Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masa bayi antara usia 6-24 bulan merupakan masa emas untuk

pertumbuhan dan perkembangan anak. Masa ini kesempatan yang baik bagi orang

tua untuk mengupayakan tumbuh kembang anak secara optimal. Salah satu upaya

yang dapat dilakukan orang tua untuk mencapai hal tersebut adalah melalui pola

asuh makan yang baik dan benar yang diberikan kepada anak (Mutiara, 2018).

Usia 6 sampai 24 bulan merupakan periode kritis pertumbuhan balita, karena pada

umur tersebut anak sudah memerlukan MP-ASI yang memadai baik dari segi

jumlah maupun kualitasnya. Hasil penelitian multi-center yang dilakukan

UNICEF menunjukkan bahwa MP-ASI yang dibuat di rumah dapat memenuhi

lebih dari 50% kebutuhan energi, cukup protein, rendah zat gizi mikro dan

vitamin 30% Zn dan Fe, 50% Vitamin A (Kemenkes RI, 2012).

Dalam upaya untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global

Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO bersama UNICEF

merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan untuk optimalisasi

derajat kesehatan bayi, yaitu pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera

dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu

(ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan,

ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi

berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai

anak berusia 24 bulan atau lebih. Disamping itu juga MP ASI disediakan

berdasarkan bahan lokal bila memungkinkan, MP ASI harus mudah dicerna, harus

1
2

disesuaikan dengan umur dan kebutuhan bayi dan harus mengandung kalori dan

mikronutrien yang cukup (Kemenkes RI, 2012).

Benua Afrika dan benua Asia juga menunjukkan pemberian ASI eksklusif

masih rendah. Salah satu negara di Afrika, Nigeria, prevalensi pemberian ASI

eksklusif secara nasional adalah 17% dengan variasi regional. Prevalensi inisiasi

menyusui dini adalah 33,2%. Studi lain di Nigeria melaporkan prevalensi mulai

dari 28%-45%. Inisiasi makanan pelengkap yang tepat waktu tetap menjadi

tantangan karena 16% bayi Nigeria diperkenalkan pada makanan padat dan

setengah padat pada 2-3 bulan sementara 40% diperkenalkan pada 4-5 bulan. Di

India, persentase inisiasi menyusu dini adalah 24,5%. Menyusui secara eksklusif

menurun dengan cepat dari bulan pertama menjadi enam bulan dengan hanya

20%. Pengenalan pemberian MP-ASI antara 6 hingga 9 bulan adalah 55,8% dan

hanya 21% anak-anak berusia 6-23 bulan yang diberi makan sesuai dengan

praktik yang direkomendasikan (Elya, 2019).

Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya cakupan Inisiasi

Menyusu Dini dan ASI eksklusif di masyarakat. berbagai alasan dikemukakan

oleh ibu-ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya, antara

lain adalah ibu merasa produksi ASI kurang, kesulitan bayi dalam menghisap, ibu

bekerja, keinginan untuk disebut modern dan pengaruh iklan/promosi pengganti

ASI. Menciptakan kebiasaan pemberian ASI yang baik sejak menit pertama bayi

baru lahir sangat penting untuk kesehatan bayi dan keberhasilan pemberian ASI

itu sendiri. Menyusui yang paling mudah dan sukses dilakukan adalah bila si ibu

sendiri sudah siap fisik dan mentalnya untuk melahirkan dan menyusui, serta bila
3

ibu mendapat informasi, dukungan dan merasa yakin akan kemampuannya untuk

merawat bayinya sendiri. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga harus

didukung oleh suami, keluarga, petugas kesehatan dan masyarakat (Mina, 2017)

Waktu pemberian MP-ASI kepada bayi adalah setelah bayi berumur 6

bulan karena sebelum umur 6 bulan pencernaan bayi belum kuat untuk mencerna

makanan selain Air Susu Ibu. Kalau dipaksakan memberikan makanan tambahan

akan menganggu pencernaan. Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)

yang tidak tepat dapat berakibat buruk pada anak, dalam hal ini pengetahuan ibu

sangat berperan, dimana ibu harus memahami konsep pemberian makanan

pendamping ASI (MP-ASI) mulai dari cara pemberian, penyajian, frekwensi, dan

konsistensi makanan pendamping ASI, peran ibu dalam pemberian makanan

pendamping ASI (MP-ASI) sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu, Ibu yang

memiliki pengetahuan yang kurang mengenai MP-ASI akan merasa kurang yakin

bahwa dengan pemberian MP-ASI tidak akan mencukupi kebutuhan bayi atau

sebaliknya ((IDAI, 2015).

Kurangnya bayi yang mendapatkan MP-ASI sebelum waktu pemberianya

tidak lepas dari pengaruh pengetahuan dan sikap dari orang tua dalam hal ini ibu

yang kurang menyadari dan mendapat informasi lengkap mengenai pemberian

MP-ASI yang benar tetapi justru memberikan MP-ASI sebelum bayi berusia 6

bulan. Perlu diketahui salah satu faktor yang menyebabkan bayi mengalami gizi

kurang salah satunya adalah faktor pemberian Makanan pendamping ASI yang

terlalu dini (Desiyanti, 2016).


4

Salah satu usaha untuk menanggulangi kekurangan gizi pada bayi dan

balita dibutuhkan suatu pengetahuan dari keluarga. Pengetahuan tersebut dapat

diperoleh dari informasi-informasi yang ada di media masa, selebaran maupun

dari petugas kesehatan. Dalam teori perilaku Notoatmodjo yang menyatakan, dari

pengetahuan dan sikap yang baik akan terwujud tindakan yang baik pula

(Notoatmodjo, 2014).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan dalam pemberian

MP ASI di antaranya meliputi kapan saat anak diberi MP ASI dan kemampuan

dalam menyediakan MP ASI yang bergizi. Sikap merupakan reaksi atau respon

yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimul atau objek (Desiyanti,

2016).

Tingkat pengetahuan ibu mengenai makanan pendamping ASI

memunculkan masalah hubungan sebab akibat pemberian makanan pendamping

ASI yang kurang tepat melahirkan status gizi kurang. Kekurangan gizi dapat

disebabkan karena pemilihan bahan makanan yang tidak benar. Pemilihan

makanan ini dipengaruhi tingkat pengetahuan ibu mengenai bahan makanan.

Ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan pemilihan dan pengolahan

makanan, meskipun bahan makanan tersedia (Suharjo, 2015). Upaya peningkatan

status kesehatan dan gizi balita melalui perbaikan pengetahuan dan perilaku dalam

pemberian MP-ASI merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya

perbaikan gizi (Wahyu, 2016).


5

Penelitian Muhammad (2017) tentang hubungan antara pengetahuan dan

sikap ibu dengan perilaku pemberian MP-ASI pada balita usia 6-24 bulan di

Puskesmas Padang Bulan Medan Selayang menyatakan bahwa pengetahuan

responden tergolong baik (52,8%), sikap responden tergolong sedang (75,5%),

perilaku responden tergolong baik (62,3%). terdapat hubungan yang signifikan

antara pengetahuan dengan perilaku pemberian MP-ASI (0,026), dan hubungan

yang signifikan antara sikap dengan perilaku pemberian MP-ASI (0,040).

Penelitian Agung (2016) menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap ibu

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku ibu dalam pemberian

MP-ASI. Hasil penelitian ini menunjukkan 35% ibu memiliki pengetahuan baik,

62,5% ibu memiliki sikap kurang dan 57,5% ibu memiliki perilaku kurang. Dapat

disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap ibu

terhadap perilaku ibu dalam pemberian MP ASI pada anak 6-24 bulan di

Posyandu Cendana 1 dan 2 Kelurahan Cawang.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan penulis di Desa Bekukul

Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang dengan wawancara singkat,

diketahui bahwa dari 5 orang ibu yang memiliki bayi usia 6-24 bulan, kelima

responden yang diwawancarai sudah memberikan MP-ASI pada bayi sejak usia

dibawah enam bulan dan lima orang ibu tersebut juga menyatakan kurang

memahami pengetahuan tentang MP-ASI, ibu tidak mengerti berapa jumlah,

porsi, jenis, frekuensi dan bentuk yang tepat untuk memberikan makanan

pendamping ASI pada anaknya. Sehingga ibu memberikan makanan pendamping

disamakan dengan makanan orang dewasa hanya jumlahnya yang berbeda. Semua
6

orang ibu yang diwawancarai mengatakan mengenalkan makanan tambahan

seperti susu formula dan makanan lunak kurang dari 6 bulan agar anaknya

kenyang dan tertidur pulas, jika anak diberi makan pisang sewaktu berumur 2

bulan agar anak tidak rewel dan lebih tenang, berat badan anak akan bertambah

dan lebih cepat besar. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan ibu tentang

manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang benar dan kebiasaan pemberian MP-

ASI yang tidak tepat sehingga berpengaruh terhadap sikap ibu dalam pemberian

MP-ASI.

Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara singkat dengan

ibu-ibu kader Posyandu dan petugas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas

Namorambe Kabupaten Deli Serdang, mengatakan bahwa banyak ibu-ibu yang

memberikan MP-ASI yang tidak tepat baik dari segi umur bayi, jenis makanan

dan frekuensi pemberiannya. Hal ini dapat dilihat dari adanya kasus pada bayi

yang mengalami gangguan sistem pencernaan seperti diare dan sebagainya. Jenis

makan pendamping yang diberikan cukup beragam oleh ibu kepada bayinya, ada

yang memberikan bubur susu, pisang yang dikerok, dan ada ibu yang memberikan

bubur saring. Hal lain yang berhubungan dengan pemberian makanan pendamping

ASI (MP-ASI) pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Nomorambe ialah sikap ibu

terhadap pemberian MP-ASI tersebut, dimana sikap ibu menganggap bahwa

pemberian MP-ASI merupakan hal yang tidak perlu dikhawatirkan, dan

merupakan suatu faktor kebiasaan masyarakat setempat, bahwa bayi dibawah usia

enam bulan sudah bisa diberikan makanan pendampin ASI (MP-ASI) atau menu

makanan keluarga. Berdasarkan latar belakang, penulis tertarik meneliti tentang


7

hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap pemberian Makanan Pendamping

ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan) di Desa Bekukul Kecamatan

Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun 2021.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka peneliti ingin

mengetahui apakah terdapat hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap

pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24

bulan) di Desa Bekukul Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun

2021 ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap

pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24

bulan) di Desa Bekukul Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun

2021

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengetahuan ibu terhadap pemberian Makanan

Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan) di Desa

Bekukul Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun 2021

2. Untuk mengetahui sikap ibu terhadap pemberian Makanan Pendamping

ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan) di Desa Bekukul

Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun 2021


8

3. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap

pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-

24 bulan) di Desa Bekukul Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli

Serdang Tahun 2021

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini dapat sebagai pertimbangan masukan untuk menambah

wawasan tentang pengetahuan dan sikap ibu terhadap pemberian Makanan

Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan)

2. Menyediakan data untuk penelitian lanjutan tentang pengetahuan dan

sikap ibu terhadap pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada

bayi dan baduta (6-24 bulan)

1.4.2. Manfaat Aplikatif

1. Bagi Peneliti

Diharapkan setelah mengetahui hasil penelitian ini, peneliti dapat

menambah pengetahuan serta pengalaman dan mengaplikasikan ilmu

kebidanan yang mencakup tentang pemberian Makanan Pendamping ASI

(MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan)

2. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam melaksanakan penyuluhan

tentang MP-ASI kepada masyarakat.


9

3. Bagi Peneliti Lain

Sebagai gambaran atau informasi atau data untuk melakukan penelitian

lebih lanjut yang berkaitan dengan pengetahuan dan sikap ibu terhadap

pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-

24 bulan)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

2.1.1. Pengertian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang

mengandung gizi diberikan kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya.

MP-ASI diberikan mulai umur 6 bulan sampai 24 bulan. Semakin meningkat

umur bayi dan anak, kebutuhan akan zat gizi semakin bertambah karena untuk

tumbuh kembang, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan

gizi. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga.

Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk

maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak. Pemberian

MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan

fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode ini

(Kemenkes RI, 2012).

Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang

telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi

bayi. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur untuk

mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima

bermacam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa (Sulistidjani, 2019).

MP-ASI meliputi cairan lain (misal air putih, air teh, air gula atau madu, air buah,

air tajin), susu pengganti ASI atau PASI (susu segar susu kental manis dan susu

formula, susu bubuk) dan makanan lumat, makanan lembek atau makanan padat

10
11

(Proverawati, 2019).

2.1.2. Manfaat dan Tujuan Pemberian Makanan Tambahan

Pemberian MP-ASI bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anak,

menyesuaikan kemampuan alat kerja dalam menerima makanan tambahan dan

merupakan masa peralihan dari ASI ke makanan keluarga selain untuk memenuhi

kebutuhan bayi terhadap zat-zat gizi (Suhardjo, 2020).

Tujuan pemberian makanan tambahan adalah untuk mencapai

pertumbuhan perkembangan yang optimal, menghindari terjadinya kekurangan

gizi, mencegah resiko masaalah gizi, defisiensi zat gizi mikro (zat besi, zink,

kalsium, vitamin A, vitamin C, dan folat), menyediakan makanan ekstra yang

dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan energi dengan nutrient, memelihara

kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan bila sakit, membantu perkembangan

jasmani, rohani, psikomotor. Kebiasaan yang baik tentang makanan dan

memperkenalkan bermacam-macam bahan makanan yang sesuai dengan keadaan

fisiologis bayi (Husaini, 2016).

Pemberian makanan tambahan merupakan suatu proses pendidikan. Bayi

diajar mengunyah dan menelan makanan padat, makanan tidak diberi pada saat

kepandaian mengunyah sedang muncul, pengenalan pemberian makanan lebih

mudah sebelum gigi keluar, gusi bayi bengkak dan sakit maka akan sulit

memberikan makanan tambahan. Indikator bahwa bayi siap untuk menerima

makanan padat, kemampuan bayi untuk mempertahankan kepalanya untuk tegak

tanpa disangga, menghilangnya refleks menjulurkan lidah, bayi mampu

menunjukkan keinginannya pada makanan dengan cara membuka mulut, lalu


12

memajukan anggota tubuhnya ke depan untuk menunjukkan rasa lapar, dan

menarik tubuh ke belakang atau membuang muka untuk menunjukkan ketidak

tertarikan pada makanan (Suhardjo, 2020)

2.1.3. Waktu Pemberian MP-ASI (Usia Menyapih)

Waktu memulai pemberian MP-ASI sekurangnya berusia 6 bulan karena

pada usia 6 bulan tersebut bayi sudah mengeluarkan air liur lebih banyak dan

produksi enzim amilase lebih banyak pula sehingga bayi siap menerima makanan

selain ASI. Memasuki usia 6 bulan, bayi telah siap menerima makanan bukan cair

karena gigi telah tumbuh dan lidah tidak lagi menolak makanan setangah padat.

Di samping itu, lambung juga telah lebih baik mencerna zat tepung. Menjelang

usia 9 bulan, bayi telah pandai menggunakan tangan untuk memasukkan benda ke

dalam mulut. Jelaslah bahwa pada saat tersebut bayi siap mengonsumsi makanan

(setengah) padat (Lailiyana, 2018).

Menurut Proverawati (2019) jika kemudian bayi disapih pada usia 6 bulan,

tidak berarti karena bayi telah siap menerima makanan selain ASI, melainkan juga

karena kebutuhan gizi bayi tidak lagi cukup dipasok hanya oleh ASI. Pada saat

berusia 6-9 bulan alat pencernaan bayi sudah lebih berfungsi, dan bayi

membutuhkan penyerapan vitamin A dan zat gizi lainnya meskipun pemberian

ASI diteruskan, namun bayi seharusnya diberikan makanan pendamping yang

lumat dua kali sehari. Setelah bayi berusia 9-12 bulan bayi sudah mulai

diperkenalkan makanan keluarga secara bertahap, bayi juga diajarkan mengenl

berbagai jenis makanan dengan cara penyajian sayur dan lauk pauk berganti-ganti
13

setiap harinya. Pada usia ini bayi dapat diberi makanan selingan berupa bubur

kacang ijo ataupun buah-buahan satu sampai dua kali dalam sehari

Menurut Arisman (2018) pada umumnya bayi yang menderita kekurangan

protein (kwashioskor) terjadi pada bayi atau anak yang berumur satu sampai tiga

tahun, tanda-tandanya sebagai berikut: Pertumbuhan tubuhnya berjalan lambat,

dan otot dagingnya menyusut dan lembek, tetapi masih mempunyai sedikit lemak.

Selain itu, terjadi pembengkakan (edema) pada kaki bagian bawah. Wajah bayi

nampak bulat seperti bulan. Sedikit demi sedikit warna rambut hitamnya (normal)

berubah agak coklat kemerahan (pirang) atau abu-abu, dan rambutnya mudah

rontok atau tanggal. Bayi yang berambut keriting bila menderita kurang protein

(kwashioskor) ini rambutnya dapat menjadi lurus. Warna kulitnya menjadi pucat,

dan biasanya bayi tersebut disertai dengan menderita anemia. Bayi tampak

murung, kurang bergairah dan apatis. Bayi tidak mempunyai nafsu makan.

2.1.4. Cara Memberikan MP-ASI

Permulaan masa menyapih merupakan awal dari suatu perubahan besar

baik bagi bayi maupun ibunya. Proses ini diupayakan tidak terjadi secara

mendadak. Insidensi penyakit infeksi, terutama diare, lebih tinggi pada saat

periode ini. Hal ini terjadi dikarenakan makanan berubah dari ASI yang bersih

dan mengandung zat-zan anti infeksi (antara lain IgA, laktoferin, WBC) menjadi

makanan yang disiapkan, dan dimakan dengan cara yang salah, serta tidak

mengindahkan syarat kebersihan.

Pemberian makanan pendamping disarankan bervariasi setiap minggunya

agar bayi tidak merasa bosan. Namun, harus tetap memperhatikan komposisi
14

gizinya dan konsep empat sehat lima cukup. Saat memberikan makanan

pendamping ibu harus memperhatikan jadwal pemberian makanan yang tepat

untuk bayi. Jika ibu telah mengetahui pemberian jadwal makanan yang tepat,

makan seharusnya ibu tidak memberikan camilan/snack menjelang waktu makan.

Hal ini bertujuan untuk menghindari nafsu makanannya yang besar. Jika ibu tetap

ingin memberikan snack satu jam sebelum makan, berilah snack yang sehat

berupa buah segar atau sayuran.

Saat bayi berusia 6-8 bulan bayi diberi bubur susu atau makanan yang

dilumatkan. Selain itu, bayi juga dapat mengkonsumsi makanan camilan seperti

biskuit yang dilumatkan. Menjelang usia 9 bulan, bayi sudah dapat memakan

makanan lunak seperti nasi tim. Saat bayi berusia 9-12 bulan, makan setengah

padat dan makanan padat berupa makanan keluarga sudah boleh diperkenalkan.

Pada saat memperkenalkan makanan, sebaiknya cukup diperkenalkan satu jenis

makanan saja, dalam jumlah kecil. Seandainya bayi tidak dapat menoleransi

makanan ini, atau bahkan menimbulkan reaksi alergi, gejala yang timbul mudah

dikenali, dan makanan itu tidak diberikan lagi.

Makanan sebaiknya tidak dicampur karena bayi harus mempelajari

perbedaan tekstur dan rasa makanan. Cara pemberian makanan pendamping

sebaiknya disuapkan dengan menggunakan sendok dan tidak dimasukkan kedalam

botol susu, atau membuat lubang dot lebih besar, yang mengesankan seolah bayi

meminum makanan padat. Ketika memberikan makanan pendamping, volume dan

frekuensi pemberian susu sebaiknya tidak dikurangi secara drastic (Arisman,

2018).
15

2.1.5. Frekuensi Pemberian Makanan

Bayi memerlukan waktu beberapa hari untuk menyukai cita rasa makanan

baru, jika bayi mau memakan makanan pendamping, pemberian pertama cukup

dua kali sehari, satu atau dua sendok teh penuh. Kira-kira dua minggu kemudian

bayi akan terbiasa dengan makanan barunya (Arisman, 2018). Hal ini bukan

karena bayi tidak suka memakan makanan pendamping, tetapi karena belum

terbiasa menggunakan lidahnya mendorong makanan kebelakang mulut (Beck,

2020).

Kebutuhan bayi akan meningkat seiring tumbuh-kembangnya. Jika bayi

telah menggemari makanan baru tersebut, ia akan mengonsumsi 3-6 sendok besar

penuh setiap kali makan. Pada usia 6-9 bulan, bayi setidak-tidaknya

membutuhkan empat porsi, namun tetap membutuhkan ASI. Jika dengan takaran

tersebut bayi tersebut masih kelaparan, berilah ia makanan selingan, misalnya

pisang atau biskuit. Bayi memerlukan sesuatu untuk dimakan setiap 2 jam, begitu

ia terbangun. Pemberian makanan tambahan sebagai pendamping ASI dilakukan

secara bertahap, baik porsi, jenis, maupun tekstur makanannya juga harus

disesuaikan (Proverawati, 2019).


16

Tabel 2.1.
Frekuensi Pemberian Makanan Pendamping

Umur Frekuensi pemberian MP-ASI


0-6 bulan ASI sepuasnya
6-8 bulan ASI sepuasnya
Buah 1-2 kali sehari
Makanan lumat 1-2 kali sehari
8-10 bulan ASI diteruskan
Buah 1-2 kali
sehari
Makanan lumat 2 kali sehari
Makanan lembek 1 kali sehari
10-12 bulan ASI dilanjutkan
Buah 1-2 kali sehari
Makanan lumat 1 kali sehari
Makanan lembek 2 kali sehari
Telur 1 kali sehari
Sumber : Proverawati (2019)

2.1.6. Syarat-Syarat Makanan Pendamping-ASI Yang Diberikan

Bahan makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang ideal harus

mengandung: (1) Makanan pokok (pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh

keluarga), biasanya makanan yang mengandung tepung, seperti beras, gandum,

kentang, tepung maizena. (2) Kacang, sayuran berdaun hijau atau kuning, (3)

Buah, (4) Daging hewan, (5) Minyak atau lemak. Makanan tambahan yang

diberikan pada bayi hendaknya memenuhi beberapa syarat seperti:

1. Makanan terbuat dari bahan makanan yang segar dan harus memiliki nilai

energi dan kandungan protein tinggi.

2. Susunan menu seimbang (berasal dari 10-15% protein, 25-35% dari

lemak, 50-60% dari karbohidrat).

3. Mengandung banyak nilai gizi dan berserat lunak

4. Memiliki nilai suplementasi yang baik, memiliki komposisi vitamin dan

mineral dalam jumlah yang cukup


17

5. Makanan tambahan juga tidak boleh bersifat kamba, yang dapat

menimbulkan rasa kenyang pada bayi. Karena bukan kenyang yang

diberikan pada bayi tetapi energi, protein dan zat-zat gizi yang diperlukan.

6. Makanan dapat diterima bayi dengan baik atau tidak menimbulkan reaksi

alergi.

7. Harga bahan makanan relatif murah.

8. Bahan makanan hendaknya berasal dari bahan-bahan lokal.

Makanan tambahan bagi bayi sudah seharusnya menghasilkan energi yang

tinggi, sedikitnya mengandung 360 Kkal per 100 gram. Bagi bayi yang berusia 6

sampai 12 bulan kebutuhan energinya sekitar 870 Kkal dan protein sekitar 20 gr

perhari. Hindari makanan yang mengandung serat kasar serta bahan lain yang sulit

dicerna (Arisman, 2018)

2.1.7. Jenis MP-ASI

Pada awal pemberian makanan pelengkap ibu dianjurkan memberikan

sereal yang dimasak terlebih dahulu, seperti berbagai tepung beras untuk bayi,

konsistensinya sama dengan larutan susu (Beck, 2020). Menurut Proverawati

(2019) jenis-jenis MP-ASI yang diberikan, antara

lain sebagai berikut:

1. Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan atau disaring tampak

kurang merata dan bentuknya lebih kasar dari makanan lumat halus,

contoh bubur susu, bubur sumsum, pisang dikerok, pepaya saring, tomat

saring, dan sebagainya.


18

2. Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air dan

tampak berair, contoh: bubur nasi saring, bubur ayam, nasi tim saring,

kentang puri, dan lain-lain.

3. Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair dan

biasanya disebut makanan keluarga, contoh: lontong, nasi tim, kentang

rebus, biskuit, roti dan lain-lain. Sangat tidak dianjurkan untuk

memberikan makanan padat ini terlalu cepat mengingat sistem pencernaan

bayi masih sangat lemah.

Selain jenis-jenis makanan pelengkap tersebut, jenis makanan selingan

lain juga dapat diberikan pada bayi, seperti; bubur kacang ijo, sari buah jeruk,

pepaya, atau pisang, yang diberi sebelum bayi menyusu pada siang hari. Jenis dan

cara pemberian makanan pendamping seharusnya disesuaikan dengan kemampuan

bayi sesuai dengan usianya, berikut tabel yang menunjukkan keterampilan bayi

sesuai dengan usianya (Poverawaty, 2019).

Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik

bentuk maupun jumlahnya yang disesuaikan dengan kemampuan pencernaan bayi

dan anak. Tahapan tersebut adalah :

1. Makanan bayi berumur 0-6 bulan

a. Hanya ASI saja (ASI Eksklusif).

b. Hisapan bayi akan merangsang produksi ASI terutama pada 30 menit

pertama setelah melahirkan.

c. Dengan menyusui akan terbina hubungan kasih saying antara ibu dan anak
19

d. Berikan kolostrum, karena mengandung zat-zat gizi dan zat kekebalan

yang dibutuhkan bayi.

e. Berikan ASI sesering mungkin sesuai keinginan bayi.

2. Makanan bayi berumur 6-9 bulan

a. Pemberian ASI tetap diteruskan.

b. Bentuk makanan lumat karena alat cerna bayi sudah lebih berfungsi,

contoh nasi tim, bubur susu.

c. Berikan 2 kali sehari setelah diberikan ASI.

d. Porsi tiap pemberian sebagai berikut :

1) Pada umur 6 bulan : 6 sendok makan

2) Pada umur 7 bulan : 7 sendok makan

3) Pada umur 8 bulan : 8 sendok makan

4) Pada umur 9 bulan : 9 sendok makan

5) Untuk menambah nilai gizi, nasi tim dapat ditambah sumber zat lemak

sedikit demi sedikit, seperti santan, margarine, minyak kelapa.

6) Bila bayi masih lapar, ibu dapat menambahnya.

3. Makanan bayi umur 9-12 bulan

a. Pemberian ASI tetap diberikan

b. Pada umur ini bayi diperkenalkan dengan makanan keluarga secara

bertahap dengan takaran yang cukup.

c. Bentuk makanan lunak.

d. Berikan makanan selingan satu kali sehari.


20

e. Makanan selingan usahakan bernilai tinggi seperti bubur kacang hijau,

bubur sumsum.

f. Biasakan mencampurkan berbagai lauk pauk dan sayuran kedalam

makanan lunak secara berganti-ganti.

g. Pengenalan berbagai bahan makanan sejak dini berpengaruh baik dalam

kebiasaan makan.

4. Makanan bayi umur 12-24 bulan

a. Frekuensi pemberian ASI dikurangi sedikit demi sedikit.

b. Susunan makanan terdiri dari makanan pokok lauk-pauk sayuran dan

buah.

c. Besar porsi adalah separuh dari makanan orang dewasa.

d. Gunakan angka ragam bahan makanan setiap harinya.

e. Diberikan sekurang-kurangnya tiga kali sehari.

f. Berikan makanan selingan dua kali sehari.

g. Anak dilatih untuk makan dan cuci tangan sendiri.

h. Biasakan anak mencuci tangannya sebelum dan sesudah makan.

i. Biasakan anak makan bersama-sama keluarga (Nadesul, 2017).

2.1.8. Kerugian-Kerugian Yang Potensial Dari Pengenalan Makanan

Pendamping ASI (MP-ASI) Terlalu Dini

Menurut Suhardjo (2020) ada beberapa akibat kurang baik dari pengenalan

makanan pendamping ASI terlalu dini kepada bayi antara lain yaitu gangguan

menyusui, beban ginjal yang terlalu berat sehingga mengakibatkan

hyperosmolaritas plasma, alergi terhadap makanan, dan mungkin gangguan


21

terhadap pengaturan selera makan. Makanan alamiah, bahan makanan tambahan

dan pencemaran makanan tertentu juga dapat dirugikan. Berikut ini akan

dijelaskan mengenai akibat-akibat yang disebabkannya :

1. Beban ginjal yang berlebihan dan hyperosmolaritas

Makanan padat, baik yang dibuat sendiri maupun di pabrik, cenderung

untuk mengandung kadar natrium klorida (NaCl) tinggi, yang akan menambah

beban ginjal. Beban tersebut masih ditambah oleh makanan tambahan yang

mengandung daging. Bayi-bayi yang mendapat makanan padat pada umur yang

dini, mempunyai osmolalitas plasma yang lebih tinggi dari pada bayi-bayi yang

100% mendapat air susu ibu dank arena itu mudah mendapat hyperosmolaritas

dehidrasi. Hyperosmolaritas penyebab haus yang berlebihan.

2. Alergi terhadap makanan

Alergi pada susu sapi dapat terjadi sebanyak 7,5% dan telah diingatkan

bahwa alergi terhadap makanan lainnya seperti jeruk, tomat, ikan, telur, dan

serealia bahkan mungkin lebih sering terjadi. Air susu ibu kadang-kadang dapat

menularkan penyebab-penyebab alergi dalam jumlah yang cukup banyak untuk

menyebabkan gejala-gejala klinis, tetapi pemberian susu sapi atau makanan

tambahan yang dini menambah terjadinya alergi terhadap makanan. Dan bayi

yang di berikan makanan pendamping ASI terlalu dini, akan lebih mudah

terserang diare.

3. Gangguan pengaturan selera makan


22

4. Bahan-bahan makanan tambahan yang merugikan

Makanan tambahan mungkin mengandung komponen-komponen alamiah

yang jika diberikan pada waktu dini dapat merugikan. Gula ini adalah penyebab

kerusakan pada gigi, dan telah dikemukakan bahwa penggunaan gula ini pada

umur yang dini dapat membuat anak terbiasa akan makanan yang rasanya manis.

Banyak dari serealia yang mengandung glutein dapat menambah risiko penyakit

perut pada umur yang muda, mungkin juga timbul kesulitan-kesulitan diagnostik,

karena sifat tidak mau menerima protein dari susu sapi dapat menyajikan suatu

gambaran klinis yang sama dengan gejala-gejala penyakit perut. Sekurang-

kurangnya pada bayi yang sudah diberikan susu formula (Suhardjo, 2020).

2.2. Pengetahuan

2.2.1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, penciuman, pendengaran,

perasa, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari indera

penglihatan dan indera pendengaran. Pengetahuan merupakan domain yang sangat

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2014).

Pengetahuan itu adalah sesuatu yang ada secara niscaya pada diri manusia.

Keberadaannya diawali dari kecendrungan psikis manusia sebagai bawaan kodrat

manusia, yaitu dorongan ingin tahu yang bersumber dari kehendak atau kemauan.

Sedangkan kehendak adalah salah satu unsur kekuatan kejiwaan. Adapun unsur

lainnya adalah akal pikiran (ratio) dan perasaan (emotion). Ketiganya berada
23

dalam satu kesatuan, dan secara terbuka bekerja saling pengaruh mempengaruhi

menurut situasi dan keadaan. Artinya, dalam keadaan tertentu yang berbeda-beda,

pikiran atau perasaan atau keinginan biasa lebih dominan. Konsekuensinya, ada

pengetahuan akal (logika), pengetahuan perasaan (estetika) dan pengetahuan

pengalaman (etika). Idealnya, pengetahuan seharusnya mengandung kebenaran

sesuai dengan prinsip akal, perasaan dan keinginan. Dengan kata lain,

pengetahuan yang benar haruslah dapat diterima dengan akal, sekaligus dapat

diterima oleh perasaan dan layak dapat dikerjakan dalam praktik perilaku

(Suhartono, 2018).

2.2.2. Tingkatan Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014) pengetahuan yang tercakup dalam domain

kognitif empunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini

merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
24

harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini

dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hokum-hukum, rumus,

metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis

ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan

(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan

sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu


25

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan

kriteria-kriteria yang ada

2.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan dibagi menjadi dua

faktor yaitu faktor internal dan eksternal (Notoatmodjo, 2014).

1. Faktor internal:

Ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi pengetahuan seseorang,

Pertama pendidikan, pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan

dimana seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki

pengetahuan yang lebih luas. Namun, bukan berarti setiap orang yang memiliki

pendidikan yang rendah mutlak memiliki pengetahuan yang rendah. Pengetahuan

tidak hanya didapat pada pendidikan fomal, akan tetapi pengetahuan juga dapat

diperoleh dari pendidikan non formal.

Kedua pengalaman juga sangat mempengaruhi pengetahuan. Pengalaman

sebagai sumber pengetahuan merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran

pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam

memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Ketiga usia mempengaruhi

terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan

semakin berekembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga

pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.


26

2. Faktor eksternal:

Selain faktor internal, faktor eksternal juga mempengaruhi pengetahuan

yang dimiliki seseorang. Berbagai macam fator eksternal yang dapat

mempengaruhi pengetahuan yaitu :

a. Informasi/media massa

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun yang non

formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)

sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.

Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang

dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru.

b. Sosial Budaya dan Ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan

bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan apapun. Status

ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang

diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status ekonomi ini akan

mempengaruhi pengetahuan seseorang.

c. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh dalam

lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik

ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap

individu.
27

2.2.4. Cara Memperoleh Pengetahuan

Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua,

yakni pertama cara tradisional atau nonilmiah, dan kedua cara modern atau cara

ilmiah, yakni melalui proses penelitian (Notoatmodjo, 2014).

1. Cara Memproleh Kebenaran Non Ilmiah

a. Cara Coba Salah (Trial and Error)

Cara ini telah dipakai sebelum adanya kebudayaan. Apabila seseorang

menghadapi persoalan atau masalah, maka upaya pemecahannya dilakukan

dengan coba-coba saja. Cara ini dilakukan dengan menggunakan beberapa

kemungkinan dalam memecahakan masalah, dan apabila tidak berhasil maka akan

dicoba kemungkinan yang lain. Itulah sebabnya cara ini disebut dengan metode

trial (coba) and error (gagal atau salah) atau metode coba salah (coba-coba).

b. Secara Kebetulan

Merupakan penemuan kebenaran yang terjadi secara kebetulan atau tidak

disengaja. Misalnya penemuan kina sebagai obat penyembuhan penyakit malaria

yang secara kebetulan ditemukan oleh seorang penderita malaria yang sedang

mengembara.

c. Cara Kekuasaan atau Otoritas

Cara ini merupakan suatu kebiasaan-kebiasaan yang sering dijumpai di

masyarakat yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Sumber pengetahuan tersebut dapat berupa pemimpin-pemimpin agama,

pemegang pemerintahan, dan sebagainya. Kekuasaan raja zaman dahulu adalah


28

mutlak, sehingga apapun yang diucapkannya adalah kebenaran mutlak dan harus

diterima oleh masyarakat atau rakyatnya.

d. Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu

merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini

dilakukan dengan cara mengulangi kembali pengalaman yang diperoleh dalam

memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

e. Cara Akal Sehat

Akal sehat atau commom sense kadang-kadang menemukan teori atau

kebenaran. Pemberian hadiah dan hukuman (reward and punishment) merupakan

cara yang masih dianut oleh banyak orang untuk mendisiplinkan anak dalam

konteks pendidikan.

f. Kebenaran Melalui Wahyu

Ajaran dan dogma adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan

melalui para Nabi. Kebenaran ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut-

pengikut agama yang bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut

rasional atau tidak.

g. Kebenaran secara Intuitif

Kebenaran yang diperoleh melalui intuitif sukar dipercaya karena

kebenaran ini tidak menggunakan cara-cara yang rasional dan yang sistematis.

Kebenaran diperoeh seseorang hanya berdasarkan intuisi atau suara hati atau

bisikan hati saja.


29

h. Melalui Jalan Pikiran

Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan

jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi. Dalam hal ini manusia

telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya

i. Induksi

Induksi merupakan proses penarikan kesimpulan yang dimuai dari

pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus ke pernyataan yang bersifat umum.

j. Deduksi

Deduksi merupakan pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan

yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat khusus. Disini terlihat proses

berfikir berdasarkan pada pengetahuan yang umum mencapai pengetahuan yang

khusus.

2. Cara Ilmiah dalam Memperoleh Pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini

lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Metode ilmiah adalah upaya memecahkan

masalah melalui cara bepikir rasional dan berpikir empiris dan merupakan

prosedur untuk mendapatkan ilmu (Setiadi, 2017).

2.2.5. Pengukuran Pengetahuan

Pengetahuan dapat diukur dengan tekhnik wawancara, penyebaran

kuesioner dengan daftar pertanyaan yang relevan dengan aspek yang akan di ukur

(Notoatmodjo, 2014). Pengetahuan dapat diukur dengan menggunakan skala

pengukuran ordinal yang merupakan himpunan yang beranggotakan pangkat,

jabatan, tingkatan, atau order. Pengetahuan dikategorikan dalam bentuk lebih


30

besar atau lebih kecil dari, misalnya 0= jelek, 1= cukup, 2= baik, 3= sangat baik

(Nursalam, 2019). Skor yang sering digunakan untuk mempermudah dalam

mengtegorikan jenjang/ peringkat dalam penelitian biasanya dituliskan dalam

persentase, misalnya pengetahuan Baik = 76-100%; Cukup = 56-75%; dan

Kurang ≤ 56% (Nursalam, 2017).

2.3. Sikap

2.3.1. Pengertian Sikap

Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap

suatu stimulus atau objek. Sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat

ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata

menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang

dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap

stimulus sosial.

Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk

merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu.

Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dan

sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman

yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah

sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang.

Sebab sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan

tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah

dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi

serta tekanan dari kelompok sosialnya (Notoatmodjo, 2014).


31

2.3.2. Tingkatan Sikap

Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan, yaitu :

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan

stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat

dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha

untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari

pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya : seorang ibu yang

mengajak ibu yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau

mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah

mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2014).


32

2.3.3. Ciri-Ciri Sikap

Ciri-ciri sikap adalah :

1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari

sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya.

Sifat ini membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar,

haus, atau kebutuhan akan istirahat.

2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan karena itu pula

sikap dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan

syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu

terhadap suatu objek. Dengan kata lain, sikap itu dibentuk, dipelajari atau

berubah senantiasa.

4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi juga merupakan

kumpulan dari hal-hal tersebut.

5. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang

membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-

pengetahuan yang dimiliki orang (Notoatmodjo, 2014).

2.3.4. Fungsi Sikap

Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni :

1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat

communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula

menjadi milik bersama.


33

2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Seseorang tahu bahwa tingkah laku

anak kecil atau binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan

terhadap sekitarnya. Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan

tetapi pada orang dewasa dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu

pada umumnya tidak diberi reaksi secara spontan akan tetapi terdapat

adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu. Jadi

antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu

sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-

penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan hal yang berdiri

sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan cita-cita

orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada dalam

bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan sebagainya.

3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu

dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman

dari dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya

semua pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh

manusia tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana

yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu

dipilih.

4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian

seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi

yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada

objek-objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang


34

tersebut. Jadi sikap sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan

mengubah sikap seseorang, kita harus mengetahui keadaan sesungguhnya

dari sikap orang tersebut. Dengan mengetahui keadaan sikap itu, kita akan

mengetahui pula mungkin tidaknya sikap tersebut dapat diubah dan

bagaimana cara mengubah sikap-sikap tersebut (Notoatmodjo, 2014).

2.4. Landasan Teori

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu subjek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia melalui mata dan telinga

(Notoadmodjo, 2014).

Pengetahuan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah

pengetahuan tentang Makanan tambahan yang diberikan pada bayi berusia 4-6

bulan sampai bayi berusia 24 bulan (Yenrina, 2018). Peranan MP-ASI sama sekali

bukan untuk menggantikam ASI, melainkan hanya untuk melengkapi ASI

(Krisnatuti, 2015).

Sikap adalah reaksi respon seorang yang masih tertutup terhadap suatu

stimulus atau objek. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sikap adalah

tanggapan atau persepsi seorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak

dapat langsung dilihat secara nyata, tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku

yang tertutup bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka

(Notoadmojo, 2014).
35

Pemberian MP-ASI secara dini diusia kurang dari 6 bulan dapat

menyebabkan gangguan kesehatan bagi bayi, diantaranya kurangnya nutrisi dan

infeksi bakteri yang didapat dari makanan maupun minuman selain ASI kepada

bayi. Pentingnya pengetahuan ibu tentang pemberian makanan pendamping ASI

(MP-ASI) sangat dibutuhkan karena pengetahuan tentang pemberian makanan

ASI (MP-ASI) sangat penting untuk terbentuknya sikap ibu, sedangkan sikap

merupakan proses evaluasi yang sifatnya internal/subjektif yang berlangsung

dalam diri seseorang, sikap dapat diketahui melalui pengetahuan, keyakinan, dan

perasaan terhadap suatu objek tertentu (Desiyanti, 2016).

2.5. Kerangka Teori Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang menjadi kerangka teori dalam penelitian

ini adalah :

Faktor Predisposisi
1. Umur
2. Pendidikan
3. Pekerjaan Faktor Pendukung
4. Pendapatan 1. Dukungan petugas
5. Pengetahuan Faktor Pendorong kesehatan
6. Sikap Pengaruh Iklan 2. Dukungan keluarga

Perilaku ibu dalam


pemberian MP-ASI

Gambar 2.1. Kerangka Teori


Sumber: Muhammad (2017)
36

2.6. Hipotesis Penelitian

Pengertian hipotesis menurut Sugiyono (2016) adalah jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian ini

dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan. Adapun hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ada hubungan pengetahuan ibu terhadap pemberian Makanan

Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan) di Desa

Bekukul Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun 2021

2. Ada hubungan sikap ibu terhadap pemberian Makanan Pendamping ASI

(MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan) di Desa Bekukul Kecamatan

Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun 2021


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey bersifat analitik menggunakan

metode penelitian kuantitatif dengan desain penelitian yang bersifat cross

sectional. Penelitian cross sectional dimaksudkan bahwa pengambilan dan

analisis data antara variabel bebas atau varaiabel independen yakni pengetahuan

dan sikap ibu tentang makanan pendamping ASI (MP-ASI), dengan variabel

terikat atau variabel dependen yakni pemberian makanan pendamping (MP-ASI)

pada bayi dan baduta (6-24 bulan) di Desa Bekukul Kecamatan Namorambe

Kabupaten Deli Serdang dilakukan pada waktu yang bersamaan

3.2. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-

konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.

Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki

oleh satuan penelitian tentang konsep penelitian. Variabel ini menjadi 2 yaitu

variabel independen dan variabel dependen. Dari hasil tinjauan teoritis dan

tinjauan kepustakaan maka disimpulkan kerangka konsep hubungan pengetahuan

dan sikap ibu terhadap pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi

dan baduta (6-24 bulan) di Desa Bekukul Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli

Serdang Tahun 2021 sebagai berikut:

37
38

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan ibu Pemberian Makanan


Pendamping ASI (MP-ASI)
pada bayi dan baduta (6-24
Sikap ibu
bulan)

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.3. Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana

cara menentukan variabel dan mengukur suatu variabel (Arikunto, 2013). Defenisi

operasional ini dibuat untuk memberikan pemahaman yang sama tentang

pengertian variabel yang diukur dan untuk menentukan metodologi yang

digunakan dalam menganalisa data

Tabel 3.1.
Defenisi Operasional Variabel

Hasil Ukur/
No Variabel Defenisi Operasional Skala
Kategori
1 Pengetahuan Segala sesuatu yang 1. Baik, skor > Ordinal
diketahui ibu yang memiliki 14
bayi dan baduta (6-24 2. Cukup, skor
bulan) yang telah diberi 10-13
3. Kurang, skor ≤
makanan pendamping
9
(MPASI) meliputi waktu,
cara, jenis, frekuensi dan
syarat pemberian MP-ASI
2 Sikap Respon atau pernyataan 1. Positif, skor Ordinal
yang menyatakan 26-40
persetujuan atau penolakan 2. Negatif, skor
10-25
ibu terhadap pemberian
makanan pendamping ASI
(MP-ASI).
39

Tabel 3.1.
Lanjutan

Hasil Ukur/
No Variabel Defenisi Operasional Skala
Kategori
3 Pemberian Makanan atau minuman 1. Diberikan, Ordinal
Makanan yang mengandung gizi skor 26-40
Pendamping diberikan kepada bayi/anak 2. Tidak
ASI (MP- diberikan, skor
untuk memenuhi kebutuhan
10-25
ASI) pada gizinya yang diberikan
bayi dan mulai umur 6 bulan sampai
baduta (6-24 24 bulan
bulan)

3.4. Populasi dan Sampel

3.4.1. Populasi

Menurut Sugiyono (2016) menyatakan bahwa populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian

ditarik kesimpulan. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki

bayi/baduta berusia 6-24 bulan yang tinggal di Desa Bekukul Kecamatan

Namorambe Kabupaten Deli Serdang sebanyak 240 orang

3.4.2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel

merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari

karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik pengambilan sampel adalah

dengan menggunakan rumus Slovin dalam Notoatmodjo (2012)

Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel yang akan diteliti adalah :

n= N
1 + N (d2 )
40

n= 240
1 + 240 (0,12)

n = 70,5 (dibulatkan menjadi 71)

Jumlah besar sampel dalam penelitian ialah sebanyak 71 orang responden.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

Accidental Sampling. Pengambilan sampel secara aksidental merupakan cara

pengambilan sampel yang dilakukan dengan menemui subjek atau responden

penelitian secara langsung berdasarkan kriteria yang ditetapkan peneliti dan

dilakukan dengan mengambil responden sesuai dengan jumlah sampel yang sudah

ditentukan yang ada atau tersedia di lokasi penelitian sesuai dengan konteks

penelitian, menanyakan kebersediaan menjadi responden dalam penelitian yang

dilakukan, apabila bersedia maka orang tersebut dapat dijadikan sebagai sampel

atau responden dalam penelitian (Sugiyono, 2016).

Kriteria responden dalam penelitian ini ialah responden merupakan ibu

yang memiliki bayi/baduta berusia 6-24 bulan yang tinggal di Desa Bekukul

Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang, serta responden bersedia untuk

diwawancarai langsung oleh peneliti untuk mengisi kuisioner yang telah disusun

sesuai dengan rumusan permasalahan yang diteliti.

3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.5.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian akan dilaksanakan di Desa Bekukul Kecamatan

Namorambe Kabupaten Deli Serdang.


41

3.5.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan mulai dari studi pendahuluan Maret 2021

sampai dengan dengan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2021.

3.6. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data untuk keperluan

penelitian (Arikunto, 2013). Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

primer dan data sekunder

3.6.1. Data Primer

Untuk memperoleh data primer yang diperlukan, teknik yang digunakan

adalah pengisian kuesioner melalui wawancara langsung oleh peneliti kepada

responden penelitian. Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data dengan

memberikan daftar pertanyaan kepada responden secara langsung dengan harapan

responden akan memberi respon jawaban yang sebenar-benarnya atas pertanyaan

yang diajukan dalam kuisioner

3.6.2. Data Sekunder

Pengumpulan sumber data sekunder berasal dari studi kepustakaan dan

studi literatur yang terkait dengan rumusan permasalahan yang sedang diteliti

dalam penelitian yang sedang dilaksanakan

3.7. Metode Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data selanjutnya akan

diubah kedalam bentuk tabel-tabel, kemudian diolah menggunakan program

statistik. Proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri

beberapa langkah:
42

1. Editing (Pemeriksaan Data)

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan jawaban

atas pertanyaan yang diajukan. Apabila terdapat jawaban yang belum lengkap atau

terdapat keluhan maka data harus dilengkapi dengan cara wawancara atau

menanyakan kembali jawaban pengisian kuisioner kepada responden.

2. Coding (Pemberian Kode)

Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya

kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual.

3. Entry (Memasukkan Data)

Data yang akan dimasukkan yakni jawaban-jawaban dari masing-masing

pertanyaan yang diajukan pada responden dalam bentuk “kode” (angka atau

huruf) yang dimasukkan dalam program atau software statistik komputer. Dalam

penelitian ini program statisitik komputer yang dipakai ialah program SPSS

(Statistical Product Service Solution).

4. Cleaning (Pembersihan Data)

Cleaning atau pembersihan data yang artinya semua data dari setiap

sumber data yang telah selesai dimasukkan, perlu diperiksa kembali untuk melihat

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan

sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi kembali.

5. Scoring (Pemberian Skors)

Scoring atau pemberian skors ialah pemberian nilai yang dilakukan oleh

peneliti terhadap isian kuisinoner yang diisi oleh responden, pemberian skors
43

terhadap isian kuisioner dilakukan untuk menyesuiakan dengan statistik uji yang

akan dipakai dalam penelitian (Sugiyono, 2016).

3.8. Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Univariat

Univariat bertujuan untuk menjelaskan setiap variabel penelitian. Pada

umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan

presentase dari tiap variabel.

2. Bivariat

Analisis bivariat yaitu analisis yang dilakukan untuk mengetahui adanya

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan

menggunakan uji Chi-Squre pada tingkat kepercayaan 95% (p < 0,05) yaitu untuk

melihat hubungan/pengaruh antara variabel independen dan dependen.

Penerimaan atau penolakan hasil hipotesa uji statistik yaitu :

a. p value > α (0,05) maka Ho diterima atau Ha ditolak, yang berarti tidak

ada hubungan independen pada faktor dependen

b. p value < α (0,05) maka Ho ditolak atau Ha diterima, yang berarti ada

hubungan independen pada faktor dependen (Sugiono, 2016)


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap

pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24

bulan) di Desa Bekukul Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun

2021 maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Ada hubungan pengetahuan ibu terhadap pemberian Makanan Pendamping

ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan) di Desa Bekukul

Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun 2021 dengan hasil

uji chi square dengan nilai signifikansi yaitu 0,000 < 0,05

2. Ada hubungan sikap ibu terhadap pemberian Makanan Pendamping ASI

(MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan) di Desa Bekukul Kecamatan

Namorambe Kabupaten Deli Serdang Tahun 2021 dengan hasil uji chi

square dengan nilai signifikansi yaitu 0,000 < 0,05

5.2. Saran

Adapun saran dalam penelitian ini, berdasarkan dari hasil penelitian, yaitu:

1. Bagi Ibu Yang Mempunyai Bayi dan Baduta

Diharapkan kepada ibu yang memiliki bayi dan baduta untuk lebih sering

mengikuti kegiatan posyandu dan penyuluhan yang diadakan di kelurahan

tersebut. Meningkatkan pengetahuan dan mencari informasi kesehatan terutama

dengan keterkaitan ketepatan pemberian MP-ASI. Serta diharapkan kepada pihak

petugas kesehatan lebih meningkatkan program komunikasi, informasi, dan

edukasi (KIE) tentang MP-ASI.

62
63

2. Bagi Puskesmas Namorambe Kabupaten Deli Serdang

Hasil penelitian dapat menjadi bahan masukan bagi Puskesmas

Namorambe dalam mengevaluasi kinerja petugas kesehatan dalam pelaksanaan

program Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Diharapkan juga bagi petugas

kesehatan tidak hanya mengedukasi ibu untuk meningkatkan pengetahuan tentang

MP-ASI yang benar sesuai dengan usia anak

3. Bagi STIKes Mitra Husada

Sebagai bahan referensi perpustakaan STIKes Mitra Husada penelitian

yang terkait tentang pengetahuan dan sikap ibu terhadap pemberian Makanan

Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan)

4. Bagi Peneliti Lanjut

Sebagai masukan dan tambahan informasi bagi peneliti berikutnya yang

akan melakukan penelitian dalam ruang lingkup yang sama tentang pemberian

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi dan baduta (6-24 bulan)
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitan Satuan Pendekatan Praktik, Rineka Cipta


: Jakarta.

Arisman. (2018). Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta:
EGC

Beck, M. E. (2020). Ilmu Gizi Dan Diet. Hubungannya Dengan Penyakit-Penyakit


Untuk Perawat dan Dokter. Yogyakarta: Yayasan Essentia Media.

Hidayat, A. (2016). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data.


Jakarta : Salemba Medika

Husaini, M, (2016). Makanan Bayi Bergizi. Yogyakarta : Gadjah Mada

IDAI. (2015). Praktik Pemberian Makan Berbasis Bukti Pada Bayi Dan Batita di
Indonesia untuk Mencegah Malnutrisi. Jakarta: IDAI

Kemenkes RI. (2012). Pedoman Pelaksanaan dan Pendistribusian dan Pengelolaan


Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Jakarta : Direktorat Jenderal Gizi
Masyarakat

Krisnatuti dan Yenrina. (2015). Menyiapkan Makanan Pendamping ASI, Jakarta:


Puspa Swara.

Krisnatuti D. (2019). Makanan Pendamping ASI. Jakarta: PuspaSwara

Mutiara, Sri, dan Ruslianti. (2018). Buku Pintar Bayi. Jakarta: Pustaka Bunda

Nadesul, Hendrawan. (2017). Makanan Sehat Untuk Bayi. Jakarta : Puspa Swara.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2014). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

---------------------------. (2014). Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka


Cipta

---------------------------, (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Nursalam. (2017). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

64
65

Nursalam. (2019). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan.. Jakarta: Salemba Medika

Poverawaty, A.(2019). Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta: Nuha


Medika

Setiadi. (2017). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakara: Graha


Ilmu

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitataif dan Kombinasi


(Mixed Methods). Bandung: Alfabeta

Suhardjo, (2020). Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta :


Kanisius

Suhartono, Suparlan. (2018). Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jogjakarta: Ar-Ruzz


Media

Sulistidjani. (2019). Menjaga Kesehatan Bayi dan Balita. Jakarta : Puspa Swara

Yenrina. (2018). Menyiapkan Makanan Pendamping, Jakarta: Puspa Swara

Agung Bintang Triana Dewi. (2016). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu
Terhadap Perilaku Pemberian Makanan Pendamping ASI Pada Balita Usia
6-24 Bulan di Posyandu Cendana 1 dan 2 Kelurahan Cawang. Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Jakarta. Tersedia dari
http://repository.uki.ac.id. Diakses pada tanggal 12 April 2021

Alvian Merza Radi Putra, Melania Wahyuningsih, Fajarina Lathu. (2020).


Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Pemberian MP-ASI Dengan Kejadian
Diare Pada Ana Usia 6-24 Bulan. Tersedia dari https://www.jurnal.
payungnegeri.ac.id › download. Diakses pada tanggal 26 Juni 2021

Desiyanti. (2016). Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Pemberian Makanan


Pendamping ASI (MP-ASI) Pada Bayi Usia 6-12 Bulan di Puskesmas
Poasia Kota Kendari. Tersedia dari http://repository.poltekkes-kdi.ac.id.
Diakses pada tanggal 11 April 2021

Elya Aslina Hasibuan, (2019). Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian MP-
ASI Dini Pada Bayi 0-6 Bulan di Desa Lingga Tiga Kecamatan Bilah Hulu
Kabupaten Labuhan Batu Tahun 2019. Program Studi S1 Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia.
Tersedia dari http://repository.helvetia.ac.id › 6 › ELYA ASLIN. Diakses
pada tanggal 14 April 2021
66

Lantip Meliana Pancarani, Dodik Pramono, Arwinda Nugraheni. (2017).


Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Pada Informasi MP-ASI di Buku
KIA Dengan Pemberian MP-ASI Balita Usia 6-24 Bulan di Kelurahan
Bandarharjo Semarang Utara. Jurnal Kedokteran Diponegoro Volume 6,
Nomor 2, April 2017. Tersedia dari http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/medico. Diakses pada tanggal 25 Juni 2021

Muhammad Nuh Bin Mohd Rashid, (2017). Hubungan Antara Pengetahuan dan
Sikap Ibu Dengan Perilaku Pemberian Makanan Pendamping ASI Pada
Balita Usia 6-24 Bulan di Puskesmas Padang Bulan Medan. Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Tersedia dari http://repositori.usu.ac.id › bitstream › handle. Diakses pada
tanggal 12 April 2021

Santi Lestiarini, Yuly Sulistyorini (2020). Perilaku Ibu pada Pemberian Makanan
Pendamping ASI (MPASI) di Kelurahan Pegirian Surabaya. Jurnal
Promkes: The Indonesian Journal of Health Promotion and Health
Education Vol. 8 No. 1 (2020) 1-11 doi: 10.20473/jpk.V8.I1.2020.1-11.
Tersedia dari https://e-journal.unair.ac.id › article › download. Diakses
pada tanggal 20 Juni 2021

Wahyu Widyawati. (2016). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Balita Mengenai


Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Dengan Status Gizi Pada
Balita Usia 6-24 Bulan di Kelurahan Semanggi Kecamatan Pasar Kliwon
Kota Surakarta. Tersedia dari http://eprints.ums.ac.id › 47246. Diakses
pada tanggal 15 April 2021

Mina Yumei Santi, (2017). Upaya Peningkatan Cakupan Asi Eksklusif Dan
Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Tersedia dari jos.unsoed.ac.id › kesmasindo
› article › download. Diakses pada tanggal 12 April 2021

Anda mungkin juga menyukai