Anda di halaman 1dari 9

Client Centered - Carl Rogers

I. Pendahuluan
Berbicara mengenai client-centered, maka kita akan mengenal Carl
Ransom Rogers yang mengembangkan client-centered untuk diaplikasikan pada
kelompok, keluarga, masyarakat, dan terlebih kepada individu. Client Centered
Therapy yang dipromosikan oleh Carl Ransom Rogers menawarkan proses
konseling yang memberikan prioritas pada positivistik dan pemberdayaan potensi
positif manusia. Melalui pemberdayaan potensi ini, manusia dapat
mengaktualisasikan dirinya sendiri agar dapat menghindari rasa rendah diri.
Hubungan konselor yang hangat dengan konseli menjadi salah satu penyebab
sukses dalam proses terapi, dan toeri ini menawarkan konsep netral pendidikan,
yang mendorong murid untuk terlibat langsung dalam pembelajaran dengan
menggunakan prinsip keterbukaan, ketulusan, penerimaan, kepercayaan dalam
pemecahan masalah dan menyediakan suasana di mana setiap murid merasa
bahwa mereka memiliki kemampuan, sehingga potensi positif mereka terus secara
bertahap berkembang. Untuk memahami teori client centered – Carl Rogers
secara keseluruhan, berikut ini akan dibahas mengenai tokoh yang mempelopori
teori client centered, pengertian dan konsep utamanya, latar belakang, ciri-ciri,
tujuan, bagaimana pendekatan client centered memandang sifat dan kepribadian
manusia, dan teknik-teknik yang digunakan.
II. Pembahasan
II.1. Tokoh : Carl Ransom Rogers (1902-1987)
Carl R. Rogers dilahirkan pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park,
Illinois, anak ke-4 dari enam bersaudara dari suatu keluarga yang ikatan
kekeluargaannya erat dan religius. Namun keadaan keluarga seperti ini
dirasakan oleh Rogers sebagai keluarga yang sangat berbeda dengan keluarga
lain, karena tidak bercampur gaul, tidak melakukan hubungan sosial dengan
mereka. Pada waktu Rogers berusia 12 tahun, keluarganya pindah ke luar kota,
bekerja di ladang peternakan, yang dinilainya sebagai penyingkiran diri dari
tantangan-tantangan kehidupan di kota. Rogers mula-mula belajar Ilmu
Pertanian di University of Wisconsin yang hanya dijalani dua tahun saja,
karena ia tertarik dan pindah untuk belajar agama di Union Theological
Seminary. Di Seminary inilah ia berkenalan dengan psikologi dan psikiatri dan
karena itu ia mengikuti pula beberapa mata kuliah di Teachers College,
Columbia University, yang hanya terletak di seberang jalan dari Union
Theological Seminary. Dari Columbia University ia memperoleh gelar MA
pada tahun 1928 dan PhD pada tahun 1931. Di situ pulalah Rogers mulai
bekerja, yakni sebagai asisten di Institute of Child Guidance dan dimulailah
kariernya sebagai psikolog. Pada tahun 1940 ia memulai kariernya sebagai
Guru Besar dalam bidang psikologi di Ohio State University. Pada saat itulah
ia milai menulis bukunya yang terkenal yang diterbitkan pada tahun 1942
dengan judul Counseling and Psychotherapy: New Concepts in Practice. Di
dalam bukunya ini Rogers memperkenalkan hubungan-hubungan dalam
konseling yang didasarkan pada kehangatan respons yang diberikan oleh
terapis. Kemudian hasil pikirannya tertuang dalam bukunya yang terbit pada
tahun 1951 dengan judul Client-centered Therapy: Its Current Practice,
Implication and Theory. Melalui bukunya yang lain yang juga terkenal yang
berjudul: On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy, pada
tahun 1961 dan perkembangan lebih lanjut dari teknik konseling yang
diperkenalkannya, kemudian istilah client-centered approach berubah menjadi
person-centered approach.1 Sebagai ilmuwan, Carl Rogers terus
mengembangkan teorinya, berubah dan berkembang, tidak statis melainkan
dinamis. Perkembangan teori Rogers dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Tahap I :1940 – 1950. Tahap “nondirective”.
2. Tahap II : 1950 – 1961. Tahap “client-centered”.
3. Tahap III : 1961 – sekarang. Tahap “person-centered approach”.2

II.2. Pengertian dan Konsep Client Centered


Willis mengatakan bahwa client-centered sering pula disebut sebagai
psikoterapi non-directive yang merupakan metode perawatan psikis yang
dilakukan dengan cara berdialog dengan klien agar tercapai gambaran antara
ideal self (diri ideal) dengan actual self (diri sebenarnya).3 Istilah client
centered dapat dideskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang
menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling.4 Konsep pokok
yang mendasari teori client centered adalah hal yang menyangkut konsep-
konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat
kecemasan. Menurut Rogers, konstruk inti client centered adalah konsep
tentang diri dan konsep menjadi diri atau perwujudan diri. Individu yang
dikatakan sehat adalah yang dirinya dapat berkembang penuh (the fully
functioning self), dan dapat mengalami proses hidupnya tanpa hambatan.

II.3. Latar Belakang Client Centered


Client Centered Therapy merupakan salah satu pendekatan konseling
yang dipelopori oleh Carl Ransom Rogers. Setelah menamatkan sekolah
menengah, ia menjadi mahasiswa di Universitas Wisconsin Jurusan Pertanian
dan kemudian tertarik pada ilmu psikiatri dan biologi. Ia juga tertarik pada
presentasi Kilpatrick tentang teori pragmatis John Dewey dan kemudian ia
belajar di klinik psikologi yang menggunakan pendekatan keakraban dan
pendapat umum kemanusiaan dari Leta Hollingsworth, dalam mempelajari
tingkah laku manusia. Ia juga mempelajari orientasi Freud dalam magangnya
dan memperoleh gelar Ph.D (doktor) pada klinik psikologi di Universitas
Columbia tahun 1931
Selama dua belas tahun ia menjadi staf ahli psikologi pada klinik
bimbingan anak di Rocester, New York. Pengalaman inilah yang turut

1
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta : Gunung Mulia, 1996), 119-121
2
Ibid, 122
3
Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik, (Jakarta :
Kharisma Putra Utama, 2011), 154
4
W.S. Winkel & M.M Sri Hastuti (2007), Bimbingan dan Konseling, (Yogyakarta :Media Abadi, 2007),
397
membantu dan mendasari karirnya di masa datang sehingga Rogers berprinsip
atau berpendapat bahwa:
1. Ia tidak sependapat dengan Dr. William Real bahwa anak yang nakal itu
disebabkan adanya konflik seks.
2. Metode psikoterapi yang selama ini digunakan dalam bentuk directive
therapy yang dilakukan dengan jalan disrepute, catharsis, advice dan
intelectualized interpretation adalah sama sekali tidak efektif.
3. Psikoterapi yang sesungguhnya dilakukan adalah klien memahami dirinya
sendiri.5

Disinilah mulai muncul teori atau metode psikoterapi baru yang


merupakan teori nondirective therapy yang kemudian disebut client centered
therapy sebagai reaksi terhadap psikoterapi lama (directive therapy). Metode
psikoterapi Rogers itu disebut metode nondirective karena tidak di dasarkan
pada anggapan bahwa konselor adalah orang yang paling memahami dan serba
tahu serta metode yang digunakan merupakan metode yang baik.6
Terapi nondirective didasarkan pada anggapan : (1) bahwa klienlah
yang berhak menentukan tujuan hidupnya, bukan konselor; (2) tiap-tiap
individu bisa berdiri sendiri dan mempertahankan untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya. Metode psikoterapi Rogers disebut client centered therapy
karena klien dalam proses terapeutiknya aktif memegang peranan penting dan
segala sesuatu itu bertitik tolak dan berpusat pada diri klien.
Selain alasan terbentuknya teori sebagaimana tersebut di atas, Rogers
mengembangkan teori ini sebagai reaksi terhadap apa yang disebut
keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya,
pendekatan client centered adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang
menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan
fenomenalnya.7
II.4. Ciri-ciri Client Centered8
Carl Rogers dalam bukunya “Counseling and Psychotherapy”,
menjelaskan mengenai ciri-ciri dari client-centered therapy sebagai berikut :
1. Perhatian diarahkan kepada pribadi klien dan bukan kepada masalahnya.
Tujuannya bukan memecahkan sesuatu masalah tertentu, tetapi membantu
seseorang untuk tumbuh, sehingga ia bisa mengatasi masalah, baik
masalah sekarang maupun masalah yang akan datang dengan cara yang
lebih baik, lebih tepat. Jika seseorang berhasil mengatasi persoalan dalam
suasana yang lebih bebas, lebih bertanggung jawab, berkurang sikap-
ragunya, dengan cara yang lebih teratur, maka pada saat menghadapi
masalah baru ia akan bisa mengatasinya dengan cara yang sama.
2. Hal yang kedua ialah penekanan lebih banyak terhadap faktor emosi,
daripada terhadap faktor intelek. Dalam kenyataannya, banyak perbuatan
5
Carl R. Rogers, Conseling and Psychotherapy, (Boston : Houghton Mifftin, Co., 1942), 20
6
Carl R. Rogers, Conseling and Psychotherapy, 27
7
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung : Refika Aditama, 2003), 90
8
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta : Gunung Mulia, 1996), 127-128
dipengaruhi oleh emosi daripada oleh pikiran, artinya seseorang bisa
mengetahui bahwa sesuatu perbuatan sebenarnya tidak baik, jadi secara
rasional, intelektual, ia mengetahui itu, dan tahu pula bahwa ia tidak boleh
melakukan hal itu, namun kenyataannya lain. Pendekatan ini bekerja
langsung terhadap kehidupan emosi dan perasaan yang nyata daripada
berusaha mereorganisasikan faktor emosi melalui pendekatan intelektual.
3. Hal yang ketiga memberi tekanan yang lebih besar terhadap keadaan yang
ada sekarang daripada terhadap apa yang sudah lewat. Pola emosi yang
diperlihatkan seseorang sekarang ini sama saja dengan pola emosi yang
sudah ada dalam sejarah pribadinya.
4. Hal yang keempat ialah penekanan pada hubungan terapeutik itu sendiri
sebagai tumbuhnya pengalaman. Di sini seseorang belajar memahami diri
sendiri, membuat keputusan yang penting dengan bebas dan bisa sukses
berhubungan dengan orang lain secara lebih dewasa.

II.5. Tujuan Client Centered


Tujuan dasar terapi client centered adalah menciptakan iklim yang
kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang
berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu
mengusahakan agar klien bisa memahami hal-hal yang ada di balik topeng
yang dikenakannya. Klien mengembangkan kepura-puraan dan bertopeng
sebagai pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan oleh klien
menghambatnya untuk tampil utuh dihadapan orang lain dan dalam usahanya
menipu orang lain, ia menjadi asing terhadap dirinya sendiri.9
Tujuan client centered untuk membina kepribadian klien secara
integral, berdiri sendiri, dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalah sendiri. Kepribadian yang integral, struktur kepribadian yang tidak
terpecah artinya sesuai antara gambaran tentang diri yang ideal (ideal self)
dengan kenyataan diri sebenarnya (actual self), kepribadian yang berdiri
sendiri adalah yang mampu menentukan pilihan sendiri atas dasar tanggung
jawab dan kemampuan, tidak tergantung pada orang lain, sebelum
menentukan pilihan tentu individu harus memahami dirinya (kekuatan dan
kelemahan diri), dan kemudian keadaan diri tersebut harus ia terima.10
Titik berat dari tujuan client centered adalah menjadikan tingkah laku
klien kongruen atau autentik (klien tidak lagi berpura-pura dalam
kehidupannya). Klien yang tingkah lakunya bermasalah cenderung
mengembangkan kepura-puraan yang digunakan sebagai pertahanan terhadap
hal-hal yang dirasakannya mengancam. Kepura-puraan ini akan
menghambatnya tampil secara utuh di hadapan orang lain sehingga ia menjadi
asing terhadap dirinya sendiri. Melalui terapi client centered ini diharapkan
klien yang mengembangkan kepura-puraan tersebut dapat mencapai tujuan
terapi, antara lain:
1. Keterbukaan pada pengalaman .
9
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, 94
10
Sofyan S. Wilis, Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung: Alfa Beta, 2009), 100
2. Kepercayaan terhadap diri sendiri.
3. Menghilangkan sikap dan perilaku yang kaku.
4. Bersikap lebih matang dan teraktualisasi.

Hal penting lainnya yang ingin dicapai dari client centered adalah
menjadikan klien sebagai pribadi yang berfungsi sepenuhnya (fully
functioning person) yang memiliki arti sama dengan aktualisasi diri.11

II.6. Pandangan tentang Sifat Manusia


Pandangan client centered tentang sifat manusia menolak konsep
tentang kecenderungan negatif dasar. Rogers menunjukkan kepercayaan yang
mendalam pada manusia. Ia memandang manusia tersosialisasi dan bergerak
ke muka, berjuang untuk berfungsi penuh, serta memiliki kebaikan yang
positif pada intinya yang terdalam. Pandangan tentang manusia yang positif
ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi praktik terapi client
centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan
yang inheren untuk menjauhi maladjustment menuju keadaan psikologis yang
sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada
klien. Model client centered menolak konsep yang memandang terapis sebagai
otoritas yang mengetahui yang terbaik dan yang memandang klien sebagai
manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah terapis.12
Client centered memandang manusia secara positif, manusia memiliki
suatu kecenderungan ke arah menjadi berfungsi penuh. Klien mengaktualkan
potensi dan bergerak ke arah meningkatkan kesadaran, spontanitas,
kepercayaan kepada diri, dan keterarahan dalam.13 Rogers bertumpu pada
pandangannya terhadap hakikat manusia, yaitu jika dalam proses konseling
bisa tercipta suasana hangat dan penuh penerimaan, orang akan menaruh
kepercayaan terhadap konselor dalam ikut memikirkan tentang kehidupan
maupun persoalan yang dihadapi. Selama memikirkan bersama dan konselor
tidak melakukan penilaian, orang akan merasa bebas untuk memeriksa
perasaannya, pikirannya dan perilakunya, karena hal ini berhubungan dengan
pertumbuhan, perkembangan dan penyesuaian diri. Melakukan pemeriksaan
terhadap diri sendiri hendaknya bisa membuat keputusan lebih efektif dan
berperilaku lebih produktif.14 Karena lebih menonjolkan aspek self pada
teorinya, pendekatan client centered juga dianggap sebagai self-theory. Untuk
menjadi individu yang memiliki self yang sehat, klien memerlukan
penghargaan yang positif, kehangatan cinta, kepedulian, dan penerimaan. Self
merupakan konsep mengenai diri dan hubungan diri dengan orang lain. Self
tidak terbentuk dengan sendirinya. Setiap individu memiliki kecenderungan

11
Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik, 157-158
12
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, 91-92
13
Ibid, 314
14
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi, 123
untuk mengaktualisasikan dirinya secara terarah dan konstruktif.
Kecenderungan ini bersifat inheren dan telah ada sejak individu dilahirkan.15

II.7. Teknik Client Centered


Pendekatan client centered sedikit menggunakan teknik, akan tetapi
menekankan sikap konselor. Teknik dasar adalah mencakup mendengar, dan
menyimak secara aktif, refleksi perasaan, klarifikasi, “being here” bagi klien.
Client centered tidak menggunakan tes diagnostik, interpretasi, studi kasus
dan kuisioner untuk memperoleh informasi.16
Rogers mengemukakan untuk terlaksananya proses konseling yang
bertujuan, maka teknik atau kondisi yang diperlukan adalah:
1) Kontak psikologis (secara minimum harus ada), wujud dari kontak
psikologis adalah konselor menerima dan berempati pada klien.
2) Minimum state of anxiety maksudnya adalah klien perlu memiliki
kecemasan akan dirinya yang bermasalah pada taraf minimum,
apabila klien merasa tidak enak dengan keadaan sekarang, maka ia
cenderung berkehendak untuk mengubah dirinya.
3) Counselor genuiness: konselor asli tidak dibuat-buat terlihat dari
ciri jujur, tulus dan tanpa pamrih.
4) Unconditione positive regard and respect: penghargaan konselor
yang tulus pada klien.
5) Emphatic understanding: konselor benar-benar memahami kondisi
internal klien, merasakan jika seaandainya konselor sendiri yang
menjadi klien. Client Perception: klien perlu merasakan bahwa
kondisi-kondisi di atas memang ada.
6) Concreatness, immediacy and confrontation: ini merupakan teknik-
teknik khusus dalam proses konseling.17
II.7.1. Langkah-langkah18
1. Seseorang datang untuk minta bantuan. Selanjutnya ia memasuki
tahap yang penting, tahap untuk merasakan kebebasan agar
terapi bisa dilanjutkan.
2. Perumusan mengenai suasana bantuan. Terhadap klien
disadarkan bahwa konselor tidak punya jawaban, tetapi melalui
proses konseling klien akan memperoleh sesuatu, dengan
bantuan, untuk bisa melakukan pemecahan persoalannya sendiri.
3. Konselor meningkatkan keberanian klien untuk mengungkapkan
perasaan-perasannya sehubungan dengan masalahnya. Disatu
pihak ini adalah berkat sikap ramah, penuh perhatian dan

15
Namora Lumongga Lubis, Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik, 156
16
M. Surya, Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Konsep dan Teori), (Bandung: Bhakti Winaya, 1994),
199
17
Amirah Diniaty, Teori-teori Konseling, (Pekanbaru :Daulat Riau, 2009), 101-102
18
Singgih D. Gunarsa, Konseling dan Psikoterapi
menerima dari konselor, dipihak lain melalui percakapan
terapeutik dengan konselor, terjadi kemajuan.
4. Konselor menerima, mengenali dan menjelaskan berbagai
perasaan negatif. Kalau konselor menerima perasaan ini, ia harus
siap untuk memberikan respons, tidak terhadap isi intelek
seseorang mengenai apa yang dibicarakan, tetapi terhadap
perasaan yang mendasarinya. Konselor berusaha melalui apa
yang dibicarakan atau dilakukan, untuk menciptakan suasana di
mana klien bisa mengenali bahwa ia mempunyai perasaan-
perasaan negatif dan bisa menerimanya sebagai bagian dari
dirinya daripada ia memproyeksikan perasaan-perasaan itu ke
orang lain atau menyembunyikannya dibalik mekanisme
pertahanan dirinya (defense mechanism). Kadang-kadang
konselor menjelaskan perasaan ini secara verbal, tidak untuk
menilai sebabnya, namun semata-mata meyakinkan bahwa hal
tersebut benar-benar ada dan ia menerimanya.
5. Ketika perasaan-perasaan negatif telah diungkapkan
sepenuhnya, pada saat itu akan diikuti oleh ekspresi dari
dorongan positif untuk berkembang lebih lanjut. Ekspresi positif
adalah tanda yang jelas dan meyakinkan dari keseluruhan
proses yang telah terjadi.
6. Konselor menerima dan mengenali perasaan-perasaan positif
yang diungkapkan, sama dengan ketika menerima dan
mengenali perasaan-perasaan negatif. Perasaan positif tidak
diterima oleh konselor sebagai sesuatu yang harus dipuji atau
seperti layaknya sesuatu yang biasa ada pada diri pribadi
seseorang. Dengan penerimaan seperti itulah klien belajar dan
menyadari diri sendiri sebagaimana keadaan sebenarnya.
7. Pemahaman, pengenalan dan penerimaan tentang diri sendiri,
adalah langkah berikutnya yang penting dari keseluruhan proses,
yang menjadi dasar pada diri seseorang untuk bisa maju ke
tingkatan yang baru dari integrasinya.
8. Bersama-sama dengan proses pemahaman ini adalah proses
yang memperjelas kemungkinan-kemungkinan keputusan atau
tindakan yang akan dilakukan.
9. Tindakan positif. Suatu keputusan untuk melakukan sesuatu
tindakan yang nyata, yang positif, yang tumbuh sedikit demi
sedikit dari dirinya sendiri.
10. Langkah selanjutnya yang tersisa tidak memakan waktu lama.
Sekali seorang mencapai tahap pemahaman dan melakukan
tindakan positif, maka aspek yang tersisa dijadikan elemen
untuk perkembangan selanjutnya.
11. Lambat laun tindakan positif dan terpadu pada klien meningkat.
Ketakutan memutuskan sesuatu berkurang dan lebih percaya diri
dalam melakukan tindakan. Hubungan konselor dengan klien
pada saat ini mencapai puncaknya.
12. Muncul pikiran dan kesadaran pada klien untuk mengurangi
kebutuhan akan bantuan dan bahwa hubungan dengan konselor
akan berakhir.
III. Kesimpulan
Client centered – Carl Rogers berlandaskan pada suatu filsafat tentang
manusia yang menekankan bahwa kita memiliki dorongan bawaan pada
aktualisasi diri. Selain itu, Rogers memandang manusia secara fenomenologis,
yakni bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya
tentang kenyataan. Tujuan dari client centered ialah menyediakan suatu iklim
yang aman dan kondusif bagi eksplorasi diri klien sehingga ia mampu menyadari
penghambat-penghambat pertumbuhan dan aspek-aspek pengalaman diri yang
sebelumnya diingkari atau didisiorsinya. Membantu klien agar mampu bergerak
ke arah keterbukaan terhadap pengalaman serta meningkatkan spontanitas dan
perasaan hidup. Konsep pokok yang mendasari teori client centered adalah hal
yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori
kepribadian, dan hakekat kecemasan. Dalam pendekatan Rogerian ini, kehidupan
perasaan mendapat tempat yang penting. Pendekatan client centered bisa
diterapkan secara luas pada konseling dan terapi individual serta kelompok bagi
pengajaran yang terpusat pada siswa. Sumbangan unik dari pendekatan ini adalah
menjadikan klien mengambil sikap aktif dan memikul tanggung jawab untuk
mengarahkan jalannya terapi.
IV. Refleksi Teologis
Terapi klien yang berpusat pada klien (client centered therapy)
menekankan penerimaan diri. Dalam Matius 22:37-39, “Jawab Yesus
kepadanya :”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengab segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama
dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah:
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Tuhan telah terlebih dahulu
mengasihi kita dan membuat kita layak untuk dikasihi atau dicintai. Perintah
tentang kasih pertama-tama mengendalikan perasaan bahkan juga pikiran umat
Kristen untuk mencintai/mengasihi diri sendiri (seperti dirimu sendiri). Perintah
untuk mengasihi diri sendiri secara tersirat disampaikan karena kita tidak bisa
sungguh-sungguh mengasihi megasihi sesama bila kita tidak mampu mengasihi
diri kita sendiri. Dari ayat di atas merefleksikan kepada kita bahwa kita perlu
untuk mengenali diri sendiri dan menerima diri sendiri dengan sukacita sebagai
ciptaan, dan gambaran Allah dalam realitas yang terbatas tapi unik. Melalui kasih
terhadap sesama, kita dapat menemukan keberadaan diri sendiri, mampu bergerak
ke arah keterbukaan dan membangun kepribadian diri sendiri. Konsep tentang
empati dikembangkan oleh Rogers di dalam pendekatan client centered. Kita
diminta berempati pada orang lain agar dapat merasakan apa yang dia rasakan
sehingga mampu menolong dia keluar dari permasalahannya dengan tepat. Alkitab
mengajarkan kita, bahwa pertolongan kita hanya dari Allah yang menciptakan
langit dan bumi. Maka, hanya kepada Dia kita mencari motive, method, dan goal
dari kehidupan kita (Rm 11:36). Empati kepada sesama adalah bagian dari natur
kita yang sudah ditebus menjadi satu tubuh Kristus yang menyaksikan bahwa kita
sudah menerima kasih Kristus. Manifestasi cinta kasih Kristus dinyatakan melalui
kesaksian tubuhNya untuk membawa dunia ini melihat Kasih dari Pencipta
kepada ciptaanNya. Inilah tanda kasih kita sebagai anak-anak Allah (1 Yoh 4:7-8).
Begitu juga dengan emosi atau perasaan perlu sekali memperoleh pembaharuan.
Emosi/perasaan yang masih dikuasai oleh dosa cenderung negatif, menyimpan
akar pahit, dendam, kemarahan, kecemasan, kekuatiran, dan kemarahan (Ef 4:30).
Sehingga emosi/perasaan itu perlu dibaharui di dalam Yesus Kristus (Flp 2:5), dan
dikuasai oleh damai sejahtera (Yoh 14:27; Kol 3:15). Itu sebabnya kita perlu
dipenuhi oleh kehadiran Roh Tuhan (Ef 5:8).

Anda mungkin juga menyukai