Anda di halaman 1dari 48

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu hal paling mengagumkan yang bisa dirasakan setelah

melahirkan adalah menyimak tahap perkembangan bayi 0 – 6 bulan yang

sangatlah pesat. Tahap-tahap yang juga dikenal dengan sebutan milestone

ini menandakan perkembangan fungsi organ dan anggota tubuh, serta

perubahan fisik pada si kecil. babyhuki.co.id.

Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, direkomendasikan

empat hal penting yang harus dilakukan. Pertama, memberikan air susu

Ibu (ASI) kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir.

Kedua, memberikan hanya ASI saja eksklusif sejak lahir sampai bayi

berusia 6 bulan. Ketiga, meneruskan pemberian ASI sampai berusia 24

bulan atau lebih. Keempat, memberikan MPASI sejak bayi berusia 6 bulan

sampai 24 bulan (Gatot, 2014).

Gangguan pencernaan, diare alergan dan Infeksi saluran

pencernaan merupakan dampak dari pemberian Makanan Pendamping ASI

yang terlalu dini. Selain itu morbiditas juga menjadi salah satu dampak

malnutrisi pada bayi yang berdampak dari MP-ASI yang tidak baik dan

teratur atau terlalu dini. ISPA yang diakibatkan dari MP-ASI yang terlalu

dini menjadi salah satu faktor terjadinya angka kematian bayi di indonesia

(Nana, 2013).
2

Makanan Pendamping ASI yang di berikan terlalu dini sebelum

bayi berusia ≥6 bulan dapat berisiko obesitas, serta asupan makanan dan

minuman kecuali ASI berakibat imunitas bayi menurun dan terjadi alergi

sehingga meningkatkan keadaan sakit pada bayi, sehingga mengganggu

tumbuh kembang bayi (Mutmainnah, 2010)

Sekitar 40% bayi di dunia mendapatkan ASI eksklusif sedangkan

60% sisanya telah mendapatkan makanan pendamping ASI saat berusia

kurang dari 6 bulan (WHO, 2017). Hal ini berarti praktik pemberian

makanan pendamping ASI dini di berbagai negara masih tinggi dan

sebaliknya pemberian ASI eksklusif masih rendah. Padahal, peningkatan

jumlah MPASI dini dan penurunan pemberian ASI eksklusif tidak hanya

terjadi di negara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018)

cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih jauh dari target yaitu

hanya 37,3%, mengalami penurunan dari 54,3% pada tahun 2013 dan

40,7% pemberian ASI eksklusif di perkotaan, hanya 33,6% diberikan oleh

orang yang tinggal di pedesaan, artinya pemberian makanan pendamping

ASI dini masih tinggi. Kemenkes RI tahun 2015 dalam mencapai target

Rencana Strategis (Renstra) 2015-2019 salah satunya cakupan ASI

Eksklusif 50% pada 2019 (KemenkesRI, 2015).

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,

pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai berusia 6 bulan hanya 38%.

Bayi yang mendapat ASI Eksklusif di Jawa Timur tahun 2015 sebesar

68,8%7 , mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2014


3

(72,89%), tetapi kembali meningkat pada tahun 2016 sebesar 75%. Data

capaian Bayi mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif di kabupaten

Lumajang pada tahun 2020 sekitar 87.4%.

Menurut Measure Demographic and Health Survey pada tahun

2017 diketahui bahwa pemberian MP-ASI pada bayi usia 0-1 bulan

sebanyak 49,3% dari 33 kelahiran bayi, usia 2-3 bulan 51%, dari 30

kelahiran dan usia 4-5 bulan sebesar 73% dari 23 kelahiran bayi

(DEPKES, RI, 2010). Makanan prelakteal yang paling sering di berikan

kepada bayi yang baru lahir yaitu susu formula 79,8% dari total jumlah

bayi usia ≥6 bulan (23 orang) (Mariani, et al., 2016).

Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan di posyandu Desa

Tempursari, Kedungjajang pada tanggal 10 Oktober 2022 dari beberapa

bayi usia 0-6 bulan hanya 58% bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif

selama 6 bulan dan 42% bayi mendapatkan MPASI. Sebagian besar alasan

dari ibu di Posyandu Desa Tempursari, Kedungjajang, ini memberikan

makanan tambahan dini kepada bayinya karena kurangnya pengetahuan

mereka tentang ASI Eksklusif dan makanan pendamping ASI.

MPASI adalah makanan dan minuman yang dilakukan kepada anak

usia 6-24 bulan untuk pemenuhan kebutuhan gizinya. WHO bersama

dengan Kementrian Kesehatan dan IDAI telah menegaskan bahwa usia

hingga 6 bulan hanya dilakukan ASI ekslusif saja. Oleh karena itu,

MPASI baru bisa diperkenalkan kepada bayi ketika bayi berusia 6 bulan

keatas. Tujuan dari pemberian MPASI adalah sebagai pelengkap zat gizi

pada ASI yang kurang dibandingkan dengan dengan usia anak yang
4

semakin bertambah (IDAI, 2018).

Berbicara soal pemberian MPASI tidak boleh terlalu dini (dibawah

umur bayi 6 bulan). Oleh sebab itu, MPASI harus diberikan pada bayi di

atas umur 6 bulan. Pada waktu umur diatas 6 bulan, lambung bayi sudah

bagus dan sudah mampu mencerna makanan secara baik. MPASI dini bisa

memberi dampak buruk bagi bayi seperti keram perut, iritasi saluran

pencernaan, diare, tersedak, dan lain sebagainya.

Konseling adalah suatu komunikasi dua arah antara konselor dan

klien yang bertujuan membantu klien untuk memutuskan apa yang akan

dilakukan dalam mengatasi masalah yang dialami oleh klien. Dalam

komunikasi tersebut konselor bukan memberi nasihat tetapi memberikan

informasi dan alternatif pemecahan masalah, selanjutnya klien memilih

dan memutuskan sendiri alternatif yang terbaik untuk dirinya (Depkes RI,

2007).

Dalam periode pemberian MPASI, bayi tergantung sepenuhnya

pada perawatan dan pemberian makanan oleh ibunya. Oleh karena itu,

pengetahuan dan sikap ibu sangat berperan, sebab pengetahuan tentang

MP-ASI dan sikap yang baik terhadap pemberian MPASI akan

menyebabkan seorang ibu mampu menyusun menu yang baik untuk

dikonsumsi oleh bayinya. Semakin baik pengetahuan gizi ibu maka ia akan

semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya

untuk dikonsumsi oleh bayinya. Oleh karena itu, konseling yang

dilakukan di poli Menajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan Gizi

sangat berperan dalam membantu orangtua bayi dan balita dalam


5

memahami pemberian MPASI, untuk meningkatkan pengetahuan ibu dan

sikap ibu dalam memahami pemberian MPASI yang tepat sesuai usia.

Penelitian yang dilakukan Aminah, dkk (2008) menyebutkan

bahwa program intervensi (stimulasi dan konseling) berperan penting

dalam pertumbuhan dan perkembangan balita. Selain itu, penelitian yang

dilakukan oleh Puspitasari (2009), menyebutkan bahwa metode konseling

dengan media KMS efektif dalam meningkatkan pengetahuan ibu

mengenai pertumbuhan balita. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Laksono (2009), menyebutkan bahwa pemberian konseling kepada ibu

dan keluarga yang dilakukan secara berkala, 2 kali sebulan selama 3 bulan,

dapat meningkatkan status gizi anak balita. Begitu juga penelitian yang

dilakukan Nurhayati (2007), menyebutkan bahwa Ibu yang diberi

konseling gizi akan mempunyai pengetahuan, sikap dan praktek yang

mendukung pemberian ASI eksklusif lebih baik dari pada yang tidak

diberikan konseling.

Secara umum konseling mempunyai peranan yang sangat besar

membantu klien dalam mengubah prilaku yang berkaitan dengan gizi,

sehingga status gizi dan kesehatan klien menjadi lebih baik (Supriasa,

2014). Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti “Pengaruh

Konseling MPASI Terhadap Perilaku Ibu Dalam Memberikan MPASI

pada bayi usia 0-6 bulan di Desa Tempursari Kecamatan Kedungjajang”.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah pengaruh konseling MPASI terhadap perilaku Ibu dalam


6

memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan di Desa Tempursari

Kecamatan Kedungjajang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisa pengaruh konseling MPASI terhadap perilaku Ibu

dalam memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan di Desa Tempursari

Kecamatan Kedungjajang.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi perilaku ibu dalam pemberian MPASI padabayi usia 0-6

bulan sebelum diberikan konseling MPASI.

1.3.2.2 Mengidentifikasi perilaku ibu dalam pemberian MPASI pada bayi usia 0-6

bulan sesudah diberikan konseling MPASI.

1.3.2.3 Menganalisis Pengaruh Konseling MPASI Terhadap Perilaku Ibu Dalam

Memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan di Desa Tempursari

Kecamatan Kedungjajang.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menjelaskan pengaruh konseling MPASI

terhadap perilaku ibu dalam memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan

di Desa Tempursari Kecamatan Kedungjajang. Sehingga dapat digunakan

sebagai landasan pengembangan ilmu Keperawatan Anak mengenai

pemberian MPASI yang tepat.


7

1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan

Sebagai acuan bagi petugas kesehatan untuk bahan pertimbangan

melaksanakan intervensi keperawatan dengan berbasis pengetahuan.

1.4.3 Bagi Lahan Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang

pentingnya makan pendamping untuk bayi pada umur yang tepat dan

sebagai arahan dalam mensosialisasikan pemberian asi secara ekslusif

serta pemberian makanan pendamping asi dimulai pada umur 6 bulan.

1.4.4 Bagi Responden Penelitian

Sebagai informasi kepada resposden terkait pengaruh konseling

MPASI terhadap perilaku ibu dalam memberikan MPASI pada bayi usia 0-

6 bulan di Desa Tempursari Kecamatan Kedungjajang.

1.4.5 Bagi Peneliti

Diharapkan penelitian ini sebagai tambahan informasi,

pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan penelitian yang terkait

dengan pengaruh konseling MPASIterhadap perilaku ibu dalam

memberikan MPASI pada bayi usia 0-6 bulan.


8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Konseling

2.1.1 Pengertian

Konseling (counsel) berasal dari bahasa Latin consilium yang

berarti “bersama-sama” atau “bercakap bersama”. Kata konseling menurut

WHO (1993) terkadang diterjemahkan berbeda. Beberapa bahasa

menerjemahkan konseling sebagai pemberian nasihat (advising).

Konseling dari sekedar member nasehat sederhana, maka dia akan

mengatakan apa yang dipikirkan dan apa yang harus dikerjakan. Hal ini

berbeda apabila seseorang melakukan konseling, maka dia tidak akan

mengatakan apa yang harus dilakukan, tetapi akan membantu memutuskan

apa yang terbaik bagi dirinya.

Konseling adalah suatu komunikasi dua arah antara konselor dan

klien yang bertujuan membantu klien untuk memutuskan apa yang akan

dilakukan dalam mengatasi masalah yang dialami oleh klien. Dalam

komunikasi tersebut konselor bukan memberi nasihat tetapi memberikan

informasi dan alternatif pemecahan masalah, selanjutnya klien memilih

dan memutuskan sendiri alternatif yang terbaik untuk dirinya (Depkes RI,

2007).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia konseling adalah pemberian

bantuan dari konselor kepada konseli sedemikian rupa sehingga


9

pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri meningkat dalam

memecahkan masalah, (pusat bahasa Bepdiknas, 2002).

Definisi konseling sekarang ini lebih menekankan pada kualitas hubungan

antara konselor dan klien. Definisi konseling menurut Jones (dalam

Surya) sebagai suatu hubungan yang biasanya bersifat individual atau

seorang-seorang, meskipun kadang-kadang melibatkan lebih dari dua

orang dan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas

pandangan terhadap ruang lingkup hidupnya sehingga dapat membuat

pilihan yang bermakna bagi dirinya. Surya (2003) berpendapat bahwa

konseling merupakan sesuatu hubungan yang bersifat membantu, yaitu

interaksi antara konselor dan klien merupakan suatu kondisi yang

membuat klien terbantu dalam mencapai perubahan yang lebih baik.

Pengertian konseling menurut American School Conselor Association

(ASCA) (dalam Ali M. 2007) adalah hubungan tatap muka yang bersifat

rahasia, penuh dengan rahasia penerimaan dan pemberian kesempatan dari

konselor kepada klien, konselor mempergunakan pengetahuan dan

keterampilannya untuk membantu kliennya mengatasi masalah-

masalahnya.

Adanya perbedaan definisi konseling menurut (Ali M, 2007)

ditimbulkan karena perkembangan ilmu konseling itu sendiri, juga

disebabkan oleh perbedaan pandangan ahli yang merumuskan tentang

konseling dan aliran dan teori yang dianutnya. Dalam bidang konseling

terdapat berbagai aliran dan teori, yang kemudian dikelompokkan ke

dalam beberapa model kategori pula. Ada ahli yang mengklasifikasikan


10

konseling berdasarkan fungsinya menjadi tiga kelompok, yaitu: suportif,

reedukatif, dan rekonstuktif. Konseling juga dibedakan berdasarkan

metodenya, yaitu metode direktif dan non-direktif. Pengelompokkan

konseling ada pula yang mengatakan penekanan masalah yang dipecahkan,

yaitu: penyesuaian pribadi, pendidikan dan karir. Pengelompokkan

konseling berdasarkan pada kawasan atau ranah perilaku yang merupakan

kepeduliannya, yaitu konseling yang berorientasi pada ranah kognitif dan

ranah afektif.

Konseling yang berhubungan dengan perilaku akan lebih efektif

apabila menggunakan teknik konseling individual. Konseling individual

adalah kunci semua kegiatan yang bermakna pertemuan konselor dengan

klien secara individual dan konselor berupaya memberikan bantuan untuk

mengembangkan pribadi klien serta klien dapat mengantisipasi masalah-

masalah yang dihadapinya (Sofyan 2004).

Konseling individual merupakan kunci intervensi dan dapat

dilakukan oleh kelompok, pekerja kesehatan, tenaga sukarela, atau diluar

anggota keluarga. Seorang konselor perlu mempunyai pengetahuan dan

keterampilan, kemampuan mengungkapkan sesuatu sehingga menjadi

suatu yang mudah diterima, dan bisa memberikan inspirasi kepada ibu

dengan kemampuan konselor tersebut. Kunjungan rumah (home visit),

kelompok pertemuan, sesi monitoring pertumbuhan dan sesi memasak

merupakan peluang yang baik untuk berbagi informasi dan untuk

konseling individu (WHO, 2003).

Konseling gizi menurut Gustafron (http://www.eaitright.org)


11

merupakan proses yang berkelanjutan yang dilakukan oleh tenaga ahli,

biasanya seorang ahli diet, bekerja secara individual untuk menilai asupan

makan dan mengidentifikasi area perubahan yang diperlukan. Konselor

gizi memberikan informasi, materi pendidikan, dukungan dan ikut

membantu individu membuat dan memelihara perubahan diet yang

dibutuhkan.

Tujuan dari konseling gizi adalah menolong seseorang membuat

dan memelihara perubahan pengetahuan makan. Seseorang yang

mempunyai masalah gizi, memerlukan perubahan untuk makan yang lebih

sehat. Seorang konselor menurut Sofyan (2004) akan mendengarkan apa

yanga dikatakan kliennya, dan konselor mencoba memahami apa yang

klien rasakan. Konselor membantu klien untuk meningkatkan

kepercayaan, sehingga klien dapat mengontrol situasi yang diinginkan.

Hubungan konseling bersifat interpersonal. Hubungan konseling

terjadi dalam bentuk wawancara secara tatap muka antara konselor dengan

klien. Hubungan itu tidak hanya dari kedua belah pihak yang meliputi:

pikiran, perasaaan, pengalaman, nilai-nilai, kebutuhan, harapan, dan lain-

lain.

Keefektifan konseling sebagia besar ditentukan oleh kualitas

hubungan antara konselor dengan kliennya. Dilihat dari segi konselor,

kualitas hubungan itu tergantung kemampuannya dalam menerapkan

teknik-teknik konseling dan kualitas pribadinya.

2.1.2 Tujuan Konseling

Membantu orang tua klien (bayi atau anak) dalam melihat


12

permasalahannya supaya lebih jelas sehingga klien dapat memilih sendiri

jalan keluarnya.

2.1.3 Karakteristik konseling

Carl Rogers (1971), menyebutkan tiga karakterisitik konselor

yang efektif adalah:

2.1.3.1 Congruence (Genuineness, Authenticity)

Kongruensi itu sangat penting sebagai dasar sikap yang harus

dipunyai oleh seorang konselor. Ia harus paham tentang dirinya sendiri,

berarti pikiran, perasaan dan pengalamannya haruslah serasi. Kalau

seseorang mempunyai pengalaman marah, maka perasaan dan pikirannya

harus marah, yang tercermin pula dalam tindakannya. Ia harus memahami

bias-bias yang ada dalam dirinya, prasangka- prasangka yang mewarnai

pikirannya. Ia harus tau kelemahan dan aset- aset yang dipunyainya. Kalau

ia menyadari hal ini, ia dapat membuat pembedaan antara dirinya dan

orang lain. Ia tahu bahwa orang lain bukanlah dirinya.

2.1.3.2 Unconditional positive regard (Acceptance)

Penerimaan tanpa syarat atau respek kepada klien harus mampu

ditunjukan oleh seorang konselor kepada kliennya. Ia harus dapat

menerima bahwa orang-orang yang dihadapinya mempunyai nilai-nilai

sendiri, kebutuhan-kebutuhan sendiri yang lain dari pada yang dimiliki

olehnya.

Asumsi dasar yang melandasi Acceptande adalah :

a. Individu mempunyai infinite worth and dignity. Individu mempunyai


13

harkat dan martabat yang tak terbatas.

b. Adalah hak manusia untuk membuat keputusannya sendiri dan untuk

menjalani hidupnya sendiri.

c. Orang mempunyai kamampuan atau potensi untuk memilih secara

bijaksana, dan menjalani hidup yang teraktualisasi dan bermakna

secara sosial.

d. Setiap orang bertanggung jawab untuk hidupnya sendiri.

2.1.3.3 Empati

Empati adalah konsep yang sepertinya mudah dipahami sulit untuk

dicerna. Empati itu sangat sederhana, yaitu dengan memahami orang lain

dari sudut kerangka berpikir orang lain tersebut, empati yang dirasakan

harus juga diekspresikan, dan orang yang melakukan empati harus yang

“kuat”, ia harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri, tetapi ia tidak

pula boleh terlarut di dalam nilai-nilai orang lain.

Baruth dan Robinson III (1987), menyebutkan beberapa karakteristik

konselor yang efektif sebagai berikut :

a. Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya.

b. Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin dalam

diri orang yang akan dibantunya.

c. Mampu “menjangkau” kedalam dan keluar.

d. Berkeinginan mengkomunikasikan caring dan respek untuk orang

yang sedang dibantunya.

e. Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang

dibantunnya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri.


14

f. Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan

mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya.

g. Mampu memahami tingkah laku orang yang akan dibantunya tanpa

menerapkan value judgments.

h. Mampu melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam

kerangka system.

i. Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal- hal

yang terjadi di dunia.

j. Mampu mengidentifikasi pola-pola tingakh laku yang self- defeating,

yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku

yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku

yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang lebih

memuaskan.

2.1.4 Media Konseling

Media merupakan saluran komunikasi untuk menyampaikan pesan

(FOA 1994). Hal ini diperlukan utuk membedakan antara dua saluran

komunikasi yaitu tatap muka (face to face) dan media masa (mass media).

Konseling menggunakan saluran komunikasi tatap muka. Komunikasi

yang dilakukan dalam tatap muka adalah secara lisan, sehingga suara

merupakan organ komunikasi. Untuk mendukung dalam proses

komunikasi tatap muka, maka sangat dianjurkan menggunakan bantuan

media pendukung dalam bentuk hasil cetakan, gambar dan audio-visual.

Media pendukung ini akan menjadi mengayaan bagi konselor dan bagi

klien.
15

2.1.4.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam bahasa Inggris

Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu

manajemen melalui pendekatan terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana

balita sakit yang datang di pelayanan kesehatan, baik mengenai beberapa

klasifikasi penyakit, status gizi, status imunisasi maupun penanganan

balita sakit tersebut dan konseling yang diberikan (surjono et al, wijaya,

2009, Depkes RI, 2008).

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) merupakan pendekatan

keterpaduan dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat kefasilitas

rawat jalan pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya kuratif

terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria DHF, infeksi

telinga, malnutrisi, pemberian vitamin A dan konseling pemberian makan

yang bertujuan untuk menurunkan Angka Kematian Bayi dan Anak Balita

serta menekan morbilitas untuk penyekit tersebut (Depkes RI, 2005).

2.1.4.2 Konseling Dalam MTBS

Konseling merupakan sebuah upaya pemberian bantuan dari

konselor kepada klien, bantuan di sini dalam pengertian sebagai upaya

membantu orang lain agar ia mampu tumbuh ke arah yang dipilihnya

sendiri, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu

menghadapi krisis-krisis yang dialami dalam kehidupannya (Yusuf &

Juntika, 2005).

Pengertian konseling tidak dapat dipisahkan dengan bimbingan

karena keduanya merupakan sebuah keterkaitan. (Muhamad Surya, 1988)


16

mengungkapkan bahwa konseling merupakan bagian inti dari kegiatan

bimbingan secara keseluruhan dan lebih berkenaan dengan masalah

individu secara pribadi. Konseling dalam alur MTBS, pemberian konseling

menjadi unggulan sekaligus pembeda dari alur pelayanan sebelum MTBS.

Materi meliputi kepatuhan minum obat, cara minum obat, menasehati cara

pemberian makanan sesuai umur, memberi nasehat kapan melakukan

kunjungan ulang atau kapan harus kembali segera. Dengan pemberian

konseling diharapkan pengantar atau ibu pasien mengerti penyakit yang

diderita, cara penanganan anak di rumah, Magester Kebijakan dan

Manajemen Pelayanan Kesehatan memperhatikan perkembangan penyakit

anaknya sehingga mengenali kapan harus segera membawa anaknya ke

petugas kesehatan serta diharapkan memperhatikan tumbuh kembang anak

dengan cara memberikan makanan sesuai umurnya. Semua pesan tersebut

tercermin dalam Kartu

Nasehat Ibu (KNI) yang diberikan setelah ibu atau pengantar balita

sakit mendapatkan konseling. Ini untuk pengingat pesan- pesan yang

disampaikan serta menjadi pengingat cara perawatan dirumah.

2.1.5 Hal-hal Dalam Konseling

Menurut Enjang AS (2009) Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai

konselor adalah:

2.1.5.1 Kesiapan Konseling

Faktor yang mempengaruhi kesiapan konseling adalah motivasi

memperoleh bantuan, pengetahuan klien tentang konseling, kecakapan


17

intelektual, tingkat tilikan terhadap masalah, dan harapan terhadap

peran konselor.

2.1.5.2 Hambatan dalam persiapan konseling:

a. Penolakan,

b. Situasi fisik

c. Pengalaman konseling yang tidak menyenangkan,

d. Pemahaman konseling kurang,

e. Pendekatan kurang,

f. Iklim penerimaan pada konseling kurang.

2.1.5.3 Penyiapan klien:

a. Orientasi pra konseling,

b. Teknik survey terhadap masalah klien,

c. Memberikan informasi pada klien,

d. Pembicaraan dengan berbagai topik,

e. Menghubungi sumber-sumber referal.

2.1.5.4 Memperoleh Riwayat Kasus

Riwayat kasus merupakan kumpulan informasi sistematis

tentang kehidupan sekarang dan masa lalu. Riwayat kasus, biasanya

tercatat dalam rekam medis.

2.1.5.5 Psikodiagnostik

Psikodiagnostik meliputi pernyataan masalah klien, perkiraan

sebab- sebab kesulitan, kemungkinan teknik konseling, perkiraan hasil

konseling.

2.1.6 Proses Konseling


18

Hubungan antara konselor dan klien adalah inti proses konseling.

Proses konseling meliputi :

2.1.6.1 Pembinaan dan pemantapan hubungan baik (rapport)

“En rapport” mempunyai makna saling memahami dan mengenal

tujuan bersama. Tujuannya adalah menjembatani hubungan antara

konselor dengan klien, sikap penerimaan dan minat yang

mendalam terhadap klien dan masalahnya.

a. memberikan salam, memperkenalkan diri,

b. topik pembicaraan yang sesuai,

c. menciptakan suasanan yang aman dan nyaman,

d. sikap hangat,

e. realisasi tujuan bersama,

f. menjamin kerahasiaan,

g. kesadaran terhadap hakekat klien.

2.1.6.2Pengumpulan dan pemberian informasi

Pengumpulan dan pemberian informasi merupakan tugas dari

konselor. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

a. mendengar keluhan klien,

b. mengamati komunikasi non verbal klien,

c. bertanya riwayat kesehatan,

d. latar belakang keluarga, dan masalah,

e. memberikan penjelasan masalah yang dihadapinya.

2.1.6.3 Perencanaan, pengambilan keputusan dan pemecahan masalah


19

Apabila data telah lengkap, maka konselor membantu klien untuk

memecahkan masalah atau membuat perencanaan dalam pemecahan

masalahnya.

Tahapan dalam memecahkan masalah adalah:

a. menjajagi masalah (menetapkan masalah yang dihadapi klien),

b. memahami masalah (mempertegas masalah yang sesungguhnya),

c. membatasi masalah (menetapkan batas-batas masalah),

d. menjabarkan alternatif pemecahan masalah,

e. mengevaluasi alternatif (menilai setiap alternatif dg analisis SWOT),

f. memilih alternatif terbaik,

g. menerapkan alternatif dan menindaklanjuti pertemuan.

2.1.7 Langkah-Langkah Pelaksanaan Konseling

Menurut (Hidayat, 2009) Konseling Pemberian Makan pada Anak

dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

2.1.7.1 Lakukan evaluasi tentang cara memberikan makanan pada anak dengan

menanyakan cara menyusui anak berapa kali sehari, apakah pada malam

hari juga menyusui, kemudian apakah anak mendapatkan makanan atau

minuman lain. Apabila berat badan berdasarkan usia sangat rendah, dapat

ditanyakan berapa banyak makanan atau minuman yang diberikan pada

anak, apakah anak mendapat makan tersendiri dan bagaimana caranya,

apakah selama sakit makanan diubah, dan lain-lain.

2.1.7.2 Menganjurkan cara pemberian makanan pada ibu antara lain sebagai
20

berikut:

a. Usia sampai 6 bulan caranya adalah berikan ASI sesuai keinginan

anak, paling sedikit 8 kali, jangan diberikan makanan selain ASI.

b. Usia 6 bulan caranya adalah berikan ASI sesuai dengan keinginan

anak paling sedikit 8 kali, berikan makanan pendamping ASI 2 kali

sehari sebanyak 2 sendok. pemberiannya setelah pemberian ASI,

makanan pendamping dapat berupa bubur tim ditambah ditambah

kuning telur/ayam/ikan/tempe/tahu/ daging sapi/ wortel/ bayam/

kacang hijau/ santan/ minyak.

c. Usia 6-12 bulan caranya adalah berikan ASI sesuai dengan keinginan

anak, berikan bubur nasi ditambah telur/ayam/ikan/tempe/tahu/ daging

sapi/ wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/ minyak, diberikan 3 kali

dengan ketentuan pada usia 6 bulan diberikan 6 sendok makan, usia 7

bulan diberikan 7 sendok makan, usia 8 bulan diberikan 8 sendok

makan, usia 9 bulan diberikan 9 sendok makan, usia 10 bulan

diberikan 10 sendok makan, usia 11 bulan diberikan 11 sendok makan

serta diberikan makanan selingan 2 kali sehari, seperti bubur kacang

hijau, pisang, biscuit, nagasari, dan lain-lain.

d. Usia 12-24 bulan caranya adalah berikan ASI sesuai dengan keinginan

anak, berikan nasi lembek ditambah telur/ ayam/ ikan/ tempe/ tahu/

daging sapi/ wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/ minyak,berikan

makanan tersebut 3 kali sehari dan juga berikan makanan selingan 2

kali sehari seperti kacang hijau, pisang, biscuit, nagasari, dan lain-lain.

e. Usia 2 tahun lebih caranya adalah berikan makanan yang dimakan


21

oleh keluarga 3 kali sehari yang terdiri atas nasi, lauk pauk, sayur,

dan buah. Berikan makanan yang bergizisebagai selingan 2 kali

sehari seperti kacang hijau, biscuit, nagasari, dan berikan makanan

selingan diantara waktu makanan pokok.

f. Apabila bayi usia kurang 4 bulan dan mendapatkan makanan selain

ASI, maka berikan motivasi terhadap kepercayaan bahwa ibu mampu

memproduksi ASI sesuai kebutuhan anak dan anjurkan untuk sering

memberikan ASI.

g. Apabila ibu menggunakan botol dalam pemberian susu, maka

anjurkan untuk menggantikan botol dengan gelas atau cangkir.

h. Apabila anak tidak diberikan makan secara aktif, maka nasehati ibu

agar duduk disamping anak dan membujuk supaya mau makan serta

mengamati apa yang disukai anak dengan mempertimbangkan tentang

makanan yang diperbolehkan.

i. Apabila anak tidak diberi makan dengan baik selama sakit, maka

nasehati ibu untuk memberikan ASI lebih sering dan lebih lama serta

memberikan makan secara variasi dan berikan dalam porsi sedikit tapi

sering.

2.1.7.3 Menurut (Novelasari, 2010) langkah-langkah konseling yaitu :

a. Persiapan konseling

1) Pengumpulan data

2) Pengkajian dan identifikasi data

3) Kesimpulan hasil identifikasi masalah klien

b. Perencanaan konseling
22

1) Pengkajian kebutuhan gizi klien

2) Menetapkan tujuan : tujuan harus jelas, rasional, menyesuaikan

kebutuhan klien, dibuat berdasarkan perubahan perilaku dan sesuai

dengan target waktu.

3) Sasaran : klien dan keluarganya.

4) Materi : disesuaikan dengan permasalahan klien, diawali dengan

penjelasan tentang hal-hal yang mudah sampai ke yang rumit.

5) Metode : metode yang digunakan adalah menggabungkan berbagai

metode seperti: diskusi dan tanya jawab, demonsterasi dan lain-

lain.

6) Media : sebaiknya menggunakan lebih dari satu media seperti:

leaflet, food model, dan lain-lain

c. Pelaksanaan konseling (Implementasi konseling)

1) Klien datang

2) Klien diterima oleh petugas untuk dilakukan pengukukan

antropometri.

3) Petugas mencatat data klien

4) Tahap penjelaasan: food recall 24 jam untuk memperoleh

gambaran pola makanan kebiasaan makan, jumlah yang dimakan

dengan daftar konsumsi makanan 24 jam, frekuensi makan tiap

hari dengan menggunakan daftar food frequency, cek kembali

kebenaran masukan makanan 24 jam dengan anamnesa kualitatif.

5) Tahap pemecahan masalah

6) Rencana pemberian diet yag sesuai untuk anak


23

7) Penjelasan diet yang tepat untuk anak

8) Kesimpulan: penjelasan kembali bagian yang penting untuk diingat

klien dalam menjalankan diet yang diberikan, memberikan

motivasi untuk merubah kebiasaan makan yang dapat dilakukan

secara bertahap, tidak menekankan kepada kegagalan tetapi kepada

kesuksesan, memberikan harapan yang realistis, membuat rencana

kunjungan ulang bersama klien, menentukan waktu kunjungan

berikutnya, lakukan pencatatan pada dokumen medik dan dokumen

gizi klien tentang anjuran diet, hasil anmanesa, kebiasaan makan,

rencana tindak lanjut

d. Evaluasi konseling: evaluasi pemahaman dan pengetahuan orang tua

anak dalam pemberian makan pada anak.

2.2 Konsep Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)

2.2.1 Pengertian MPASI

Defenisi Makanan Pendamping ASI MPASI adalah makanan atau

minuman selain ASI yang mengandung nutrisi yang diberikan kepada bayi

setelah bayi siap atau berusia 6 bulan. MPASI merupakan makanan

tambahan bagi bayi. Makanan ini harus menjadi pelengkap dan dapat

memenuhi kebutuhan bayi. Hal ini menunjukkan bahwa MPASI berguna

untuk menutupi kekurangan zat gizi yang terkandung dalam ASI ( Molika,

2014).

Makanan Pendamping ASI (MPASI) adalah makanan atau

minuman yang mengandung gizi diberikan kepada bayi atau anak usia 4-6

bulan, guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI. MPASI merupakan


24

makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan

pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun

jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi (Mufida, 2015). Makanan

Pendamping ASI merupakan makanan tambahan bagi bayi. Peranan

makanan pendamping ASI sama sekali bukan untuk menggantikan ASI

melainkan hanya melengkapi ASI (Waryana, 2015).

Jadi dapat disimpulkan bahwa MPASI adalah makanan

pendamping ASI berupa makanan atau minuman yang diberikan kepada

bayi berusia 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan tumbuh

kembang bayi, dimana ASI masih menjadi menu utama bagi bayi hingga

24 bulan.

2.2.2 Tujuan Pemberian MP-ASI

Menurut Diana (2013) mulai mengkonsumsi makanan padat

merupkan langakah besar bagi bayi untuk mulai menapaki dunia rasa dan

tekstur makanan-makanan baru, dan menjadi dasar terjalinnya hubungan

yang baik antara bayi dengan makanannya.

Menurut (Molika, 2014) tujuan pemberian MPASI diantaranya :

2.2.2.1 Melengkapi zat gizi yang kurang karena kebutuhan zat gizi yang semakin

meningkat sejalan dengan pertambahan umur anak.

2.2.2.2 Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam

makan dengan berbagai bentuk, tekstur dan rasa.

2.2.2.3 Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan.

2.2.2.4 Mencoba beradaptasi terhadap makanan dengan kadar energi tinggi.

2.2.3 Syarat MPASI


25

Makanan pendamping ASI menurut (Waryana, 2015) sebaiknya

memenuhi persyaratan sebagai berikut :

2.2.3.1 Memiliki nilai energi dan kandungan protein yang tinggi.

2.2.3.2 Memiliki nilai suplementasi yang baik serta megandung vitamin dan

mineral dalam jumlah yang cukup.

2.2.3.3 Dapat diterima oleh alat pencernaan bayi dengan baik.

2.2.3.4 Harganya relatif murah

2.2.3.5 Sebaiknya dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal.

2.2.3.6 Bersifat padat gizi.

2.2.3.7 Kandungan serat kasar yang sukar dicerna dalam jumlah yang dikit.

2.2.4 Jenis MPASI

Menurut (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia., 2017) jenis

MPASI yang dapat diberikan adalah :

2.2.4.1 Makanan Lumat (6-9 bulan)

2.2.4.2 Makanan lumak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air dan

tampak berair, contoh : bubur susu, bubur sumsum, pisang saring/kerok,

pepaya saring, tomat saring dan nasi tim saring.

2.2.4.3 Makanan Lunak (9-12 bulan)

2.2.4.4 Makanan lunak adalah makanan yang dihancurkan atau disaring tampak

kurang merata dan bentuknya lebih kasar dari makanan lumat halus,

contoh : bubur nasi, bubur ayam, nasi tim dan kentang puri.

2.2.4.5 Makanan Padat (12-24 bulan)

Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak tampak berair dan

biasanya disebut makanan keluarga, contoh : lontong, nasi tim, kentang


26

rebus dan biskuit.

2.2.5 Cara Pemberian MPASI

Menurut (UNICEF, 2014) cara pemberian MP-ASI yang tepat dan

benar sesuai dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) agar terhindar

dari penyakit infeksi seperti diare yaitu sebagai berikut :

2.2.5.1 Ibu mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan dan

memberikannya pada bayi

2.2.5.2 Ibu dan bayi mencuci tangan sebelum makan

2.2.5.3 Ibu mencuci tangan dengan sabun setelah ke toilet dan setelah

membersihkan kotoran bayi.

2.2.5.4 Mencuci bahan bahan makanan (sayuran, beras, ikan, daging, dll) dengan

air mengalir sebelum diolah menjadi makanan yang akan diberikan kepada

bayi.

2.2.5.5 Mencuci kembali peralatan dapur sebelum dan sesudah digunakan untuk

memasak.

2.2.5.6 Peralatan makan bayi seperti mangkuk, sendok dan cangkir harus dicuci

kembali sebelum digunakan oleh bayi.

2.2.5.7 Jangan menyimpan makanan yang tidak dihabiskan bayi karena ludah

yang terbawa oleh sendok bayi akan menyebarkan bakteri.

Memberikan makanan pendamping ASI sebaiknya diberikan secara

bertahap baik dari tekstur maupun jumlah porsinya. Kekentalan makanan

dan jumlah harus disesuaikan dengan keterampilan dan kesiapan dalam

menerima makanan. Pada awal pemberian tekstur makanan diberikan


27

makanan cair dan lembut, kemudian setelah bayi bisa menggerakkan lidah

dan proses mengunyah, bayi sudah dapat diberikan makanan semi padat.

Sedangkan untuk makanan padat diberikan ketika bayi sudah tumbuh gigi

geligi. Porsi makanan bayi juga berangsur-angsur bertambah (Waryana,

2015).

2.2.6 Waktu pemberian MPASI

Untuk memulai pemberian MP-ASI yang terpenting adalah

kesiapan bayi untuk dapat menerimanya. Menurut (Riksani, 2012) tanda-

tanda yang dapat diperhatikan pada bayi yang menunjukkan kesiapan

untuk menerima makanan pendamping ASI yaitu sebagai berikut :

a. Bayi dapat menegakkan dan mengontrol kepalanya dengan baik.

b. Bayi dapat duduk dengan bersandar tanpa bantuan.

c. Bayi menunjukkan minat terhadap makanan keluarga, seperti

memperhatikan ibu yang sedang makan dan berusaha meraih makanan

tersebut.

Menurut (Maryunani, 2015) usia yang tepat untuk pemberian

makanan pendamping ASI yaitu :

a. Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian makanan pendamping ASI

memberikan perlindungan besar dari berbagai penyakit.

b. Hal ini disebabkan sistem imun bayi kurang dari 6 bulan belum

sempurna sehingga pemberian MP-ASI dini sama halnya dengan

membuka pintu gerbang untuk masuknya berbagai jenis kuman dan

penyakit.

c. Belum lagi jika pemberian makanan pendamping ASI yang disajikan


28

tidak hygienis akan meningkatkan resiko terserang diare, sembelit,

batuk-pilek dan panas dibandingkan bayi yang hanya mendapat ASI

ekslusif.

Alasan pemberian MP-ASI pada usia 6 bulan disebabkan karena

makanan padat lebih sulit ditelan dan dicerna oleh bayi yang masih berusia

dibawah 6 bulan. Memberikan MP-ASI sebelum waktunya dapat

meningkatkan resiko masalah kesehatan seperti alergi, diare dan sembelit

karena lambung bayi belum mampu mencerna makanan padat (Gabriela,

2018).

2.2.7 Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengenalan MPASI

Menurut (Molika, 2014) menyebutkan hal- hal yang perlu

diperhatikan dalam pengenalan MP-ASI adalah sebagai berikut :

2.2.7.1 MP-ASI diberikan sedikit demi sedikit, misalnya 2-3 sendok pada saat

pertamanya, dan jumlahnya bisa ditambah seiring perkembangan bayi

agar terbiasa dengan teksturnya.

2.2.7.2 Pemberian MP-ASI dilakukan di selasela pemberian ASI dan dilakukan

secara bertahap. Misalnya untuk pertama diberikan 1 kali dalam sehari,

kemudian meningkat menjadi 3 kali dalam sehari.

2.2.7.3 Tepung beras sangat baik digunakan sebagai bahan MP-ASI karena

sangat kecil kemungkinannya menyebabkan alergi pada bayi. Tepung

beras yang baik berasal dari beras pecah kulit yang lebih banyak

kandungan gizinya.

2.2.7.4 Pengenalan sayuran sebaiknya didahulukan daripada pengenalan buah,

karena rasa buah yang lebih manis dan lebih disukai bayi, sehingga jika
29

buah dikenalkan terlebih dahulu, dikhawatirkan akan ada kecenderungan

bayi untuk menolak sayur yang rasanya lebih hambar.

2.2.7.5 Hindari penggunaan garam dan gula. Utamakan memberikan MP-ASI

dengan rasa asli makanan, karena bayi usia 6-7 bulan, ginjalnya belum

berfungsi sempurna. Untuk selanjutnya, gula dan garam bisa

ditambahkan tetapi tetap dalam jumlah yang sedikit saja. Sedangkan

untuk merica bisa ditambahkan setelah anak berusia 2 tahun.

2.2.7.6 Untuk menambah cita rasa MP-ASI bisa menggunakan kaldu ayam, sapi

atau ikan yang dibuat sendiri, serta bisa juga ditambahkan berbagai

bumbu seperti daun salam, daun bawang, seledri.

2.2.7.7 Jangan terlalu banyak mencampur jenis makanan pada awal pemberian

MP-ASI. Berikan secara bertahap 2-4 hari untuk mengetahui reaksi bayi

terhadap setiap makanan yang diberikan dan mengetahui jika bayi

memiliki alergi terhadap makanan tertentu.

2.2.7.8 Perhatikan bahan makanan yang sering menjadi pemicu alergi seperti

telur, kacang, ikan, susu dan gandum.

2.2.7.9 Telur bisa diberikan kepada bayi sejak usia 6 bulan, tetapi pemberiannya

bagian kuning terlebih dahulu karena bagian putih telur dapat memicu

alergi.

2.2.7.10 Madu sebaiknya diberikan pada usia lebih dari 1 tahun karena madu

seringkali mengandung suatu jenis bakteri yang bisa menghasilkan racun

pada saluran cerna bayi yang dikenal sebagai toksin botulinnum (infant

botulism).

2.2.8 Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian MPASI Dini


30

2.2.8.1 Faktor predisposisi

a. Usia Menurut Hurlock dalam (Chairani, 2013) usia dapat

mempengaruhi cara berfikir, bertindak dan emosi seseorang. Usia

yang lebih dewasa umumnya memiliki emosi yang stabil

dibandingkan dengan usia yang lebih muda.

b. Pendidikan Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

cenderung memberikan susu botol lebih dini dan ibu yang mempunyai

pendidikan formal lebih banyak memberikan susu botol pada usia 2

minggu dibanding ibu tanpa pendidikan formal. Tingkat pendidikan

mempengaruhi cara berpikir dan berprilaku (Nauli, 2012).

c. Pengetahuan Pengetahuan ibu tentang kapan pemberian makan

tambahan, fungsi makanan tambahan, makanan tambahan dapat

meningkatkan daya tahan tubuh dan risiko pemberian makanan pada

bayi kurang dari 6 bulan sangatlah penting. Tingkat pendidikan

mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi (Nauli, 2012).

d. Pekerjaan Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan

maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau

keuntungan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibu yang belum

bekerja sering 20 memberikan makanan tambahan dini dengan alasan

melatih atau mencooba agar pada waktu ibu mulai bekerja bayi sudah

terbiasa (Nauli, 2012).

e. Pendapatan Tingkat pendapatan keluarga berhubungan dengan

pemberian MPASI dini. Penghasilan keluarga yang lebih tinggi

berhubungan positif secara signifikan dengan pemberian susu botol


31

pada waktu dini dan makanan buatan pabrik (Nauli, 2012).

2.2.8.2 Faktor pendorong

Pengaruh iklan, media massa khususnya televisi dan radio

memiliki pengaruh yang besar terhadap pemberian susu formula, karena

pada iklan media tersebut produsen berusaha menampilkan beberapa

kelebihan dari beberapa produk mereka yang sangat penting bagi

pertumbuhan bayi, sehingga seringkali ibu beranggapan bahwa susu

formula lebih baik dari asi (Chairani, 2013).

2.2.8.3 Faktor pendukung

a. Dukungan petugas kesehatan Petugas kesehatan sangat berperan

dalam memotivasi ibu untuk tidak memberi makanan tambahan pada

bayi usia kurang dari 6 bulan. Dengan dilakukannya penyuluhan dan

pendekatan yang baik kepada ibu yang memiliki bayi usia kurang dari

6 bulan maka pada umumnya ibu mau patuh dan menuruti nasehat

petugas kesehatan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan

menjadi sumber informasi tentang kapan 21 waktu yang tepat

memberikan makanan tambahan dan risiko pemberian makanan

tambahan dini pada bayi (Nauli, 2012).

b. Dukungan keluarga Menurut Chairani (2013) mengungkapkan bahwa

lingkungan keluarga adalah lingkungan yang sangat berpengaruh

terhadap keberhasilan ibu menyusui bayinya secara ekslusif.

2.2.9 Dampak Pemberian MPASI Dini

Kebanyakan orangtua dengan berbagai alasan memberikan MPASI

kurang dari 6 bulan, diantaranya yang paling sering adalah si bayi masih
32

kelaparan meski sudah diberu susu dan terus rewel. padahal bisa jadi bayi

menangis karena merasa tidak nyaman atay penyebab lainnya. pemberian

MP-ASI lebih awal dapat menimbulkan berbagai risiko penyakit bagi bayi

(Rakyat, 2012).

Dampak pemberian MP-ASI terlalu dini menurut Molika (2014)

terbagi menjadi 2, yaitu :

2.2.9.1 Resiko jangka pendek

a. Pengenalan makanan selain asi kepada bayi akan menurunkan

frekuensi dan intensitas pengisapan bayi, yang akan menurunkan

produksi asi.

b. Pengenalan serealia dan sayur-sayuran tertentu dapat mempengaruhi

penyerapat zat besi dari asi sehingga menyebabkan defisiensi zat besi.

c. Resiko diare meningkat karena makanan tambahan tidak sebersih asi.

d. Makanan yang diberikan sebagai pengganti asi sering encer, buburnya

berkuah atau berupa sup karena mudah dimakan oleh bayi. Makanan

ini memang membuat lambung penuh tetapi memberi nutrient yang

lebih sedikit daripada asi sehingga kebutuhan gigi/nutrisi bayi tidak

terpenuhi.

e. Meningkatnya risiko terserang infeksi karena faktor perlindungan asi

yang lebih sedikit.

f. Bayi akan minum asi lebih sedikit sehingga akan lebih sulit untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi bayi.

2.2.9.2 Resiko Jangka Panjang

a. Obesitas
33

Kelebihan dalam memberikan makanan adalah risiko utama dari

pemberian makanan yang terlalu dini pada bayi. Konsekuensi pada

usia-usia selanjutnya adalah terjadi berat badan ataupun kebiasaan

makan yang idak sehat.

b. Hipertensi

Kandungan natrium dalam asi yang cukup rendah (± 15

mg/100ml). Namun, makannan dari diet bayi dapat meningkat drastis

jika makanan yang telah dikenalkan. Konsekuensi di kemudian hari

akan menyebabkan kebiasaan makan yang memudahkan terjadinya

hipertensi.

c. Arteriosleloris

Pemberian makanan pada bayi tanpa memperhatikan kandungan

tinggi energi dan kaya akan kolestrerol serta lemak jenuh, sebaliknya

kandungan lemak tak jenuh yang rendah dapat menyebabkan

terjadinya arteriosleloris dan penyakit jantung iskemik.

d. Alergi makanan

Belum matangnya sistem kekebalan dari usus pada umur yang dini

dapat menyebabkan alergi terhadap makanan. Manifestasi alergi secara

klinis meliputi : gangguan gastrointestinal, dermatologis, gangguan

pernafasan sampai terjadi syok anafilaktik.

Pemberian MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko diare

serta infeksi saluran pencernaan atas (ISPA). Secara teoritis diketahui

bahwa pemberian makanan MP-ASI terlalu dini pada anak dapat

menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi seperti diare, konstipasi,


34

muntah dan alergi. pemberian MP-ASI dini memprngaruhi tingkat

kecerdasan anak setelah usia dewasa seperti memicu terjadinya penyakit,

obesitas, hipertensi dan penyakit jantung koroner (Nadesul, 2011).

2.3 Konsep Perilaku

2.3.1 Definisi

Perilaku yaitu suatu respon seseorang yang dikarenakan adanya

stimulus/rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2012). Perilaku dibedakan

menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka

(overt behavior). Perilaku tertutup merupakan respon seseorang yang

belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Perilaku terbuka

merupakan respon dari seseorang dalam bentuk tindakan yang nyata

sehingga dapat diamati lebih jelas dan mudah (Ftriani, 2011)

2.3.2 Klasifikasi Perilaku

Perilaku dibedakan menjadi 2 macam dalam buku Notoatmodjo

(2014), yaitu :

2.3.2.1 Perilaku tertutup (covert behavior)

Reaksi seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tertutup. Reaksi

yang masi terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan sikap

sehingga belum dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.3.2.2 Perilaku terbuka (overt behavior)

Reaksi seseorang dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Reaksi

sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat

diamati atau dilihat orang lain.

2.3.3 Perilaku Kesehatan


35

Menurut Becker yang dikutip dalam Notoatmodjo (2012) perilaku

kesehatan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :

2.3.3.1 Perilaku hidup sehat (healthy life style) : Merupakan perilaku yang

berhubungan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan kesehatan dengan

gaya hidup sehat yang meliputi makan menu seimbang, olahraga yang

teratur, tidak merokok, istirahat cukup, dan menjaga perilaku yang positif

bagi kesehatan.

2.3.3.2 Perilaku sakit ( illness behavior) : Merupakan perilaku yang terbentuk

karena adanya respon terhadap suatu penyakit. Perilaku dapat meliputi

pengetahuan tentang penyakit serta upaya pengobatannya.

2.3.3.3 Perilaku peran sakit ( the sick role behavior) : Merupakan perilaku

seseorang ketika sakit, perilaku ini mencakup upaya menyembuhkan

penyakitnya.

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ada 3 macam dalam

buku Notoatmodjo (2012), yaitu :

2.3.4.1 Faktor predisposisi (disposing faktors)

Faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seseorang, antara

lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan tradisi.

2.3.4.2 Faktor permungkin/penunjang (enabling faktors)

Faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku dan

tindakan yang dimaksud adalah fasilitas, sarana, dan prasarana.

2.3.4.3 Faktor penguat ( reinforcing factor)

Faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.


36

Faktor ini terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau

petugas lainnya yang merupakan kelompok referensi dari perilaku

masyarakat.

2.4 Konsep Dasar Perkembangan Bayi Usia 0-6 Bulan

2.4.1 Definisi

Pertumbuhan dan perkembangan memiliki definisi yang berbeda.

Kalau pertumbuhan mengarah pada bertambahnya jumlah dan ukuran yang

bisa diukur dengan ukuran berat dan panjang. Sedangkan perkembangan

adalah bertambahnya fungsi yang lebih kompleks dalam kemampuan

motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan bersosialisasi dengan

lingkungannya (Kusnandi, 2008).

Sedangkan menurut Maslow (dikutip dalam Supartini, 2002)

perkembangan merupakan bertambahnya kemampuan dan keterampilan

yang terjadi secara bertahap. Jadi, perkembangan adalah hasil interaksi

kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya yang

terjadi secara simultan supaya memiliki kemampuan untuk berfungsi pada

tingkat tertentu.

Proses perkembangan mempunyai prinsip-prinsip yang saling

berkaitan. Salah satu prinsipnya yaitu perkembangan merupakan hasil dari

proses kematangan dan belajar. Kematangan terjadi secara alami dalam

tubuh yang tidak bisa dirubah sedangkan belajar merupakan

perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha, dengan belajar

kemampuan anak akan bisa ditingkatkan. Prinsip yang kedua yaitu

perkembangan merupakan pola yang dapat diramalkan. Pada dasarnya


37

anak memiliki pola perkembangan yang 7 sama sehingga bisa diketahui

tingkat perkembangan yang dicapai anak sesuai umurnya (Depkes, 2005).

Kania (2007) mengemukakan bahwa untuk mencapai

perkembangan yang optimal maka kebutuhan dasar anak harus terpenuhi,

kebutuhan dasar terbagi menjadi tiga yaitu:

a. Kebutuhan Fisik-Biomedis (”ASUH”) Kebutuhan ini meliputi

kebutuhan akan gizi, ASI (Air Susu Ibu), imunisasi, pakaian, tempat

tinggal yang layak, lingkungan yang nyaman, dan penggunaan sarana

kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan dan pengobatan bila ada

anggota keluarga yang sakit.

b. Kebutuhan Emosi/ Kasih Sayang (”ASIH”) Anak-anak membutuhkan

perhatian dari orang tua dan orang terdekatnya karena dengan itu akan

terbina sosialisasi yang tinggi dan sangat baik untuk perkembangan

sehingga akan selaras antara fisik dan mentalnya.

c. Kebutuhan akan Stimulasi Mental (”ASAH”) Dengan memberikannya

stimulasi mental maka akan mengembangkan perkembangan anak

seperti kecerdasan, kreativitas, agama, kepribadian, moral-etika,

tingkat kemandirian, dan sebagainya.

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

Supartini (2002) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kualitas perkembangan bayi yaitu:

2.4.2.1 Faktor Genetik

Sebagian besar kemampuan anak dipengaruhi oleh faktor genetik

dari kedua orang tuanya, tapi bila lingkungannya kondusif untuk anak
38

tidak menutup kemungkinan orang tua yang kemampuannya kurang

mempunyai anak yang cerdas.

2.4.2.2 Faktor Lingkungan

a. Lingkungan Prenatal

Beberapa kondisi yang dapat mengganggu perkembangan janin,

yaitu ibu mengkonsumsi nutrisi yang kurang dan mempunyai penyakit

selama hamil.

b. Pengaruh Budaya Lingkungan

Budaya pada keluarga dan masyarakat akan mempengaruhi

persepsi ibu dan keluarga tentang kesehatan seperti tidak boleh makan

makanan tertentu selama hamil dan tidak boleh dibantu oleh petugas

kesehatan saat melahirkan nanti.

c. Status Sosial dan Ekonomi Keluarga

Anak yang berada dalam keluarga yang ekonomi rendah akan

kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer dan kebutuhan akan

pendidikan. Hal ini akan berpengaruh pada penggunaan sarana

kesehatan sehingga perkembangan anak bisa terganggu.

d. Nutrisi

Pada masa prenatal, bayi dan remaja membutuhkan nutrisi yang

lebih banyak. Perkembangan anak akan terhambat bila nutrisinya

tidak adekuat.

e. Iklim/ Cuaca

Pada musim hujan akan menyebabkan bahaya banjir dan

menimbulkan beberapa penyakit menular. Begitu juga dengan musim


39

kemarau, air bersih yang tersedia kurang dan dapat menyebabkan

diare.

f. Olahraga/ Latihan Fisik

Olahraga dapat meningkatkan aktivitas fisik dan menstimulasi

perkembangan otot dan pertumbuhan sel.

g. Posisi Anak dalam Keluarga

Posisi anak sebagai anak pertama, anak tengah, anak terakhir, dan

anak tunggal akan mendapatkan pola asuh yang berbeda dari orang

tua. Anak pertama biasanya akan mendapatkan asuhan yang

maksimal, karena tidak ada saudara yang lain, anak tengah akan

mendapatkan asuhan yang kurang, anak terakhir biasanya

mendapatkan perhatian yang penuh dari anggota keluarga, dan begitu

juga dengan anak tunggal akan mendapatkan perhatian yang penuh

serta keinginannya akan cepat terpenuhi.

2.4.3 Parameter Perkembangan Anak

Kusnandi (2008) menyatakan bahwa ada empat parameter yang

dipakai dalam menilai perkembangan anak yaitu:

2.4.3.1 Gerakan Motorik Kasar

Meliputi kemampuan anak dalam melakukan pergerakan dan sikap

tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti duduk, berdiri, dan

sebagainya.

2.4.3.2 Gerakan Motorik Halus

Meliputi kemampuan anak dalam melakukan gerakan yang


40

melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot

kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat seperti mengamati

sesuatu, menggambar, menulis, dan sebagainya.

2.4.3.3 Bahasa

Meliputi kemampuan anak dalam memberikan respons terhadap

suara, berbicara, mengikuti perintah, dan sebagainya.

2.4.3.4 Kepribadian (Sosialisasi)

Meliputi kemampuan anak dalam melakukan sesuatu itu dengan

sendiri misalnya: makan sendiri, menempatkan mainan pada tempatnya

pada saat selesai bermain, bersosialisasi dengan lingkungannya, dan

sebagainya.

2.4.4 Tingkat Perkembangan Anak 0-6 bulan

Wong (2003) memberikan poin-poin tentang tingkat

perkembangan yang seharusnya dicapai selama masa bayi usia 0-6 bulan

adalah :

2.4.4.1 Usia 1 Bulan

a. Motorik Kasar

1) Saat menahan dalam posisi berdiri, lutut dan panggul cepat lemas

2) Bila duduk, punggung memutar bersamaan, tidak ada kontrol

kepala

3) Bila telungkup dapat memutar kepala dari satu sisi ke sisi yang

lain

4) Dapat mengangkat kepala sebentar dari tempat tidur


41

5) Menunjukkan posisi yang fleksi bila telungkup

b. Motorik Halus

1) Dapat menggenggam dengan kuat

2) Tangan mengatup bila kontak dengan mainan

c. Vokalisasi

1) Membuat bunyi tenang selama minum ASI

2) Membuat bunyi kecil dengan suara tenggorok

3) Menangis dengan keras yang menunjukkan ketidaksenangan

d. Sosialisasi/ Kognitif

Memandang wajah orang tua secara terus-menerus ketika

orang tua berbicara pada bayi

2.4.4.2 Usia 2 Bulan

a. Motorik Kasar

1) Bila telungkup dapat mengangkat kepala 45 derajat

2) Menunjukkan posisi yang kurang fleksi bila telungkup

3) Bila digendong dalam posisi duduk, kepala ditahan ke atas tetapi

menunduk ke depan

b. Motorik Halus

1) Kemampuan untuk menggenggam menghilang

2) Tangan sering terbuka

c. Vokalisasi

1) Bersuara (berbeda dari menangis)

2) Tangisan berbeda dari sebelumnya

3) Bersuara pada wajah yang dikenal


42

d. Sosialisasi/ Kognitif

Menunjukkan senyum sosial sebagai respons terhadap

berbagai stimulus.

2.4.4.3 Usia 3 Bulan

a. Motorik Kasar

1) Posisi tubuh simetris

2) Mampu menahan kepala lebih tegak bila duduk, tetapi masih

menunduk ke depan

3) Mampu mengangkat kepala dan bahu 45-90 derajat saat

telungkup

4) Memegang tangan sendiri

b. Motorik Halus

1) Refleks menggenggam tidak ada

2) Tangan masih tertutup rapat

3) Bisa memegang mainan

4) Dapat menarik pakaian

c. Vokalisasi

1) Tertawa

2) Menangis berkurang selama periode terbangun

3) Bicara banyak hal bila diajak berbicara

4) Menjerit keras untuk menunjukkan kesenangan

d. Sosialisasi/ Kognitif

1) Berhenti menangis bila orang tua memasuki ruangan

2) Sudah dapat mengenali wajah


43

3) Tidak suka terhadap orang asing

2.4.4.4 Usia 4 Bulan

a. Motorik Kasar

1) Keseimbangan kepala pada posisi duduk baik

2) Mampu duduk tegak bila disangga

3) Mampu mengangkat kepala dan dada 90 derajat

4) Bisa berguling dan telungkup

5) Punggung sedikit melengkung

b. Motorik Halus

1) Menggenggam objek dengan kedua tangan

2) Bermain dengan mainan yang diletakkan di tangannya

3) Mencoba menggapai objek dengan tangan

4) Menarik pakaian atau selimut ke wajah

5) Dapat memasukkan objek ke mulut

b. Vokalisasi

1) Tertawa keras

2) Dapat menyebut bunyi konsonan n, k, g, p, h

3) Suara berubah sesuai alam perasaan

c. Sosialisasi/ Kognitif

1) Cepat bosan bila ditinggal sendirian

2) Menuntut diberikan perhatian

3) Menikmati interaksi sosial

4) Mengantisipasi pemberian makan bila melihat botol atau ASI 14

5) Menujukkan kesenangan dengan seluruh tubuh


44

6) Mulai menunjukkan memori

2.4.4.5 Usia 5 Bulan

d. Motorik Kasar

1) Bila duduk, mampu menahan kepala dengan tegak

2) Punggung tegak

3) Dapat membalik dari posisi telungkup ke telentang

4) Bila telentang, menempatkan kaki ke mulut

5) Bila telungkup, menunjukkan posisi simetris dengan lengan

ekstensi

e. Motorik Halus

1) Memainkan jari-jari kaki

2) Mengambil objek secara langsung ke mulut

3) Mampu menggenggam objek secara volunter

4) Memegang satu kotak sementara melihat kotak yang lainnya

f. Vokalisasi

1) Menjerit

2) Membuat bunyi gumamam vokal yang diselingi dengan bunyi

konsonan (misalnya ah-goo)

g. Sosialisasi / Kognitif

1) Memegang botol dengan kedua tangan

2) Tersenyum pada bayangan di cermin

3) Mampu membedakan keluarga dengan orang asing

4) Mampu menunjukkan ketidaksenangan bila objek diambil

5) Menemukan bagian-bagian tubuh


45

2.4.4.6 Usia 6 Bulan

a. Motorik Kasar

1) Berguling dari telungkup ketelentang

2) Memegang tangan tidak ada lagi

3) Bila telungkup dapat mengangkat dada dan abdomen bagian atas

dengan membebankan berat badan pada tangan

b. Motorik Halus

1) Menjatuhkan satu kotak bila kotak lain diberikan

2) Mengamankan objek yang jatuh

3) Memegang botol

4) Menggenggam kaki dan menarik ke mulut

c. Vokalisasi

1) Mulai mengikuti bunyi-bunyian

2) Mulai berespons (mengeluarkan suara-suara) kalau melihat

mainan dan bayangannya di cermin

3) Mengoceh menyerupai ungkapan satu suku kata (ma, mu, da, di,

hi)

d. Sosialisasi/ Kognitif

1) Memegang tangan untuk mengambil

2) Mulai takut pada orang asing

3) Tertawa bila kepala disembunyikan di handuk (ci luk baa)

4) Mulai meniru seperti batuk dan menjulurkan lidah

5) Sering berubah alam perasaan


46

2.5 Kerangka Teori

Konseling

Langkah-langkah Konseling
MPASI
a. Persiapan konseling
b. Perencanaan konseling
c. Implementasi konseling
d. Evaluasi konseling

a) Faktor predisposis
Perilaku ibu dalam pemberian
b) Faktor pendorong
MPASI
c) Faktor pendukung

Perkembangan bayi usia 0-6 bulan

Bagan 2.1. Kerangka Teori modifikasi Novelasari (2010).


47
4
8

Anda mungkin juga menyukai