Anda di halaman 1dari 14

KOGNISI DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

Makalah ini disusun guna memenuhi mata kuliah “Psikologi Konseling”

Dosen Pengampu: Shinta Purwaningrum, M.Pd

Disusun oleh Kelompok 4

1. Septia Nadia Virani (19144200005)


2. Rita Dwi Jayanti (19144200013)
3. Rifki Oktaviawan W (19144200022)
4. Septa Nurfadillah M (16144200155)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Shinta
Purwaningrum,M.Pd pada mata kuliah Psikologi Konseling.Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Kognisi Dalam Konseling bagi para
pembaca dan dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dosen
mata kuliah Psikologi Koseling yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah wawasan kami sesuai dengan bidang yang saya tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari
bahwa yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan materi.

Yogyakarta, 26 September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................................i

Daftar Isi................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................

A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................

A. Asumsi Yang Salah....................................................................................................3


B. Perkembangan............................................................................................................3
C. Karakteristik...............................................................................................................5
D. Dimensi waktu...........................................................................................................5
E. Pola-Pola Asumsi Salah.............................................................................................5
F. Asumsi Yang Berbahaya............................................................................................6
G. Penolakan Terhadap Perubahan.................................................................................6
H. Pemeliharaan..............................................................................................................6

BAB III PENUTUP...............................................................................................................

A. Kesimpulan ...............................................................................................................10
B. Saran..........................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kognisi merupakan bagian intelek yang merujuk pada penerimaan,
penafsiran, pemikiran, pengingatan, penghayalan atau penciptaan, pengambilan
keputusan, dan penalaran. Cara memandang satu kejadian seringali menentukan
reaksi emosi dan kombinasi kognisi dengan emosi akan menghasilkan respon
perilaku. Sebagai konsekuensinya, walaupun dua orang mengalami kejadia yang
sama, mungkin akan memberikan reaksi yang berbeda. Kognisi merupakan
faktor penting dan berpengaruh terhadap perilaku, maka konselor akan terbantu
apabila memahami kognisi dan dinamika dasarnya. Bagaian ini akan membahas
tentang beberaa teori kognitif dengan maksud untuk lebih memperdalam isi dan
kualitas Kawasan psikologis dan implementasinya bagi konseling.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan asumsi yang salah?
2. Bagaimana perkembangan asumsi yang salah?
3. Bagaimana karakteristik asumsi yang salah?
4. Bagaimana dimensi waktu yang salah itu?
5. Apa saja pola-pola asumsi yang salah?
6. Bagaimana asumsi yang berbahaya itu?
7. Bagaimana penolakan terhadap perubahan?
8. Mengapa asumsi perlu pemeliharaan?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian asumsi yang salah
2. Mengetahui perkembangan asumsi yang salah
3. Mengetahui karakteristik asumsi yang salah

1
4. Mengetahui dimensi waktu yang salah
5. Mengetahui pola-pola asumsi yang salah
6. Mengetahui asumsi yang berbahaya
7. Mengetahui penolakan terhadap perubahan
8. Mengetahui perlunya pemeliharaan asumsi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asumsi Yang Salah


Asumsi kognitif (hipotesis, keyakinan, konstruk) dibuat oleh orang untuk
mengendalikan dan membuat kesan mengenai hidupnya. Tanpa asusmi kognitif,
setiap rangsangan yang masuk ke dalam kesadaran, akan menjadi kesan yang
tidak diketahuui dan akan membuat kecemasn besar. Asumsi kognitif dapat
benar atau salah dan dapat sesuai atau bertentangan.

B. Perkembangan
Asumsi yang salah hampir seluruhnya dipelajari, meskipun beberapa teori
meyakini bahwa kesalahan asumsi didasari oleh predisposisi biologis. Proses
pembelajaran yang menyebabkan asumsi salah diperoleh melalui lima cara
yaitu:
1. Melalui pengalaman langsung, dialami seseorang dalam waktu tertentu dapat
memberikan kesan tertentu yang membentuk asumsi salah. Misalnya,
seorangg gadis yang kecewa pada kencan pertama dengan pacarnya yang
dianggapp tidak sensitif, kurang perhatian dan kasar kemudian dia
menggeneralisasi bahwa semua laki-laki itu kasar dan tidak sensitif.
2. Terjadi seolah-olah mengalami sendiri. Orang yang menyaksikan satu
kejadian yang dipersepsi seolah-olah mengalaminya sendiri dapat
berkembang menjadi asumsi salah. Misalnya, seorang anak laki-laki
menyaksikan ayahnya dihina dan dicampakan oleh ibunya, kemudian anak
itu berfikir bahwa semua perempuan pengkhianat.
3. Pengajaran langsung. Pengajaran kurang memadai yang diperoleh seseorang
dari orang lain (orang tua, guru, atau pihak lain) dapat berkembangan
menjadi asumsi salah. Misalnya, seorang gadis dinasehati oleh ibunya bahwa

3
seks itu tidaak baik, kemudian dapat membentuk asumsi yang salah
mengenai seks.
4. Logika simbolik. Perilaku dalam satu peristiwa tertentu sering dijadikan
simbol yang secara logis dalam peristiwa lain. Misalnya, seorang anak
melihat bahwa marah telah merusak kehidupan perkawinan orang tuanya,
kemudian menyimpulkan bahwa marah itu jelek dan harus dihindari,
sehingga anak itu tidak mampu membedakan antarr marah yang destrukttif
dengan yang konstruktif, karena premis mayornya salah yang menyebabkan
kesimpulannya pun salah.
5. Miskontruksi hubungsn sebab akibat. Asumsi salah dapat timbul karena
kesalahan dalam membangun hubungan sebab akibat. Misalnya, seorang
anak menganggap tidak naik kelas adalah karena ia bodoh walaupun dalam
kenyataannya ia paling muda dikelasnya dan orangtuanya menginginkannya
tetap bergabung dengan anak seusianya.

Di samping itu, asumsi salah dapat ditimbulkan oleh kesalahan dalam


berfikir. Hal-hal berikut ini merupakan beberapa kesalahan dalam berfikir yang
menyebabkan asumsi salah

1. Generalisasi berlebihan (over-generalization). Misalnya, semua perempuan


manipulative, semua laki-laki eksploratif. Hidup ini tidak jelas, orang tidak
menyukai saya.
2. Konsep semua atau tidak sama sekali. Misalnya, saya harus diterima
diperguruan tinggi atau hidup saya akan berakhir. Anda mau bantu saya atau
tidak ada harapan sama sekali.
3. Pernyataan mutlak. Saya harus mematuhi orang tua saya, saya harus jadi
orang baik.
4. ketidak akurtan semantik. Saya gagal, saya membuat kesalahan. Ini adalah
akhir, ini adalah langkah mundur.
5. Akurasi waktu. Apa yang dianggap tepat di masa lalu, tidak selalu tepat di
masa kini dan yang akan datang.

4
C. Karakteristik
Asumsi yang salah mempunyai beberapa karakteristi dalam hal: dimensi
waktu, pola-pola, kesalahan yang mendasari dan asumsi berbahaya dan tidak
berbahaya.

D. Dimensi waktu
Asumsi salah berkenaan dengan masa lalu, sekarang dan akan datang.
Asumsi salah berkenaan dengan masa lalu misalnya, orang tua saya tidak
mencintai saya. Ia tidak mau bergaul dengan orang lain karena ia beranggapan
bahwa orang tuanya saja tidak mencintainya apalagi orang lain. Asumsi salah
dapat terjadi berenaan dengan masa kini seperti “saya tidak memiliki kecakapan
bekerja”, dengan asumsi itu ia mencari pekerjaan yang gampang dan di luar
minatnya. Selanjutnya asumsi salah dapat berkenaan dengan masa yang tidak
akan datang misalnya “kalau saya menikah nanti pasti saya tidak Bahagia”.
Asumsi itu timbul berdasarkan pengamatannya bahwa ibunya telah tiga kali
cerai. Setiap asumsi ini dapat terlihat sangat signifikan dapat menimbulkan
kecemasan dan ketidakbahagiaan hidup. Dalam beberapa kasus, orang yang
mempunyai ketiga macam asumsi salah itu pada akhirnya dapat melumpuhkan
dirinya sendiri.

E. Pola-pola asumsi salah


Orang yang mengikuti konseling dipengaruhi oleh asumsi salah yang
secara signifikan menghambat hidupnya sendiri sehingga membatasi gerak
hidupnya. Asumsi salah dikelomokan ke dalam kategori bentuk berjenjang.
Misalnya asumsi bahwa untuk mencapai sukses tertentu harus diawali dengan
sukses tertentu. Seorang ibu berpendapat bahwa agar anaknya menjadi orang
sukses, ia harus lulusan Perguruan Tinggi ternnama. Karena itu ia harus masuk
ke SMA favorit, dan sebelumnya harus masuk ke SD favorit, dan harus dimulai
dari kelompok bermain dan taman kanak-kanak tertentu.

Hal-hal yang mendasari kekurangan

5
Asumsi salah sellau dapat ditelusuri ke belakang berenaan dengan
kekurangan yang ada dalam dirinya. Untuk alasan ini asumsi salah tidak saja
sebgaai inndikator masalah yang dihadapi sesorang, tapi juga sebagai indicator
kekurangamampuan orang dalam menyesuaikan diri mencapai kebahagiaan.

F. Asumsi yang berbahaya dan tidak berbahaya


Semua asumsi negatif tidak selalu menimbulkn gangguan psikologis. Asumsi
salah yang berbahaya dapat berupa pernyataan misalnya “semua orang yang
kukasihi harus mencintai saya”. Asumsi yang tidak berbahaya dapat dilihat
dalam kalimat “saya menikahi seseorang yang terbaik yang pernah kucintai”.

G. Penolakan terhadap perubahan


Asumsi salah sulit diubah. Alasannya adalah
1. Dianggap sebagai hal yang bersifat pribadi
2. Telah ada sejak kanak-kanak
3. Sudah merupakan bagian integral dengan kepribadian seseorang
4. Orang yang menghabiskn waktu seperempat abad atau lebih selalu sulit
untuk berubah karena berarti ia harus mengubah pemahaman selama 25
tahun terakhir yang telah dipercaya bahwa konflik psikologis tidak perlu dan
harus dihindari.

H. Pemeliharaan
Asumsi salah cenderung akan selalu dipelihara dan menolak perubahan karena
mereka beranggapan telah terbukti “benar” dalam hidupnya. Orang memelihara
asumsi salah untuk dianggap benar dalam hidup dengan cara:
1. Tidak memberikan perhatian dengan selektif. Etika orang lain melebihi
kemampuannya, ia mengacuhkannya dan mengalihkan perhatian kepada hal
lain.
2. Memberikan perhatian dengan selektif. Ketika melakukan suatu hal yanga
dianggap unggul, ia menyebut-nyebutnya dan menganggap nahwa hal
tersebut sering dilakukannya.

6
3. Penghargaan yang dibuat-buat. Dia dipilih sebagai manajer karena tidak ada
orang yang mau, tetapi ia menganggap hal tersebut adalah karena ia yang
paling istimewa.
4. Meminta umpan balik. Meminta orang lain memberikan “umpan balik yang
jujur” sebagai cara untuk memanipulasi dirinya untuk memperkuat asumsi
salah.

Contoh-contoh

Asumsi yang salah dapat terjadi dalam empat sumber, dari diri sendiri(yang
tidak menarik) terhadap orang lain (istriku tidak menghormatiku), pada
hidup(hidup ini kejam), dan pada Tuhan(tuhan tidak menyukaiku). Asumsi salah
yang berasal dari diri sendiri seringkali merupkan inti dari semua asumsi ketiga
lainnya. Hal ini dapat dilihat dari contoh berikut

1) Saya harus dicintai orang lain


2) Orang lain harus memperlakukanku dengan adil
3) Kebahagiaan adalah tujuan dalam hidup
4) Saya hidup karena saya mengasihani saya
5) Orang lain lebih tahu apa yang baik untuk saya
6) Saya harus mendapat semua hal yang saya inginkan
7) Saya selalu dikuasai oleh masa lalu
8) Saya harus menjadi orang yang istimewa
9) Ada hal “yang lebih buruk” yang dapat tejadi pada diri saya
10) Saya selalu terlambat untuk berubah

I. Pertimbangan bagi konselor


Dalam menghadapi klien dengan kasus asumsi salah, ada beberapa hal yang
harus dijadikan pertimbangan oleh konselor, antara lain:
1. Kesalahan. Konselor harus memiliki kesabaran yang baik dalam menangani
klien dengan kasus asumsi salah. Hal itu disebabkan karena seringkali
asumsi salah memerlukan banyak waktu untuk dapat diungkapkan dari klien
agar muncul ke permukaan. Hendaknya konselor secara sabar menghindari

7
tindakan menginterogasi klien secara langsung, karena semakin konselor
melakukan interograsi langsung maka asumsi-asumsi salah yang ada dalam
diri klien akan semakin sulit keluar.
2. Reaksi yang tidak membantu. Konselor hendaknya menujukan reaksi yan
sedemikian rupa agar dapat membantu klien. Konselor harus berhati-hati
untuk tidak mendorong terbentuknya asumsi salah dan tidak menyimpulkan
dan membentuk asumsi salah itu sendiri.
3. Emosi. Konselor harus memahami bahwa walaupun masalahnya adalah
dalam kaitan dengan kognisi, akan tetapi tidak boleh mengabaikan
keterkaitannya dengan faktor emosionalnya. Hal ini berarti bahwa konselor
harus memperhatikan kondisi emosional klien dan keterkaitannya dengan
kognisi.
4. Asumsi yang tidak disadari. Asumsi salah yang paling merusak adalah
asumsi yang tidak disadari oleh klien dan sangat percaya bhawa asumsi itu
benar. Kepercayaan ini memperlihtkan perilaku individu itu sendiri yang
seringkali dapat menipu konselor. Dalam hubungan ini konselor harus sangat
hati-hati dan cermat dalam merespon semua aktivitas klien.
5. Validitas. Konselor harus menyadari bahwa tidak semua asumsi itu salah.
Oleh karena itu konselor harus mampu menelaah secara hati-hati dan
mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk memastikan bahwa asumsi itu
salah.
6. Berbagi asumsi. Dalam konseling konselor dapat berbagi pengalaman
bersama klien dalam hal kesamaan asumsi. Hal itu dilakukan oleh konselor
dengan menunjukan kesamaan asumsi itu pada klien, namun konselor harus
dapat menunjukan bahwa hal itu salah dan harus diperbaiki. Dengan car aitu
klien akan meraskan sikap empatik dari konselor sehingga memungkinkan
jalannya konseling menjadi lebih efektif.
7. Menyembunyikan asumsi dalam konselig konselor akan mendapatkan klien
yan berusaha menyembunyikan asumsinya yang salah dan berusaha untuk
meghindari adanya upaya untuk mengungkapkannya. Meskipun demikian
klien ada kemungkinan memanifestasikan sesuatu yang kurang baik sebagai

8
efek dari asumsi salah. Konselo harus berhati-hati terhadap kemungkinan itu
dan mengkaji dengan cermat berbagai isyarat yang terkait dengan asumsi
salah serta mencari isyarat yang terkait dengan asumsi salah yang
sebenarnya.
8. Menghilangkan asumsi. Konselor tidak dapat membuat alasan, bukti, atau
bicara dengan klien diluar asumsi salah. Konselor harus secara terus-
menerus menyajikan bukti asumsi salah sampai klien tidak dapat
membantahnya. Konselor sendiri dapat berperan sebagai bukti dari asumsi
salah kllien. Konselor harus membantu klien untuk dapat mengenali tidakk
hanya asumsi salah saja, tetapi juga penyebab asumsi salahnya.
9. Melibatkan konslelor dalam masalah. Konselor dapat berperan sebagai
bagian integral dari asumsi salah dari klien dalam dua cara yaitu: pertama
konselor dapat menjadi sasaran asumsi salah dari klien, kedua klien dapat
memproyeksikan asumsi salahnya kepada konselor.
10. Membuktikan asumsi salah. Klien dalam konseling dapat memanipulasi
dengan membuktikan bahwa asumsinya benar. Dalam hubungan ini konselor
harus berhati-hati dan mampu mengajak klien agar tidak berpengaruh oleh
keinginan klien. Peran konselor ialah mengajar klien bahwa tidak ada
peristiwa yang tidak dapat dielakkan yang menyebabkan bencana psikologis
dan orang memiliki alternatif konstruktif untuk menghadapi peristiwa
traumatik.
11. Kenyataan yang baru. Perubahan dari asumsi salah menjadi asumsi benar
tidak selalu perlu dan secara otomatis membawa kompetensi psikologis
untuk menemukan kenyataan baru. Konselor harus terus mencoba
mengurangi semua asumsi salah lewat proses terapi dan kemudian
membangun kembali asumsi-asumsi yang benar.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kognisi merupakan bagian intelek yang merujuk pada penerimaan,
penafsiran, pemikiran, penghayalan atas penciptaan, pengambilan keputusan dan
penalaran. Cara memandang satu kejadian seringkali menentukan reaksi emosi
dan kombinasi kognisi dengan emosi akan menghasilkan respon perilaku yang
berbeda.
Kognisi merupakan factor penting dan berpengaruh terhadap perilaku,
maka konselor akan terbantu apabila memahami kognisi dan dinamika dasarnya
bagian ini akan membahas tentang beberapa teori kognitif dengan maksud untuk
lebih memperdalam isi dan kualitas kawasan psikologis dan implementasinya
sebagai konseling.

B. Saran
Melalui makalah ini, kami berharap para pembaca dapat menambah
sedikit ilmu yang ada di dalam makalah ini. Selain itu, yang paling penting
adalah agar para pembaca dapat mengaplikasikan berbagai pokok bahasan yang
ada di makalah ini serta dapat menjadikan makalah ini sebagai sumber referensi
di makalah berikutnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H Mohammad Surya.2003.Psikologi Konseling. Bandung: Pusaka Bani


Quraisy.

Syah, muhabbin.2003.Psikologi Belajar.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Walgito.Bimo.2001.Pengantar Psikologi Umum.Yogyakarta: PT.Andi Yogyakarta

11

Anda mungkin juga menyukai