudian meningkat menjadi 3 kali dalam sehari.

3. Tepung beras sangat baik digunakan sebagai bahan MP-ASI karena

sangat kecil kemungkinannya menyebabkan alergi pada bayi. Tepung

beras yang baik berasal dari beras pecah kulit yang lebih banyak

kandungan gizinya.

4. Pengenalan sayuran sebaiknya didahulukan daripada pengenalan buah,

karena rasa buah yang lebih manis dan lebih disukai bayi, sehingga jika

buah dikenalkan terlebih dahulu, dikhawatirkan akan ada kecenderungan

bayi untuk menolak sayur yang rasanya lebih hambar.

5. Hindari penggunaan garam dan gula. Utamakan memberikan MP-ASI

dengan rasa asli makanan, karena bayi usia 6-7 bulan, ginjalnya belum

berfungsi sempurna. Untuk selanjutnya, gula dan garam bisa

ditambahkan tetapi tetap dalam jumlah yang sedikit saja. Sedangkan

untuk merica bisa ditambahkan setelah anak berusia 2 tahun.

6. Untuk menambah cita rasa MP-ASI bisa menggunakan kaldu ayam, sapi

atau ikan yang dibuat sendiri, serta bisa juga ditambahkan berbagai

bumbu seperti daun salam, daun bawang, seledri.

7. Jangan terlalu banyak mencampur jenis makanan pada awal pemberian

MP-ASI. Berikan secara bertahap 2-4 hari untuk mengetahui reaksi bayi

terhadap setiap makanan yang diberikan dan mengetahui jika bayi

memiliki alergi terhadap makanan tertentu.

8. Perhatikan bahan makanan yang sering menjadi pemicu alergi seperti


30

telur, kacang, ikan, susu dan gandum.

9. Telur bisa diberikan kepada bayi sejak usia 6 bulan, tetapi pemberiannya

bagian kuning terlebih dahulu karena bagian putih telur dapat memicu

alergi.

10. Madu sebaiknya diberikan pada usia lebih dari 1 tahun karena madu

seringkali mengandung suatu jenis bakteri yang bisa menghasilkan racun

pada saluran cerna bayi yang dikenal sebagai toksin botulinnum (infant

botulism).

2.2.8 Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian MPASI Dini

1. Faktor predisposisi

a. Usia Menurut Hurlock dalam (Chairani, 2013) usia dapat

mempengaruhi cara berfikir, bertindak dan emosi seseorang. Usia

yang lebih dewasa umumnya memiliki emosi yang stabil

dibandingkan dengan usia yang lebih muda.

b. Pendidikan Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

cenderung memberikan susu botol lebih dini dan ibu yang

mempunyai pendidikan formal lebih banyak memberikan susu botol

pada usia 2 minggu dibanding ibu tanpa pendidikan formal. Tingkat

pendidikan mempengaruhi cara berpikir dan berprilaku (Nauli, 2012).

c. Pengetahuan Pengetahuan ibu tentang kapan pemberian makan

tambahan, fungsi makanan tambahan, makanan tambahan dapat

meningkatkan daya tahan tubuh dan risiko pemberian makanan pada

bayi kurang dari 6 bulan sangatlah penting. Tingkat pendidikan

mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi (Nauli, 2012).

d. Pekerjaan Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan


31

maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau

keuntungan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibu yang belum

bekerja sering 20 memberikan makanan tambahan dini dengan

alasan melatih atau mencooba agar pada waktu ibu mulai bekerja

bayi sudah terbiasa (Nauli, 2012).

e. Pendapatan Tingkat pendapatan keluarga berhubungan dengan

pemberian MPASI dini. Penghasilan keluarga yang lebih tinggi

berhubungan positif secara signifikan dengan pemberian susu botol

pada waktu dini dan makanan buatan pabrik (Nauli, 2012).

2. Faktor pendorong

Pengaruh iklan, media massa khususnya televisi dan radio

memiliki pengaruh yang besar terhadap pemberian susu formula, karena

pada iklan media tersebut produsen berusaha menampilkan beberapa

kelebihan dari beberapa produk mereka yang sangat penting bagi

pertumbuhan bayi, sehingga seringkali ibu beranggapan bahwa susu

formula lebih baik dari asi (Chairani, 2013).

3. Faktor pendukung

a. Dukungan petugas kesehatan Petugas kesehatan sangat berperan

dalam memotivasi ibu untuk tidak memberi makanan tambahan pada

bayi usia kurang dari 6 bulan. Dengan dilakukannya penyuluhan dan

pendekatan yang baik kepada ibu yang memiliki bayi usia kurang dari

6 bulan maka pada umumnya ibu mau patuh dan menuruti nasehat

petugas kesehatan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan

menjadi sumber informasi tentang kapan 21 waktu yang tepat

memberikan makanan tambahan dan risiko pemberian makanan


32

tambahan dini pada bayi (Nauli, 2012).

b. Dukungan keluarga Menurut Chairani (2013) mengungkapkan bahwa

lingkungan keluarga adalah lingkungan yang sangat berpengaruh

terhadap keberhasilan ibu menyusui bayinya secara ekslusif.

2.2.9 Dampak Pemberian MPASI Dini

Kebanyakan orangtua dengan berbagai alasan memberikan

MPASI kurang dari 6 bulan, diantaranya yang paling sering adalah si bayi

masih kelaparan meski sudah diberi susu dan terus rewel. padahal bisa

jadi bayi menangis karena merasa tidak nyaman atay penyebab lainnya.

pemberian MP-ASI lebih awal dapat menimbulkan berbagai risiko

penyakit bagi bayi (Rakyat, 2012).

Dampak pemberian MP-ASI terlalu dini menurut Molika (2014)

terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Resiko jangka pendek

a. Pengenalan makanan selain asi kepada bayi akan menurunkan

frekuensi dan intensitas pengisapan bayi, yang akan menurunkan

produksi asi.

b. Pengenalan serealia dan sayur-sayuran tertentu dapat

mempengaruhi penyerapat zat besi dari asi sehingga menyebabkan

defisiensi zat besi.

c. Resiko diare meningkat karena makanan tambahan tidak sebersih

asi.

d. Makanan yang diberikan sebagai pengganti asi sering encer,

buburnya berkuah atau berupa sup karena mudah dimakan oleh bayi.

Makanan ini memang membuat lambung penuh tetapi memberi


33

nutrient yang lebih sedikit daripada asi sehingga kebutuhan

gigi/nutrisi bayi tidak terpenuhi.

e. Meningkatnya risiko terserang infeksi karena faktor perlindungan asi

yang lebih sedikit.

f. Bayi akan minum asi lebih sedikit sehingga akan lebih sulit untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi bayi.

2. Resiko Jangka Panjang

a. Obesitas

Kelebihan dalam memberikan makanan adalah risiko utama dari

pemberian makanan yang terlalu dini pada bayi. Konsekuensi pada

usia-usia selanjutnya adalah terjadi berat badan ataupun kebiasaan

makan yang tidak sehat.

b. Hipertensi

Kandungan natrium dalam asi yang cukup rendah (± 15

mg/100ml). Namun, makannan dari diet bayi dapat meningkat drastis

jika makanan yang telah dikenalkan. Konsekuensi di kemudian hari

akan menyebabkan kebiasaan makan yang memudahkan terjadinya

hipertensi.

c. Arteriosleloris

Pemberian makanan pada bayi tanpa memperhatikan kandungan

tinggi energi dan kaya akan kolestrerol serta lemak jenuh, sebaliknya

kandungan lemak tak jenuh yang rendah dapat menyebabkan

terjadinya arteriosleloris dan penyakit jantung iskemik.

d. Alergi makanan

Belum matangnya sistem kekebalan dari usus pada umur yang


34

dini dapat menyebabkan alergi terhadap makanan. Manifestasi alergi

secara klinis meliputi : gangguan gastrointestinal, dermatologis,

gangguan pernafasan sampai terjadi syok anafilaktik.

Pemberian MPASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko diare

serta infeksi saluran pencernaan atas (ISPA). Secara teoritis diketahui

bahwa pemberian makanan MPASI terlalu dini pada anak dapat

menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi seperti diare, konstipasi,

muntah dan alergi. pemberian MPASI dini mempengaruhi tingkat

kecerdasan anak setelah usia dewasa seperti memicu terjadinya

penyakit, obesitas, hipertensi dan penyakit jantung koroner (Nadesul,

2011).

2.3 Konsep Perilaku

2.3.1 Definisi

Perilaku yaitu suatu respon seseorang yang dikarenakan adanya

stimulus/rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2012). Perilaku dibedakan

menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka

(overt behavior). Perilaku tertutup merupakan respon seseorang yang

belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Perilaku terbuka

merupakan respon dari seseorang dalam bentuk tindakan yang nyata

sehingga dapat diamati lebih jelas dan mudah (Fitriani, 2011)

2.3.2 Klasifikasi Perilaku

Perilaku dibedakan menjadi 2 macam dalam buku Notoatmodjo

(2014), yaitu :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)


35

Reaksi seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tertutup.

Reaksi yang masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan

sikap sehingga belum dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Reaksi seseorang dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.

Reaksi sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan

mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.

2.3.3 Perilaku Kesehatan

Menurut Becker yang dikutip dalam Notoatmodjo (2012) perilaku

kesehatan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :

1. Perilaku hidup sehat (healthy life style) : Merupakan perilaku yang

berhubungan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan kesehatan

dengan gaya hidup sehat yang meliputi makan menu seimbang, olahraga

yang teratur, tidak merokok, istirahat cukup, dan menjaga perilaku yang

positif bagi kesehatan.

2. Perilaku sakit (illness behavior) : Merupakan perilaku yang terbentuk

karena adanya respon terhadap suatu penyakit. Perilaku dapat meliputi

pengetahuan tentang penyakit serta upaya pengobatannya.

3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) : Merupakan perilaku

seseorang ketika sakit, perilaku ini mencakup upaya menyembuhkan

penyakitnya.

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ada 3 macam dalam

buku Notoatmodjo (2012), yaitu :


36

1. Faktor predisposisi (disposing factor)

Faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seseorang, antara

lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan tradisi.

2. Faktor permungkin/penunjang (enabling factor)

Faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku dan

tindakan yang dimaksud adalah fasilitas, sarana, dan prasarana.

3. Faktor penguat (reinforcing factor)

Faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

Faktor ini terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau

petugas lainnya yang merupakan kelompok referensi dari perilaku

masyarakat.

2.3.5 Perilaku Ibu Dalam Memberikan MPASI Dini

Alasan umum mengapa banyak ibu yang memberikan MPASI

secara dini meliputi rasa takut bahwa ASI yang mereka hasilkan tidak

cukup lama dan kualitasnya buruk. Banyak kepercayaan dan sikap yang

tidak mendasar terhadap makna pemberian ASI yang membuat para ibu

tidak melakukan pemberian ASI secara eksklusif kepada bayi mereka

dalam periode 6 bulan pertama. Hal tersebut terakait dengan pemberian

ASI pertama (kolostrum) yang terlihat encer dan menyerupai air selain itu

keterlambatan memulai pemberian ASI dan praktek membuang kolostrum

juga mempengaruhi alasan pemberian MPASI dini karena banyak

masyarakat dinegara berkembang percaya kolostrum yang berwarna

kekuningan merupakan zat beracun yang harus dibuang. Teknik

pemberian ASI yang salah menyebabkan ibu mengalami nyeri lecet pada

puting susu, pembengkakan payudara dan masitis dapat menyebabkan


37

ibu menghentikan pemberian ASI. Serta kebiasaan yang keliru bahwa

bayi memerlukan cairan tambahan selain itu dukungan yang kurang dari

pelayanan kesehetan seperti tidak adanya fasilitas rumah sakit dan rawat

gabung dan disediakannya dapur susu formula akan meningkatkan

praktek pemberian MPASI predominan kepada bayi yang baru lahir

dirumah sakit. Serta pemasaran susu formula pengganti ASI yang

menimbulkan anggapan bahwa formula PASI lebih unggul daripada ASI

sehingga ibu akan lebih tertarik pada iklan PASI dan memberikan MPASI

secara dini. (Gibney, 2009) dikutip dalam (Harahap, 2013).

2.3.6. Kategori Perilaku

Pengukuran perilaku penulis menggunakan pengkategorian

menurut Notoatmodjo (2012) yaitu:

1. Perilaku tepat, bila subjek mampu menjawab dengan benar 76-100%

dari seluruh pernyataan.

2. Perilaku kurang tepat, bila subjek mampu menjawab dengan benar 56-

75% dari seluruh pernyataan.

3. Perilaku tidak tepat, bila subjek mampu menjawab dengan benar

<56% dari seluruh pernyataan.

2.4 Konsep Dasar Perkembangan Bayi Usia 0-6 Bulan

2.4.1 Definisi

Pertumbuhan dan perkembangan memiliki definisi yang berbeda.

Kalau pertumbuhan mengarah pada bertambahnya jumlah dan ukuran

yang bisa diukur dengan ukuran berat dan panjang. Sedangkan

perkembangan adalah bertambahnya fungsi yang lebih kompleks dalam


38

kemampuan motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan bersosialisasi

dengan lingkungannya (Kusnandi, 2008).

Sedangkan menurut Maslow (dikutip dalam Supartini, 2002)

perkembangan merupakan bertambahnya kemampuan dan keterampilan

yang terjadi secara bertahap. Jadi, perkembangan adalah hasil interaksi

kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya

yang terjadi secara simultan supaya memiliki kemampuan untuk berfungsi

pada tingkat tertentu.

Proses perkembangan mempunyai prinsip-prinsip yang saling

berkaitan. Salah satu prinsipnya yaitu perkembangan merupakan hasil

dari proses kematangan dan belajar. Kematangan terjadi secara alami

dalam tubuh yang tidak bisa dirubah sedangkan belajar merupakan

perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha, dengan belajar

kemampuan anak akan bisa ditingkatkan. Prinsip yang kedua yaitu

perkembangan merupakan pola yang dapat diramalkan. Pada dasarnya

anak memiliki pola perkembangan yang 7 sama sehingga bisa diketahui

tingkat perkembangan yang dicapai anak sesuai umurnya (Depkes,

2005).

Kania (2007) mengemukakan bahwa untuk mencapai

perkembangan yang optimal maka kebutuhan dasar anak harus

terpenuhi, kebutuhan dasar terbagi menjadi tiga yaitu:

a. Kebutuhan Fisik-Biomedis (”ASUH”) Kebutuhan ini meliputi kebutuhan

akan gizi, ASI (Air Susu Ibu), imunisasi, pakaian, tempat tinggal yang

layak, lingkungan yang nyaman, dan penggunaan sarana kesehatan

untuk pemeriksaan kesehatan dan pengobatan bila ada anggota


39

keluarga yang sakit.

b. Kebutuhan Emosi/ Kasih Sayang (”ASIH”) Anak-anak membutuhkan

perhatian dari orang tua dan orang terdekatnya karena dengan itu

akan terbina sosialisasi yang tinggi dan sangat baik untuk

perkembangan sehingga akan selaras antara fisik dan mentalnya.

c. Kebutuhan akan Stimulasi Mental (”ASAH”) Dengan memberikannya

stimulasi mental maka akan mengembangkan perkembangan anak

seperti kecerdasan, kreativitas, agama, kepribadian, moral-etika,

tingkat kemandirian, dan sebagainya.

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

Supartini (2002) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kualitas perkembangan bayi yaitu:

1. Faktor Genetik

Sebagian besar kemampuan anak dipengaruhi oleh faktor genetik

dari kedua orang tuanya, tapi bila lingkungannya kondusif untuk anak

tidak menutup kemungkinan orang tua yang kemampuannya kurang

mempunyai anak yang cerdas.

2. Faktor Lingkungan

a. Lingkungan Prenatal

Beberapa kondisi yang dapat mengganggu perkembangan janin,

yaitu ibu mengkonsumsi nutrisi yang kurang dan mempunyai penyakit

selama hamil.

b. Pengaruh Budaya Lingkungan

Budaya pada keluarga dan masyarakat akan mempengaruhi

persepsi ibu dan keluarga tentang kesehatan seperti tidak boleh


40

makan makanan tertentu selama hamil dan tidak boleh dibantu oleh

petugas kesehatan saat melahirkan nanti.

c. Status Sosial dan Ekonomi Keluarga

Anak yang berada dalam keluarga yang ekonomi rendah akan

kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer dan kebutuhan akan

pendidikan. Hal ini akan berpengaruh pada penggunaan sarana

kesehatan sehingga perkembangan anak bisa terganggu.

d. Nutrisi

Pada masa prenatal, bayi dan remaja membutuhkan nutrisi yang

lebih banyak. Perkembangan anak akan terhambat bila nutrisinya

tidak adekuat.

e. Iklim/ Cuaca

Pada musim hujan akan menyebabkan bahaya banjir dan

menimbulkan beberapa penyakit menular. Begitu juga dengan musim

kemarau, air bersih yang tersedia kurang dan dapat menyebabkan

diare.

f. Olahraga/ Latihan Fisik

Olahraga dapat meningkatkan aktivitas fisik dan menstimulasi

perkembangan otot dan pertumbuhan sel.

g. Posisi Anak dalam Keluarga

Posisi anak sebagai anak pertama, anak tengah, anak terakhir,

dan anak tunggal akan mendapatkan pola asuh yang berbeda dari

orang tua. Anak pertama biasanya akan mendapatkan asuhan yang

maksimal, karena tidak ada saudara yang lain, anak tengah akan

mendapatkan asuhan yang kurang, anak terakhir biasanya


41

mendapatkan perhatian yang penuh dari anggota keluarga, dan

begitu juga dengan anak tunggal akan mendapatkan perhatian yang

penuh serta keinginannya akan cepat terpenuhi.

2.4.3 Parameter Perkembangan Bayi

Kusnandi (2008) menyatakan bahwa ada empat parameter yang

dipakai dalam menilai perkembangan bayi yaitu:

1. Gerakan Motorik Kasar

Meliputi kemampuan bayi dalam melakukan pergerakan dan sikap

tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti duduk, berdiri, dan

sebagainya.

2. Gerakan Motorik Halus

Meliputi kemampuan bayi dalam melakukan gerakan yang

melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot

kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat seperti mengamati

sesuatu, menggambar, menulis, dan sebagainya.

3. Bahasa

Meliputi kemampuan bayi dalam memberikan respons terhadap

suara, berbicara, mengikuti perintah, dan sebagainya.

4. Kepribadian (Sosialisasi)

Meliputi kemampuan bayi dalam melakukan sesuatu itu dengan

sendiri misalnya: makan sendiri, menempatkan mainan pada tempatnya

pada saat selesai bermain, bersosialisasi dengan lingkungannya, dan

sebagainya.
42

2.4.4 Tingkat Perkembangan Bayi 0-6 bulan

Wong (2003) memberikan poin-poin tentang tingkat

perkembangan yang seharusnya dicapai selama masa bayi usia 0-6

bulan adalah :

1. Usia 1 Bulan

a. Motorik Kasar

1) Saat menahan dalam posisi berdiri, lutut dan panggul cepat

lemas.

2) Bila duduk, punggung memutar bersamaan, tidak ada kontrol

kepala.

3) Bila telungkup dapat memutar kepala dari satu sisi ke sisi yang

lain.

4) Dapat mengangkat kepala sebentar dari tempat tidur.

b. Motorik Halus

1) Dapat menggenggam dengan kuat.

2) Tangan mengatup bila kontak dengan mainan.

c. Vokalisasi

1) Membuat bunyi tenang selama minum ASI.

2) Membuat bunyi kecil dengan suara tenggorok.

3) Menangis dengan keras yang menunjukkan ketidaksenangan.

d. Sosialisasi/ Kognitif

Memandang wajah orang tua secara terus-menerus ketika

orang tua berbicara pada bayi.

2. Usia 2 Bulan

a. Motorik Kasar
43

1) Bila telungkup dapat mengangkat kepala 45 derajat.

2) Menunjukkan posisi yang kurang fleksi bila telungkup.

3) Bila digendong dalam posisi duduk, kepala ditahan ke atas tetapi

menunduk ke depan.

b. Motorik Halus

1) Kemampuan untuk menggenggam menghilang.

2) Tangan sering terbuka.

c. Vokalisasi

1) Bersuara (berbeda dari menangis).

2) Tangisan berbeda dari sebelumnya.

3) Bersuara pada wajah yang dikenal.

d. Sosialisasi/ Kognitif

Menunjukkan senyum sosial sebagai respons terhadap

berbagai stimulus.

3. Usia 3 Bulan

a. Motorik Kasar

1) Posisi tubuh simetris.

2) Mampu menahan kepala lebih tegak bila duduk, tetapi masih

menunduk ke depan.

3) Mampu mengangkat kepala dan bahu 45-90 derajat saat

telungkup.

4) Memegang tangan sendiri.

b. Motorik Halus

1) Refleks menggenggam tidak ada.

2) Tangan masih tertutup rapat.


44

3) Bisa memegang mainan.

4) Dapat menarik pakaian.

c. Vokalisasi

1) Tertawa.

2) Menangis berkurang selama periode terbangun.

3) Bicara banyak hal bila diajak berbicara.

4) Menjerit keras untuk menunjukkan kesenangan.

d. Sosialisasi/ Kognitif

1) Berhenti menangis bila orang tua memasuki ruangan.

2) Sudah dapat mengenali wajah.

3) Tidak suka terhadap orang asing.

4. Usia 4 Bulan

a. Motorik Kasar

1) Keseimbangan kepala pada posisi duduk baik.

2) Mampu duduk tegak bila disangga.

3) Mampu mengangkat kepala dan dada 90 derajat.

4) Bisa berguling dan telungkup.

b. Motorik Halus

1) Menggenggam objek dengan kedua tangan.

2) Bermain dengan mainan yang diletakkan di tangannya.

3) Mencoba menggapai objek dengan tangan.

4) Menarik pakaian atau selimut ke wajah.

5) Dapat memasukkan objek ke mulut.

b. Vokalisasi

1) Tertawa keras.
45

2) Dapat menyebut bunyi konsonan n, k, g, p, h.

3) Suara berubah sesuai alam perasaan.

c. Sosialisasi/ Kognitif

1) Cepat bosan bila ditinggal sendirian.

2) Menuntut diberikan perhatian.

3) Menikmati interaksi sosial.

4) Menujukkan kesenangan dengan seluruh tubuh.

5) Mulai menunjukkan memori.

5. Usia 5 Bulan

d. Motorik Kasar

1) Bila duduk, mampu menahan kepala dengan tegak.

2) Punggung tegak.

3) Dapat membalik dari posisi telungkup ke telentang.

4) Bila telentang, menempatkan kaki ke mulut,

e. Motorik Halus

1) Memainkan jari-jari kaki.

2) Mengambil objek secara langsung ke mulut.

3) Mampu menggenggam objek secara volunter.

f. Vokalisasi

1) Menjerit.

2) Membuat bunyi gumamam vokal yang diselingi dengan bunyi

konsonan (misalnya ah-goo).

g. Sosialisasi / Kognitif

1) Memegang botol dengan kedua tangan.


46

2) Tersenyum pada bayangan di cermin.

3) Mampu membedakan keluarga dengan orang asing.

4) Mampu menunjukkan ketidaksenangan bila objek diambil.

6. Usia 6 Bulan

a. Motorik Kasar

1) Berguling dari telungkup ketelentang.

2) Memegang tangan tidak ada lagi.

3) Bila telungkup dapat mengangkat dada dan abdomen bagian

atas dengan membebankan berat badan pada tangan.

b. Motorik Halus

1) Menjatuhkan satu kotak bila kotak lain diberikan.

2) Mengamankan objek yang jatuh.

3) Memegang botol.

c. Vokalisasi

1) Mulai mengikuti bunyi-bunyian.

2) Mulai berespons (mengeluarkan suara-suara) kalau melihat

mainan dan bayangannya di cermin.

3) Mengoceh menyerupai ungkapan satu suku kata (ma, mu, da, di,

hi).

d. Sosialisasi/ Kognitif

1) Memegang tangan untuk mengambil.

2) Mulai takut pada orang asing.

3) Tertawa bila kepala disembunyikan di handuk (ci luk baa).

4) Mulai meniru seperti batuk dan menjulurkan lidah.

Anda mungkin juga menyukai