PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Konseling merupakan sebuah proses antara dua orang yang saling terikat
dengan tujuan membentuk suatau perubahan yang positif. Berkembangnya dunia
konseling menghasilkan berbagai pendekatan dalam melakukan sebuah konseling.
Perkembangan tersebut menghasilkan berbagai teori konseling yang dapat
menjelaskan bagaimana seseorang dapat berkembang menjadi dirinya seperti saat
ini, menjelaskan permasalahan yang dialami seseorang, dan sebagai rujukan bagi
konselor dalam merespon dengan tepat permasalahan yang konseli hadapi
menggunakan teknik-teknik yang tepat sehingga konseli mendapatkan solusi atas
permasalahan yang dihadapinya.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, berikut ini adalah rumusan masalah yang
akan di bahas dalam makalah ini, yaitu:
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Client-Centered
B. Sejarah Perkembangan
Carl Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illionis dan
meninggal pada tahun 1987. Dia mencetuskan sebuah teori konseling
menggunakan pendekatan humanistik, teori tersebut adalah pendekatan person-
centered. Pendekatan person-centered adalah cabang khusus dari terapi
humanistik yang menggarisbawahi tindakan alami konseli berikut dunia subjektif
dan fenomenanya (Corey, 2013, hlm. 91). Teori Rogers berkembang pada tahun
1940-an. Teori ini lahir sebagai reaksi terhadap psikoanalisis Freud. Dia meyakini
bahwa model atau pendekatan medis adalah bias dan merugikan. Oleh karena itu,
dia menghilangkan diagnosis, interpretasi, dan pemberian nasihat. Pada teori ini
yang ditekankan adalah refleksi dan klarifikasi yang bertujuan untuk memfasilitasi
perkembangan wawasan dan kesadaran diri seorang konseli, Bradly T. Erford
(dalam Yusuf, 2016, hlm. 150).
Rogers adalah salah seorang peletak dasar dari gerakan potensi manusia,
yang menekankan perkembangan pribadi melalui ltihan sensitivitas, kelompok
pertemuan, dn Latihan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang agar
memiliki pribadi yang sehat. Dia mengembangkan teorinya berdasarkan pada
praktik interaksi terapeutik dengan para pasiennya. Karena dia menekannyan
teorinya kepada pandangan subjektif seseorang, maka teori ini dinamakan person-
centered (Yusuf, 2016, hlm. 150). Terapis berfungsi sebagai penunjang
pertumbuhan pribadi konsli dengan jalan membantu konseli dalam menemukan
kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalahnya. Pendekatan
person-centered menaruh kepercayaan yang sangat besar pada kesanggupan
konseli untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan
terapeutik antara konselor dan konseli merupakan katalisator bagi perubahan;
klien menggunakan hubungan yang unuik sebagai alat untuk meningkatkan
kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan
secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya (Corey, 2013, hlm. 91).
C. Hakikat Manusia
D. Perkembangan Perilaku
1. Struktur Kepribadian.
Rogers mengungkapkan terdapat beberapa unsur yang sangat
esensial dalam hubungannya dengan kepribadian, yaitu:
a. Self
Self merupakan konstruk utama dalam teori kepribadian Rogers,
yang dewasa ini dikenal dengan self-concept (konsep diri). Rogers
mengartikannya sebagai “persepsi tentang hubungan ‘I’ atau ‘me’ dengan
oranglain atau berbagai aspek kehidupan, termasuk nilai-nilai yang terkait
dengan persepsi tersebut”. Diartikan juga sebagai “Keyakinan tentang
kenyataan, keunikan, dan kualitas tingkah laku diri sendiri”. Konsep ini
merupakan gambaran mental tentang diri sendiri, seperti: “Saya cantik”,
“Saya seorang pekerja yang jujur”, dan “Saya seorang pelajar yang rajin”.
Lebih lanjut bahwa Rogers mengemukakan, bahwa self-concept
atau self-structure adalah sebagai suatu konfigurasi yang terorganisir
tentang persepsi self yang dengannya individu menjadi sadar. Konsep diri
terdiri atas beberapa elemen, yaitu 1) persepsi seseorang tentang
karakteristik dan kemampuannya, 2) persepsi dan konsep self dalam
kaitannya dengan orang lain atau lingkungan, 3) kualitas nilai yang
dipersepsi berhubungan dengan pengalaman dan objek, dan 4) tujuan yang
dipersepsi.
Hubungan antara self concept dengan organisme atau (actual
experience) terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu congruence atau
incongruence. Kedua kemungkinan hubungan ini menentukan
perkembangan kematangan, penyesuaian (adjustment), dan kesehatan
mental (mental health) seseorang. Apabila antara self concept dengan
organisme terjadi kecocokan maka hubungan itu disebut kongruen, tetapi
apabila terjadi diskrepansi (ketidakcocokan) maka hubungan itu disebut
inkongruen. Contoh yang inkongruen : anda mungkin meyakini bahwa
secara akademik anda seorang yang cerdas (self concept), namun ternyata
nilai-nilai yang anda peroleh sebaliknya (organisme atau pengalaman
nyata).
Suasana inkongruen menyebabkan seseorang mengalami sakit
mental (mental illness), seperti merasa terancam, cemas, berperilaku
defensif, dan berpikir yang kaku atau picik. Adapun kongruensi
mengembangkan kesehatan mental atau penyesuaian psikologis. Ciri orang
yang sehat psikologisnya adalah sebagai berikut.
1) Dia mampu mempersepsi dirinya, orang lain dan berbagai peristiwa
yang terjadi di lingkungannya secara objektif.
2) Dia terbuka terhadap semua pengalaman karena tidak mengancam
konsep dirinya.
3) Dia mampu menggunakan semua pengalaman.
4) Dia mampu mengembangkan dirinya ke arah aktualisasi diri, “goal of
becoming” atau “fully functioning person”.
Pada dekade terakhir, William Kell, Salah satu seorang murid Rogers
menggunakan pendekatan Rodgers dalam meneliti tingkah laku anak-anak
yang menyimpang (deliquent children). Hasilnya menunjukkan bahwa
yang menjadi faktor penentu secara signifikan ternyata bukan faktor
lingkungan keluarga atau interaksi sosial, tetapi faktor self Insight.
Temuan ini lebih diperkokoh oleh penelitian Helen McNeil yang
melakukan studi atau penelitian replikasi kepada subjek yang berbeda.
Penelitian ini menemukan bahwa self insight merupakan prediktor tunggal
yang sangat penting terhadap tingkah laku.
b. Organisme
Organisme yaitu makhluk fisik (physical creature) dengan semua
fungsi-fungsinya, baik fisik maupun psikis. Organisme ini juga merupakan
locus (tempat) semua pengalaman, dan pengalaman ini merupakan
persepsi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam diri sendiri dan
juga di dunia luar (external world). Totalitas pengalaman, baik yang
disadari maupun tidak disadari membangun medan fenomenal
(phenomenal field). Medan fenomena seseorang tidak diketahui oleh orang
lain, kecuali melalui inferensi empatik, itupun tidak pernah diketahui
secara sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku itu bukan fungsi
(pengaruh) dari realitas eksternal, atau stimulus lingkungan, tetapi realitas
subjektif atau medan fenomenal.
Masalah besar yang sulit dijawab dari medan fenomenologis ini
adalah, bagaimana orang dapat memisahkan dengan fiksi dalam medan
subjektifnya. Dalam hal ini Rogers berpendapat bahwa hanya ada satu cara
untuk membedakan, yaitu mengetes realitas, atau mengecek kebenaran
dari informasi, dalam mana hipotesis seseorang didasarkan pula kepada
sumber informasi lainnya. Contoh sederhana tentang masalah ini: “Apabila
anda merasa tidak yakin tentang botol mana yang berisi garam dari kedua
botol yang sama-sama berisi benda halus berwarna putih, sebaiknya anda
mencicipi (mengetes) isi kedua tersebut, apabila isi salah satu botol
tersebut rasanya asin, maka itulah garam (Yusuf, 2016, hlm. 152-153).
E. Hakikat Konseling
F. Kondisi Pengubahan
1. Tujuan
Rogers (dalam Corey, 2006, hlm. 94) menguraikan ciri-ciri orang yang
bergerak ke arah menjadi bertambah teraktualkan sebagai berikut: (1)
keterbukaan pada pengalaman, (2) kepercayaan terhadap diri sendiri, (3)
tempat evaluasi internal, (4) kesediaan untuk menjadi suatu proses. Ciri-ciri
tersebut merupakan tujuan-tujuan dasar terapi person-centered.
Inti dari konseling berpusat pada klien ini adalah tentang diri dan konsep
menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Tugas konselor adalah membantu
klien mengenali masalahnya dirinya sendiri sehingga akhrinya dapat menemukan
solusi bagi dirinya sendiri. Konseli harus bersedia secara sukarela untuk menerima
bantuan dan dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Hubungan
konselor-klien diwarnai kehangatan, saling percaya, dan klien diberikan
diperlakukan sebagai orang dewasa yang dapat mengambil keputusan sendiri dan
bertanggungjawab atas keputusannya. Tahapan konseling dimulai saat konseli
datang sendiri untuk meminta bantuan konseling dan berakhir saat mereka tidak
membutuhkan bantuan konselor lagi. Teknik-teknik dalam person-centered adalah
upaya yang dilakukan dengan konseli dalam mengembangkan kerangka acuan
internal dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli, teknik konseling
person-centered sangat berpengaruh dalam merubah individu menjadi pribadi
yanglebih baik. Kelemahan dari teori ini adalah klien sering mengharapkan
konselor untuk memberikan bimbingan dan menjalankan pendekatan secara tidak
terstruktur serta menurut beberapa kultur mungkin teori ini dianggap hanya
mementingkan diri sendiri. Dibalik kelemahan tersebut, falsafah person-centered
cocok digunakan untuk beragam klien karena konselor tidak mengambil peran
sebagai ahli yang akan membebankan "right way of being (cara yang benar)" pada
klien. Sebaliknya, konselor adalah seorang "fellow explorer (sesama penjelajah)"
yang berupaya memahami dunia klien dengan cara yang menarik, menerima, dan
terbuka serta memeriksa dengan klien untuk memastikan bahwa persepsi konselor
itu akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, G. (2006). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.
Belmont, CA: Brooks/Cole.
Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling nd Psychoteraphy.
Terjemahan: Koswara, E. Bandung: Refika Aditama.
Hartati dan Hanifah. (2016). Mengatasi Masalah Low Self Esteem Siswa Melalui
Konseling Individu Model Person Centered Therapy. Indonesin Journal of
Guidance amd Counseling: Theory and Application, 5(3), 43-47.
Juntika. A. 2006. Bimbingan Konseling – Dalam Berbagai Latar Kehidupan.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Ratnawati, V. (2017). Penerapan Person Centered Therapy Di Sekolah (Empathy,
Congruence, Unconditioal Positive Regard) dalam Manajemen Kelas. Journal
of Education Technology, 1(4), 252-259.
Ulfiah. (2020). Psikologi Konseling Teori dan Implementasi. Jakarta: Kencana.
Wikarta, S. (2016). Pelaksanaan Konseling Kelopok dengan Pendekatan Person
Centered Therapy dalam Menangani Regulasi Diri Rendah Empat Mahasiswa
Angkatan 2014 Prodi Bimbingan dan Konseling Fakultas Pendidikan dan
Bahasa Unikaatmajaya. Jurnal Psiko-Edukasi, 14(2), 125-142.
Yusuf, S. (2016). Konseling Individual: Konsep Dasar dan Pendekatan. Bandung:
Refika Aditama.