DISUSUN OLEH :
Achmad Mubarok (200401110118)
Ervina Levi Astutik (200401110109)
Muhammad Daffa Ajira Anjayna (200401110108)
FAKULTAS PSIKOLOGI
MALANG
2022
Kata Pengantar
Puja-puji serta syukur, kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menganugerahkan nikmat yang tak terkira jumlah dan hikmahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita selaku mahasiswa. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya.
Akhir kata dari saya dalam pembukaan ini, Semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua, Amin.
BAB I
Pendahuluan
I. Latar Belakang
Carl Ransom Rogers (1902-1987) pada awal tahun 1940 mengembangkan teori yang
disebut non-directive counseling (konseling non-direktif) sebagai reaksi atas pendekatan yang
direktif dan pendekatan psikoanalitik. Teorinya adalah sebagai reaksi atas pendekatan yang
direktif dan pendekatan psikoanalitik. Rogers menentang asumsi dasar bahwa “konselor tahu
apa yang terbaik“. Dia juga menentang kesahihan dari prosedur terapeutik yang telah secara
umum bisa diterima seperti nasehat, saran, himbauan, pemberian pengajaran, diagnosis, dan
tafsiran.
Didasarkan pada keyakinannya bahwa konsep dan prosedur diagnostik kurang
memadai, berprasangka, dan sering kali disalahgunakan, maka pendekatannya tidak dengan
menggunakan cara tersebut. Konselor non-direktif menghindar dari usaha untuk melibatkan
dirinya dengan urusan klien, dan sebagai gantinya mereka memfokuskan terutama pada
merefleksi dan komunikasi verbal dan non-verbal dari klien. Asumsi dasarnya adalah bahwa
orang itu secara esensial bisa dipercaya, memiliki potensi yang besar untuk memahami
dirinya dan menyelesaikan masalah mereka tanpa intervensi langsung dari pihak terapis, dan
bahwa mereka ada kemampuan untuk tumbuh sesuai dengan arahan mereka sendiri apabila
mereka terlibat dalam hubungan terapeutik.
Sejak semula ia menekankan kepada sikap dan Teori Konseling karakteristik pribadi
terapis dan kualitas hubungan klien sebagai penentu utama dalam prosedur terapeutik. Secara
konsisten ia mengarahkan kepada posisi yang sekunder seperti pengetahuan terapis tentang
teori dan teknik. Non-directive counseling tersebut oleh Rogers didasarkan pada konsep
psikologi humanistik yang juga dapat diklasifikasikan sebagai cabang perspektif
eksistensialis. Rogers. memandang manusia sebagai individu yang tersosialisasi dan bergerak
ke depan, berjuang untuk berfungsi sepenuhnya, serta memiliki kebaikan yang positif.
Dengan asumsi tersebut pada dasarnya manusia dapat dipercayai, kooperatif dan konstruktif,
tidak perlu ada pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya.
Implikasi dari pandangan filosofis seperti ini, Rogers menganggap bahwa individu
memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju ke kondisi
psikologis yang sehat, konselor meletakkan tanggung jawab utamanya dalam proses terapi
kepada klien. Oleh karena itu konseling client-centered berakar pada kesanggupan klien
untuk sadar dan membuat keputusan-keputusan, sebab klien merupakan orang yang paling
tahu tentang dirinya, dan pantas menemukan tingkah laku yang pantas bagi dirinya.
III. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
BAB II
PEMBAHASAN
Rogers awalnya kesulitan dalam mendapatkan definisi yang tepat dalam menjelaskan “
diri”. Dari proses psikoterapis yang ia lakukan saat mengadapi klien-kliennya, istilah diri ini
sering mereka gunakan. Lewat sesi-sesi dengan kliennya, Rogers memahami bahwa
keinginan mereka yang terkuat sebenarnya adalah menjadi “diri yang sebenernya”. Dari
proses inilah akhinya Rogers menyadari bahwa sebenarnya memahami “diri” merupakan hal
yang sangat penting dan efektif dalam proses manusia untuk tumbih dan berkembang
sehingga diri menjadi konsep utama dalam teori kepribadian Rogers ini. Beriku definisinya:
“pola susunan konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi
tentang sifat-sifat dari „diri subjek‟ atau „diri objek‟ dan persepsi-persepsi tentang
hubungan-hubungan antara „diri subjek‟ atau „diri objek‟ dengan orang-orang lain dan
dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini.
Pola susunan yang ada dalam kesadaran meskipun tidak harus disadari. Pola susunan tersebut
bersifat lentur dan berubah-ubah, suatu proses, tetapi pada setiap saat merupakan suatu entitas
spesifik”. (Hall dan Lindzey, 1993: 134).
Menurut Rogers individu mempresepsi objek eksternal dan pengalaman pengalaman
yang ia rasakan dan kemudia memberi makna terhadap sesuatu. Keseluruhan presepsi dan
pemberian makna ini merupakan medan fenomenal individu. Medan fenomena ini tidak dapat
diketahui oleh orang lain kecuali melalui inferensi emoatis dan tidak dapat diketahui dengan
sempurna. Bagaimana individu ini bertingkah laku tergantung pada keadaan-keadaan
perangsangnya(kenyataan luar).
Rogers melihat diri sebagai suatu perangkat persepsi dan kepercayaan diri yang
konsisten dan teratur (Feist dan Feist, 1998:461). Perangkat sentral persepsi yang paling
menentukan perilaku adalah persepsi mengenai diri atau konsep diri. Diri terdiri dari semua
ide, persepsi, dan nilai-nilai yang memberi ciri atau yang meliputi kesadaran tentang seperti
apakah saya atau what I am (awareness of being) dan apakah yang dapat saya lakukan atau
what I can do (awareness of function). Pada gilirannya diri mempengaruhi persepsi orang
tentang dunia dan perilakunya. Seorang individu dengan konsep diri yang kuat dan positif
tentu akan memiliki pandangan yang berbeda tentang dunia dengan orang yang memiliki
konsep diri yang lemah yang akan berpengaruh pada perilakunya.
Diri telah muncul sejak masa anak-anak. Struktur diri ini terbentuk dari interaksi
lingkungan, terutama kingkungan sosial yang terdiri dari orang-orang terdekat seperti
keluarga ataupun teman bermain. Diri ini memiliki hubungan yang kuat dengan interaksi
sosial dan memiliki komponen evaluasi dimana individu memiliki dorongan untuk menilai
pendapay dan kemampuan dirinya. Pada anak tumbuhnya sebuah kesadaran diri dan mampu
membedalan diri dengan orang lain disebut self image, yaitu suatu cara untuk melihat dirinya
sendiri yang berkembang lewat identitas komponen kognisi, afeksi dan juga perilaku individu
yang dekat dengan dirinya. Perkembangan ini akan terus berkembang hingga membentu self-
concept. Ketika anak menjadi lebih sensitif secara sosial dan memiliki kemampuan kognitif
dan persepsi yang matang, maka konsep diri mereka lebih rumit dan juga kompleks. Bisa
dikatakan isi dari konsep diri merupakan produk sosial. Ada tiga elemen penting dalam
perkembangan konsep diri yaitu kebutuhan akan penghargaan positif (need for positive
regard), penghargaan bersyarat (conditional positive regard), dan penghargaan tanpa syarat
(unconditional positive regard) (Hjelle dan Ziegler, 1981:410).
Rogers meyakini bahwa penghargaan bersyarat ini tidak mungkin dihindari manusia,
akan tetapi ia melihat bahwa ,manusia sangat mungkin memberi dan menerima penghargaan
positif tanpa bersyarat. Hal ini membuktikan bahwa manusia dapat diterima, diharagai,
dicintai tanpa ada syarat ataupun alasan dan hanya perlu apa adanya. Seperti cinta seorang
ibu pada anaknya, tak peduli apa yang dilakukan, dipikirkan, atau dirasakan sang anak, ia
akan tetap dicintai dan dihargai. Ibu mencintai anaknya tanpa alasan, bukan karena sang anak
memenuhi kriteria atau standar tertentu. Seorang ayah atau seorang ibu tetap mencintai anak-
anaknya meskipun mereka melakukan kesalahan-kesalahan. Sebagaimana dikatakan Rogers:
“Then no conditions of worth would develop, self-regard would be unconditional, the need
for positive regard and self-regard would never be at variance with organismic evaluation,
and the individual would continue to is be psychologycally adjusted, and would be fully
functioning. This chain of events hypothetically possible, and hence important theoritically,
though it does not appear to accur in actuality”. (Hjelle and Ziegler, 1981:412)
Rogers mengambarkan kehidupan sebagai berikut “Kehidupan yang baik, dari sudut
pandang pengalaman saya, adalah proses pergerakan yang melalui arah yang dipilih
organisme manusia jika secara internal bebas bergerak ke arah manapun, dan sifat umum dari
arah yang dipilih ini tampak memiliki persamaan”. (Rogers, 2012: 289)
Menurut Rogers perkembangan yang optimal merupakan sebuah proses, bukan hanya
keadaan yang statis. Maksudnya yaitu kehidupan yang baik adalah ketika seseorang memiliki
tujuan untuk memenuhi semua potensi dalam dirinya secara terus menerus. Berikut
karakteristik orang yang berfungsi sepenuhnya sebagai berikut :
Adapun Tujuan Konseling yang hendak dicapai dalam hal ini adalah :
Teknik Client centered sebagai teknik, ia merupakan suatu cara yang penekanan masalah ini
adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor, dan mengutamakan hubungan konseling
ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Implementasi teknik konseling didasari oleh
paham filsafat dan sikap konselor tersebut. Karena itu teknik konseling Rogers berkisar
antara lain pada caracara penerimaan pernyataan dan komunikasi, menghargai orang lain dan
memahaminya (klien). Karena itu dalam teknik dapat digunakan sifatsifat konselor berikut:
Tekhnik psikoterapi Carl Ransom Rogers dikenal sebagai “non directif” yang sering
disebut sebagai Terapi Terpusat pada Klien atau client centered therapy, karena tidak
didasarkan pada anggapan bahwa konselor adalah orang yang paling memahami dan serba
tahu tentang metode yang digunakannya merupakan metode yang terbaik, terapi ini
dikembangkan oleh Carl Rogers, direktur dari Rochester Guidance Center, New York
Amerika Serikat. Munculnya terapi ini dilatar belakangi oleh rasa ketidak-puasan Rogers
akan teori psikoterapi yang ada pada saat itu. Rogers menolak psikoanalisa yang memandang
perilaku manusia dipengaruhi oleh hubungan sebab akibat yang sangat kompleks. Rogers
menolak hal tersebut karena ia melihat manusia adalah orang yang rasional dan mempunyai
potensi untuk berkembang.
Langkah pertama yang akan dilakukan terapis setiap kali menerima klien adalah membuat
ikatan psikoterapi, yaitu membuat perjanjian/kontrak psikoterapi dengan model lainnya.
Roger menyarankan hendaknya dilakukan dengan cara-cara seperti sebagai berikut:
b. Permisif terhadap nilai. Ini dimaksudkan agar klien merasa aman menyampaikan
pengalamannya maka terapis orang yang tidak mempersoalkan nilai baik buruknya
perbuatan klien. Tetapi juga tidak diperkenan memberi label salah atau benarnya
perbuatan serta pengalaman klien, bahkan hendaknya terapis tidak memperlihatkan
ekspresi tertentu bila ada pengalaman klien yang melanggar nilai atau norma
kesopanan.
c. Terapis juga hendaknya menahan diri untuk menyampaikan penilaiannya, karena
waktu psikoterapi adalah milik klien bukan milik terapis, karena klien hendaknya
diberi kebebasan untuk menentukan waktu yang mereka perlukan serta jangan ada
paksaan klien untuk menceritakan apa yang tidak ingin atau belum siap ia ceritakan.
2. Relasi Bantuan
Setelah ikatan psikoterapi sudah berjalan atau terjalin, maka dalam relasi bantuan atau
saat klien menceriterakan masalahnya, terapis akan terus menerus membangun relasi
bantuan dengan cara:
a. Terapis lebih perhatian terhadap respon emosional dari pada respons pikiran
misalkan, klien menyampaikan "Orang tua saya marah karena saya tidak
membayarkan uang buku". Terapis tidak menanyakan berapa jumlah uangnya, tetapi
pertanyaan terapis lebih ditujukan apa bentuk marah orang tua klien itu.
b. Terapis memfokuskan kepada perasan negatif klien, seperti rasa benci atau
permusuhan yang disampaikannya, kendatipun kadang-kadang ditutupi klien
c. Menanggapi perasaan yang ambivalen, atau bisa disebut sebagai sikap mendua
bagaikan penggabungan antara "benci tapi rindu" “benci tapi cinta” dan sebagainya.
d. Terapis perlu mencermati sikap klien terhadap diri terapis, sebagai bentuk penilaian
klien terhadap pengalaman psikoterapi yang sedang berlangsung.
3. Pemahaman (insight)
4. Penutup
Menjadi pendengar yang baik, peranan konselor atau terapis adalah mendengarkan
dengan penuh perhatian serta memberikan kebebasan kepada klien untuk
mengekspresikan diri serta emosinya agar dapat mengurangi ketegangan psikologis
yang sedang dialami klien, dengan beberapa syarat yaitu klien terbuka terhadap
pengalaman, klien percaya sepenuhnya pada diri sendiri.
Berusaha untuk memahami atau frame of references klien, melalui pikiran, perasaan,
dan hal-hal yang di eksplorasikan klien, sehubungan dengan masalah-masalah
pribadinya.
Dapat menjernihkan dan merefleksikan perasaan emosional klien
Konselor berperan sebagai fasilitator
Tekhnik- tekhnik lain yang digunakan agar proses terapi berjalan dengan lancar dan
mencapai sasaran adalah:
Rapport (hubungan baik dengan klien yang harus diciptakan dan dipertahankan
selama terapi berlangsung)
Tanpa kritik, mengadili, menilai, baik positf maupun negatif terhadap sikap dan
perilaku klien
Menghindari unsur sugesti, membujuk, mendorong, meyakinkan, dan banyak
bertanya
Konselor harus memilih saat yang tepat untuk berbicara kepada klien
Disamping banyak keunggulan dan peranan dalam pendekatan Person Centered dari Rogers,
tidak sedikit pula para ahli yang mengajukan banyak kritik serta perasan keberatan, kritik-
kritik tersebut diantaranya adalah:
Pendekatan rogers bukan sebagai uraian yang tepat, pas dan seksama serta bukan pula
merupakan analisa yang tajam mengenai gejala-gejala psikis manusia.
Teori tentang pendekatan Rogers tidak lebih dari semacam “common sense”, jadi
bukan merupakan ilmu, akan tetapi lebih banyak mengarah kepada ideologi
Konsep- konsep yang dapat menjelaskan tentang proses terapi terlalu sedikit, hal ini
disadari oleh para pengikut Rogers, sehingga untuk mengatasi masalah ini mereka
memakai istilah-istilah teori belajar, teori tentang konflik, komunikasi dan perlakuan
Karena keterbukaan dan eksplorasi dari klien merupakan teknik yang utama dalam
pendekatan ini, maka bagi klien yang mengalami hambatan verbalisaasi dan kurang
terdidik serta anak-anak menjadi kurang efektif
Karena pendekatan Rogers sangat mengutamakan proses, maka penggunaan terapi ini
dianggap sangat tidak efisien, baik dari segi waktu, tenaga maupun biaya.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari materi yang sudah di sampaikan di atas dapat kita ketahui bahwa pendekatan
Clinet Centered dari Carl Roger dalam menangani berbagai masalah dalam individu
masih sangat layak. Terlepas dari berbagai kritik yang ada, teori ini masih banyak
digemari para konselor maupun terapis. Terbukti teori ini termasuk salah satu teori yang
menjadi landandasan pendekatan psikologi selain psikoanalisa dan behaviorissme jika
kita masih mengingat turunan dari teori ini adalah teori Humanistik. Melaului teori ini
para konselor maupun terapis menganggap bahwa individu memiliki kesanggupan yang
inheren untuk menjauhi maladjustment menuju ke kondisi psikologis yang sehat, konselor
meletakkan tanggung jawab utamanya dalam proses terapi kepada klien.
B. Saran
Dalam makalah ini, kami sarankan agar peneliti selanjutnya dapat menggali lebih
banyak referensi tentang teori Humanistik. Terlebih untuk mendapatkan sumber ilmu yang
terbaru. Selanjutnya untuk para membaca disarankan juga untuk menambah referensi selain
dari makalah ini.
Referensi
Feist, J. dan Feist, G.J. 1998. Theories of Personality (4th ed.). Boston: McGraw-Hill.
Hjelle, L.A. dan Ziegler, J.D. 1981. Personality Thoeries: Basic Assumptions, Research and
Applications. Auckland: McGraw-Hill International Book Company
Sommers, F.J., & Sommers, F.R. (2004). Counseling and psychotherapy theories in context
and practice: Skills, strategies, and techniques. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.