Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

WHO dan United Nations Children’s fund (UNICEF) telah

merekomendasikan bahwa proses bayi menyusui minimal hingga

berumur 6 bulan, yang telah di dahului dengan proses IMD segera setelah

proses kelahiran, pendampingan makanan sebaiknya di berikan setelah

berumur lebih dari 6 bulan, sedangkan ASI tetap diberikan hingga

berumur 2 Tahun. Anjuran tersebut dapat memberikan dampak terhadap

proses perbaikan gizi dan drajat kesehatan. Penerapan pola pemberian

makan pada bayi saat ini belum berjalan maksimal khususnya pada

proses Inisiasi Menyusui Dini (KEMENKES RI, 2016).

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, direkomendasikan

empat hal penting yang harus dilakukan. Pertama, memberikan air susu

Ibu (ASI) kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir.

Kedua, memberikan hanya ASI saja eksklusif sejak lahir sampai bayi

berusia 6 bulan. Ketiga, meneruskan pemberian ASI sampai berusia 24

bulan atau lebih. Keempat, memberikan MPASI sejak bayi berusia 6

bulan sampai 24 bulan (Gatot, 2014).

Gangguan pencernaan, diare alergan dan infeksi saluran

pencernaan merupakan dampak dari pemberian Makanan Pendamping

ASI yang terlalu dini. Selain itu morbiditas juga menjadi salah satu

dampak malnutrisi pada bayi yang berdampak dari MPASI yang tidak baik

1
2

dan teratur atau terlalu dini. ISPA yang diakibatkan dari MPASI yang

terlalu dini menjadi salah satu faktor terjadinya angka kematian bayi di

indonesia (Nana, 2013).

Makanan Pendamping ASI yang di berikan terlalu dini sebelum

bayi berusia ≥6 bulan dapat berisiko obesitas, serta asupan makanan

dan minuman kecuali ASI berakibat imunitas bayi menurun dan terjadi

alergi sehingga meningkatkan keadaan sakit pada bayi, sehingga

mengganggu tumbuh kembang bayi (Mutmainnah, 2010)

Sekitar 40% bayi di dunia mendapatkan ASI eksklusif sedangkan

60% sisanya telah mendapatkan makanan pendamping ASI saat berusia

kurang dari 6 bulan (WHO, 2017). Hal ini berarti praktik pemberian

makanan pendamping ASI dini di berbagai negara masih tinggi dan

sebaliknya pemberian ASI eksklusif masih rendah. Padahal, peningkatan

jumlah MPASI dini dan penurunan pemberian ASI eksklusif tidak hanya

terjadi di negara maju tetapi juga di negara berkembang seperti

Indonesia.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018)

cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih jauh dari target yaitu

hanya 37,3%, mengalami penurunan dari 54,3% pada tahun 2013 dan

40,7% pemberian ASI eksklusif di perkotaan, hanya 33,6% diberikan oleh

orang yang tinggal di pedesaan, artinya pemberian makanan pendamping

ASI dini masih tinggi. Kemenkes RI tahun 2015 dalam mencapai target

Rencana Strategis (Renstra) 2015-2019 salah satunya cakupan ASI

Eksklusif 50% pada 2019 (KemenkesRI, 2015).

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,


3

pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai berusia 6 bulan hanya 38%.

Bayi yang mendapat ASI Eksklusif di Jawa Timur tahun 2015 sebesar

68,8%7 , mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2014

(72,89%), tetapi kembali meningkat pada tahun 2016 sebesar 75%. Data

capaian Bayi mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif di kabupaten

Lumajang pada tahun 2020 sekitar 87,4%.

Menurut Measure Demographic and Health Survey pada tahun

2017 diketahui bahwa pemberian MPASI pada bayi usia 0-1 bulan

sebanyak 49,3% dari 33 kelahiran bayi, usia 2-3 bulan 51%, dari 30

kelahiran dan usia 4-5 bulan sebesar 73% dari 23 kelahiran bayi

(DEPKES, RI, 2010). Makanan prelakteal yang paling sering di berikan

kepada bayi yang baru lahir yaitu susu formula 79,8% dari total jumlah

bayi usia ≥6 bulan (23 orang) (Mariani, et al., 2016).

Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan di posyandu Desa

Tempursari, Kedungjajang pada tanggal 10 Oktober 2022 dari beberapa

bayi usia 0-6 bulan hanya 58% bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif

selama 6 bulan dan 42% bayi mendapatkan MPASI. Sebagian besar

alasan dari ibu di Posyandu Desa Tempursari, Kedungjajang, ini

memberikan makanan tambahan dini kepada bayinya karena bayi sering

kali rewel ketika meyusui sehingga diberikan MPASI dan bayi merasa

kenyang, ada juga yang disebabkan karena puting ibu yang lecet serta

ASI yang tidak keluar.

MPASI adalah makanan dan minuman yang dilakukan kepada

anak usia 6-24 bulan untuk pemenuhan kebutuhan gizinya. WHO

bersama dengan Kementrian Kesehatan dan IDAI telah menegaskan


4

bahwa usia hingga 6 bulan hanya dilakukan ASI ekslusif saja. Oleh

karena itu, MPASI baru bisa diperkenalkan kepada bayi ketika bayi

berusia 6 bulan keatas. Tujuan dari pemberian MPASI adalah sebagai

pelengkap zat gizi pada ASI yang kurang dibandingkan dengan dengan

usia anak yang semakin bertambah (IDAI, 2018).

Berbicara soal pemberian MPASI tidak boleh terlalu dini (dibawah

umur bayi 6 bulan). Oleh sebab itu, MPASI harus diberikan pada bayi di

atas umur 6 bulan. Pada waktu umur diatas 6 bulan, lambung bayi sudah

bagus dan sudah mampu mencerna makanan secara baik. MPASI dini

bisa memberi dampak buruk bagi bayi seperti keram perut, iritasi saluran

pencernaan, diare, tersedak, dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian diatas, maka salah satu upaya yang dapat

dilakukan untuk mengatasi pemberian MPASI dini melalui kegiatan

konseling. Konseling adalah suatu komunikasi dua arah antara konselor

dan klien yang bertujuan membantu klien untuk memutuskan apa yang

akan dilakukan dalam mengatasi masalah yang dialami oleh klien. Dalam

komunikasi tersebut konselor bukan memberi nasihat tetapi memberikan

informasi dan alternatif pemecahan masalah, selanjutnya klien memilih

dan memutuskan sendiri alternatif yang terbaik untuk dirinya (Depkes RI,

2007).

Dalam periode pemberian MPASI, bayi tergantung sepenuhnya

pada perawatan dan pemberian makanan oleh ibunya. Oleh karena itu,

pengetahuan dan sikap ibu sangat berperan, sebab pengetahuan tentang

MP-ASI dan sikap yang baik terhadap pemberian MPASI akan

menyebabkan seorang ibu mampu menyusun menu yang baik untuk


5

dikonsumsi oleh bayinya. Semakin baik pengetahuan gizi ibu maka ia

akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang

diperolehnya untuk dikonsumsi oleh bayinya. Oleh karena itu,

konseling yang dilakukan di poli Menajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS) dan Gizi sangat berperan dalam membantu orang tua bayi dan

balita dalam memahami pemberian MPASI, untuk meningkatkan

pengetahuan ibu dan sikap ibu dalam memahami pemberian MPASI yang

tepat sesuai usia.

Penelitian yang dilakukan Aminah, dkk (2008) menyebutkan

bahwa program intervensi (stimulasi dan konseling) berperan penting

dalam pertumbuhan dan perkembangan balita. Selain itu, penelitian yang

dilakukan oleh Puspitasari (2009), menyebutkan bahwa metode konseling

dengan media KMS efektif dalam meningkatkan pengetahuan ibu

mengenai pertumbuhan balita. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Laksono (2009), menyebutkan bahwa pemberian konseling kepada ibu

dan keluarga yang dilakukan secara berkala, 2 kali sebulan selama 3

bulan, dapat meningkatkan status gizi anak balita. Begitu juga penelitian

yang dilakukan Nurhayati (2007), menyebutkan bahwa Ibu yang diberi

konseling gizi akan mempunyai pengetahuan, sikap dan praktek yang

mendukung pemberian ASI eksklusif lebih baik dari pada yang tidak

diberikan konseling.

Secara umum konseling mempunyai peranan yang sangat besar

membantu klien dalam mengubah prilaku yang berkaitan dengan gizi,

sehingga status gizi dan kesehatan klien menjadi lebih baik (Supriasa,

2014). Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti “Pengaruh


6

Konseling MPASI Terhadap Perilaku Ibu Dalam Memberikan MPASI pada

bayi usia 0-6 bulan di Desa Tempursari Kecamatan Kedungjajang”.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah pengaruh konseling MPASI terhadap perilaku Ibu dalam

memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan di Desa Tempursari

Kecamatan Kedungjajang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisa pengaruh konseling MPASI terhadap perilaku Ibu

dalam memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan di Desa Tempursari

Kecamatan Kedungjajang.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi perilaku ibu dalam pemberian MPASI padabayi usia 0-6

bulan sebelum diberikan konseling MPASI.

2. Mengidentifikasi perilaku ibu dalam pemberian MPASI pada bayi usia 0-6

bulan sesudah diberikan konseling MPASI.

3. Menganalisis Pengaruh Konseling MPASI Terhadap Perilaku Ibu Dalam

Memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan di Desa Tempursari

Kecamatan Kedungjajang.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menjelaskan pengaruh konseling MPASI

terhadap perilaku ibu dalam memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan
7

di Desa Tempursari Kecamatan Kedungjajang. Sehingga dapat

digunakan sebagai landasan pengembangan ilmu Keperawatan Anak

mengenai pemberian MPASI yang tepat.

1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan

Sebagai acuan bagi petugas kesehatan untuk bahan

pertimbangan melaksanakan intervensi keperawatan dengan berbasis

pengetahuan.

1.4.3 Bagi Lahan Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang

pentingnya makan pendamping untuk bayi pada umur yang tepat dan

sebagai arahan dalam mensosialisasikan pemberian asi secara ekslusif

serta pemberian makanan pendamping asi dimulai pada umur 6 bulan.

1.4.4 Bagi Responden Penelitian

Sebagai informasi kepada resposden terkait pengaruh konseling

MPASI terhadap perilaku ibu dalam memberikan MPASI pada bayi usia 0-

6 bulan di Desa Tempursari Kecamatan Kedungjajang.

1.4.5 Bagi Peneliti

Diharapkan penelitian ini sebagai tambahan informasi,

pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan penelitian yang

terkait dengan pengaruh konseling MPASI terhadap perilaku ibu dalam

memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan.


8

Anda mungkin juga menyukai