Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Konseling merupakan sebuah proses antara dua orang yang saling terikat
dengan tujuan membentuk suatau perubahan yang positif. Berkembangnya dunia
konseling menghasilkan berbagai pendekatan dalam melakukan sebuah konseling.
Perkembangan tersebut menghasilkan berbagai teori konseling yang dapat
menjelaskan bagaimana seseorang dapat berkembang menjadi dirinya seperti saat
ini, menjelaskan permasalahan yang dialami seseorang, dan sebagai rujukan bagi
konselor dalam merespon dengan tepat permasalahan yang konseli hadapi
menggunakan teknik-teknik yang tepat sehingga konseli mendapatkan solusi atas
permasalahan yang dihadapinya.

Carl Rogers berusaha mengembangkan teori konseling person-


centeredsebagai sebuah bentuk perkembagan dari kemajuan bidang konseling.
Teori konseling person-centered merupakan bentuk dari pendekatan terapi
humanistik. Carl Rogers yang dijuluki sebagai “Bapak Konseling” pada tahun
1940-an berhasil mengembangkan pendekatan non medis dalam proses bimbingan
dan konseling. Pandangan Rogres banyak memengaruhi perkembagan profesi
konseling dan pendekatan konseling modern (Yusuf, 2016, hlm. 6). Pada makalah
ini kelompok kami akan membahas lebih mendalam mengenai teori person-
centered dan perkembagannya yang di kembangkan oleh Rogers.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, berikut ini adalah rumusan masalah yang
akan di bahas dalam makalah ini, yaitu:

1. Apa itu pendekatan person-centered?


2. Bagaimana sejarah perkembangan teori person-centered?
3. Bagaimana hakikat manusia dalam teori person-centered?
4. Bagaimana perkembangan perilaku individu dalam teori person-centered?
5. Bagaimana hakikat konseling dalam teori person-centered?
6. Apa tujuan dari teori person-centered?
7. Bagaimana sikap, peran, dan tugas konselor dalam teori person-centered?
8. Bagaimana sikap, peran, dan tugas konseli dalam teori person-centered?
9. Bagaimana situasi dan hubungan antara konselor dan konseli dalam teori
person-centered?
10. Apa saja tahap-tahap konseling dalam teori person-centered?
11. Apa saja teknik-teknik konseling dalam teori person-centered?
12. Bagaimana hasil penelitian yang menggunakan teori person-centered?
13. Apa kelemahan dan kelebihan dari teori person-centered?
C. Tujuan Pembahasan

Berikut ini adalah tujuan dari pembahasan makalah ini, yaitu:

1. Mengetahui apa itu pendekatan person-centered.


2. Mengetahui sejarah perkembangan teori person-centered.
3. Menjelaskan hakikat manusia dalam teori person-centered.
4. Mengetahui perkembangan perilaku individu dalam teori person-
centered.
5. Mengetahui hakikat konseling dalam teori person-centered.
6. Mengetahui tujuan dari teori person-centered.
7. Mengetahui sikap, peran, dan tugas konselor dalam teori person-
centered.
8. Mengetahui sikap, peran, dan tugas konseli dalam teori person-centered.
9. Mengetahui situasi dan hubungan antara konselor dan konseli dalam teori
person-centered.
10. Mengetahui tahap-tahap konseling dalam teori person-centered.
11. Mengetahui teknik-teknik konseling dalam teori person-centered.
12. Menjelaskan hasil penelitian yang menggunakan teori person-centered.
13. Mengetahui kelemahan dan kelebihan dari teori person-centered.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Client-Centered

Pendektan person-centered adalah bentuk dari pendekatan terapi


humanistik. Pendekatan ini menekanan pada keunikan setiap individu serta
memusatkan perhatian kepada kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan
perwujdan diri individu. Pada terapi ini para ahli tidak mencoba menafsirkan
perilaku konseli, tetapi bertujuan untuk memperlancar kajian pikiran dan perasaan
seseorang dan membantunya memecahkan masalahnya sendiri (Ulfiah, 2020, hlm.
59).

B. Sejarah Perkembangan

Carl Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illionis dan
meninggal pada tahun 1987. Dia mencetuskan sebuah teori konseling
menggunakan pendekatan humanistik, teori tersebut adalah pendekatan person-
centered. Pendekatan person-centered adalah cabang khusus dari terapi
humanistik yang menggarisbawahi tindakan alami konseli berikut dunia subjektif
dan fenomenanya (Corey, 2013, hlm. 91). Teori Rogers berkembang pada tahun
1940-an. Teori ini lahir sebagai reaksi terhadap psikoanalisis Freud. Dia meyakini
bahwa model atau pendekatan medis adalah bias dan merugikan. Oleh karena itu,
dia menghilangkan diagnosis, interpretasi, dan pemberian nasihat. Pada teori ini
yang ditekankan adalah refleksi dan klarifikasi yang bertujuan untuk memfasilitasi
perkembangan wawasan dan kesadaran diri seorang konseli, Bradly T. Erford
(dalam Yusuf, 2016, hlm. 150).

Rogers adalah salah seorang peletak dasar dari gerakan potensi manusia,
yang menekankan perkembangan pribadi melalui ltihan sensitivitas, kelompok
pertemuan, dn Latihan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang-orang agar
memiliki pribadi yang sehat. Dia mengembangkan teorinya berdasarkan pada
praktik interaksi terapeutik dengan para pasiennya. Karena dia menekannyan
teorinya kepada pandangan subjektif seseorang, maka teori ini dinamakan person-
centered (Yusuf, 2016, hlm. 150). Terapis berfungsi sebagai penunjang
pertumbuhan pribadi konsli dengan jalan membantu konseli dalam menemukan
kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalahnya. Pendekatan
person-centered menaruh kepercayaan yang sangat besar pada kesanggupan
konseli untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan
terapeutik antara konselor dan konseli merupakan katalisator bagi perubahan;
klien menggunakan hubungan yang unuik sebagai alat untuk meningkatkan
kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan
secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya (Corey, 2013, hlm. 91).

C. Hakikat Manusia

Rogers memandang hakikat manusia itu positif, yang secara inheren


memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Dia meyakini bahwa jika
kondisi yang terjadi itu baik, maka individu secara alami akan bergerak kearah
aktualisasi diri. Teori Rogers menekankan kepada perspektif penomenolgis, yang
mengisyaratkan bahwa kerangka berpikir internal individu adalah aspek utama
untuk memahami pribadinya (Yusuf, 2016, hlm. 151).

Pandangan tentang manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi


yang berarti bagi praktik terapi person-centered. Berkat pandangan filosofis
bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi
maladjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, terapis meletakkan
tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada konseli. Model person-centered
menolak konsep yang memandang konselor sebagai otoritas yang mengetahui
yang terbaik dan memandang konseli sebagai manusia pasif yang hanya
mengikuti permintaan-permintaan konslor. Oleh karena itu person-centered
berakar pada kesanggupan konseli untuk sadar dan membuat putusan-putusan
(Corey, 2013, hlm. 92).

D. Perkembangan Perilaku

1. Struktur Kepribadian.
Rogers mengungkapkan terdapat beberapa unsur yang sangat
esensial dalam hubungannya dengan kepribadian, yaitu:
a. Self
Self merupakan konstruk utama dalam teori kepribadian Rogers,
yang dewasa ini dikenal dengan self-concept (konsep diri). Rogers
mengartikannya sebagai “persepsi tentang hubungan ‘I’ atau ‘me’ dengan
oranglain atau berbagai aspek kehidupan, termasuk nilai-nilai yang terkait
dengan persepsi tersebut”. Diartikan juga sebagai “Keyakinan tentang
kenyataan, keunikan, dan kualitas tingkah laku diri sendiri”. Konsep ini
merupakan gambaran mental tentang diri sendiri, seperti: “Saya cantik”,
“Saya seorang pekerja yang jujur”, dan “Saya seorang pelajar yang rajin”.
Lebih lanjut bahwa Rogers mengemukakan, bahwa self-concept
atau self-structure adalah sebagai suatu konfigurasi yang terorganisir
tentang persepsi self yang dengannya individu menjadi sadar. Konsep diri
terdiri atas beberapa elemen, yaitu 1) persepsi seseorang tentang
karakteristik dan kemampuannya, 2) persepsi dan konsep self dalam
kaitannya dengan orang lain atau lingkungan, 3) kualitas nilai yang
dipersepsi berhubungan dengan pengalaman dan objek, dan 4) tujuan yang
dipersepsi.
Hubungan antara self concept dengan organisme atau (actual
experience) terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu congruence atau
incongruence. Kedua kemungkinan hubungan ini menentukan
perkembangan kematangan, penyesuaian (adjustment), dan kesehatan
mental (mental health) seseorang. Apabila antara self concept dengan
organisme terjadi kecocokan maka hubungan itu disebut kongruen, tetapi
apabila terjadi diskrepansi (ketidakcocokan) maka hubungan itu disebut
inkongruen. Contoh yang inkongruen : anda mungkin meyakini bahwa
secara akademik anda seorang yang cerdas (self concept), namun ternyata
nilai-nilai yang anda peroleh sebaliknya (organisme atau pengalaman
nyata).
Suasana inkongruen menyebabkan seseorang mengalami sakit
mental (mental illness), seperti merasa terancam, cemas, berperilaku
defensif, dan berpikir yang kaku atau picik. Adapun kongruensi
mengembangkan kesehatan mental atau penyesuaian psikologis. Ciri orang
yang sehat psikologisnya adalah sebagai berikut.
1) Dia mampu mempersepsi dirinya, orang lain dan berbagai peristiwa
yang terjadi di lingkungannya secara objektif.
2) Dia terbuka terhadap semua pengalaman karena tidak mengancam
konsep dirinya.
3) Dia mampu menggunakan semua pengalaman.
4) Dia mampu mengembangkan dirinya ke arah aktualisasi diri, “goal of
becoming” atau “fully functioning person”.

Berkembangnya ide atau gagasan peranan self dalam kepribadian


didasarkan kepada hasil penelitian Rogers sendiri pada tahun 1930 an.
Pada tahun itu Rogers meneliti tentang faktor-faktor penentu yang
mempengaruhi tingkah laku anak yang sehat (konstruktif) atau tidak sehat
(destruktif). Faktor-faktor yang diyakini mempengaruhi anak tersebut
adalah:

1) faktor eksternal, terutama lingkungan keluarga: kondisi kesehatan,


status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, iklim dan intelektual, dan
interaksi sosial; dan
2) faktor internal: self-insight (understanding), self acceptance, atau self
responsibility.

Pada dekade terakhir, William Kell, Salah satu seorang murid Rogers
menggunakan pendekatan Rodgers dalam meneliti tingkah laku anak-anak
yang menyimpang (deliquent children). Hasilnya menunjukkan bahwa
yang menjadi faktor penentu secara signifikan ternyata bukan faktor
lingkungan keluarga atau interaksi sosial, tetapi faktor self Insight.
Temuan ini lebih diperkokoh oleh penelitian Helen McNeil yang
melakukan studi atau penelitian replikasi kepada subjek yang berbeda.
Penelitian ini menemukan bahwa self insight merupakan prediktor tunggal
yang sangat penting terhadap tingkah laku.

Berdasarkan temuan-temuan atau pengalaman yang diperoleh,


akhirnya Rogers mengemukakan “pengalaman yang saya peroleh
mendorong saya untuk memfokuskan karir saya kepada upaya
mengembangkan psikoterapi yang menitik beratkan kepada self
understanding, self-direction, dan personal responsibility, daripada kepada
perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan sosial” (Yusuf, 2016,
hlm. 151-152).

b. Organisme
Organisme yaitu makhluk fisik (physical creature) dengan semua
fungsi-fungsinya, baik fisik maupun psikis. Organisme ini juga merupakan
locus (tempat) semua pengalaman, dan pengalaman ini merupakan
persepsi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam diri sendiri dan
juga di dunia luar (external world). Totalitas pengalaman, baik yang
disadari maupun tidak disadari membangun medan fenomenal
(phenomenal field). Medan fenomena seseorang tidak diketahui oleh orang
lain, kecuali melalui inferensi empatik, itupun tidak pernah diketahui
secara sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku itu bukan fungsi
(pengaruh) dari realitas eksternal, atau stimulus lingkungan, tetapi realitas
subjektif atau medan fenomenal.
Masalah besar yang sulit dijawab dari medan fenomenologis ini
adalah, bagaimana orang dapat memisahkan dengan fiksi dalam medan
subjektifnya. Dalam hal ini Rogers berpendapat bahwa hanya ada satu cara
untuk membedakan, yaitu mengetes realitas, atau mengecek kebenaran
dari informasi, dalam mana hipotesis seseorang didasarkan pula kepada
sumber informasi lainnya. Contoh sederhana tentang masalah ini: “Apabila
anda merasa tidak yakin tentang botol mana yang berisi garam dari kedua
botol yang sama-sama berisi benda halus berwarna putih, sebaiknya anda
mencicipi (mengetes) isi kedua tersebut, apabila isi salah satu botol
tersebut rasanya asin, maka itulah garam (Yusuf, 2016, hlm. 152-153).

2. Pribadi Sehat dan Pribadi Bermasalah

a. Pribadi sehat. Pribadi yang sehat menurut Person Centered adalah:


kapasitas untuk memberikan toleransi pada apapun dan siapapun;
menerima dengan senang hati hadirnya ketidakpastian dalam hidup;
mau menerima diri sendiri dan orang lain; spontanitas dan kreatif;
kebutuhan untuk tidak dicampuri orang lain dan menyendiri (privacy);
mempunyai kepedulian yang tulus pada orang lain; mempunyai rasa
humor; terarah dari dalam diri sendiri; mempunyai sikap yang terbuka
terhadap hidup; mempercayai diri sendiri; adanya keselarasan atau
kongruensi antara organisme, ideal self, dan self concept.
b. Pribadi bermasalah. Karakteristik pribadi yang menyimpang menurut
Person Centered adalah: adanya ketidaksesuaian antara persepsi diri dan
pengalamannya yang riil; adanya ketidaksesuaian antara bagaimana dia
melihat dirinya (self-concept) dan kenyataan atau kemampuannya;
pribadi yang inkongruensi atau tidak kongruen antara ideal self, self
concept, dan organisme; kesenjangan antara ideal self dan self concept,
jika hal ini terjadi akan menimbulkan khayalan tinggi; kesenjangan
antara self concept dan organisme, sehingga dapat menimbulkan
perasaan rendah diri (minder); tidak mampu mempersepsi dirinya,
orang lain, dan berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya secara
objektif; tidak terbuka terhadap semua pengalaman yang mengancam
konsep dirinya; tidak mampu mengembangkan dirinya kearah
aktualisasi diri.

E. Hakikat Konseling

Rogers (dalam Corey, 2006, hlm. 7) mengemukakan bahwa: Dalam


konteks konseling, Rogers menemukan dan mengembangkan teknik konseling
yang dikenal sebagai Person-centered Therapy, yakni teknik terapi yang berpusat
pada klien. Dibandingkan teknik terapi yang ada masa itu, teknik ini adalah
pembaharuan karena mengasumsikan posisi yang sejajar antara konselor dan
pasien atau klien. Hubungan konselor-klien diwarnai kehangatan, saling percaya,
dan klien diberikan diperlakukan sebagai orang dewasa yang dapat mengambil
keputusan sendiri dan bertanggungjawab atas keputusannya. Tugas konselor
adalah membantu klien mengenali masalahnya dirinya sendiri sehingga akhrinya
dapat menemukan solusi bagi dirinya sendiri. Pendekatan konseling client
centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting
bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari
adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri,
teori kepribadian, dan hakekat kecemasan. Menurut Roger (dalam Juntika, 2006,
hlm. 21) “konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri
dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri”. Inti dari konseling
berpusat pada klien ini adalah tentang diri dan konsep menjadi diri atau
pertumbuhan perwujudan diri. Dikatakan bahwa konsep atau struktur diri
dipandang sebagai konfigurasi persepsi yang terorganisasikan tentang diri yang
membawa kesadaran. Hal itu terdiri dari atas unsur-unsur persepsi terhadap
karakteristik dan kecakapan seseorang, pengamatan dan konsep diri dalam
hubungan dengan orang lain dan lingkungan dan cita-cita yang dipandang
mempunyai kekuatan positif dan negatif. Rogers membangun teorinya ini
berdasarkan penelitian dan observasi langsung terhadap peristiwa-peristiwa nyata,
dimana pada akhirnya ia memandang bahwa manusia pada hakekatnya adalah
baik.

F. Kondisi Pengubahan

1. Tujuan

Tujuan dasar terapi person-centered adalah menciptakan iklim yang


kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang
berfungsi. Guna mencapai tujuan terapi tersebut, konselor perlu
mengusahakan agar konseli dapat memahami hal-hal yang ada di balik topeng
yang dikenakannya. Konseli mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng
sebagai pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan oleh
konseli menghambat untuk tampil utuh di hadapan orang lain dan dalam
usahanya menipu orang lain, ia menjadi asing terhadap dirinya sendiri.

Rogers (dalam Corey, 2006, hlm. 94) menguraikan ciri-ciri orang yang
bergerak ke arah menjadi bertambah teraktualkan sebagai berikut: (1)
keterbukaan pada pengalaman, (2) kepercayaan terhadap diri sendiri, (3)
tempat evaluasi internal, (4) kesediaan untuk menjadi suatu proses. Ciri-ciri
tersebut merupakan tujuan-tujuan dasar terapi person-centered.

a. Keterbukaan pada pengalaman


Keterbukaan pada pengalaman perlu memandang melalui
kenyataan tanpa mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur
diri yang tersusun lebih dulu. Keterbukaan pada pengalaman
menyiratkan supaya lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana
kenyataan itu hadir pada luar dirinya.
b. Kepercayaan terhadap diri sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun
rasa percaya terhadap diri sendiri. Pada tahap-tahap permulaan terapi,
kepercayaan konseli terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-
putusannya sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan
jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai
kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan
meningkatnya keterbukaan konseli pada pengalamannya, kepercayaan
konseli pada diri sendiri pun mulai timbul.
c. Tempat evaluasi internal
Tempat evaluasi internal yang berkaitan dengan kepercayaan diri,
akan lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi
masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian
pada dirinya daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari
luar. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat pada
dirinya sendiri dalam membuat keputusan dan pilihan hidupnya.
d. Kesediaan untuk menjadi suatu proses
Meskipun konseli boleh menjalani terapi untuk mencari sejenis
formula untuk membangun keadaan berhasil dan berbahagia (hasil
akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses
yang berkesinambungan. Para konseli dalam terapi berada dalam
proses pengujian persepsi dan kepercayaan serta membuka diri bagi
pengalaman baru dan revisi supaya menjadi wujud yang membeku.

Tujuan-tujuan terapi yang telah diuraikan di atas adalah tujuan


umum yang menyajikan suatu kerangka umum untuk memahami arah
gerakan terapi. Tonggak terapi person-centered memiliki anggapan
bahwa konseli dalam hubungannya dengan konselor yang menunjang,
memiliki kesanggupan untuk menentukan dan menjernihkan
tujuannya sendiri. Konselor banyak yang mengalami kesulitan dalam
memperbolehkan klien untuk menetapkan sendiri tujuan-tujuan yang
khusus dalam terapi. Meskipun mudah untuk pura-pura setuju
terhadap konsep “klien menemukan jalan sendiri”, ia menuntut respek
terhadap klien dan keberanian pada terapis untuk mendorong klien
agar bersedia mendengarkan dirinya sendiri dan mengikuti arahnya
sendiri terutama pada saat klien menentukan pilihan yang bukan
merupakan pilihan yang diharapkan oleh konselor.

2. Sikap, Peran, dan Tugas Konselor

Broadley (dalam Yusuf, 2016, hlm. 157) mengemukakan bahwa konselor


tidak berperan untuk mengelola, mengatur, atau mengontrol konseli. Dalam
arti bahwa konselor tidak mendiagnosa, merancang treatment, strategi,
mengharapkan teknik-teknik treatment, atau mengambil tanggung jawab
konseli. Di samping itu, konselor juga tidak berfungsi untuk mengajukan
pertanyaan yang mengarahkan atau probing questions, melakukan interpretasi
tingkah laku konseli, mengevaluasi gagasan konseli, atau mengambil
keputusan bagi konseli.

Fungsi konselor yang sebaiknya dilakukan adalah mengkatalisasi


perubahan pribadi konseli, dengan menampilkan diri yang empatik, genuine,
respek, acceptance, dan pemahaman.

Menurut Robert L. Gibson dan Marianne H. Mitchell (dalam Yusuf,


2016, hlm. 157) peran konselor adalah sebagai fasilitator dan reflektor.
Sebagai fasilitator, dia memfasilitasi konseli untuk memahami dirinya sendiri.
Sementara sebagai reflektor, dia mengklarifikasi dan merefleksi perasaan-
perasaan dan sikap konseli.

3. Sikap, Peran, dan Tugas Konseli

Konseli datang kepada konselor dalam keadaan incongruence, yaitu


keadaan diskrepansi antara self-perception dengan realita pengalamannya,
atau perbedaan antara ideal self-concept dengan real self-concept. Alasan
konseli melakukan konseling adalah karena dia mengalami perasaan tak
berdaya (helplessness), dan tidak mampu mengambil keputusan. Dia sangat
mengharapkan bantuan dari konselor untuk mengatasi masalah yang
dialaminya tersebut.

Agar proses konseling dapat mencapai perubahan pribadi konseli yang


diinginkan, maka diperlukan beberapa kondisi yang seharusnya ada pada
konseli, yaitu adanya kesediaan konseli secara sukarela untuk menerima
bantuan dan dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dapat
mengungkapkan perasaan tertekannya dengan baik, belajar untuk bebas
menggunakan hubungan konseling tersebut sebagai upaya untuk mencapai
pemahaman dirinya, dan konseli dan konselor harus bisa menciptakan
suasana yang kondusif dalam proses konseling.

4. Situasi Hubungan Konseli dan Terapis Konselor


Carl Rogers (dalam Corey, 2013, hlm. 99-100) menyatakan sikap yang
diperlukan seorang terapis (konselor) agar klien (konseli) merasakan
kebebasan yang mereka butuhkan dalam memulai perubahan kepribadian
yaitu dengan kondisi:
a. Dua orang berada dalam hubungan psikologis.
b. Orang pertama atau klien (konseli), berada dalam keadaan tidak selaras,
peka, dan cemas.
c. Orang kedua atau terapis (konselor), berada dalam keadaan selaras atau
terintegrasi dalam berhubungan.
d. Terapis (konselor) memberikan perhatian positif tak bersyarat terhadap
klien.
e. Terapis (konselor) memberikan pengertian yang empatik terhadap
kerangka acuan internal klien (konseli) dan berusaha mengomunikasikan
perasannya ini kepada klien (konseli).
f. Komunikasi pengertian empatik dan rasa hormat yang positif tak
bersyarat dari terapis (konselor) kepada klien (konseli) setidaknya dapat
dicapai.
Rogers (dalam Corey, 2013, hlm. 100) mengajukan hipotesis bahwa
tidak ada kondisi-kondisi lain yang diperlukan, selain yang telah dipaparkan.
Apabila keenam kondisi tersebut dilakukan dalam beberapa periode, akan
terjadi perubahan kepribadian yang konstruktif. Keenam kondisi ini tidak
hanya diperlukan untuk terapi person-centered, tetapi bagi semua pendekatan
psikoterapi.
Terdapat tiga ciri atau sikap terapis yang dapat membentuk bagian
tengah hubungan tarapeutik, yaitu:
a. Keselarsan atau Kesejatian
Rogers (dalam Corey, 2013, hlm. 100-101) menyatakan bahwa
keselarasan merupakan ciri yang paling penting karena keselarasan dapat
menyiratkan bahwa konselor tampil nyata, yang berarti sejati, teintegrasi, dan
otentik selama proses pertemuan terapi.
Seorang konselor yang otentik bersikap spontan dan terbuka dalam
menyatakan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang ada pada dirinya, baik
yang negatif maupun yang positif. Dengan ini, menunjuang komunikasi yang
jujur dengan konseli. Hubungan keselarasan ini memaksa konselor untuk
sanggup menyatakan kemarahan, kekecewaan, kesukaan, keteratrikan,
keprihatinan, kejemuan, kejengkelan, dan berbagai perasaan lain yang muncul
dalam hubungannya dengan konseli.
Tujuan dari terapi tidak hanya membuat konselor bisa menceritakan
perasaan-perasaanya terus-menerus dengan konseli. Namun dalam terapi
person-centeredini menekankan pada nilai hubungan yang noneksploatatif
dan otentik serta nilai potensial dari umpan balik yang terbuka dan jujur
ketika komunikasi yang bermakna terhambat. Proses terapi akan berlangsung
tidak baik ketika konselor melakukan tindakan yang berbeda dengan yang ia
rasakan.
Terapi person-centered berasumsi bahwa jika konselor dan konseli
memiliki hubungan yang selaras, maka proses tarapeutik bisa berlangsung.
b. Perhatian Positif Tak Bersyarat
Corey (2013, hlm. 101-102) menyatakan bahwa sikap selanjutnya yang
perlu diberikan konselor kepada konseli adalah perhatian yang mendalam dan
tulus. Konselor menerima konseli secara hangat tanpa menaruh persyaratan-
persyaratan pada penerimaannya. Artinya bahwa konseli tidak perlu khawatir
akan kehilangan penerimaan dari konselor terhadap perasan dan
pengalamannya.
Seperti pada keselarasan, perhatian positif tidak bersyarat merupakan
unsur yang berada pada suatu kontinum yang artinya semakin besar kesukaan,
perhatian, dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka semakin besar juga
peluang perubahan pada konseli.
c. Pengertian Empati yang Akurat
Corey (2013, hlm. 102-103) menyatakan bahwa salah satu tugas utama
konselor dalam mengerti secara peka dan akurat terhadap perasaan dan
pengalaman konseli. Tujuan dari pengertian yang empatik ini yaitu agar dapat
mendorong konseli agar lebih erat dengan dirinya sendiri, mengalami
perasaan-perasaannya sendiri dengan lebih dalam dan intens, serta mengenali
dan mengatasi ketidakselarasan yang ada pada konseli.
Empati lebih dari sekedar refleksi perasaan tetapi empati ini merupakan
suatu pemahaman yang mendalam tentang konseli. Empati merupakan suatu
identifikasi pribadi dengan konseli. Konselor mampu mengambil bagian
dalam dunia subjektif konseli dengan memasuki perasaan-perasaannya sendiri
yang mungkin mirip dengan perasaan-perasaan yang dirasakan oleh konseli.
Semakin besar empati konselor semakin besar juga peluang yang
dimiliki konseli untuk melangkah maju dalam terapi.
G. Mekanisme Pengubahan
Dalam perubahan yang ingin dicapai oleh klien maupun terapis, terdapat
beberapa tahap dan teknik yang dilakukan dalam terapi person-centered.
1. Tahap-tahap Konseling
Rogers (dalam Yusuf, 2016, hlm. 158-159) mengemukakan dua belas
tahapan dalam proses konseling, yaitu:
a. Konseli datang sendiri untuk meminta bantuan konseling.
b. Membangun situasi yang membantu agar konseli merasa mendapatkan
kesempatan dalam mengembangkan dirinya.
c. Konselor mendorong konseli untuk mengekspresikan perasaan-
perasaannya secara bebas.
d. Konselor menerima, mengakui, dan mengklarifikasi perasaan-perasaan
negatif dari konseli.
e. Apabila perasaan-perasaan negatif itu sudah diekspresikan, selanjutnya
diikuti dengan ekspresi perasaan yang positif, berarti konseli mampu
mengembangkan dirinya.
f. Konselor menerima dan mengakui perasaan-perasaan positif konseli,
sama caranya dengan penerimaan dan pengakuannya terhadap
perasaan-perasaan negatif konseli. Kondisi ini memberikan kesempatan
kepada konseli untuk memahami dirinya apa adanya.
g. Pemahaman dan penerimaan terhadap diri merupakan dasar bagi
konseli untuk mencapai tingkat integrasi diri yang baru.
h. Pemahaman konseli terhadap dirinya memungkinkan untuk dapat
mengambil keputusan dan tindakan.
i. Konseli dapat mengambil keputusan atau tindakan yang positif.
j. Konseli memiliki pemahaman diri yang lebih mendalam.
k. Berkembangnya kegiatan positif konseli, berarti hilangnya perasaan
negatif (seperti rasa takut) pada diri konseli, dan dia akan lebih percaya
diri dalam mengarahkan kegiatan dirinya.
l. Apabila konseli merasa tidak perlu lagi terhadap bantuan konselor,
berarti proses konseling dapat diakhiri.
2. Teknik-teknik Konseling
Corey (2013, hlm. 104-105) menyatakan bahwa teknik-teknik dalam
person-centeredadalah pengungkapan dan pengomunikasian penerimaan,
respek, dan pengertian serta berbagai upaya yang dilakukan dengan konseli
dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan,
merasakan, dan mengeksplorasi.
Berikut merupakan tiga periode dalam membagi perkembangan teori Rogers.
a. Periode I (1940-1950): Psikoterapi Nondirektif
Pendekatan dengan menggunakan psikoterapi nondirektif lebih
menekankan (memfokuskan) pada penciptaan iklim permisif dan
noninterventif. Penerimaan dan klarifikasi menjadi teknik yang utama
dalam psikoterapi nondirektif. Dengan menggunakan terapi nondirektif
ini, konseli akan mencapai pemahaman atas dirinya sendiri dan atas
situasi kehidupannya.
b. Periode II (1950-1957): Psikoterapi Reflektif
Dalam Psikoterapi reflektif lebih menekankan pada merefleksikan
perasaan-perasaan konseli dan menghindari ancaman dalam hubungan
dengan konseli.
c. Periode III (1957-1970): Terapi Eksperensial
Pada terapi eksperensial ini berfokus pada apa yang sedang dialami oleh
konseli dan pengungkapan apa yang sedang dialami oleh konseli.
H. Hasil-hasil Penelitian

Berikut hasil-hasil penelitian yang berhubungan Person-Centered Therapy:

1. Penerapan Person Centered Therapy Di Sekolah (Empathy,


Congruence, Unconditioal Positive Regard) Dalam Manajemen Kelas.
Artikel ini membahas person-centered therapy dibidang konseling,
untuk membantu dalam proses hubungan, empathy, congruence,
unconditional positive regard, sebagai konsep penting pendekatan tersebut
dan sebagai saran terhadap manajemen kelas. Merupakan hal yang penting
jika proses belajar-mengajar berpusat pada siswa, sehingga pertimbangan
siswa akan berpusat pada segala hal yang berhubungan dengan pendidikan.
Ketika siswa menjadi bagian dari suatu keputusan maka siswa akan merasa
ikut berperan dan bertanggung jawab. Dalam person centered therapy
mungkin tidak menawarkan solusi yang siap jadi atau mengarahkan klien
untuk mengikuti strategi mengatasi masalah tertentu. Apa yang terapis
lakukan adalah menggunakan kesempatan dalam hubungan kepercayaan
melalui penghargaan terhadap klien sehingga masalah yang dihadapi dapat
diselesaikan. Secara keseluruhan, klien diasumsikan dapat memiliki
kemampuan untuk membuat solusi atas permasalahannya, dan terapis
hanya bertindak sebagai teman dalam proses penyembuhan (Ratnawati,
2017).
2. Mengatasi Masalah Low Self Esteem Siswa Melalui Konseling Individu
Model Person Centered Therapy.
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan fenomena di SMPN 25
Semarang yang menunjukkan adanya beberapa anak mengalami low self
esteem berdasarkan hasil analisis DCM yang disebarkan pada siswa kelas
IX. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran self esteem siswa
sebelum dan sesudah diberikan layanan konseling individu model person
centered therapy dan apakah konseling individu model person centered
therapy dapat mengatasi masalah low self esteem siswa. Penelitian ini
termasuk kedalam penelitian eksperimen dengan desain penelitian one
group pre test-post test design. Pre dan post test berupa skala self esteem.
Subyek penelitian ini adalah enam siswa dengan inisial AZ, AU, KA, FI,
AN dan AS. Uji hipotesis menggunakan uji wilcoxon dengan
membandingkan jenjang terkecil dari hasil pre dan post test. Hasil
penelitian ini yaitu (1) keenam konseli mengalami low self esteem dengan
rata-rata nilai skor 48,45% (2) keenam konseli mengalami peningkatan self
esteem dengan rata-rata skor 75,65% (3) Masalah low self esteem siswa
dapat diatasi melalui konseling model person centered therapy. Oleh
karena itu, Guru BK di sekolah dapat menggunakan konseling individu
model Person Centered Therapy untuk mengatasi masalah low self esteem
siswa (Hartati dan Hanifah, 2016).
3. Pelaksanaan Konseling Kelopok dengan Pendekatan Person Centered
Therapy Dalam Menangani Regulasi Diri Rendah Empat Mahasiswa
Angkatan 2014 Prodi Bimbingan dan Konseling Fakultas Pendidikan
dan Bahasa Unikaatmajaya.
Regulasi diri adalah perubahan yang dilakukan oleh diri sendiri
dengan cara mengubah beberapa aspek dari diri sesuai dengan konsep
standar yang dipilih oleh diri sendiri atau ditentukan oleh lingkungan
sosial. Penelitian ini adalah penelitian tindakan bimbingan dan konseling
yang bertujuan untukmengetahui mengenai penanganan mahasiswa yang
mempunyai regulasi diri rendah melalui konseling kelompok dengan
pendekatan Person-Centered Therapy. Pengukuran tingkat regulasi diri
diukur dengan menggunakan skala penilaian yang diberikan sebelum dan
sesudah tindakan berupa konseling kelompok. Pendekatan Person-
Centered Therapy dalam konseling kelompok dapat membantu menangani
masalah (1) pencegahan, pengembangan pribadi dan pengentasan masalah,
(2) ajang latihan untuk mengubah perilaku yang kurang memuaskan
menjadi lebih memuaskan, (3) tempat para anggota kelompok belajar
keterampilan sosial, (4) tempat anggota akan menjalin hubungan pribadi
lebih dalam, dan (5) meningkatkan motif individu untuk berkarya melalui
interaksi yang intensif dan dinamis dalam kelompok. Dalam masalah
regulasi diri, pendekatan Person-entered Therapy dalam konseling
kelompok berhasil meningkatkan motif para anggota kelompok untuk
memperbaiki prestasi belajar dan kinerja dalam proses belajar, tetapi
pendekatan ini kurang berhasil mengubah perilaku subjek penelitian untuk
melakukan regulasi diri dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan dua siklus
untuk dilakukan tindakan lebih lanjut yaitu siklus pertama untuk
menyembuhkan luka batin dan siklus yang kedua untuk membantu subyek
memperbaiki regulasi dirinya (Wikarta, 2016).
I. Kelemahan dan Kelebihan
1. Kelemahan
Walaupun pendekatan person-centered telah memberikan kontribusi
yang signifikan untuk konseling dalam berbagai latar sosial, politik, dan
budaya, ada beberapa kelemahan dalam penerapan pendekatan person-
centered ini. Banyak klien yang datang ke Pusat Layanan Kesehatan Mental
atau yang terlibat dalam perawatan rawat jalan, menginginkan lebih banyak
hal daripada yang disediakan oleh pendekatan ini. Beberapa klien mencari
bantuan profesional untuk menghadapi krisis, untuk meringankan masalah
emosional, atau untuk mempelajari keterampilan mengatasi masalah dalam
menghadapi masalah sehari-hari. Klien sering mengharapkan konselor untuk
memberikan bimbingan atau memberikan nasihat dan menjalankan
pendekatan secara tidak terstruktur.
Kelemahan kedua pendekatan person-centered adalah sulitnya
menerjemahkan kondisi terapeutik dalam praktik langsung yang sesuai
dengan budaya tertentu. Komunikasi dalam pendekatan person-centered
harus konsisten dengan kerangka budaya klien. Misalnya, klien yang terbiasa
dengan komunikasi tidak langsung mungkin merasa tidak nyaman dengan
ekspresi empati secara langsung yang dilakukan konselor.
Kelemahan ketiga dalam menerapkan pendekatan person-centered
dengan klien dari beragam budaya berkaitan dengan fakta bahwa pendekatan
ini mengutamakan nilai evaluasi internal. The Humanistik Foundation of
person-centered Therapy menekankan dimensi seperti kesadaran diri,
kebebasan, otonomi, penerimaan diri, dan aktualisasi diri sedangkan orang
dengan kebuayaan kolektivistik menekankan nilai kebersamaan, seperti kerja
sama dan tanggung jawab kepada kelompok atau melakukan hal untuk
kebaikan bersama. Jadi, fokus pada pengembangan otonomi individu dan
pertumbuhan pribadi dapat dipandang sebagai hal yang mementingkan diri
dalam budaya yang menekankan kepentingan umum.
2. Kelebihan
Pendekatan person-centered berguna dalam memahami beragam
pandangan di dunia. Dasar filsafat tentang terapi person-centered orang
didasarkan pada pentingnya mendengar pesan yang lebih mendalam dari
seorang klien. Empati seperti hadir dan menghormati nilai-nilai klien adalah
sikap dan keterampilan penting dalam konseling dengan budaya klien yang
beragam. Meskipun konselor person-centered menyadari adanya faktor-faktor
keanekaragaman, mereka tidak membuat asumsi awal tentang individu-
individu (Cain dalam Corey, 2013, hlm. 185). Para terapis sadar bahwa
perjalanan setiap klien itu unik dan mereka akan berusaha untuk mengambil
langkah-langkah yang dapat menyesuaikan metode mereka agar cocok
dengan orangnya.
Bohart dan Watson (dalam Corey, 2013, hlm. 185) menyatakan bahwa
falsafah person-centered cocok digunakan untuk beragam klien karena
konselor tidak mengambil peran sebagai ahli yang akan membebankan "right
way of being (cara yang benar)" pada klien. Sebaliknya, konselor adalah
seorang "fellow explorer (sesama penjelajah)" yang berupaya memahami
dunia klien dengan cara yang menarik, menerima, dan terbuka serta
memeriksa dengan klien untuk memastikan bahwa persepsi konselor itu
akurat. Wawancara motivasi, yang didasarkan pada filsafat terapi person-
centered, merupakan pendekatan sensitif secara kultural yang efektif di
seluruh ranah populasi, termasuk jenis kelamin, usia, etnis, dan orientasi
seksual (Levensky, dkk., dalam Corey, 2013, hlm. 185).
BAB III
KESIMPULAN
Pendektan person-centered adalah bentuk dari pendekatan terapi humanistik.
Pendekatan ini menekanan pada keunikan setiap individu serta memusatkan
perhatian kepada kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan perwujdan diri
individu). Teori Rogers berkembang pada tahun 1940-an. Teori ini lahir sebagai
reaksi terhadap psikoanalisis Freud. Dia meyakini bahwa model atau pendekatan
medis adalah bias dan merugikan. Oleh karena itu, dia menghilangkan diagnosis,
interpretasi, dan pemberian nasihat. Rogers memandang hakikat manusia itu
positif, yang secara inheren memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan
dirinya. Menurut Rogers, perkembangan self selalu bersifat progres (maju) tidak
statis atau selesai.

Inti dari konseling berpusat pada klien ini adalah tentang diri dan konsep
menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri. Tugas konselor adalah membantu
klien mengenali masalahnya dirinya sendiri sehingga akhrinya dapat menemukan
solusi bagi dirinya sendiri. Konseli harus bersedia secara sukarela untuk menerima
bantuan dan dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Hubungan
konselor-klien diwarnai kehangatan, saling percaya, dan klien diberikan
diperlakukan sebagai orang dewasa yang dapat mengambil keputusan sendiri dan
bertanggungjawab atas keputusannya. Tahapan konseling dimulai saat konseli
datang sendiri untuk meminta bantuan konseling dan berakhir saat mereka tidak
membutuhkan bantuan konselor lagi. Teknik-teknik dalam person-centered adalah
upaya yang dilakukan dengan konseli dalam mengembangkan kerangka acuan
internal dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli, teknik konseling
person-centered sangat berpengaruh dalam merubah individu menjadi pribadi
yanglebih baik. Kelemahan dari teori ini adalah klien sering mengharapkan
konselor untuk memberikan bimbingan dan menjalankan pendekatan secara tidak
terstruktur serta menurut beberapa kultur mungkin teori ini dianggap hanya
mementingkan diri sendiri. Dibalik kelemahan tersebut, falsafah person-centered
cocok digunakan untuk beragam klien karena konselor tidak mengambil peran
sebagai ahli yang akan membebankan "right way of being (cara yang benar)" pada
klien. Sebaliknya, konselor adalah seorang "fellow explorer (sesama penjelajah)"
yang berupaya memahami dunia klien dengan cara yang menarik, menerima, dan
terbuka serta memeriksa dengan klien untuk memastikan bahwa persepsi konselor
itu akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, G. (2006). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy.
Belmont, CA: Brooks/Cole.
Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling nd Psychoteraphy.
Terjemahan: Koswara, E. Bandung: Refika Aditama.
Hartati dan Hanifah. (2016). Mengatasi Masalah Low Self Esteem Siswa Melalui
Konseling Individu Model Person Centered Therapy. Indonesin Journal of
Guidance amd Counseling: Theory and Application, 5(3), 43-47.
Juntika. A. 2006. Bimbingan Konseling – Dalam Berbagai Latar Kehidupan.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Ratnawati, V. (2017). Penerapan Person Centered Therapy Di Sekolah (Empathy,
Congruence, Unconditioal Positive Regard) dalam Manajemen Kelas. Journal
of Education Technology, 1(4), 252-259.
Ulfiah. (2020). Psikologi Konseling Teori dan Implementasi. Jakarta: Kencana.
Wikarta, S. (2016). Pelaksanaan Konseling Kelopok dengan Pendekatan Person
Centered Therapy dalam Menangani Regulasi Diri Rendah Empat Mahasiswa
Angkatan 2014 Prodi Bimbingan dan Konseling Fakultas Pendidikan dan
Bahasa Unikaatmajaya. Jurnal Psiko-Edukasi, 14(2), 125-142.
Yusuf, S. (2016). Konseling Individual: Konsep Dasar dan Pendekatan. Bandung:
Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai