Rogers merupakan seorang yang cerdas dan dapat membaca dengan baik sebelum
menginjak TK. Dengan pendidikannya yang sangat ketat secara religius serta
lingkungannya sebagai anak altar di rumah pendeat Jimpley, ia menjadi orang
yang terisolasi, independen, disiplin, dan mendapatkan pengetahuan serta
apresiasi dari metode ilmiah di dunia praktis. Pilihan pertama kariernya
adalah agrikultur, di Universitas Wisconsin-Madison, di mana ia menjadi bagian
dari persaudaraan Alpha Kappa Lambda, diikuti dengan sejarah, lalu agama. Pada
usia yang ke-20, saat perjalannya ke Peking, Cina tahun 1922, untuk mengikuti
konferensi internasional Kristen, ia mulai meragukan keyakinan agamanya. Untuk
menolongnya memperjelas dalam memilih karier, ia mengikuti sebuah seminar
yang bertemakan "Mengapa Saya Memasuki Pelayanan?", yang kemudian
membuatnya mengubah kariernya. Tahun 1924, ia lulus dari Universitas
Wisconsin dan mendaftar ke Union Theological Seminary.
Setelah dua tahun lulus dari seminari, ia pergi ke Teachers College, Columbia
University, mendapatkan gelar M.A. di tahun 1928 dan Ph.D di tahun 1931.
Sementara ia menyelesaikan pekerjaan doktoralnya, ia terlibat dalam studi tentang
anak. Tahun 1930, Rogers bekerja sebagai direktur Society for the Prevention of
Cruelty to Children di Rochester, New York. Dari tahun 1935-1940 ia mengajar
di University of Rochester dan menulis The Clinical Treatment of the Problem
Child (1938), yang berdasarkan pengalamannya saat bekerja dengan anak-anak
bermasalah. Dalam mengkonstruksi pendekatan client-centered, ia sangat
dipengaruhi oleh praktik psikoterapi post-Fruedian dari Otto Rank. [6] Tahun 1940,
Rogers menjadi profesor psikologi klinis di Ohio State University, di mana ia
menuliskan buku keduanya, Counseling and Psychotherapy (1942). Di buku itu,
Rogers menyarankan bahwa klien, dengan membangun relasi yang berdasarkan
pemahaman, penerimaan dari terapis, dapat menyelesaikan berbagai kesulitan dan
mendapatkan pencerahan (insight) yang dibutuhkan untuk merekonstruksi hidup
mereka.
Dalam perkembangannya, Person Centred terapi terdiri dari empat tahap, yaitu
1. PERIODE PERTAMA (Tahun 1940-an)
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya
terhadap diri sendiri. Dengan meningknya keterbukaan klien terhadap
pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun
muali timbul.
Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih
banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah
keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya dari pada
mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan
universal dari orang lain dengan persetujuan dari dirinya sendiri. Dia menetapkan
standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat
putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian merupakan lawan dari konsep diri
sebagai produk. Walaupun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis
formula guna membangun keadaan berhasil dan berbahagia, tapi mereka menjadi
sadar bahwa peretumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para
klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan
kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman
baru, bahkan beberapa revisi.
Strategi konseling
Empathy
Congruence
Kongruensi merujuk pada kesesuaian antara pandangan seseorang tentang diri apa
adanya (real self) dan diri yang ideal (ideal self). Dalam konseling person
centered, hubungan konselor dengan konseli adalah sejajar, tetapi berada dalam
hubungan psikologis. Sehingga konselor harus menempatkan dirinya apa adanya
(asli). Konselor boleh berbagi suatu keyakinan atau pengaruh dengan konseli.
Konselor boleh menyatakan ketidaksetujuan dan atau ketidaksepahaman dengan
keyakinan konseli. Namun demikian, konselor tidak boleh memaksakan
keyakinannya pada konseli. Ketidaksetujuan atau ketidaksepahaman konselor
hanya sekedar untuk menunjukkan keaslian konselor.
Kongruensi adalah sikap yang paling mendasar sebagai kondisi yang membantu
pertumbuhan konseling. Konseling yang efektif dapat terjadi jika konselor mampu
mengekspresikan diri apa adanya, tanpa kepura-puraan, dan mewujud dalam
kepekaan ketika komunikasi langsung dengan konseli. Tindakan dan ungkapan
konselor selaras dengan pikiran-pikirannya. Pada kondisi tertentu, bisa jadi
konselor kesulitan dalam memahami apa yang berusaha dikomunikasikan konseli.
Konselor dapat melakukan verbalisasi yang berupa ekspresi kongruensi,
tujuannya bukan untuk mengumpulkan informasi, melainkan untuk
mengimplementasikan perasaan konselor yang tidak sepenuhnya memahami
konseli, dan karenanya konselor dapat mengangkat suatu kondisi kongruensi.
Teknik-teknik
http://dwiputriulfah.blogspot.co.id/2013/04/person-centered-therapy-person-
centered.html
http://bimbingandankonseling07.blogspot.co.id/2012/11/peson-centered-
therapy.html
http://dedyritonga17.blogspot.co.id/2012/09/pendekatan-konseling-client-
centered.html
http://konselorsekolahblog.blogspot.co.id/2012/12/strategi-dan-teknik-konseling-
person.html
http://helloaicita.blogspot.co.id/2015/04/person-centered-therapy-carl-rogers.html
https://eko13.wordpress.com/2011/04/14/pendekatan-konseling-client-centred/