Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PSIKOTERAPI

PENDEKATAN HUMANISTIK CARL ROGER DALAM PSIKOTERAPI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikoterapi

Dosen pengampu Ainindita Aghniacakti, M.Psi

DISUSUN OLEH :
Achmad Mubarok (200401110118)
Ervina Levi Astutik (200401110109)
Muhammad Daffa Ajira Anjayna (200401110108)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2022
Kata Pengantar

Puja-puji serta syukur, kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menganugerahkan nikmat yang tak terkira jumlah dan hikmahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul

“Pendekatan Humanistik Carl Roger dalam Piskoterapi“

Pertimbangan penyusunan makalah ini, karena untuk menyelesaikan tugas kelompok


pada mata kuliah Psikoterapi. Sekaligus ingin mengantarkan pembaca agar lebih mengenal
tentang pendekatam Humanistik dalam pandangan Carl Roger. Yaitu salah satu pendekatan
psikologi yang hingga saat ini masih banyak digunakan.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita selaku mahasiswa. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya.

Akhir kata dari saya dalam pembukaan ini, Semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua, Amin.
BAB I

Pendahuluan

I. Latar Belakang
Carl Ransom Rogers (1902-1987) pada awal tahun 1940 mengembangkan teori yang
disebut non-directive counseling (konseling non-direktif) sebagai reaksi atas pendekatan yang
direktif dan pendekatan psikoanalitik. Teorinya adalah sebagai reaksi atas pendekatan yang
direktif dan pendekatan psikoanalitik. Rogers menentang asumsi dasar bahwa “konselor tahu
apa yang terbaik“. Dia juga menentang kesahihan dari prosedur terapeutik yang telah secara
umum bisa diterima seperti nasehat, saran, himbauan, pemberian pengajaran, diagnosis, dan
tafsiran.
Didasarkan pada keyakinannya bahwa konsep dan prosedur diagnostik kurang
memadai, berprasangka, dan sering kali disalahgunakan, maka pendekatannya tidak dengan
menggunakan cara tersebut. Konselor non-direktif menghindar dari usaha untuk melibatkan
dirinya dengan urusan klien, dan sebagai gantinya mereka memfokuskan terutama pada
merefleksi dan komunikasi verbal dan non-verbal dari klien. Asumsi dasarnya adalah bahwa
orang itu secara esensial bisa dipercaya, memiliki potensi yang besar untuk memahami
dirinya dan menyelesaikan masalah mereka tanpa intervensi langsung dari pihak terapis, dan
bahwa mereka ada kemampuan untuk tumbuh sesuai dengan arahan mereka sendiri apabila
mereka terlibat dalam hubungan terapeutik.
Sejak semula ia menekankan kepada sikap dan Teori Konseling karakteristik pribadi
terapis dan kualitas hubungan klien sebagai penentu utama dalam prosedur terapeutik. Secara
konsisten ia mengarahkan kepada posisi yang sekunder seperti pengetahuan terapis tentang
teori dan teknik. Non-directive counseling tersebut oleh Rogers didasarkan pada konsep
psikologi humanistik yang juga dapat diklasifikasikan sebagai cabang perspektif
eksistensialis. Rogers. memandang manusia sebagai individu yang tersosialisasi dan bergerak
ke depan, berjuang untuk berfungsi sepenuhnya, serta memiliki kebaikan yang positif.
Dengan asumsi tersebut pada dasarnya manusia dapat dipercayai, kooperatif dan konstruktif,
tidak perlu ada pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya.
Implikasi dari pandangan filosofis seperti ini, Rogers menganggap bahwa individu
memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju ke kondisi
psikologis yang sehat, konselor meletakkan tanggung jawab utamanya dalam proses terapi
kepada klien. Oleh karena itu konseling client-centered berakar pada kesanggupan klien
untuk sadar dan membuat keputusan-keputusan, sebab klien merupakan orang yang paling
tahu tentang dirinya, dan pantas menemukan tingkah laku yang pantas bagi dirinya.

II. Rumusan masalah


1. Bagaimana Teori Kepribadian Carl Roger?
2. Bagaimana orientasi terapis bila menggunakan teori terapi Carl Roger?
3. Bagaimana Teknik dan metode terapi teori Carl Roger?
4. Apa saja kritik teori pendekatan Client Centered ?

III. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:

1. Mengetahui Teori Kepribadian Carl Roger?


2. Memahami orientasi terapis bila menggunakan teori terapi Carl Roger?
3. Mengetahui Teknik dan metode terapi teori Carl Roger?
4. Mengetahui kritik teori pendekatan Client Centered ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi diri menurut Carl R. Rogers

Rogers awalnya kesulitan dalam mendapatkan definisi yang tepat dalam menjelaskan “
diri”. Dari proses psikoterapis yang ia lakukan saat mengadapi klien-kliennya, istilah diri ini
sering mereka gunakan. Lewat sesi-sesi dengan kliennya, Rogers memahami bahwa
keinginan mereka yang terkuat sebenarnya adalah menjadi “diri yang sebenernya”. Dari
proses inilah akhinya Rogers menyadari bahwa sebenarnya memahami “diri” merupakan hal
yang sangat penting dan efektif dalam proses manusia untuk tumbih dan berkembang
sehingga diri menjadi konsep utama dalam teori kepribadian Rogers ini. Beriku definisinya:

“pola susunan konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari persepsi-persepsi
tentang sifat-sifat dari „diri subjek‟ atau „diri objek‟ dan persepsi-persepsi tentang
hubungan-hubungan antara „diri subjek‟ atau „diri objek‟ dengan orang-orang lain dan
dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi ini.
Pola susunan yang ada dalam kesadaran meskipun tidak harus disadari. Pola susunan tersebut
bersifat lentur dan berubah-ubah, suatu proses, tetapi pada setiap saat merupakan suatu entitas
spesifik”. (Hall dan Lindzey, 1993: 134).
Menurut Rogers individu mempresepsi objek eksternal dan pengalaman pengalaman
yang ia rasakan dan kemudia memberi makna terhadap sesuatu. Keseluruhan presepsi dan
pemberian makna ini merupakan medan fenomenal individu. Medan fenomena ini tidak dapat
diketahui oleh orang lain kecuali melalui inferensi emoatis dan tidak dapat diketahui dengan
sempurna. Bagaimana individu ini bertingkah laku tergantung pada keadaan-keadaan
perangsangnya(kenyataan luar).

Rogers melihat diri sebagai suatu perangkat persepsi dan kepercayaan diri yang
konsisten dan teratur (Feist dan Feist, 1998:461). Perangkat sentral persepsi yang paling
menentukan perilaku adalah persepsi mengenai diri atau konsep diri. Diri terdiri dari semua
ide, persepsi, dan nilai-nilai yang memberi ciri atau yang meliputi kesadaran tentang seperti
apakah saya atau what I am (awareness of being) dan apakah yang dapat saya lakukan atau
what I can do (awareness of function). Pada gilirannya diri mempengaruhi persepsi orang
tentang dunia dan perilakunya. Seorang individu dengan konsep diri yang kuat dan positif
tentu akan memiliki pandangan yang berbeda tentang dunia dengan orang yang memiliki
konsep diri yang lemah yang akan berpengaruh pada perilakunya.

Konsepsi Rogers berbeda dengan konsepsi behavioristic yang melihat manusia


sebagai pion kekuatan eksternal. Walaupun ide-ide Rogers mengenai manusia berasak dari
pengalaman-pengalamannya dalam menghadapi orang yang tergantu secara kejiwaan, akan
tetapi konsepsi Rogers sifat dasar manusia adalah sifat positif, optimistic dan berbeda jauh
dengan konsepsi Freud yang menganggap manusia sebagai makhluk yang didorong oleh
impuls-impuls yang destruktif. Rogers melihat perilaku sebagai respon terhadap persepsi
individual dari stimuli eksternal dan bukan sebagai respon terhadap stimuli eksternal. Dengan
kata lain Rogers melihat semua perilaku adalah respon terhadap realitas sebagaimana yang
dirasakan dan dipahami individu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut
Rogers diri adalah gestalt konseptual yang terorganisasi dan konsisten yang terdiri dari
persepsi-persepsi tentang sifat-sifat dari „diri subjek‟ atau „diri objek‟ dan persepsi-persepsi
tentang hubungan-hubungan antara „diri subjek‟ atau „diri objek‟ dengan orang-orang lain
dan dengan berbagai aspek kehidupan beserta nilai-nilai yang melekat pada persepsi-persepsi
ini.

B. Perkembangan Konsep Diri

Diri telah muncul sejak masa anak-anak. Struktur diri ini terbentuk dari interaksi
lingkungan, terutama kingkungan sosial yang terdiri dari orang-orang terdekat seperti
keluarga ataupun teman bermain. Diri ini memiliki hubungan yang kuat dengan interaksi
sosial dan memiliki komponen evaluasi dimana individu memiliki dorongan untuk menilai
pendapay dan kemampuan dirinya. Pada anak tumbuhnya sebuah kesadaran diri dan mampu
membedalan diri dengan orang lain disebut self image, yaitu suatu cara untuk melihat dirinya
sendiri yang berkembang lewat identitas komponen kognisi, afeksi dan juga perilaku individu
yang dekat dengan dirinya. Perkembangan ini akan terus berkembang hingga membentu self-
concept. Ketika anak menjadi lebih sensitif secara sosial dan memiliki kemampuan kognitif
dan persepsi yang matang, maka konsep diri mereka lebih rumit dan juga kompleks. Bisa
dikatakan isi dari konsep diri merupakan produk sosial. Ada tiga elemen penting dalam
perkembangan konsep diri yaitu kebutuhan akan penghargaan positif (need for positive
regard), penghargaan bersyarat (conditional positive regard), dan penghargaan tanpa syarat
(unconditional positive regard) (Hjelle dan Ziegler, 1981:410).

Menurut Rogers setiap manusia memiliki keinginan untuk mendapatkan sikap-sikap


positif seperti kehangatan, penghormatan, penghargaan, cinta dan penerimaan dari orang
orang terdekatnya. Hal ini dapat dilihat pada masa anak-anak, dimana merkea membutuhkan
kasih sayang dan pada orang dewasa mereka akan merasa senang saat mereka diterima oleh
ornag lain dan merasa kecewa akan penolakan dari orang lain. Kebutuhan ini terbagi lagi
menjadi 2 yaitu conditional positive regard (penghargaan positif bersyarat) dan unconditional
positive regard (penghargaan positif tak bersyarat). Karena pada dasarnya seorang anak
memiliki kebutuhan akan penghargaan positif, maka sejak kecil ia akan merasakan atau
dipengaruhi oleh sikap orang-orang terdekatnya dan apa yang menjadi harapan mereka
untuknya. Ia belajar untuk memahami apa yang harus ia lakukan, apa yang harus ia capai,
atau sikap seperti apa yang diharapkan orang-orang terdekatnya atau orang-orang yang ia
anggap penting dalam hidupnya agar ia mendapatkan penghargaan positif dari mereka.
Kondisi semacam ini memungkinkan anak untuk melihat bahwa ia mendapat pujian,
perhatian, dan penerimaan dari orang lain karena ia berperilaku seperti yang diharapkan
orang lain atau penghargaan positif itu didapatkan karena ia berperilaku yang semestinya.
Inilah yang dimaksud dengan penghargaan positif bersyarat, saat anak melihat bahwa ia
mendapat penghargaan positif hanya jika ia berperilaku sesuai dengan harapan orang lain.
Contoh penghargaan positif dalam sehari-hari yaitu ketika orang tua memberikan hadiah atas
keberhasilan anak nya dalam meraih juara 1 pada perlombaan.

Rogers meyakini bahwa penghargaan bersyarat ini tidak mungkin dihindari manusia,
akan tetapi ia melihat bahwa ,manusia sangat mungkin memberi dan menerima penghargaan
positif tanpa bersyarat. Hal ini membuktikan bahwa manusia dapat diterima, diharagai,
dicintai tanpa ada syarat ataupun alasan dan hanya perlu apa adanya. Seperti cinta seorang
ibu pada anaknya, tak peduli apa yang dilakukan, dipikirkan, atau dirasakan sang anak, ia
akan tetap dicintai dan dihargai. Ibu mencintai anaknya tanpa alasan, bukan karena sang anak
memenuhi kriteria atau standar tertentu. Seorang ayah atau seorang ibu tetap mencintai anak-
anaknya meskipun mereka melakukan kesalahan-kesalahan. Sebagaimana dikatakan Rogers:
“Then no conditions of worth would develop, self-regard would be unconditional, the need
for positive regard and self-regard would never be at variance with organismic evaluation,
and the individual would continue to is be psychologycally adjusted, and would be fully
functioning. This chain of events hypothetically possible, and hence important theoritically,
though it does not appear to accur in actuality”. (Hjelle and Ziegler, 1981:412)

Rogers menekankan pentingnya penghargaan positif tak bersyarat sebagai pendekatan


ideal dalam mengasuh anak bukan berarti meniadakan disiplin, aturan-aturan sosial, atau
bentukbentuk lain dari pembentukan perilaku. Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan
atmosfer dimana anak merasa dihargai dan dicintai semata-mata karena ia adalah manusia
yang berharga. Jika seorang anak menerima cinta tanpa syarat, maka ia akan
mengembangkan penghargaan positif bagi dirinya, dimana ia akan dapat mengembangkan
potensinya untuk dapat menjadi manusia yang berfungsi sepenuhnya.
C. Manusia yang Berfungsi Sepenuhnya (The Fully Functioning Person)

Rogers mengambarkan kehidupan sebagai berikut “Kehidupan yang baik, dari sudut
pandang pengalaman saya, adalah proses pergerakan yang melalui arah yang dipilih
organisme manusia jika secara internal bebas bergerak ke arah manapun, dan sifat umum dari
arah yang dipilih ini tampak memiliki persamaan”. (Rogers, 2012: 289)

Menurut Rogers perkembangan yang optimal merupakan sebuah proses, bukan hanya
keadaan yang statis. Maksudnya yaitu kehidupan yang baik adalah ketika seseorang memiliki
tujuan untuk memenuhi semua potensi dalam dirinya secara terus menerus. Berikut
karakteristik orang yang berfungsi sepenuhnya sebagai berikut :

1. Meningkatnya keterbukaan terhadap pengalaman Ini adalah sebuah proses


meningkatnya keterbukaan seseorang terhadap pengalaman, tidak menutup diri dan
tidak memiliki subception (sebuah mekanisme diri yang mencegahnya dari
pengalaman apa pun yang mengancam dirinya). Hal ini berarti lawan dari pembelaan
diri yang muncul sebagai respon seseorang terhadap pengalaman yang dianggap atau
diduga mengancam, tidak harmonis dengan gambaran seseorang tentang dirinya, atau
tentang kaitannya dengan dunianya.
2. Kecenderungan terhadap hidup yang eksistensial Seseorang yang memiliki
kecenderungan terhadap hidup yang eksistensial akan menerima setiap momen yang
ia alami sepenuhnya, bukan membelokkan, menginterpretasikan atau
memutarbalikkan momen tersebut agar sesuai dengan gambaran dirinya. Bisa
dikatakan, bahwa diri dan kepribadian itu muncul sebagai hasil belajar dari
pengalaman yang sebenarnya. Orang yang tidak mudah berprasangka ataupun
memanipulasi pengalaman melainkan menyesuaikan diri karena kepribadiannya terus-
menerus terbuka kepada pengalaman baru.
3. Meningkatnya kepercayaan pada organisme Yang dimaksud dengan meningkatnya
kepercayaan pada organisme adalah bahwa pada tahap ini seseorang akan
mempercayai penilaian mereka sendiri, mempercayai keputusan yang mereka ambil
dan tindakan yang mereka pilih saat menghadapi suatu masalah. Ia tidak hanya
mendasarkan perilakunya pada norma-norma atau standar sosial yang ada namun
justru akan terbuka pada pengalamannya dan menemukan sense benar atau salah dari
dalam dirinya sendiri. Sebuah kemampuan intuitif yang ada dalam diri yang menjadi
solusi perilaku bagi hubungan manusia yang kompleks dan bermasalah.
4. Kebebasan memilih Ia percaya bahwa ia memiliki peranan dalam menentukan
perilakunya dan bertanggung jawab atas pilihan yang diambil. Semakin seseorang
sehat secara psikologis, semakin ia mengalami kebebasan untuk memilih dan
bertindak.
5. Kreativitas Seorang yang kreatif bertindak dengan bebas dan menciptakan hidup, ide
dan rencana yang konstruktif, serta dapat mewujudkan kebutuhan dan potensinya
secara kreatif dan dengan cara yang memuaskan. “Dengan keterbukaannya yang peka
terhadap dunia, kepercayaannya terhadap kemampuannya sendiri untuk menciptakan
hubungan yang baru dengan lingkungannya, ia akan menjadi orang yang akan
menghasilkan produk dan kehidupan yang kreatif”. (Rogers, 2012: 299).
6. Konstruktif dan terpercaya Menurut Rogers sifat dasar manusia saat ia berfungsi
dengan bebas adalah konstruktif dan terpercaya. Saat seseorang terbebas dari
pembelaan terhadap dirinya sehingga ia terbuka terhadap berbagai kebutuhannya serta
berbagai tuntutan dan lingkungan sosial, reaksinya diyakini akan positif, berkembang,
dan konstruktif. Ia akan mampu menyeimbangkan segala kebutuhan dirinya, bahkan
jika memang ada kebutuhan agresif, ia dapat menempatkannya secara realistis dan
tidak berlebihan.
7. Kehidupan yang kaya warna. Rogers menggambarkan kehidupan seseorang yang
berfungsi sepenuhnya sebagai kehidupan kaya warna dan menarik dan menyarankan
untuk bisa mengalami suka dan duka, jatuh cinta dan patah hati, ketakutan atau pun
keberanian.

Berdasarkan penjelasan teori di atas Rogers memperkenalkan suatu pendektan yang


berpusat pada diri dan masalah klien yang disebut Client Centered Therapy. Terapi ini
merupakan sebuah pendekatan yang dapat digunakan untuk membantu individu maupun
kelompok. Rogers sangat yakin bahwa pengalaman individual yang sesungguhnya hanya
dapat diketahui secara lengkap, oleh individu itu sendiri. Psikolog ataupun psikoterapis
hanya dapat mengukur dan menyelidiki sebagian saja dari apa yang ada dalam dunia
pengalaman seseorang, dan tidak dapat mengetahui selengkap yang diketahui oleh orang
yang bersangkutan (klien). Keyakinan Rogers akan hal ini dituangkan dalam prinsip
pendekatannya bahwa seseorang merupakan sumber informasi yang terbaik mengenai
dirinya sendiri. Ciri khas terapi ini adalah sikap terapis menentukan kondisi terapeutik,
dan fokus terapi terletak pada dunia fenomenologis klien. Dalam terapi ini yang
terpenting yaitu sebuah hubungan interpersonal yang konstruktif, sehingga dalam
prosesnya akan membangun teori dari pengalaman. Keberhasilan dalam memecahkan
masalah ditentukan oleh suasana, kondisi, dan hubungan yang tepat yang diciptakan oleh
terapis selama proses terapi berlangsung. Dalam proses terapi, klien diberi kebebasan
untuk mengekspresikan diri dan emosinya serta dipercaya untuk (sertanggung jawab)
menyelesaikan masalah. Teknik utama yang digunakan adalah menjadi pendengarnya
yang baik. Rogers mengalami kepuasan tersendiri dalam hal mendengarkan. Pada saat
mendengarkan seakanakan ia meletakkan dirinya pada diri klien dan menyentuh klien.
Hal ini dianggapnya dapat memperkaya hidupnya karena ia dapat mempelajari dan
memahami individu, kepribadian individu, serta hubungan interpersonal.

D. Sikap dan orientasi konselor

Adapun Tujuan Konseling yang hendak dicapai dalam hal ini adalah :

1) Memberi kesempatan dan kebebasan klien untuk mengekspresikan perasaan-


perasaannya, berkembang dan terealisir potensinya.
2) Membantu individu untuk sanggup berdiri sendiri dalam mengadakan integrasi
dengan lingkungannya, dan bukan pada penyembuhan tingkah laku itu sendiri.
3) Membantu individu dalam mengadakan perubahan dan pertumbuhan.

Teknik Client centered sebagai teknik, ia merupakan suatu cara yang penekanan masalah ini
adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor, dan mengutamakan hubungan konseling
ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Implementasi teknik konseling didasari oleh
paham filsafat dan sikap konselor tersebut. Karena itu teknik konseling Rogers berkisar
antara lain pada caracara penerimaan pernyataan dan komunikasi, menghargai orang lain dan
memahaminya (klien). Karena itu dalam teknik dapat digunakan sifatsifat konselor berikut:

a. Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan


segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.
b. Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan
perbuatan dan konsisten. c. Understanding artinya konselor harus dapat secara
akurat dan memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari
dalam diri klien itu.
c. Non-judgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi
konselor selalu objektif.

E. Metode dan tekhnik Psikoterapi

Tekhnik psikoterapi Carl Ransom Rogers dikenal sebagai “non directif” yang sering
disebut sebagai Terapi Terpusat pada Klien atau client centered therapy, karena tidak
didasarkan pada anggapan bahwa konselor adalah orang yang paling memahami dan serba
tahu tentang metode yang digunakannya merupakan metode yang terbaik, terapi ini
dikembangkan oleh Carl Rogers, direktur dari Rochester Guidance Center, New York
Amerika Serikat. Munculnya terapi ini dilatar belakangi oleh rasa ketidak-puasan Rogers
akan teori psikoterapi yang ada pada saat itu. Rogers menolak psikoanalisa yang memandang
perilaku manusia dipengaruhi oleh hubungan sebab akibat yang sangat kompleks. Rogers
menolak hal tersebut karena ia melihat manusia adalah orang yang rasional dan mempunyai
potensi untuk berkembang.

Rogers menambahkan bahwa sasaran terapi tidak hanya sekedar menyelesaikan


problem klien, melainkan membantu klien dalam proses pertumbuhannya, sehingga ia akan
dapat lebih baik, yaitu dapat menangani problema yang akan dihadapinya sekarang dan yang
akan dihadapi di masa mendatang. Dari uraian tentang konsep diatas, terlihat bahwa Rogers
menempatkan individu sebagai klien yang memiliki potensi untuk mengatasi masalahnya asal
terciptanya kondisi yang menempatkan klien tidak merasa terancam, akan tetapi ia merasa
dihargai dan diperlakukan sebagai orang yang normal, yang membedakan terapi ini dengan
model psikoterapi lainnya adalah Rogers lebih mengarakan teknik psikoterapinya kepada
proses dimana klien menjadi subjeknya dengan psikoterapi harus disesuaikan kebutuhan klien
serta diciptakan kondisi agar klien menjadi aman dan tidak merasa terancam.
Agar tercipta kondisi yang demikian, ada 4 (empat) tahap yang harus dilakukan
terapis secara hati-hati, yaitu:

1. Membuat Ikatan Psikoterapi

Langkah pertama yang akan dilakukan terapis setiap kali menerima klien adalah membuat
ikatan psikoterapi, yaitu membuat perjanjian/kontrak psikoterapi dengan model lainnya.
Roger menyarankan hendaknya dilakukan dengan cara-cara seperti sebagai berikut:

a. Menciptakan rapport (keakraban atau kehangatan) Rapport dimaksudkan agar klien


tahu cara yang akan dilakukan terapis-klien dalam proses psikoterapi. Dimana terapis
akan bekerjasama dengan klien. Hubungan yang dimaksud tidak seperti keakraban
hubungan anak dengan orang tuanya, tidak pula seperti dengan sahabat, atau bagaikan
pasien dengan dokter, tetapi terapis akan menjadi orang yang peka akan perasaan,
pikiran atau perbuatan klien, lalu klienlah yang akan menemukan sendiri
keputusannya.

b. Permisif terhadap nilai. Ini dimaksudkan agar klien merasa aman menyampaikan
pengalamannya maka terapis orang yang tidak mempersoalkan nilai baik buruknya
perbuatan klien. Tetapi juga tidak diperkenan memberi label salah atau benarnya
perbuatan serta pengalaman klien, bahkan hendaknya terapis tidak memperlihatkan
ekspresi tertentu bila ada pengalaman klien yang melanggar nilai atau norma
kesopanan.
c. Terapis juga hendaknya menahan diri untuk menyampaikan penilaiannya, karena
waktu psikoterapi adalah milik klien bukan milik terapis, karena klien hendaknya
diberi kebebasan untuk menentukan waktu yang mereka perlukan serta jangan ada
paksaan klien untuk menceritakan apa yang tidak ingin atau belum siap ia ceritakan.

2. Relasi Bantuan

Setelah ikatan psikoterapi sudah berjalan atau terjalin, maka dalam relasi bantuan atau
saat klien menceriterakan masalahnya, terapis akan terus menerus membangun relasi
bantuan dengan cara:

a. Terapis lebih perhatian terhadap respon emosional dari pada respons pikiran
misalkan, klien menyampaikan "Orang tua saya marah karena saya tidak
membayarkan uang buku". Terapis tidak menanyakan berapa jumlah uangnya, tetapi
pertanyaan terapis lebih ditujukan apa bentuk marah orang tua klien itu.

b. Terapis memfokuskan kepada perasan negatif klien, seperti rasa benci atau
permusuhan yang disampaikannya, kendatipun kadang-kadang ditutupi klien

c. Menanggapi perasaan yang ambivalen, atau bisa disebut sebagai sikap mendua
bagaikan penggabungan antara "benci tapi rindu" “benci tapi cinta” dan sebagainya.
d. Terapis perlu mencermati sikap klien terhadap diri terapis, sebagai bentuk penilaian
klien terhadap pengalaman psikoterapi yang sedang berlangsung.

3. Pemahaman (insight)

Sebagai seorang terapis hendaknya selalu memperhatikan perkembangan pemahaman


(insight) klien terhadap selfnya, bila klien telah bisa memaknai pengalamannya yang
bertentangan dengan konsep dirinya serta mampu mengakumulasikan dan dapat
membentuk pemahaman baru, dan juga telah terbentuknya keinginan klien sebagai bentuk
mengaktualisasikan dirinya, maka psikoterapi sudah dapat diakhiri.

4. Penutup

Proses psikoterapi hendaknya diarahkan kepada penutupan oleh klien sendiri,


miskipun ada siklap ambivalen dari klien, terapis dapat mendorong agar klien bisa
membawa insight baru tersebut dalam menghadapi dunianya.

Tekhnik yang digunakan yaitu:

 Menjadi pendengar yang baik, peranan konselor atau terapis adalah mendengarkan
dengan penuh perhatian serta memberikan kebebasan kepada klien untuk
mengekspresikan diri serta emosinya agar dapat mengurangi ketegangan psikologis
yang sedang dialami klien, dengan beberapa syarat yaitu klien terbuka terhadap
pengalaman, klien percaya sepenuhnya pada diri sendiri.
 Berusaha untuk memahami atau frame of references klien, melalui pikiran, perasaan,
dan hal-hal yang di eksplorasikan klien, sehubungan dengan masalah-masalah
pribadinya.
 Dapat menjernihkan dan merefleksikan perasaan emosional klien
 Konselor berperan sebagai fasilitator
Tekhnik- tekhnik lain yang digunakan agar proses terapi berjalan dengan lancar dan
mencapai sasaran adalah:
 Rapport (hubungan baik dengan klien yang harus diciptakan dan dipertahankan
selama terapi berlangsung)
 Tanpa kritik, mengadili, menilai, baik positf maupun negatif terhadap sikap dan
perilaku klien
 Menghindari unsur sugesti, membujuk, mendorong, meyakinkan, dan banyak
bertanya
 Konselor harus memilih saat yang tepat untuk berbicara kepada klien

F. Kritik-kritik terhadap pendekatan Client Centered

Disamping banyak keunggulan dan peranan dalam pendekatan Person Centered dari Rogers,
tidak sedikit pula para ahli yang mengajukan banyak kritik serta perasan keberatan, kritik-
kritik tersebut diantaranya adalah:
 Pendekatan rogers bukan sebagai uraian yang tepat, pas dan seksama serta bukan pula
merupakan analisa yang tajam mengenai gejala-gejala psikis manusia.
 Teori tentang pendekatan Rogers tidak lebih dari semacam “common sense”, jadi
bukan merupakan ilmu, akan tetapi lebih banyak mengarah kepada ideologi
 Konsep- konsep yang dapat menjelaskan tentang proses terapi terlalu sedikit, hal ini
disadari oleh para pengikut Rogers, sehingga untuk mengatasi masalah ini mereka
memakai istilah-istilah teori belajar, teori tentang konflik, komunikasi dan perlakuan
 Karena keterbukaan dan eksplorasi dari klien merupakan teknik yang utama dalam
pendekatan ini, maka bagi klien yang mengalami hambatan verbalisaasi dan kurang
terdidik serta anak-anak menjadi kurang efektif
 Karena pendekatan Rogers sangat mengutamakan proses, maka penggunaan terapi ini
dianggap sangat tidak efisien, baik dari segi waktu, tenaga maupun biaya.
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Dari materi yang sudah di sampaikan di atas dapat kita ketahui bahwa pendekatan
Clinet Centered dari Carl Roger dalam menangani berbagai masalah dalam individu
masih sangat layak. Terlepas dari berbagai kritik yang ada, teori ini masih banyak
digemari para konselor maupun terapis. Terbukti teori ini termasuk salah satu teori yang
menjadi landandasan pendekatan psikologi selain psikoanalisa dan behaviorissme jika
kita masih mengingat turunan dari teori ini adalah teori Humanistik. Melaului teori ini
para konselor maupun terapis menganggap bahwa individu memiliki kesanggupan yang
inheren untuk menjauhi maladjustment menuju ke kondisi psikologis yang sehat, konselor
meletakkan tanggung jawab utamanya dalam proses terapi kepada klien.

B. Saran

Dalam makalah ini, kami sarankan agar peneliti selanjutnya dapat menggali lebih
banyak referensi tentang teori Humanistik. Terlebih untuk mendapatkan sumber ilmu yang
terbaru. Selanjutnya untuk para membaca disarankan juga untuk menambah referensi selain
dari makalah ini.
Referensi

Boeree, C. George. 2006. Carl Rogers.http://www.wikipedia.com

Feist, J. dan Feist, G.J. 1998. Theories of Personality (4th ed.). Boston: McGraw-Hill.

Gerald Corey, Teori dan Praktek Konselingdan Psikoterapi, penerjemah Mulyanto


(Semarang: IKIP 1995)
Hall, C.A. dan Lindzey, G. 1993. Teori-teori Holistik. Supratiknya, A. (ed.). Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.

Hjelle, L.A. dan Ziegler, J.D. 1981. Personality Thoeries: Basic Assumptions, Research and
Applications. Auckland: McGraw-Hill International Book Company

Rogers, C. R. 2012. On Becoming a Person (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sommers, F.J., & Sommers, F.R. (2004). Counseling and psychotherapy theories in context
and practice: Skills, strategies, and techniques. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

W.S Winkel, Binbingan dan Konseling di Institasi Pendidikan jakarta: Gramedia

Anda mungkin juga menyukai