Anda di halaman 1dari 24

TEORI DAN PENDEKATAN KONSELING PERSON

CENTERED THERAPY

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. DYP. Sugiharto,M.Pd.,Kons.
Mulawarman, S.Pd.,M.Pd.,Ph.D

Oleh :
Febe Simanjuntak (1310121135)
Annisa Khairina Jamine (1310121139)
Diah Charasati (1301419002)
Muchammad Aqsho (1301419011)
Mahfiroh Izzani Maulani (1301419021)
Agri Aprilia F.H (1301419064)
Eta Fatasya (1301419074)

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia
serta hidayah-Nya sehingga kelompok 4 dapat menyelesaikan tugas makalah untuk
mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling dengan judul “Teori dan Pendekatan
Konseling Person Centered Therapy” dengan baik. Penulis menyadari selesainya
tugas ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. DYP.
Sugiharto,M.Pd.,Kons. Dan Bapak Mulawarman, S.Pd.,M.Pd.,Ph.D., selaku dosen
pengampu mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling yang telah membimbing
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun selalu penulis harapkan sebagai tambahan pengetahuan dan penerapan
disiplin ilmu pada lingkungan yang lebih luas. Penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Semarang, 5 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................3

BAB II
PEMBAHASAN .....................................................................................................4

2.1 Pendiri Pendekatan Person Centered Therapy .................................................. 4


2.2 Sejarah Pendekatan Person Centered Therapy ................................................. 5
2.3 Konsep Dasar Pendekatan Person Centered Therapy ...................................6

2.4 Hakikat Dan Tujuan Konseling Pendekatan Person Centered Therapy .......7

2.5 Pandangan Pendekatan Person Centered Therapy Tentang Manusia ............9

2.6 Asumsi Perilaku Bermasalah Dalam Pendekatan Person Centered Therapy


............................................................................................................................11

2.7 Peran Dan Fungsi Konselor Dalam Pendekatan Person Centered Therapy
............................................................................................................................12

2.8 Langkah-langkah Pendekatan Person Centered Therapy ...........................14

2.9 Teknik-Teknik Pendekatan Person Centered Therapy ...............................15

2.10 Kelebihan Dan Kekurangan Pendekatan Person Centered Therapy .........16

BAB III
PENUTUP .............................................................................................................18

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................18

ii
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................20

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Banyak sekali teori yang mengemukakan tentang kepribadian, akan
tetapi dalam pembahasannya, makalah ini hanya akan membahas mengenai
teori kepribadian Humanistik. Dalam pandangan Humanistik, manusia
bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai
kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka. Aliran
Humanistik menyumbangkan arah yang positif dan optimis bagi pengembangan
potensi manusia, disebut sebagai yang mengembalikan hakikat psikologi
sebagai ilmu tentang manusia. Carl Roger merupakan tokoh Teori Kepribadian
Humanistik, Ia Lahir di Illinois (1902-1988) Ia adalah salah seorang peletak
dasar dari gerakan potensi manusia, yang menekankan perkembangan pribadi
melalui latihan sensitivitas, kelompok pertemuan, dan latihan lainnya yang
ditujukan untuk membantu orang agar memiliki pribadi yang sehat.
Pendekatan Rogers terhadap terapi dan model kepribadian sehat yang
dihasilkan,memberikan suatu gambaran tentang kodrat manusia yang
disanjung-sanjung dan optimis. Tema pokoknya adalah seseorang harus
bersandar pada pengalamanya sendiri tentang dunia karena hanya itulah
kenyataan yang diketahui oleh seorang individu. Carl R. Rogers
mengembangkan terapi client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang
disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada
hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari terapi
humanistik yang menggaris bawahi tindakan yang akan dilakukan oleh klien
berikut dunia subjektif dan fenomenalnya.Perkembangan pendekatan client-
centered disertai peralihan dari penekanan pada teknik terapi kepada penekanan
pada kepribadian, keyakinan dan sikap ahli terapi, serta pada hubungan
terapeutik.Salah satunya adalah person-centered.
1.2 Rumusan Masalah
1. Siapakah pengembang atau pendiri Pendekatan Person Centered Therapy?

1
2

2. Seperti apa sejarah konseling Pendekatan Person Centered Therapy?


3. Seperti apa konsep dasar Pendekatan Person Centered Therapy?
4. Apa saja hakikat dan tujuan konseling pendekaran Person Centered
Therapy?
5. Seperti apa pandangan Pendekatan Person Centered Therapy tentang
manusia?
6. Seperti apa asumsi perilaku bermasalah dalam Pendekatan Person Centered
Therapy?
7. Bagaimana peran dan fungsi konselor dalam Pendekatan Person Centered
Therapy?
8. Apa saja tahap-tahap konseling dengan menggunakan Pendekatan Person
Centered Therapy?
9. Apa saja teknik-teknik yang digunakan dalam Pendekatan Person Centered
Therapy?
10. Apa saja kelebihan dan kekurangan dalam Pendekatan Person Centered
Therapy?
1.3 Tujuan
1. Mengenal pengembang atau pendiri Pendekatan Person Centered Therapy.
2. Mengenal seperti apa sejarah konseling Pendekatan Person Centered
Therapy.
3. Mengenal konsep dasar Pendekatan Person Centered Therapy.
4. Mengenal apa saja hakikat dan tujuan konseling pendekaran Person
Centered Therapy.
5. Mengenal seperti apa pandangan Pendekatan Person Centered Therapy
tentang manusia.
6. Mengenal apa asumsi perilaku bermasalah dalam Pendekatan Person
Centered Therapy.
7. Mengenal bagaimana peran dan fungsi konselor dalam Pendekatan Person
Centered Therapy.
8. Mengenal apa saja tahap-tahap konseling dengan menggunakan Pendekatan
Person Centered Therapy.
3

9. Mengenal apa saja teknik-teknik yang digunakan dalam Pendekatan Person


Centered Therapy.
10. Mengenal apa saja kelebihan dan kekurangan dalam Pendekatan Person
Centered Therapy.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendiri Pendekatan Person Centered Therapy


Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park,
Illinios, Chicago, anak keempat dari enam bersaudara yang lahir dari pasangan
Walter dan Julia Cushing Rogers. Carl lebih dekat dengan ibu daripada ayahnya
yang selama bertahun-tahun awal kanak-kanaknya, sering kali jauh dari rumah
karena pekerjaannya sebagai insinyur sipil. Walter dan Julia sama-sama religius,
membuat Carl tertarik pada Alkitab sehingga dia rajin membacanya di samping
buku-buku lain juga meskipun waktu itu dia masih belum sekolah.
Awalnya Rogers memiliki cita-cita untuk menjadi petani, hingga setelah
lulus dari SMA dia melanjutkan ke University of Wisconsin. Ia pernah belajar
di bidang agrikultural dan sejarah di University of Wisconsin. Pada tahun 1928
ia memperoleh gelar Master di bidang psikologi dari Columbia University dan
kemudian memperoleh gelar Ph.D di dibidang psikologi klinis pada tahun 1931.
Pada tahun 1931, Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for
the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada
perhimpunan pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada
masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal dengan
menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu
tulisan berjudul “The Clinical Treatment of the Problem Child”, yang
membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di
Ohio State University. Dan pada tahun 1942, Rogers menjabat sebagai ketua
dari American Psychological Society. Carl Rogers adalah seorang psikolog
humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa
prasangka (antara klien dan terapist) dalam membantu individu mengatasi
masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya
memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya
membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-
teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang penting

4
5

terapist bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien.
Hasil karya Rogers yang paling terkenal dan masih menjadi literatur sampai hari
ini adalah metode konseling yang disebut Client-Centered Therapy. Dua buah
bukunya yang juga sangat terkenal adalah Client-Centered Therapy (1951) dan
On Becoming a Person (1961). (Ratu, B., 2014).
2.2 Sejarah Pendekatan Person Centered Therapy
Pendekatan person-centered dikembangkan oleh Dr. Carl Rogers (1902-
1987) pada tahun 1940-an. Pada awal perkembangannya Carl Roger
menamakan non directive counseling sebagai reaksi kontra terhadap
pendekatan psikoanalisis yang bersifat direktif dan tradisional. Pada tahun 1951
Rogers mengganti nama pendekatan non-direktif menjadi client-centered.
Pendekatan client-centered berasumsi bahwa manusia yang mencari bantuan
psikologis diperlakukan sebagai konseli yang bertanggung jawab yang
memiliki kekuatan untuk mengarahkan dirinya. Setelah itu, Rogers
mengembangkan aplikasi pendekatan ini pada area yang lebih luas dan
menjangkau populasi yang lebih bervariasi seperti konseling pasangan dan
keluarga, kelompok minoritas, kelompok antar ras dan antar kultur serta dalam
hubungan internasional (Rogers, 1970, 1972, 1977 dalam Corey, dalam
Komalasari, G., 2011). Karena luasnya area aplikasi dan pengaruh pendekatan
ini terutama pada isu-isu kekuasaan dan politik, yaitu tentang bagaimana
manusia mendapatkan, memiliki, membagi atau menyerahkan kekuasaan dan
kontrol atas orang lain dan atas dirinya, maka pendekatan ini lebih dikenal
sebagai pendekatan yang berpusat pada manusia (person-centered approach).
Pendekatan ini dikembangkan atas dasar pertimbangan perlunya
mendudukkan individu dalam konseling sebagai personal dengan kapasitas
positifnya (Thompson, Corey, dalam Komalasari, G., 2011). Pendekatan
person-centered dapat dikategorikan dalam cabang humanistik yang memiliki
perspektif eksistensial. Humanistik merupakan perspektif ketiga third-force)
dalam konseling. Pada area ini di dalamnya termasuk person-centered
approach dan Gestalt approach. Rogers mempertanyakan validitas keyakianan
yang banyak dipegang oleh konselor yang paling mengetahui. Rogers
6

berasumsi bahwa manusia pada dasarnya dapat dipercaya dan memiliki potensi
untuk yaitu bahwa dalam proses konseling, konselor adalah orang (Carl Rogers)
memaknai dirinya sendiri dan mengatasi masalahnya tanpa intervensi langsung
dari konselor serta manusia memiliki potensi untuk berkembang (Corey, dalam
Komalasari, G., 2011)
2.3 Konsep Dasar Pendekatan Person Centered Therapy
Konseling Person Centered Therapy (PCT) Menekankan pada
dorongan dan kemampuan yang terdapat dalam diri individu yang berkembang,
untuk hidup sehat dan menyesuaikan diri, pada unsur atau aspek emosional dan
tidak pada aspek intelektual, pada situasi yang langsung dihadapi individu, dan
tidak pada masa lampau serta menekankan pada hubungan terapeutik sebagai
pengalaman dalam perkembangan individu yang bersangkutan (Corey, dalam
Hanifah, A., 2016).
Palmer (dalam Hanifah, A., 2016) mengemukakan pendapat yang
serupa dengan Corey dalam bahasa yang berbeda, bahwa terapi berfokus pribadi
(Person Centered Therapy) didasarkan pada kepercayaan fundamental bahwa
manusia itu pada intinya terpercaya, sosial dan kreatif. Kepercayaan tersebut
adalah kemauan terapis untuk mengosongkan posisi keahliannya dan justru
bekerja untuk memampukan klien menyadari sumber dayanya sendiri dan
pemahaman dirinya. Terapi ini lebih menekankan pada pengalaman individu itu
sendiri. Sementara Gibson dan Mitchell (dalam Hanifah, A., 2016) menjelaskan
bahwa konseling person centered atau lebih sering disebut dengan konseling
Rogerian ini menitikberatkan kemampuan dan tanggung jawab klien untuk
mengenali cara pengidentifikasian dan cara menghadapi realitas secara lebih
akurat.
Pendekatan person-centered dibangun atas dua hipotesis dasar, yaitu:
1. Setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami keadaan yang
menyebabkan ketidakbahagiaan dan mengatur kembali kehidupannya
menjadi lebih baik,
2. Kemampuan seseorang untuk menghadapi keadaan ini dapat terjadi dan
ditingkatkan jika konselor menciptakan kehangatan, penerimaan, dan dapat
7

memahami relasi (proses konseling) yang sedang dibangun (Corey, dalam


Komalasari, G., 2011).
2.3 Hakikat dan Tujuan Konseling Pendekatan Person Centered Therapy
Konseling person centered bertujuan membantu konseli
menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling,
mana konselor mendudukkan konseli sebagai orang yang berharga, orang
yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan
tanpa syarat (unconditional positive regard), yaitu menerima konseli apa
adanya. Tujuan utama pendekatan person-centered adalah pencapaian
kemandirian dan integrasi diri. Dalam pandangan Rogers (dalam
Komalasari, G., 2011) tujuan konseling bukan semata-mata menyelesaikan
masalah tetapi membantu konseli dalam proses pertumbuhannya sehingga
konseli dapat mengatasi masalah yang dialaminya sekarang dengan lebih
baik dapat mengatasi masalahnya sendiri di masa yang akan datang (Corey,
dalam Komalasari, G., 2011).
Menurut Rogers (dalam Gladding, 2012:245) menekankan bahwa
orang yang perlu bantuan untuk belajar bagaimana menghadapi berbagai
situasi. Secara ideal tujuan konseling berpusat pada person tidak terbatas
oleh tercapainya pribadi yang kongruensi saja. Bagi Rogers tujuan
konseling pada dasarnya sama dengan tujuan kehidupan ini, yaitu apa yang
disebut dengan fully functioning person, yaitu pribadi yang berfungsi
sepenuhnya. Rogers beranggapan bahwa fully functioning person
merupakan hasil dari dan karena itu lebih proses bersifat becoming,
sedangkan aktualisasi diri sebagaimana yang dikemukakan Maslow
merupakan keadaan akhir dari kematangan mental dan emosional, karena
itu lebih merupakan self-being (Cottone, dalam Gladding, 2012).
Pendapat lain dikemukakan oleh Jones & Nelson, R. (dalam
Hanifah, A., 2016) bahwa tujuan dari konseling Person Centered Therapy
adalah keterbukaan pada pengalaman, rasionalitas, tanggung jawab pribadi,
Self Regard (Penghargaan diri), kapasitas hubungan pribadi yang baik, dan
Etika hidup yang baik. Terapi ini diharapakan mampu meningkatan harga
8

diri dan keterbukaan yang lebih besar untuk menangani masalah. Sementara
itu Palmer (dalam Hanifah, A., 2016) mengemukakan bahwa tujuan dari
konseling berfokus pribadi adalah menawarkan kondisi yang akan
memampukan terjadinya penyembuhan keterpecahan nurani dan memulai
proses untuk menghubungkan kembali secara utuh dengan pengalaman dan
proses penghargaan yang ada sejak lahir.
Tujuan dasar pendekatan person-centered dapat terlihat dari
pendapat Rogers (dalam Komalasari, G., 2011) tentang individu yang dapat
mengaktualisasikan diri. Individu yang dapat mengaktualisasikan diri dapat
terlihat dari karakteristik yaitu:
a. Memiliki keterbukaan terhadap pengalaman (openness to experience).
Keterbukaan terhadap pengalaman meliputi kemampuan untuk
melihat realitas tanpa terganggu untuk menyesuaikan pada self-
structure yang telah terbentuk sebelumnya. Individu menjadi lebih
terbuka, yang berarti bahwa ia menjadi lebih menyadari realitas yang
ada di luar dirinya. Hal ini berarti pula bahwa individu keyakinan yang
tidak kaku, dapat terbuka terhadap pengetahuan baru, dapat berkembang
dan toleran terhadap ambiguitas. Kemudian, individu memiliki
kesadaran tentang dirinya pada saat ini dan kapasitas untuk mengalami
diri dengan cara yang lebih baik (Corey, dalam Komalasari, G., 2011).
b. Kepercayaan pada diri sendiri (self-trust)
Salah satu tujuan konseling adalah membantu konseli
mengembangkan rasa percaya pada diri sendiri. Pada awal proses
konseling kepercayaan diri konseli biasanya sangat rendah sehingga
tidak dapat mengambil keputusan secara mandiri. Dengan menjadi lebih
terbuka, konseli mengembangkan kepercayaan kepada diri secara
perlahan-lahan (Corey, dalam Komalasari, G., 2011)
c. Sumber internal evaluasi (internal source of evaluation)
Internal source of evaluation berarti individu mencari pada diri
sendiri tentang jawaban atas masalah-masalah eksistensi diri. Individu
9

dibantu untuk memahami diri dan mengambil keputusan secara mandiri


tentang hidupnya (Corey, dalam Komalasari, G., 2011).
d. Keinginan yang bekelanjutan untuk berkembang (willingness to
continue growing).
Pembentukan self dalam process of becoming merupakan inti dari
tujuan pendekatan person-centered. Self bukan dipandang sebagai
produk dari proses konseling. Walaupun tujuan dari konseling adalah
self yang berhasil, yang paling penting adalah proses berkelanjutan di
mana konseli mendapatkan pengalaman baru dan mendapatkan
kesadaran diri (Corey, dalam Komalasari, G., 2011).
Empat karakteristik di atas memberikan frame kerja untuk
memahami arah proses konseling. Konselor tidak memilih tujuan konseling
untuk konseli tetapi menfasilitasinya melalui penciptaan hubungan
terapeutik (Corey, dalam Komalasari, G., 2011).
2.4 Pandangan Pendekatan Person Centered Therapy Tentang Manusia
Pendekatan person-centered memiliki keyakinan bahwa individu pada
dasarnya baik. Hal ini dideskripsikan lagi bahwa manusia memiliki tendensi
untuk berkembang secara positif dan konstruktif realistiss dan dapat dipercaya.
Menurut Komalasari (2011:262) pendekatan ini juga memandang bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk merasakan pengalaman, yaitu
mengekspresikan daripada menekan pikiran-pikiran yang tidak sesuai dalam
kehidupan ke arah yang lebih sesuai. Menurut pendekatan person-centered
(dalam Komalasari, 2011:262) manusia dipandang sebagai instan rasional,
makhluk sosial, realistis dan berkembang.
Teori konseling model berpusat pada person ini memandang manusia
sebagai suatu pribadi atau kepribadian dimana dalam kepribadian manusia
terdapat tiga unsur yang esensial, yaitu self, medan fenomenal, dan organisme.
Menurut Rogers yang dikutip oleh Latipun (dalam Hanifah, A., 2016)
menjelaskan bahwa self atau yang disebut pula struktur self atau self concept
merupakan persepsi dan nilai-nilai individu tentang dirinya atau hal-hal lain
yang berhubungan dengan dirinya. Self meliputi dua hal, yaitu self riil (real self)
10

dan self ideal (ideal self). Real self merupakan gambaran sebenarnya tentang
dirinya yang nyata, dan ideal self merupakan gambaran sebenarnya tentang
dirinya yang nyata, dan ideal self merupakan apa yang menjadi kesukaan,
harapan, atau yang idealisasi tentang dirinya.
Medan fenomenal (fenomenal field) merupakan keseluruhan
pengalaman seseorang yang diterimananya baik yang disadari maupun yang
tidak disadari. Organisme merupakan keseluruhan totalitas indiidu yang
meliputi pemikiran, perilaku, dan keadaan fisik. Kepribadian menurut Rogers
merupakan hasil interaksi yang terus menerus antara organisme, self, dan
medan fenomenal. Pandangan manusia menurut Rogers dalam Corey (dalam
Hanifah, A., 2016) yaitu sebagai berikut:
a. Manusia cenderung untuk melakukan aktualisasi diri, hal ini dapat
dipahami bahwa organisme akan mengaktualisasikan kemampuanya dan
memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri.
b. Perilaku manusia pada dasarnya sesuai dengan persepsinya tentang medan
fenomenal dan individu itu mereaksi medan itu sebagaimana yang
dipersepsi. Oleh karena itu, persepsi individu tentang medan fenomenal
bersifat subyektif.
c. Manusia pada dasarnya bermanfaat dan berharga dan dia memiliki nilai-
nilai yang dijunjung tinggi sebagai hal yang baik bagi dirinya.
d. Secara mendasar manusia itu baik dan dapat dipercaya, konstruktif tidak
merusak dirinya.
e. Manusia pada dasarnya aktif, bukan pasif.
f. Setiap individu dalam dirinya terdapat motor penggerak terbuka pada
pengalaman diri, percaya pada diri sendiri.
Pendapat Rogers mengenai pandangannya terhadap manusia
menekankan pada hal bahwa manusia adalah makhluk yang penuh dengan
kepositifan sehingga cenderung untuk dapat memenuhi kebutuhannya yaitu
dengan aktualisasi diri atau becoming a person atau fully function person.
2.5 Asumsi Perilaku Bermasalah Dalam Pendekatan Person Centered Therapy
11

Tingkah laku bermasalah adalah perilaku individu yang dianggap


menyimpang atau tidak sesuai dengan norma maupun teori-teori yang ada.
Rogers menyebutkan bahwa individu yang akan bergerak ke arah aktualisasi
diri atau dalam istilah Rogers yaitu fully function person. Hal ini dijabarkan
lebih detail oleh Nelson (dalam Hanifah, A., 2016) karakteristik-karakteristik
dari fully function person yaitu:
a. Terbuka terhadap pengalaman dan mampu mempersepsi secara realistis
b. Menginginkan keautentikan
c. Rasional dan tidak defensif
d. Terlibat dalam proses berkehidupan yang eksistensial
e. Mengartikan pengalaman secara ekstensional
f. Menerima tanggung jawab karena berbeda dengan orang lain
g. Menerima tanggung jawab atas perilakunya
h. Berhubungan secara kreatif dengan lingkungan
i. Menerima orang lain sebagai individu-individu yang unik
j. Menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain
k. Mengkomunikasikan kesadaran yang kaya tentang diri.
Karakteristik dari individu yang sehat sesuai dengan konsep dari teori
konseling person centered salah satunya adalah menghargai diri sendiri dan
orang lain, karakteristik ini sesuai dengan ciri dari individu yang memiliki self
esteem tinggi. Hal ini juga diperkuat dengan karakteristik lain seperti
bertanggungjawab dengan perilakunya dan berhubungan baik dengan
lingkungannya.
Karakteristik pribadi yang menyimpang atau tidak mampu menjadi fully
function person menurut Nelson (dalam Hanifah, A., 2016) yaitu :
a. Adanya ketidaksesuaian antara persepsi diri dan pengalamannya yang riil
b. Adanya ketidaksesuaian antara bagaimana dia melihat dirinya (self-
concept) dan kenyataan atau kemampuannya.
c. Pribadi yang inkongruensi atau tidak kongruen antara ideal self, self
concept, dan organisme
12

d. Kesenjangan antara ideal self dan self concept, jika hal ini terjadi akan
menimbulkan khayalan tinggi
e. Kesenjangan antara self concept dan organisme, sehingga dapat
menimbulkan perasaan rendah diri (minder)
f. Tidak mampu mempersepsi dirinya, orang lain, dan berbagai peristiwa
yang terjadi di lingkungannya secara objektif
Pribadi atau individu yang tidak mampu untuk mencapai aktualisasi diri
dapat di dilihat dari beberapa sudut dengan mengecek antara riil self dengan
dengan ideal self, antara self concept dengan riil self, dan antara ideal self
dengan self concept. Satu hal lagi adalah individu tersebut cenderung bertingkat
laku defensif (berdiam diri) dengan cara berpikir yang menjadi sempit dan kaku.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa salah satu karakteristik dari individu yang tidak
sehat atau memiliki perilaku bermasalah pada teori konseling person centered
adalah mereka yang memiliki low self esteem.
2.6 Peran dan Funsi Konselor dalam Pendekatan Person Centered Therapy
Kemampuan konselor dalam membangun hubungan interpersonal
dalam proses komunikasi konseling merupakan elemen kunci keberhasilan
konseling. Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga
kondisi inti (core condition) yang menghadirkan iklim kondusif untuk
mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli. Dalam
peran tersebut konselor menunjukkan sikap yang selaras dan keaslian
(congruence or genuineness), penerimaan tanpa syarat (unconditional positive
regard and acceptance), dan pemahaman empati yang tepat (accurate empathic
undertanding).
a. Kongruen (Congruence) atau Keaslian (Genuineness)
Congruence berarti bahwa konselor menampilkan diri yang
sebenarnya, asli, terintegrasi dan otentik. Seorang konselor harus dapat
menampilkan kekongruenan antara perasaan dan pikiran yang ada di dalam
dirinya (inner) dengan perasaan, pandangan dan tingkah laku yang
diekspresikan (outer). Konselor yang otentik menampilkan diri yang
spontan dan terbuka baik perasaan dan sikan yang ada dalam dirinya serta
13

dapat berkomunikasi secara jujur dengan konseli (Corey, dalam Komalasari,


G., 2011). Hal ini bukan berarti bahwa konselor dapat menampilkan sikap
impulsif dan berbagai perasaan dan pikiran dengan konseli. Konselor yang
diharapkan dapat melakukan self-disclosure yang sesuai dengan kondisi
konseli dan substansi topik yang dibicarakan dalam konseling. Hal ini dapat
dilakukan dengan mendengarkan konseli secara sungguh-sungguh dan
memahami permasalahannya. Keaslian konselor dapat terlihat melalui
respons-respons konselor yang muncul secara alamiah, asli, dan tidak
dibuat-buat, sehingga tidak berlebihan (Corey, dalam Komalasari, G.,
2011).
b. Penerimaan tanpa Syarat (Unconditional Positive Regard and Acceptance)
Unconditional positive regard berarti bahwa konselor dapat
berkomunikasi dengan konseli secara mendalam dan jujur sebagai pribadi.
Hal ini berarti bahwa konselor tidak melakukan penilaian dan penghakiman
terhadap perasaan, pikiran dan tingkah laku konseli berdasarkan standar
norma tertentu (Corey, dalam Komalasari, G., 2011). Sedangkan
acceptance adalah menunjukkan penghargaan yang spontan terhadap
konseli, dan menerimanya sebagai individu yang berbeda dengan konselor.
Perbedaan antara konselor dapat terjadi pada nilai-nilai, persepsi diri,
maupun pengalaman-pengalaman hidupnya. Penerimaan ini bertujuan
membangun hubungan terapeutik menjadi lebih konstruktif (Corey, dalam
Komalasari, G., 2011). Penelitian Rogers (dalam Komalasari, G., 2011)
mengindikasikan bahwa semakin besar derajat perhatian (caring),
pemberian (prizing), penerimaan, dan penghargaan terhadap konseli dengan
cara yang tidak posesif, akan semakin besar pula kesempatan untuk
mencapai kesuksesan konseling. Rogers juga berkata bahwa tidak mungkin
bagi konselor untuk menerima (acceptance) dan memiliki unconditionalcar-
ing sepanjang, waktu tetapi keduanya harus lebih sering ditampilkan daiam
hu- bungan konseling dan merupakan bahan utama hubungan yang
konseling yang konstruktif (Corey, dalam Komalasari, G., 2011).
c. Pemahaman yang Empatik dan Akurat (Accurate Empathic Undertanding)
14

Empathy atau deep understanding adalah kemampuan konselor


untuk memahami permasalahan konseli, melihat melalui sudut pandang
konseli, peka terhadap perasaan-perasaan konseli, sehingga konselor
mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaannya. Dalam hal ini
konselor diharapkan dapat memahami permasalahan konseli tidak hanya
pada permukaan, tetapi lebih dalam pada kondisi psikologis konseli (Corey,
dalam Komalasari, G., 2011). Jika ketiga kondisi di atas dapat dimunculkan
oleh konselor sebagai kualitas dalam hubungan terapeutik, dengan
demikian, dapat diperediksi aktivitas yang akan dialami konseli dalam
konseling adalah menjajagi perasaan dan sikapnya secara lebih mendalam.
Selain itu, kemungkinan konseli akan menemukan beberapa aspek yang
tersembunyi tentang dirinya sendiri yang sebelumnya tidak disadari.
Dengan merasa bahwa konselor memahami perasaannya, maka konseli
akan lebih mampu mendengarkan dirinya sendiri, mendengarkan apa yang
sedang terjadi di dalam pengalamannya sendiri, dan mendengarkan
perasaan-perasaannya yang sebelumnya tidak sanggup ia pahami
2.7 Tahapan Konseling Pendekatan Person Centered Therapy
Menurut Corey (dalam Hanifah, A., 2016) Jika dilihat dari apa yang
dilakukan terapis dapat dibuat dua tahap, yaitu;
a. Tahap membangun hubungan terapeutik, menciptakan kondisi fasilitatif dan
hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan,
penghargaan, dan positif tanpa syarat.
b. Tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas hubungan konseling
dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Menurut pendapat lain mengenai prosedur konseling Person Centered
Therapy Latipun (dalam Hanifah, A., 2016) melihat dari segi pengalaman klien
dalam proses hubungan terapi dapat dijabarkan bahwa proses terapi dapat
dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a. Klien datang ke terapis dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami
kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri yang tidak baik.
15

b. Saat klien menjumpai terapis dengan penuh harapan dapat memperoleh


bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan
jalan atas kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada pada klien adalah
ketidakmampuan mengetasi kesulitan hidupnya.
c. Pada awal terapi klien menunjukan perilaku, sikap, dan perasaannya yang
kaku. Dia menyatakan permasalahan yang dialami kepada terapis secara
permukaan dan belum menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini
klien cenderung mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya, dan mungkin
bersikap defensif.
d. Klien mulai menghilangkan sikap dan perilaku, membuka diri terhadap
pengalamannya, dan belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih
teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.
2.8 Teknik-Teknik Pendekatan Person Centered Therapy
Teknik-teknik konseling yang dapat digunakan dalam proses konseling
Person Centered Therapy (PCT) tidak jauh berbeda dengan teknik umum dari
konseling itu sendiri. Menurut Corey (dalam Hanifah, A., 2016) teknik
konseling Person Centered Therapy (PCT) sikap-sikap terapis dan kepercayaan
antara terapis dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis
membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami
kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang
diingkari atau didistorsinya. Terapis memandang klien sebagai narator aktif
yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang
positif.
Dalam Kiptiyah (2018) teknik dasar dalam pendekatan Person-
Centered Therapy (PCT) mencakup mendengar, menyimak secara aktif,
refleksi perasaan, klarifikasi, “being here” bagi klien. Secara garis besar teknik
Person – Centered Therapy adalah sebagai berikut:
1. Konselor atau pembimbing menciptakan suasana komunikasi antar pribadi
yang merealisasikan segala kondisi.
2. Konselor menjadi seorang pendengar yang sabar dan peka, serta
meyakinkan konseli bahwa dia diterima dan dipahami.
16

3. Konselor memungkinkan konseli untuk mengungkapkan seluruh


perasaannya secara jujur, lebih memahami diri sendiri dan mengembangkan
suatu tujuan perubahan dalam diri sendiri dan perilakunya.
Selain itu juga masih terdapat teknik-teknik yang digunakan dalam
pendekatan Person-Centered Therapy yaitu acceptance (penerimaan), respect
(rasa hormat), understanding (mengerti/memahami), reassurance
(menentramkan hati), encouragement (dorongan), limited questioning
(pertanyaan terbatas), dan reflection (memantulkan perasaan/pertanyaan).
Konseling PCT ini menghindari penggunaan teknik konforntasi dan lebih
menekankan pada pemberian advice. Untuk terapis person centered, kualitas
hubungan terapi jauh lebih penting dari pada teknis.
2.9 Kelebihan dan kekurangan Pendekatan Person Centered Therapy
Kelebihan dari Konseling Person Centered Therapy (PCT) menurut
Corey (dalam Hanifah, A., 2016) yaitu
a. Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis,
b. Identifikasi dan hubungan terapi sebagai wahana utama dalam mengubah
kepribadian,
c. Lebih menekankan pada sikap terapi daripada teknik,
d. Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan
kuantitatif,
e. Penekanan emosi, perasaan, perasaan dan afektif dalam terapi,
f. Menawarkan perspektif yang lebih up to date dan optimis,
g. Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam
menyelesaiakan masalahnya,
h. Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika
mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi.
Kekurangan dari Konseling Person Centered Therapy (PCT) menurut
Corey (dalam Hanifah, A., 2016) yaitu
a. Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana,
b. Terlalu menekankan aspek afektif, emosional, perasaan,
17

c. Tujuan untuk setiap klien yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas dan
umum sehingga sulit untuk menilai individu,
d. Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien
yang kecil tanggung jawabnya,
e. Sulit bagi therapist untuk bersifat netral dalam situasi hubungan
interpersonal,
f. Tetapi menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif.
Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup,
g. Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatology yang parah
h. Minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Carl Ransom Rogers merupakan pendiri pendekatan Person Contered yang
lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinios, Chicago, anak keempat
dari enam bersaudara yang lahir dari pasangan Walter dan Julia Cushing Rogers.
Pendekatan person-centered dikembangkan oleh Dr. Carl Rogers (1902-1987)
pada tahun 1940-an. Pada awal perkembangannya Carl Roger menamakan non
directive counseling, lalu pada tahun 1951 Rogers mengganti nama pendekatan
non-direktif menjadi client-centered. Setelahnya pendekatan ini lebih dikenal
sebagai pendekatan yang berpusat pada manusia (person-centered approach).
Konseling Person Centered Therapy (PCT) Menekankan pada dorongan dan
kemampuan yang terdapat dalam diri individu dalam penyelesaian masalah
konseli. Tujuan dari konseling berfokus pribadi adalah konseli mencapai
kemandirian dan integritas, membantu klien dalam proses berkembangan
sehingga klien lebih baik dalam cakupan sekarang dan yang akan datang, serta
membantu konseli untuk mencapai fully function person.
Menurut pendekatan person-centered manusia dipandang sebagai instan
rasional, makhluk sosial, realistis dan berkembang. Rogers menyebutkan bahwa
individu yang akan bergerak ke arah aktualisasi diri atau dalam istilah Rogers
yaitu fully function person. Jadi, dapat dikatakan bahwa salah satu karakteristik
dari individu yang tidak sehat atau memiliki perilaku bermasalah pada teori
konseling person centered adalah mereka yang memiliki low self esteem.
Dalam proses konseling, konselor berperan mempertahankan tiga
kondisi inti (core condition) yang menghadirkan iklim kondusif untuk
mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli, yaitu
sikap yang selaras dan keaslian (congruence or genuineness), penerimaan tanpa
syarat (unconditional positive regard and acceptance), dan pe- mahaman empati
yang tepat (accurate empathic undertanding). Menurut Corey (dalam Hanifah,
A., 2016) Jika dilihat dari apa yang dilakukan terapis dapat dibuat dua tahap,

18
19

yaitu; tahap membangun hubungan terapeutik dan tahap kelanjutan yang


disesuaikan dengan efektivitas hubungan konseling dan disesuaikan dengan
kebutuhan klien.
Teknik-teknik konseling yang dapat digunakan dalam proses konseling
Person Centered Therapy (PCT) tidak jauh berbeda dengan teknik umum dari
konseling itu sendiri. Dalam teknik konseling Person Centered Therapy (PCT)
sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis dan klienlah yang berperan
penting dalam proses terapi. Terapis membangun hubungan yang membantu,
dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area
kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Terapis memandang
klien sebagai narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis
untuk perubahan yang positif.
Dalam penerapan konseling pendekatan Person Centered Therapy
sendiri memiliki beberapa kelebihan serta kekurangan tersendiri. Namun hal ini
kembali lagi pada keprofesionalan konselor dalam mengaplikasikan pendekatan
Person Centered Therapy kepada klien dengan bagaimana cara meminimalisir
kekurangannya.
DAFTAR PUSTAKA

Hanifah, A. (2016). MENGATASI MASALAH LOW SELF ESTEEM MELALUI


KONSELING INDIVIDU MODEL PERSON CENTERED THERAPHY
(PCT) PADA SISWA KELAS IX DI SMP NEGERI 25 SEMARANG
TAHUN AJARAN 2015/2016. Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang.
Glading, S. (2012). Konseling Profesi Yang Menyentuh. Jakarta: Permata Putri
Media.
Kiptiyah. (2018). Pengaplikasian Person-Centered Counseling Dalam Menangani
Kesulitan Belajar PAI Kelas VII Di SMP Negeri 3 Kalasan Yogyakarta.
Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Komalasari, G. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Indeks.
Ratu, B. (2014). Psikologi Humanistik (Carl Rogers) dalam Bimbingan dan
Konseling. Retrieved from shcolar.google.co.id:
https://shcolar.google.co.id/citation?view_op=citation&hl=en&user=Nn81

20

Anda mungkin juga menyukai