Anda di halaman 1dari 13

INTERVENSI DENGAN PENDEKATAN HUMANISTIK/PERSON

CENTERED Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Intervensi

Psikologi

Dosen Pengampu: Lainatul Mudzkiyyah, M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh:
Eka Wulan Astutik 2207016086

Nafadhilla Refie Anjani 2207016094

Dilla Maghdalena Oktavia 2207016096

Thami Alya Firdaus 2207016100

Siwi Alfiana Ameli 2207016101

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2023

1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah dengan judul “INTERVENSI DENGAN PENDEKATAN
HUMANISTIK/PERSON CENTERED” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga
kami ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Penyusunan makalah ini bertujuan
untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah Dasar Intervensi Psikologi . Selain itu,
pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan bagi para
pembacanya mengenai materi yang diangkat.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah
ini dapat berguna bagi para pembaca.

2
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR .............................................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI........................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
1.3 Tujuan ........................................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6
2.1 Penemu....................................................................................................................... 6
2.2 Sudut Pandang tentang Sifat Manusia...................................................................... 6
2.3 Peran Konselor .......................................................................................................... 7
2.4 Tujuan ........................................................................................................................ 7
2.5 Teknik......................................................................................................................... 8
2.6 Kekuatan dan Kontribusi........................................................................................ 10
2.7 Keterbatasan............................................................................................................ 10
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 12 3.2
Saran dan Kritik...................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 13

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kehidupan sosial budaya pada suatu masyarakat adalah system terbuka.


Keterbukaan ini mendorong terjadinya pertumbuhan, pergeseran dan perubahan nilai
dalam masyarakat yang akan mewarnai cara berpikir dan perilaku individu. Bimbingan
konseling menjadi salah satu jalan yang membantu individu memelihara, memperhalus
dan memaknai diri sebagai landasan dan arah pengembangan diri. Intervensi adalah
usaha yang dilakukan untuk mengubah kehidupan klien dan salah satu cara yang
umum untuk memperbaiki diri. Intervensi dapat berupa psikoterapi. Psikoterapi dapat
dilakukan sesuai dengan metode-metode pendekatan dalam psikologi, dilakukan
secara sengaja, untuk membantu orang memodifikasi perilaku, kognitif, emosi,
karakter pribadi dan secara keseluruhan,psikoterapi ada komunikasi antara klien dan
terapis, ada kepercayaan dari klien terhadap terapis begitu pula sebaliknya terapis
dapat menjaga kepercayaan klien dengan menjaga rahasia atau informasi yang
diberikan klien saat terapi berlangsung dan berikutnya dalam psikoterapi ada tujuan
yang ditentukan atau disepakati diawal oleh terapis dan klien.
Kebutuhan akan bimbingan konseling juga dipengaruhi oleh faktor filosofi,
psikologi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Latar belakang filosofi
berkaitan dengan pandangan tentang hakikat manusia. Salah satu aliran filsafat yang
berpengaruh besar terhadap timbulnya semangat memberikan bimbingan adalah
filsafat humanisme, yaitu bahwa manusia memiliki potensi untuk dapat
dikembangkan seoptimal mungkin. Latar belakang psikologi berkaitan erat dengan
proses keragaman ini ialah bahwa individu memiliki kebebasan dan kemerdekaan
untuk memilih dan mengembangkan diri sesuai dengan keunikan atau tiap-tiap
potensi dari perkembangan yang sehat di dalam lingkungannya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan kekuatan dan kontribusi?


2. Apakah yang dimaksud dengan sudut pandang sifat manusia?
3. Apa saja peran konselor dan tujuannya?
4. Apa saja Teknik yang digunakan dalam konselor

4
1.3 Tujuan

1. Menjelaskan apa maksud dari kekuatan dan kontribusi 2.


Menjelaskan bagaimana sudut pandang tentang sifat manusia 3.
Untuk mengetahui apa peran konselor dan tujuannya 4. Untuk
mengetahui teknik yang digunakan dalam konselor

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penemu
Psikologi humanistik atau psikologi kemanusiaan merupakan pendekatan yang
multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia yang memusatkan perhatian
pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Tokoh terkenal dari aliran Humanistik
adalah Carl Rogers. Carl Rogers (1902-1987) adalah orang yang paling dekat dengan
konseling berpusat pada orang. Ia pertama kali menyusun teori tersebut dalam bentuk
psikoterapi tak langsung di dalam bukunya, yang berjudul “Counseling and
Psychotherapy” tahun 1942. Teori tersebut kemudian berkembang menjadi konseling
berpusat pada klien dan berpusat pada orang dengan berbagai penerapan pada
kelompok, keluarga, komunitas dan individual. Pendekatan ini mengutamakan suatu
sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan ini berfokus pada
sifat dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas
untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan tanggung jawab.pendekatan ini
memberikan kontribusi yang besar dalam bidang psikologi, yaitu tentang
penekanannya terhadap kualitas manusia terhadap manusia yang lain dalam proses
teurapeutik.

2.2 Sudut Pandang tentang Sifat Manusia

Pandangan tertentu tentang sifat manusia terimplisit dalam konseling berpusat


pada orang : manusia pada dasarnya baik (Rogers,1961). Manusia secara karakteristik
“positif, bergerak maju, konstruktif, realistic, dan dapat diandalkan
(Rogers,1957,p.199).Setiap orang sadar,terarah,dan maju kea rah aktualisasi diri sejak
masa kanak-kanak.

Menurut Rogers, aktualisasi diri merupakan penggerak yang paling umum dan
memotivasi keberadaan, serta mencakup tindakan yang mempengaruhi orang tersebut
secara keseluruhan. “Makhluk hidup mempunyai satu dasar kecenderungan dan
perjuangan, yaitu aktualisasi diri, mempertahankan, dan meningkatkan si makhluk
yang merasakannya tersebut” (Rogers,1952,p.487). Para ahli teori yang berpusat pada
orang yakin bahwa masing-masing orang mampu menemukan arti diri dan tujuan
dalam kehidupan.. “Disfungsionalitas sesungguhnya adalah kegagalan untuk belajar
dan berubah (Bohart,1995,p.94).

6
Rogers memandang individu dari perspektif fenomologikal : yang adalah
persepsi manusia mengenai realita dibanding peristiwa yang terjadi itu sendiri
(Rogers,1995). Cara memandang manusia ini mirip dengan teori Adler. Konsep diri
adalah gagasan lain yang dimiliki Adler dan juga Rogers. Tetapi pada Rogers konsep
tersebut adalah inti dari teorinya sehingga gagasannya sering disebut teori diri. Diri
adalah hasil dari pengalaman yang dialami seseorang, dan suatu kesadaran akan diri
dapat membantu orang membedakan dirinya dari orang lain (Nye,2000).

Agar muncul diri yang sehat, seseorang membutuhkan perhatian-positif –cinta,


kehangatan, kasih sayang, respek, dan penerimaan. Akan tetapi dimasa kanak-kanak,
di masa kehidupan berikutnya, seseorang sering kali menerima perhatian berpamrih
dari orang tua dan orang lain. Rasa berharga berkembang jika seseorang berperilaku
dalam cara tertentu karena penerimaan dengan pamrih mengajarkan pada orang
tersebut bahwa dirinya dihargai hanya jika dirinya berkompromi dengan keinginan
orang lain. Jadi seseorang terkadang, harus menyangkal atau membelokkan persepsi
ketika seseorang yang menjadi tempatnya bergantung memandang situasinya secara
berbeda. Individu yang terjebak di dalam dilemma semacam itu akan menyadari
adanya ketidaksamaan antara persepsi pribadi dan pengalaman. Jika seseorang tidak
melakukan seperti apa yang diinginkan orang lain, dia tidak akan diterima dan
dihargai. Namun, jika dia melakukan kompromi, dia membuka jurang pemisah antara
idealisme diri (sosok yang ingin dia tiru) dan realita diri (diri orang tersebut apa
adanya). Semakin jauh idealsime diri dengan realita diri, semakin asing dan
menyimpang diri tersesbut.

2.3 Peran konselor

Peran konselor sangatlah penting. Ia membuat dan meningkatkan atmosfer di


mana klien bebas dan didorong untuk mengeksplorasi semua aspek mengenai dirinya
(Rogers, 1951, 1980). Atmosfer ini difokuskan pada hubungan konselor-klien, yang
digambarkan Rogers sebagai kualitas pribadi dengan “Saya-Anda” yang special.

Klien adalah orang yang daloam proses tersebut yang “diberi hak untuk
mengarahkan terapinya sendiri” (Moon, 2007, p. 277). Jadi, konselor menaruh
keprcayaan pada kliennya untuk mengembangkan agenda tentang apa yang ingin dia
kerjakan.

7
Tugas konselor yaitu lebih kepada fasilitator daripada pengarah. Pada pendekatan
berpusat pada orang, konselor adalah ahli proses tersebut dan ahli penelitian
(mengenai klien tersebut). Kesabaran adalah kuncinya (Miller, 1996)
2.4 Tujuan
Tujuan dalam konseling berpusat pada orang berkisar pada klien sebagai
manusia, bukan permasalahan yang dihadapinya. (Roger, 1997) menekankan bahwa
orang perlu bantuan untuk belajar menghadapi berbagai situasi. Salah satu cara utama
untul mencapai hal ini adalah dengan membantu klien menjadi orang yang berfungsi
penuh, yang tidak perlu menerapkan menaknisme pertahanan diri untuk menghadapi
pengalaman sehari-hari.
Individu semacam itu akan lebih berkeinginan untuk berubah dan bertumbuh.
Dia lebih terbuka terhadap pengalama, lebih mempercayai persepsi diri sendiri, dan
berpartisipasi dalam eksplorasi serta evaluasi diri (Roger 1961).
Lebih jauh lagi, orang yang befungsi penuh mengembangkan penerimaan yang
lebih besar akan dirinya dan orang lain seta menjadi pembuat keputusan yang lebih
baik di masa kini dan mendatang.
Yang paling penting, klien dibantu untuk mengidentifikasikan, menggunakanm
dan mengintegrasikan sumber daya dan potensinya sendiri (Boy & Pine, 1983; Miller,
1996)
2.5 Teknik

Dalam Gladding (2009), Glauser dan Bozarr mengungkapkan bahwa bagi


terapis yang menggunakan pendekatan berpusat pada orang, kualitas hubungan
konseling jauh lebih penting daripada teknik yang digunakan. Rogers (1957) percaya
bahwa ada tiga kondisi yang penting dan perlu (inti) pada konseling:
1. Kongruensi (congruence)
Kongruensi ialah ketulusan, realness (tidak berpura-pura), keterbukaan,
transparansi, dan presence (kesadaran). Kongruensi ini merupakan sikap paling
mendasar. Terapis yang kongruen akan menemui klien secara langsung (orang-ke
orang), menghindari pendekatan intelektual yang membuat klien diperlakukan seakan
objek, bersikap sopan, juga menampakan penampilan profesional.
Dalam Jones (2001), Rogers menjelaskan bahwa kongruensi bukan diartikan
pengutaraan perasaan terapis secara impulsif, akan tetapi terapis mengambil risiko
berbagi perasaan atau memberi umpan-balik yang mampu memperbaiki hubungan

8
karena diekspresikan dengan tulus. Kongruensi berusaha mengatasi penghalang
diantara terapis dan klien dengan menjadi riil, tidak sempurna, dan mengungkapkan
perasaan sesungguhnya kepada klien. Harapannya hal itu akan dijadikan batu pijakan
bagi klien untuk berbicara dengan lebih tulus.
2. Anggapan positif tanpa syarat (unconditional positive regard) Kondisi ini dapat
diartikan sebagai kehangatan, perhatian, penerimaan, penghargaan, dan penghormatan
nonposesif. Unconditional positive regard berhubungan dengan keyakinan akan
kapasitas klien melakukan perubahan konstruktif dalam kondisi-kondisi pendukung
yang tepat, juga melibatkan kesediaan terapis menerima klien dalam keadaan apapun.
Selain itu, anggapan positif tanpa syarat didefinisikan sebagai sikap dan orientasi
filosofis, yang terefleksi dalam perilaku terapis, bahwa klien akan bergerak maju jika
merasa dihargai sebagai manusia dan bebas serta aman untuk memperlihatkan
berbagai perasaan tanpa takut kehilangan penerimaan dari terapis.
3. Empati
Menurut Rogers, empati ialah merasakan dunia pribadi klien seakan dunia anda
sendiri, tetapi tanpa pernah kehilangan kualitas “as if” (seolah-olah). Terapis perlu
memahami dunia subjektif pribadi klien dan sensitif terhadap alur pengalaman dari
waktu ke waktu yang terjadi pada klien maupun dirinya.
Sikap empatik terapis memungkinkan terciptanya iklim emosional, dimana klien
dapat membantu terapis untuk lebih akurat dalam memahami dirinya, sehingga perlu
diawali dengan mengomunikasikan komitmen untuk memahami dunia klien dengan
sering memeriksa keakuratan pemahamannya dan menunjukan kesediaannya untuk
dikoreksi.

Rogers menuliskan bahwa ada 7 tahapan dalam proses psikoterapinya (berjalan


dari most defensive ke most integrated), yaitu:

1. Tidak bersedia berkomunikasi


2. Belum membicarakan perasaannya, hanya tentang eksternal obyek dan
oranglain
3. Bicara tentang diri sendiri sebagai obyek
4. Bicara perasaan yang mendalam di masa lalu, bukan saat ini (present)
5. Dapat menunjukan ekspresi perasaan pada saat ini (present)

9
6. Terlihat kongruen, menunjukan kesadaran dan mengekspresikan emosinya
secara terbuka, serta mengembangkan unconditional positif regard
7. Berfungsi secara penuh menjadi “person of tomorrow”

2.6 Kekuatan dan Kontribusi

Aspek unik dalam konseling berpusat pada orang melibatkan hal-hal berikut:
1. Pendekatan ini merevolusi profesi konseling dengan cara menghubungkan kon- seling
dengan psikoterapi dan memperjelasnya melalui pembuatan rekaman suara dari sesi
aktual dan menerbitkan salinan aktual mengenai sesi konseling (Goodyear, 1987;
Sommers-Flanagan, 2007).
2. Pendekatan berpusat pada orang dalam konseling dapat diterapkan untuk ber bagai
macam permasalahan manusia, termasuk perubahan institusional, hubung an
manajemen-pekerja, perkembangan kepemimpinan, membuatan keputusan tentang
karier, dan diplomasi internasional. Sebagai contohnya, Cornelius-White (2005)
menemukan bahwa pendekatan berpusat pada orang efektif dalam me ningkatkan
konseling multikultural. Seperti halnya, Lemoire dan Chen (2005). berpendapat bahwa
"pendekatan berpusat pada orang tampaknya berpotensi untuk menciptakan kondisi
yang diperlukan dalam menangkal stigmasasi, me- mungkinkan remaja yang
diasosiasikan dengan kelompok stigmasasi seksual minoritas, menangani identitas
seksualnya dengan cara yang lebih konstruktif bagi dirinya" (p. 146).
3. Pendekatan ini telah menghasilkan penelitian yang ekstensif (Tursi & Cochran, 2006).
Pada awalnya pendekatan ini menetapkan standar untuk melakukan pe nelitian tentang
variabel konseling, khususnya yang dianggap oleh Rogers (1957) sebagai "tepat dan
penting" untuk mendatangkan perubahan dalam terapi.
4. Pendekatan ini efektif dalam sejumlah keadaan. Konseling berpusat pada orang
membantu memperbaiki penyesuaian psikologis, pembelajaran, toleransi frustrasi, dan
mengurangi sikap defensif. Pendekatan ini tepat untuk mengobati ansietas ringan
sampai menengah, gangguan penyesuaian, dan kondisi yang tidak berhubungan
dengan kelainan mental, seperti kesedihan yang tidak rumit atau hubungan
antarpribadi (Seligman, 1997).
5. Pendekatan berpusat pada orang sangat membantu jika bekerja dengan klien yang
mengalami tragedi karena pendekatan ini membuat klien "berperang me lawan emosi
dan benar-benar semakin kurang terpengaruh seiring berjalannya waktu dengan

10
menyadari sepenuhnya, perasaan yang berhubungan dengan tragedi tersebut" (Tursi &
Cochran, 2006, p. 395).
6. Pendekatan ini berfokus pada keterbukaan dan hubungan penerimaan yang dibangun
konselor dan klien serta proses bantuan yang bersifat jangka pendek. . Dasar
pendekatan ini hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat untuk dipelajari.
Dengan penekanannya pada penguasaan keahlian mendengarkan, konseling berpusat
pada orang merupakan fondasi untuk melatih para calon pembantu profesional. Lebih
jauh lagi, merupakan dasar untuk beberapa pen- dekatan perawatan yang baru dan
sering kali dikombinasikan dengan orientasi teoretis lainnya dalam konseling seperti
kognitif dan tingkah laku (Prochaska & Norcross; Seligman, 2006).
7. Pendekatan ini mempunyai pandangan positif perihal sifat manusia dan terus
berevolusi.

2.7 Keterbatasan

1. Pendekatan terlalu sederhana, optimistis, santai, dan tidak terfokus untuk klien yang
sedang dalam krisis atau klien yang membutuhkan struktur dan arah yang lebih jelas. 2.
Pendekatan ini terlalu bergantung pada klien yang suka bekerja keras, cerdas, dan
berwawasan luas untuk mendapatkan hasil terbaik. Pendekatan ini memiliki penerapan
yang terbatas, dan jarang digunakan untuk anak-anak atau penderita cacat berat. 3.
Pendekatan ini mengabaikan diagnosis, ketidaksadaran, teori-teori perkembangan, dan
dorongan agresif serta seksual yang alami. Banyak kritik yang mengatakan bahwa
pendekatan ini terlalu optimis.
4. Pendekatan ini hanya menangani permasalahan yang ada di permukaan, dan tidak
menantang klien untuk mengeksplorasi area-area yang lebih dalam. Karena konseling
berpusat pada orang hanya untuk jangka pendek, tidak mempunyai dampak yang
permanen pada orang tersebut.
5. Pendekatan ini lebih berdasarkan pada sikap daripada teknik. Pendekatan ini tidak
mempunyai teknik khusus untuk mendatangkan perubahan bagi klien.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Psikologi humanistik atau psikologi kemanusiaan merupakan pendekatan yang


multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia yang memusatkan perhatian
pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Tokoh terkenal dari aliran Humanistik
adalah Carl Rogers. Carl Rogers (1902-1987) adalah orang yang paling dekat dengan
konseling berpusat pada orang. Ia pertama kali menyusun teori tersebut dalam bentuk
psikoterapi tak langsung di dalam bukunya, yang berjudul “Counseling and
Psychotherapy” tahun 1942. Teori tersebut kemudian berkembang menjadi konseling
berpusat pada klien dan berpusat pada orang dengan berbagai penerapan pada
kelompok, keluarga, komunitas dan individual. Pendekatan ini mengutamakan suatu
sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan ini berfokus pada
sifat dari kondisi manusia yang mencakup kesanggupan untuk menyadari diri, bebas
untuk menentukan nasib sendiri, kebebasan dan tanggung jawab.pendekatan ini
memberikan kontribusi yang besar dalam bidang psikologi, yaitu tentang
penekanannya terhadap kualitas manusia terhadap manusia yang lain dalam proses
teurapeutik.

3.2 Saran dan Kritik

Dalam hal penulisan makalah ini kami sadar betul bahwa kami masih banyak
sekali kesalahan dalam penulisan. Maka dari itu kami sangat membutuhkan kritik
membangun dari para pembaca. Demikian makalah yang dapat kami buat, semoga
dapat bermanfaat dan dapat memberikan sebuah ilmu bagi para pembaca. Dan apabila
terdapat banyak kesalahan mulai dari materi sampai penulisannya mohon dapat
dimaafkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Andangsari, Esther. (2022). Psikoterapi Client Centered dari Carl Roger. Diakses
pada 22 Maret 2023, dari https://youtu.be/K-4x3ip_ZJI

Gladding, Samuel T. (2009). Konseling: Profesi yang Menyeluruh. (Winarno &


Lilian, terjemahan). Jakarta: Indeks.
Jones, Richard Nelson. (2001). Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. (Helly & Sri
Mulyantini, terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

13

Anda mungkin juga menyukai