Anda di halaman 1dari 14

PENGEMBANGAN PROGRAM BK KARIR BERBASIS GENDER DAN

KELINTASBUDAYAAN (MULTIKULTURAL)
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Pratikum BK Karir, Jurusan Pendidikan Bimbingan dan
Konseling.
Dosen Pembimbing:
Asriyana, M.Pd

Disusun oleh kelompok 5:


Riska Muliani (180213053)
Siti Rahmatul Wusqa (180213043)
Riza Azwar (180213009)
Elsi Julia (180213077)
Fara Fathia (180213076)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
TAHUN AJARAN 2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini selesai
tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai “Pengembangan Program Bk Karir Berbasis
Gender Dan Kelintasbudayaan (Multikultural)” yang bertujuan untuk mengetahui serta
memahami pengembangan program bk karir berbasis gender dan mengetahui serta memahami
program bk karir berbasis kelintasbudayaan atau multicultural.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan yang
disebabkan keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman. Namun demikian kami
telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mencapai hasil yang baik. Kami berharap
makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan bagi kami sendiri maupun
bagi pihak yang memerlukan.
Aceh, November 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... 1
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 2
BAB I: PENDAHULUAN................................................................................................ 3
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan................................................................................................... 3
BAB II: PEMBAHASAN ................................................................................................. 5
A. Peran Jenis Gender................................................................................................ 5
B. Konseling Multikultural........................................................................................ 9
C. Program Bimbingan Konseling Terkait Gender dan Multikultural .................... 11

BAB III: PENUTUP ....................................................................................................... 12


A. Kesimpulan ......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 13

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bimbingan karir sebagai suatu proses membantu pribadi untuk mengembangkan
penerimaan kesatuan dan gambaran diri serta peranannya dalam dunia kerja. Menurut batasan
ini, ada dua hal penting, pertama proses membantu individu untuk memahami dan menerima diri
sendiri, dan kedua memahami dan menyesuaikan diri dalam dunia kerja. Bimbingan karir
merupakan salah satu bentuk layanan dalam membantu siswa merencanakan karirnya. Faktor-
faktor yang mendukung perkembangan diri tersebut misalnya informasi karir yang diperoleh
siswa dan status sosial ekonomi orang tua. Tujuan bimbingan karir adalah membantu siswa
dengan cara yang sistematis dan terlibat dalam perkembangan karir.
Mekanisme konseling karir, termasuk pendekatan pada hubungan, penilaian, dl, berbeda-
beda berdasarkan pada teori yang diterapkan. Gysber dkk (2003) mengembangkan sebuah
taksonomi tugas-tugas yang muncul dalam konseling karir secara simultan dengan proses
pengembangan sebuah perserikatan kerja. Tugas ini termasuk mengidentifikasi permasalahan
yang disajikan; menyusun hubungan konseling; mengembangkan sebuah ikatan konselor-klien;
mengumpukan informasi mengenai klien, termasuk informasi personal dan pengendalian
kontekstual; pengaturan tujuan; seleksi intervensi; pengambilan tindakan; dan evaluasi hasil.
Seperti yang akan ditunjukan nanti, model konseling multikultural digarisbesarkan pada bab ini
menerima sebagian besar gagasan yang berhubungan dengan struktur konseling karir ini dengan
perubahan kecil.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud peran jenis gender?
2. Apa yang dimaksud dengan konseling multicultural
3. Bagaimana program BK karir terkait gender dan multikultural

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka diambil tujuan penulisan
sebagai berikut:
1. Mengetahui peran jenis gender

3
2. Mengetahui dan memahami konseling multicultural
3. Mengetahui program karir terkait gender dan multicultural.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran Jenis Gender
1. Pengertian Gender
Istilah gender seringkali disama artikan dengan jenis kelamin. Walaupun gender dan jenis
kelamin beraitan dengan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun kedua istilah tersebut
mengandung makna yang sangat berbeda. Jenis kelamin (sex) diartikan sebagai perbedaan antara
laki-laki dan perempuan yang bersifat kodrati, karena perbedaan tersebut merupakan pemberian
Sang Maha Pencipta yang dibawa dari lahir.
Berbeda dengan jenis kelamin, gender adalah konstruksi sosial mengenai perbedaan
peran, kedudukan, dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat. Konstruksi sosial tentang gender merupakan buatan manusia, bukan kodrat.
Oleh karena itu, konstruksi sosial tersebut bersifat dinamis, tidak universal dan juga tidak abadi,
melainkan dapat berubah. Apa yang dipandang pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan
di suatu tempat atau kurun waktu tertentu, bisa berbeda di tempat atau waktu lainnya.
Sebagai contoh, sifat cengeng yang dianggap menjadi ciri perempuan, adalah sifat yang juga
ditunjukkan oleh banyak laki-laki. Tugas memasak yang dianggap tugas utama perempuan, juga
dapat dilakukan dengan baik oleh laki-laki. Beberapa pekerjaan dan posisi yang dulu dianggap
hanya cocok untuk laki-laki, sekarang ini sudah banyak ditempati oleh perempuan, seperti
direktur, pilot, presiden, dan sebagainya.
Peran gender menurut Santrock (1995: 280) adalah seperangkat harapan yang
menggambarkan bagaimana laki-laki dan perempuan harusnya berpikir, bertindak dan merasa.
Menurut Dzuhayatin dan Fakih (Soemandoyo, 1999) bahwa jenis kelamin sebagai fakta
biologis seringkali dicampuradukkan dengan gender sebagai fakta sosial dan budaya. Laki-laki
dan perempuan selalu diletakkan dalam dua kutub yang sama sekali berlawanan. Yang hampir
selalu terjadi adalah perempuan diletakkan dalam kutub pelengkap (hal-hal yang tidak dimiliki
laki-laki sehingga dapat dilengkapi perempuan) atau negatif. Laki-laki lebih sering ditampilkan
sebagai sosok yang besar, agresif, prestatif, dominan-superior, asertif dan memiliki mitos sebagai
pelindung. Sebaliknya, perempuan digambarkan sebagai sosok yang berpenampilan fisik lebih
kecil, lembut, halus, pasif, dan inferior, cenderung mengalah. Nampak sekali bahwa pemahaman

5
itu didasari atas pola pikir androsentris, male biased, dan patriarki yang tumbuh subur dalam
masyarakat.
Sebagai contoh, dalam hal pilihan karir saja, terdapat perbedaan dan bias yang cukup
tinggi antara laki-laki dan wanita sebagai konsekuensi dari stereotipe peran wanita dalam ruang
lingkup tradisional (Gati, Givon, dan Osipow, 1995). Kebanyakan perempuan hanya berkutat
pada sektor-sektor tradisional dan bertahan pada level kerja serta level kompensasi gaji yang
terlalu rendah. Untuk fenomena Indonesia sendiri, problem tenaga kerja wanita juga menarik
untuk dikaji secara serius. Pada dekade tahun 1980-an, terdapat beragam kajian-kajian tematik
yang membahas fenomena kemiskinan dan perempuan bekerja. Ada yang bekerja sebagai buruh
tani, buruh perkebunan, pedagang kecil, pengrajin, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, dan
pekerja migran.
2. Perbedaan Jenis Kelamin dalam Minat
Perbedaan jenis kelamin dalam minat telah diteliti dalam sejarah pengukuran minat, dan
hasil dari penelitian ini telah menuntut perkembangan inventori. Pria dan wanita mencatat
tingkat-tingkat minat yang berbeda dalam beberapa hal khususnya wanita mengekspresikan
minat artistik dan sosial, sementara pria lebih mengekspresikan minat realistis dan investigatif.
3. Perbedaan Budaya dalam Minat
Hubungan antara minat dengan budaya telah diamati seringnya dengan melihat secara
statistik pada hubungan antara tipe minat Holland terhadap kelompok suku-ras. Beberapa
penelitian berskala besar memperlihatkan bahwa interkorelasi antara keenam tipe cocok dengan
model lingkaran Holland untuk peserta Afrika Amerika, Asia Amerika, Amerika Asli, Meksiko
Amerika, dan Kaukasia. Hal ini memberi kesan bahwa inventori berdasarkan model RIASEC
Holland memiliki validitas untuk populasi yang berbeda. Namun, penggunaan inventori minat
dengan klien yang berbeda ras, suku, dan budaya, mungkin dapat meningkat jika para konselor
berusaha untuk memahami nilai-nilai dan perilaku dari budaya lain dan sadar akan nilai-nilai
mereka sendiri sama seperti stereotype dan prasangka yang mungkin ada.
Terdapat alat lain untuk menentukan afiliasi budaya -misalnya, bahasa yang digunakan
dirumah, kebiasaan, dan tradisi yang diteliti, afiliasi budaya teman-temannya, afiliasi budaya
orang tuanya, dan bagian komunitas di mana klien bertempat tinggal – tidak ada yang sangat
tepat (Garrett dan Pichette, 2000; Thomason, 1995). Wawancara konseling karir yang pertama

6
mungkin harus berfokus pada variabel ini jika ketidak tentuan mengenai afiliasi budaya muncul
pada diri klien.
4. Stereotip Gender
Nauly dalam menjelaskan streotip gender mengutip pendapaat beberapa pakar antara lain:
a) Wrightdmrn yang mendefinisikan stereotip merupakan konsep yang relatif kaku dan
luas di mana setiap individu di dalam suatu kelompok dicap dengan karakter dari
kelompok tersebut.
b) Jenkins dan Mc Donald sepakat bahwa streotip peran gender merupakan generalisasi
pengharapan mengenai aktivitas, kemampuan, atribut dan pilihan apa yang sesuai
dengan jenis kelamin seseorang.
c) Hoyenga dan Hoyenga menjelaskan bahwa stereotip peran gender dihasilkan dari
pengkategorisasian perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi
sosial yang ada dalam sturktur kognisi kita. Akhirnya stereotip gender digunakan
untuk menggambarkan aspek sosiologis/antropologis/kultural dari ciri atau sifat
maskulin dan feminine.
d) Vob Baeyer, Sherk dan Zanna stereotip gender pribadi yang dimiliki seseorang, dapat
berbeda dari apa yang dimiliki atau diterapkan oleh kebanyakan orang di budayanya.
Mungkin saja ada ketidaksesuaian antara perilaku seseorang dan peran-peran
stereotip yang digambarkan oleh budayanya tentang gender. Pemahaman seseorang
akan perbedaan ini dapat mempengaruhi bagaimana ia menampilkan dan
mengevaluasi dirinya.
Stereotip atau belief tentang peran laki-laki dan perempuan bukanlah merupakan
prasangka. Stereotip ini bisa jadi akurat, tidak akurat atau generalisasi yang berlebihan, namun
menurut Myers didasarkan atas setitik kebenaran. Studi lintas budaya tentang stereotip gender
berdasar penelitian William & Best di 30 negara yang berbeda, menemukan laki-laki cenderung
dilihat lebih mandiri, lebih ekshibisionistik, lebih agresif, lebih dominan, lebih berorientasi
sukses dan lebih tekun sedangkan perempuan dianggap lebih besar kebutuhannya untuk
menghargai orang lain, perasaan bersalah, mendengarkan orang lain dan berhubungan dengan
lawan jenis.

7
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia stereotip mempunyai makna (1) bentuk tetap;
bentuk klise,(2) konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasar prasangka yang subjektif dan
tidak tepat.
Stereotip terbentuk dari beberapa aspek yaitu sejarah, asal kelas dan kultur sebagaimana yang
dikutip oleh Oktiva Hary dari Wijaya. Sejarah menunjukkan bahwa perempuan mempunyai
ketergantungan terhadap laki-laki karena perempuan secara kontekstual ditempatkan pada
karakteristik yang khas perempuan, seperti suka perlindungan laki-laki, rasa ketergantungan
yang besar terhadap pihak lain, khususnya laki-laki. Perempuan yang berasal dari kelas sosial
tertentu akan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dari karakteristik perempuan kelas
sosial yang berbeda. Hal ini merupakan latar belakang stereotip perempuan dari aspek asal kelas.
Kultur laki-laki yang dominan di satu pihak, dan perempauan di pihak tersubordinasi akan
membentuk stereotip perempuan yang bersifat subordinat terhadap laki-laki.
Adapun stereotip perempuan yang bersifat positif diantaranya adalah tidak suka
menggunakan kata-kata kotor, suka berbicara, berbicara pelan, mudah mengekspresikan perasaan
dan lain-lain. Sedangkan stereotip perempuan yang bersifat negatif adalah tergantung, tidak
agresif, sangat emosional, sangat mudah dipengaruhi, berbelit-belit, tidak ambisius, tidak bebas
berbicara seks dengan laki-laki, dan sebagainya. Namun, apabila stereotip perempuan yang
bersifat positif dan negatif diperbandingkan, maka lebih banyak stereotip yang bersifat negatif.
Teori-teori tentang stereotip ini telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir. Bila
tadinya stereotip dianggap suatu bentuk patologi, kini dianggap sebagai konsekuensi inheren dari
kecenderungan manusia untuk mengelompokkan sesuatu, melalui proses kategorisasi. Stereotip
ini meringkas dan mengorganisasikan apa yang telah dipelajari seseorang tentang kelompok-
kelompok social.
Streotip dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Stereotip yang negatif dapat berubah
menjadi prasangka. Banyak dari penemuan-penemuan teoritis maupun praktis mengenai
stereotip, diperoleh dari kenyataan bahwa kebanyakan dari kelompok yang menjadi target
stereotip negatif tertentu, juga menjadi target prasangka dan perilaku diskriminasi, yang
berkaitan dengan stereotip itu. Dapat dikatakan pada kasus-kasus seperti ini, stereotip
negatifdiekspresikan melalui prasangka dan perilaku diskriminasi24. Prasangka terhadap
kelompok ras tertentu disebut sebagai rasisme, sedangkan prasangka terhadap jenis kelamin
tertentu disebut seksisme.

8
B. Konseling multikultural
Konseling adalah sebuah “profesi yang mulia dan altruistik”. Pada umumnya profesi ini
menarik orang-orang yang peduli terhadap orang lain, ramah, bersahabat dan sensitif (Myrick;
dalam Gladding, 2012). Oleh sebab itu kepribadian konselor merupakan hal yang utama dalam
proses konseling. Seorang konselor haruslah dewasa, ramah dan bisa berempati. Mereka harus
altruistik (peduli pada kepentingan orang lain) dan tidak mudah marah atau frustrasi (Gladding,
2012).
Kedewasaan seorang konselor ditandai oleh adanya keinginan konselor untuk selalu
mempelajari setiap perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan budaya dan perkembangan
perilaku manusia. Maka ketika konselor bersedia mempelajari perspektif multikultural dalam
bidang bimbingan dan konseling itu menandakan bahwa konselor tersebut bertransformasi
menuju kedewasaan.
Budaya dapat didefinisikan sebagai “sekelompok orang yang mengidentifikasi atau
berasosiasi satu dengan yang lain berdasarkan pada kesamaan tujuan, kebutuhan dan latar
belakang untuk mencapai satu tujuan yang sama dan berjuang bersama–sama. Oleh karena itu,
konseling multikultural dapat dilihat secara umum sebagai konseling “dimana konselor dan
konselinya memiliki perbedaan budaya atau berasal dari latar belakaang budaya yang berbeda
(Locke; dalam Gladding, 2012).
Konseling multikultural dapat dilaksanakan secara berbeda sesuai dengan perspektif yang
diikuti konselor. Sebagai contoh, Palmer and Launagni (dalam Supriatna, 2011) mengajukan tiga
model konseling multikultural sebagai berikut:
a. Model Berpusat pada Budaya (Culture Centered Model)
Model ini didasarkan pada suatu kerangka berpikir korespondensi budaya konselor dan
konseli. Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-
kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Dalam model ini budaya
menjadi pusat perhatian. Fokus utama model ini adalah pemahamanyang tepat atas nilai-nilai
budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu.
b. Model integratif (Integrative Model)
Palmer and Laungani, ( dalam Supriatna,2011:171) merumuskan empat kelas variabel
sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling integratif, yakni sebagai berikut:
a. Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression);

9
b. Pengaruh budaya mayoritas ( influence of the majority culture)
c. Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture); and
d. Pengalaman dan anugerah individu dan keluarga (individual and family experiences
andendowments)
c. Model Etnomedikal (Etnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam
perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling
transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan
sensitivitas transkultural.Padersen (dalam Gladding, 2012) pentingnya konselor sensitif terhadap
tiga area isu budaya berikut:
a) Pengetahuan akan cara pandang konseli yang berbeda budaya;
b) Kepekaan terhadap cara pandang pribadi seseorang dan bagaimana seseorang merupakan
produk dari pengkondisian budaya; dan
c) Keahlian yang diperlukan untuk bekerja dengan konseli yang berbeda budaya. Perbedaan
pengetahuan, kebiasaan dan tradisi menuntut konselor untuk mampu mengenal serta peka
terhadap situasi dan kondisi budaya atau masyarakat tertentu, sehingga konselor memiliki
keahlian dalam melaksanakan konseling multrikulutral.
Konselor yang profesional tidak pernah memaksakan pengetahuan dan cara pandangnya
kepada konseli, meskipun konselor tahu bahwa cara pandang konseli salah. Kalaupun konselor
harus menyampaikan pandangannya, ia dapat menyampaikannya dengan cara yang penuh
respek, hangat dan bijaksana, sehingga konseli dapat merasa tetap dihargai dan menerimanya
secara terbuka. Begitu juga dengan kepekaan seorang konselor terhadap apa yang diinginkan
oleh konseli. Kebanyakan konseli menjadi bosan dan merasa konselor bukan orang yang tepat
apabila konselor tidak peka terhadap apa yang diinginkan oleh konseli dalam situasi yang sedang
dihadapinya. Konselor yang terlau banyak bertanya dengan pertanyaan bertele-tele akan
membuat konseli merasa sudah salah datang kepada konselor.
Oleh karena itu jika konselor menginginkan agar proses konseling dapat berjalan dengan
lancar dan mencapai tujuannya, ia sangat perlu memahami latar belakang budaya dan kebiasaan
serta sudut pandang dari konseli yang dibantunya. Misalnya suku minang akan berbeda
memandang pendidikan untuk perempuan dan laki–laki dengan budaya yang ada diAceh.
Bahkan penting bagi konselor untuk memahami pola perilaku individu dari berbagai latar

10
belakang budaya agar ia memilki keahlian dalam memahami konseli dari berbagai latar belakang
budaya atau dengan budaya mereka masing–masing.
C. Program Bimbingan Konseling Terkait Gender dan Multikultural
1. Program Komunikasi Gender
Memberikan porgam pelatihan komunikasi berbasis Gender sangat penting untuk peserta
didik. Anak akan memahami kedudukan dan fungsi setiap gender dalam kehidupaan sosial.
Pemahaman tentang tidak adanya superioritas pada masing–masing gender akan membantu anak
mengenal tugas pokok masing–masing, dan memiliki daya saing yang baik dan sehat.
2. Pendekatan Konseling Karir Multikultural
Penilaian informal dari nilai-nlai budaya telah diteliti sebagai langkah awal dalam
pendekatan berbasis nilai-nilai. Nilai-nilai budaya diperoleh lebih mudah daripada
perkembangan identitas; proses individu seperti enkulturasi dan akulturasi, dan lebih mudah
dipahami oleh konselor dan konseli. Hal ini juga dapat menjadai dasar pemilihan teknik
konseling yang tepat, perangkat penilaian, dan intervensi (Brown, 2002).
Bingham dan Ward (2001) menyarankan tujuh komponen untuk pendekatan terhadap
konseling karir untuk Amerika Afrika. Hal ini telah disajikan dengan beberapa modifikasi
termasuk penambahan advokasi ( Bingham & Ward, 2001: 59-60). Suatu pendekatan konseling
karir multicultural harus menyediakan dasar-dasar untuk:
a. Penilaian variabel budaya:
b. Suatu hubungan budaya yang sesuai
c. Fasilitasi proses pengambilan keputusan
d. Idetifikasi masalah karir
e. Pembentukan budaya yang sesuai tujuan
f. Pemilihan intervensi yang tepat budaya
g. Pelaksanaan dan evaluas intervensi yang digunakan
h. Advokasi (pembelaan)

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gender adalah konstruksi sosial mengenai perbedaan peran, kedudukan, dan kesempatan
antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Jenkins dan Mc
Donald sepakat bahwa streotip peran gender merupakan generalisasi pengharapan mengenai
aktivitas, kemampuan, atribut dan pilihan apa yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang.
Sedangkan konseling multikultural dilihat secara umum sebagai konseling dimana
konselor dan konselinya memiliki perbedaan budaya atau berasal dari latar belakaang budaya
yang berbeda (Locke; dalam Gladding, 2012).
Program komunikasi yang bisa dilakukan terkait dengan bimbingan karir seperti program
komunikasi gender dan program komunikasi pemilihan karir.

12
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, Dodi Aidil. 2020. Pendekatan Multicultural Dalam Layanan Bimbingan Dan
Konseling Di Sekolah Sebagai Penerapan Komunikasi Interpersonal. Prosding Seminar
& Lokakarya Nasional Bimbingan dan Konseling. PD ABKIN Jawa Timur & UNPA
Surabaya.
Gladding, Samuel, T. 2004. Counseling: A Comprehensive Profession. Singapore: Pearson
Education Singapore Pte. Ltd.
Munandir. Program Bimbingan Karier di Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Suherman AS, Uman, M.Pd. Konseling Karir (Sepanjang Rentang Kehidupan). Program Studi
Bimbingan dan Konseling. Sekolah Pascasarjana. UPI
Winkel, W.S. & Hastuti, M.M. Sri. 2004. Bimbingan dan Konseling Di Institusi
Pendidikan. Cetakan ketujuh. Yogyakarta: Penerbit Media Abadi.

13

Anda mungkin juga menyukai