I. Pendahuluan
Berbicara mengenai client-centered, maka kita akan mengenal Carl
Ransom Rogers yang mengembangkan client-centered untuk diaplikasikan pada
kelompok, keluarga, masyarakat, dan terlebih kepada individu. Client Centered
Therapy yang dipromosikan oleh Carl Ransom Rogers menawarkan proses
konseling yang memberikan prioritas pada positivistik dan pemberdayaan potensi
positif manusia. Melalui pemberdayaan potensi ini, manusia dapat
mengaktualisasikan dirinya sendiri agar dapat menghindari rasa rendah diri.
Hubungan konselor yang hangat dengan konseli menjadi salah satu penyebab
sukses dalam proses terapi, dan toeri ini menawarkan konsep netral pendidikan,
yang mendorong murid untuk terlibat langsung dalam pembelajaran dengan
menggunakan prinsip keterbukaan, ketulusan, penerimaan, kepercayaan dalam
pemecahan masalah dan menyediakan suasana di mana setiap murid merasa
bahwa mereka memiliki kemampuan, sehingga potensi positif mereka terus secara
bertahap berkembang. Untuk memahami teori client centered – Carl Rogers
secara keseluruhan, berikut ini akan dibahas mengenai tokoh yang mempelopori
teori client centered, pengertian dan konsep utamanya, latar belakang, ciri-ciri,
tujuan, bagaimana pendekatan client centered memandang sifat dan kepribadian
manusia, dan teknik-teknik yang digunakan.
II. Pembahasan
II.1. Tokoh : Carl Ransom Rogers (1902-1987)
Carl R. Rogers dilahirkan pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park,
Illinois, anak ke-4 dari enam bersaudara dari suatu keluarga yang ikatan
kekeluargaannya erat dan religius. Namun keadaan keluarga seperti ini
dirasakan oleh Rogers sebagai keluarga yang sangat berbeda dengan keluarga
lain, karena tidak bercampur gaul, tidak melakukan hubungan sosial dengan
mereka. Pada waktu Rogers berusia 12 tahun, keluarganya pindah ke luar kota,
bekerja di ladang peternakan, yang dinilainya sebagai penyingkiran diri dari
tantangan-tantangan kehidupan di kota. Rogers mula-mula belajar Ilmu
Pertanian di University of Wisconsin yang hanya dijalani dua tahun saja,
karena ia tertarik dan pindah untuk belajar agama di Union Theological
Seminary. Di Seminary inilah ia berkenalan dengan psikologi dan psikiatri dan
karena itu ia mengikuti pula beberapa mata kuliah di Teachers College,
Columbia University, yang hanya terletak di seberang jalan dari Union
Theological Seminary. Dari Columbia University ia memperoleh gelar MA
pada tahun 1928 dan PhD pada tahun 1931. Di situ pulalah Rogers mulai
bekerja, yakni sebagai asisten di Institute of Child Guidance dan dimulailah
kariernya sebagai psikolog. Pada tahun 1940 ia memulai kariernya sebagai
Guru Besar dalam bidang psikologi di Ohio State University. Pada saat itulah
ia milai menulis bukunya yang terkenal yang diterbitkan pada tahun 1942
dengan judul Counseling and Psychotherapy: New Concepts in Practice. Di
dalam bukunya ini Rogers memperkenalkan hubungan-hubungan dalam
konseling yang didasarkan pada kehangatan respons yang diberikan oleh
terapis. Kemudian hasil pikirannya tertuang dalam bukunya yang terbit pada
tahun 1951 dengan judul Client-centered Therapy: Its Current Practice,
Implication and Theory. Melalui bukunya yang lain yang juga terkenal yang
berjudul: On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy, pada
tahun 1961 dan perkembangan lebih lanjut dari teknik konseling yang
diperkenalkannya, kemudian istilah client-centered approach berubah menjadi
person-centered approach.1 Sebagai ilmuwan, Carl Rogers terus
mengembangkan teorinya, berubah dan berkembang, tidak statis melainkan
dinamis. Perkembangan teori Rogers dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Tahap I :1940 – 1950. Tahap “nondirective”.
2. Tahap II : 1950 – 1961. Tahap “client-centered”.
3. Tahap III : 1961 – sekarang. Tahap “person-centered approach”.2
1
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta : Gunung Mulia, 1996), 119-121
2
Ibid, 122
3
Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik, (Jakarta :
Kharisma Putra Utama, 2011), 154
4
W.S. Winkel & M.M Sri Hastuti (2007), Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta :Media Abadi, 2007),
397
membantu dan mendasari karirnya di masa datang sehingga Rogers berprinsip
atau berpendapat bahwa:
1. Ia tidak sependapat dengan Dr. William Real bahwa anak yang nakal itu
disebabkan adanya konflik seks.
2. Metode psikoterapi yang selama ini digunakan dalam bentuk directive
therapy yang dilakukan dengan jalan disrepute, catharsis, advice dan
intelectualized interpretation adalah sama sekali tidak efektif.
3. Psikoterapi yang sesungguhnya dilakukan adalah klien memahami dirinya
sendiri.5
Hal penting lainnya yang ingin dicapai dari client centered adalah
menjadikan klien sebagai pribadi yang berfungsi sepenuhnya (fully
functioning person) yang memiliki arti sama dengan aktualisasi diri.11
11
Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik, 157-158
12
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, 91-92
13
Ibid, 314
14
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, 123
untuk mengaktualisasikan dirinya secara terarah dan konstruktif.
Kecenderungan ini bersifat inheren dan telah ada sejak individu dilahirkan.15
15
Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik, 156
16
M. Surya, Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Konsep dan Teori), (Bandung: Bhakti Winaya, 1994),
199
17
Amirah Diniaty, Teori-teori Konseling, (Pekanbaru :Daulat Riau, 2009), 101-102
18
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi
menerima dari konselor, dipihak lain melalui percakapan
terapeutik dengan konselor, terjadi kemajuan.
4. Konselor menerima, mengenali dan menjelaskan berbagai
perasaan negatif. Kalau konselor menerima perasaan ini, ia harus
siap untuk memberikan respons, tidak terhadap isi intelek
seseorang mengenai apa yang dibicarakan, tetapi terhadap
perasaan yang mendasarinya. Konselor berusaha melalui apa
yang dibicarakan atau dilakukan, untuk menciptakan suasana di
mana klien bisa mengenali bahwa ia mempunyai perasaan-
perasaan negatif dan bisa menerimanya sebagai bagian dari
dirinya daripada ia memproyeksikan perasaan-perasaan itu ke
orang lain atau menyembunyikannya dibalik mekanisme
pertahanan dirinya (defense mechanism). Kadang-kadang
konselor menjelaskan perasaan ini secara verbal, tidak untuk
menilai sebabnya, namun semata-mata meyakinkan bahwa hal
tersebut benar-benar ada dan ia menerimanya.
5. Ketika perasaan-perasaan negatif telah diungkapkan
sepenuhnya, pada saat itu akan diikuti oleh ekspresi dari
dorongan positif untuk berkembang lebih lanjut. Ekspresi positif
adalah tanda yang jelas dan meyakinkan dari keseluruhan
proses yang telah terjadi.
6. Konselor menerima dan mengenali perasaan-perasaan positif
yang diungkapkan, sama dengan ketika menerima dan
mengenali perasaan-perasaan negatif. Perasaan positif tidak
diterima oleh konselor sebagai sesuatu yang harus dipuji atau
seperti layaknya sesuatu yang biasa ada pada diri pribadi
seseorang. Dengan penerimaan seperti itulah klien belajar dan
menyadari diri sendiri sebagaimana keadaan sebenarnya.
7. Pemahaman, pengenalan dan penerimaan tentang diri sendiri,
adalah langkah berikutnya yang penting dari keseluruhan proses,
yang menjadi dasar pada diri seseorang untuk bisa maju ke
tingkatan yang baru dari integrasinya.
8. Bersama-sama dengan proses pemahaman ini adalah proses
yang memperjelas kemungkinan-kemungkinan keputusan atau
tindakan yang akan dilakukan.
9. Tindakan positif. Suatu keputusan untuk melakukan sesuatu
tindakan yang nyata, yang positif, yang tumbuh sedikit demi
sedikit dari dirinya sendiri.
10. Langkah selanjutnya yang tersisa tidak memakan waktu lama.
Sekali seorang mencapai tahap pemahaman dan melakukan
tindakan positif, maka aspek yang tersisa dijadikan elemen
untuk perkembangan selanjutnya.
11. Lambat laun tindakan positif dan terpadu pada klien meningkat.
Ketakutan memutuskan sesuatu berkurang dan lebih percaya diri
dalam melakukan tindakan. Hubungan konselor dengan klien
pada saat ini mencapai puncaknya.
12. Muncul pikiran dan kesadaran pada klien untuk mengurangi
kebutuhan akan bantuan dan bahwa hubungan dengan konselor
akan berakhir.
III. Kesimpulan
Client centered – Carl Rogers berlandaskan pada suatu filsafat tentang
manusia yang menekankan bahwa kita memiliki dorongan bawaan pada
aktualisasi diri. Selain itu, Rogers memandang manusia secara fenomenologis,
yakni bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya
tentang kenyataan. Tujuan dari client centered ialah menyediakan suatu iklim
yang aman dan kondusif bagi eksplorasi diri klien sehingga ia mampu menyadari
penghambat-penghambat pertumbuhan dan aspek-aspek pengalaman diri yang
sebelumnya diingkari atau didisiorsinya. Membantu klien agar mampu bergerak
ke arah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan
perasaan hidup. Konsep pokok yang mendasari teori client centered adalah hal
yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori
kepribadian, dan hakekat kecemasan. Dalam pendekatan Rogerian ini, kehidupan
perasaan mendapat tempat yang penting. Pendekatan client centered bisa
diterapkan secara luas pada konseling dan terapi individual serta kelompok bagi
pengajaran yang terpusat pada siswa. Sumbangan unik dari pendekatan ini adalah
menjadikan klien mengambil sikap aktif dan memikul tanggung jawab untuk
mengarahkan jalannya terapi.
IV. Refleksi Teologis
Terapi klien yang berpusat pada klien (client centered therapy)
menekankan penerimaan diri. Dalam Matius 22:37-39, “Jawab Yesus
kepadanya :”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengab segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama
dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah:
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Tuhan telah terlebih dahulu
mengasihi kita dan membuat kita layak untuk dikasihi atau dicintai. Perintah
tentang kasih pertama-tama mengendalikan perasaan bahkan juga pikiran umat
Kristen untuk mencintai/mengasihi diri sendiri (seperti dirimu sendiri). Perintah
untuk mengasihi diri sendiri secara tersirat disampaikan karena kita tidak bisa
sungguh-sungguh mengasihi megasihi sesama bila kita tidak mampu mengasihi
diri kita sendiri. Dari ayat di atas merefleksikan kepada kita bahwa kita perlu
untuk mengenali diri sendiri dan menerima diri sendiri dengan sukacita sebagai
ciptaan, dan gambaran Allah dalam realitas yang terbatas tapi unik. Melalui kasih
terhadap sesama, kita dapat menemukan keberadaan diri sendiri, mampu bergerak
ke arah keterbukaan dan membangun kepribadian diri sendiri. Konsep tentang
empati dikembangkan oleh Rogers di dalam pendekatan client centered. Kita
diminta berempati pada orang lain agar dapat merasakan apa yang dia rasakan
sehingga mampu menolong dia keluar dari permasalahannya dengan tepat. Alkitab
mengajarkan kita, bahwa pertolongan kita hanya dari Allah yang menciptakan
langit dan bumi. Maka, hanya kepada Dia kita mencari motive, method, dan goal
dari kehidupan kita (Rm 11:36). Empati kepada sesama adalah bagian dari natur
kita yang sudah ditebus menjadi satu tubuh Kristus yang menyaksikan bahwa kita
sudah menerima kasih Kristus. Manifestasi cinta kasih Kristus dinyatakan melalui
kesaksian tubuhNya untuk membawa dunia ini melihat Kasih dari Pencipta
kepada ciptaanNya. Inilah tanda kasih kita sebagai anak-anak Allah (1 Yoh 4:7-8).
Begitu juga dengan emosi atau perasaan perlu sekali memperoleh pembaharuan.
Emosi/perasaan yang masih dikuasai oleh dosa cenderung negatif, menyimpan
akar pahit, dendam, kemarahan, kecemasan, kekuatiran, dan kemarahan (Ef 4:30).
Sehingga emosi/perasaan itu perlu dibaharui di dalam Yesus Kristus (Flp 2:5), dan
dikuasai oleh damai sejahtera (Yoh 14:27; Kol 3:15). Itu sebabnya kita perlu
dipenuhi oleh kehadiran Roh Tuhan (Ef 5:8).