Anda di halaman 1dari 23

BIMBINGAN DAN KONSELING SEBAGAI PROFESI: SYARAT,

IDENTITAS, SIFAT DASAR, DAN WAWASAN KONSELOR

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Landasan dan Wawasan Bimbingan dan
Konseling yang diampu oleh Dr. Diniy Hidayatur Rahman, S.Pd, M.Pd

Disusun oleh :
1. Destanika Dhiffa Ralianti (220111813969)
2. Dian Junita Anggarini (220111802308)
3. Ilma Ainu Sofa (220111801810)
4. Santi Widiasari (220111814239)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya kami selaku kelompok 3 dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
konseptual tentang “Bimbingan dan konseling sebagai profesi: syarat, identitas, sifat dasar,
dan wawasan konselor” ini dengan lancar. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
semua pihak:
1. Dr. Diniy Hidayatur Rahman, S.Pd, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Landasan dan
Wawasan Bimbingan dan Konseling.
2. Teman-teman.
Tentunya, makalah ini tidak luput dari kesalahan. Maka dari itu kami membutuhkan
kritik dan saran yang membangun untuk lebih baik lagi dalam penyusunan laporan makalah
selanjutnya. Semoga, makalah ini memberi banyak pengetahuan dan gambaran mengenai
Bimbingan dan konseling sebagai profesi: syarat, identitas, sifat dasar, dan wawasan konselor. Sekian
yang dapat kami sampaikan, kurang lebihnya mohon untuk dimaklumi.

Malang, 24 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................... 1
1.2 Topik Bahasan ....................................................................................................... 2
1.3 Tujuan .................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 3
2.1 Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi ........................................................... 3
2.2 Syarat Konselor Sekolah ....................................................................................... 5
2.3 Identitas Konselor Sekolah .................................................................................... 7
2.4 Sifat Dasar Konselor.............................................................................................. 9
2.5 Wawasan Konselor .............................................................................................. 16
2.6 Kredensialisasi Profesi Konselor ......................................................................... 17
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 18
3.2 Saran .................................................................................................................... 18
DAFTAR RUJUKAN ................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Awalnya gerakan bimbingan dan konseling (BK) digiatkan oleh tokoh-tokoh yang
peduli terhadap pengembangan pelayanan BK, khususnya dalam bidang pendidikan.
Gerakan bimbingan dan konseling ini terus berkembang menjadi gerakan yang semakin
jelas corak dan isinya, yang kegiatannya terintegrasi dengan program sekolah. Saat ini
bimbingan dan konseling sudah mulai jelas terlihat substansi sebagai profesi bimbingan
dan konseling yang mampu terjun kedalam sekolahan maupun diluar sekolahan.
Perkembangan bimbingan dan konseling terlihat lamban namun terarah dan pasti, serta
secara bertahap mendapatkan dukungan fasilitas dan peraturanperaturan berupa
perundang-undangan dari pemerintah yang semuanya mengedepankan keberadaan
profesi bimbingan dan konseling yang berfokus pada pengoptimalan perkembangan
individu, kebahagiaan serta kemandirian individu, terutama kehidupan kemanusiaan itu
berkembang menjadi profesi yang bermartabat (Prayitno, 2008).
Profesi bimbingan dan konseling dari segi penyelesaian masalahmasalah pendidikan
dan pekerjaan secara melembaga dimulai pada tahun 1896, yang ditandai dengan
pembentukan klinik oleh Lightner Witmer dengan sebutan Psychological Counseling
Clinic di Universitas of Pensylvania. Sesudah itu, dua tahun berikutnya, yaitu tahun 1898
Jesse B. Davis dicatat sebagai orang pertama yang menjadi konselor di sekolah
menengah di kota Detroit. Kegiatannya adalah membantu para siswa dalam
menyelesaikan masalah-masalah pendidikan dan jurusan yang akan dimasuki, yang tentu
disesuaikan dengan pekerjaan atau jabatan yang dicita-citakan setelah menyelesaikan
studi lanjut dengan memberi bantuan dalam bentuk bimbingan. Setelah itu,
perkembangan selanjutnya profesi ini sudah mulai menangani masalah-masalah yang
lebih luas lagi, yaitu mencakup masalah-masalah yang terkait dengan bimbingan dan
pembinaan akhlak dan moral.
Secara teoritis perkembangan profesi bimbingan dan konseling seiring dengan
perkembangan bidang psikologi dan psikiatri. Konsep-konsep teori psikologi dan
psikiatri telah memberi kontribusi yang sangat berarti terhadap perkembangan profesi
bimbingan dan konseling. Sigmund Freud sebagai tokoh psikoanalitis telah memberikan
sumbangan dalam bentuk pemikiran tentang psikologi konseling bawah sadar. Demikian
pula tokoh lain, seperti E. Williamson telah mengembangkan konseling sifat dan faktor
dan Carl Rogers mempelopori konseling terpusat pada pribadi. Menurut Pitrofesa

1
(Ernawati, 2020) kedua tokoh yang disebutkan terakhir ini dianggap sebagai peletak
dasar gerakan konseling modern.
1.2 Topik Bahasan
Berdasarkan latarbelakang yang sudah dijabarkan, maka dapat diambil topik bahasan
tentang Bimbingan dan Konseling sebagai berikut:
1. Bagaimana Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi?
2. Apa Saja Syarat Konselor Sekolah?
3. Apa Saja Identitas Konselor Sekolah?
4. Bagaimana Sifat Dasar Konselor?
5. Apa Saja Wawasan Konselor
6. Apa Saja Kredensialisasi Profesi Konselor?

1.3 Tujuan
Berdasarkan Topik Bahasan diatas, maka dapat diambil tujuan dari penyusunan makalah
sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi
2. Untuk Mendeskripsikan Syarat Konselor Sekolah
3. Untuk Mendeskripsikan Identitas Konselor Sekolah
4. Untuk Mendeskripsikan Sifat Dasar Konselor
5. Untuk Mendeskripsikan Wawasan Konselor
6. Untuk Mendeskripsikan Kredensialisasi Profesi Konselor

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi
Konselor adalah tenaga pendidik yang memiliki keahlian-keahlian dan
kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru pembimbing di sekolah, salah satu
keahlian tersebut ialah melakukan pelayanan konseling. Menurut undang-undang nomor
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidik adalah
tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Konselor
dalam menjalankan tugas dan fungsinya di sekolah dituntut untuk memiliki kompetensi-
kompetensi yang mendukung kinerja konselor tersebut agar dapat menjadi tenaga yang
profesional serta ahli di bidangnya. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
konselor adalah kompetensi kepribadian. Hal ini dinilai sangat penting sebagaimana
menurut undang-undang nomor 27 tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan
kompetensi konselor menyebutkan bahwa diantara kompetensi yang harus dimiliki oleh
konselor adalah kompetensi kepribadian. Hal ini memberikan sebuah pemahaman
tentang bagaimanakah standar kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh konselor
sebagaimana yang diatur dalam undangundang tersebut.
Konselor adalah tenaga profesional yang memiliki kualifikasi profesional
spesialis dalam bidang bimbingan dan konseling yang diakui dengan akreditasi di bidang
itu. Konselor menjalankan peran yang berbeda dengan psikoterapis. Peran konselor
adalah melaksanakan konseling, baik konseling individual, konseling kelompok,
konseling keluarga, konseling karir, konseling pendidikan, konsultasi dengan guru,
konsultasi dengan orang tua, dan evaluasi layanan bimbingan dan konseling, serta
menfasilitasi rujukan ke lembaga atau ahli di luar lingkungan sekolah. Dari segi
perkembangan, peran konselor sekolah pada tiap tingkatan adalah unik, namun semuanya
terfokus pada hubungan interpersonal dan intrapersonal. Konselor yang bekerja di
sekolah harus fleksibel dan berkemampuan dalam mengetahui bagaimana cara bekerja
dengan anak-anak, orang tua, dan personil sekolah lainnya yang kadang dari berbagai
lingkungan dan mempunyai sudut pandang yang berbeda pula. Konselor harus
memahami situasi apa yang paling tepat ditangani dengan cara apa (melalui konseling,
konsultasi, dan sebagainya).

3
Konselor sebagai pendidik profesional melakukan pelayanan konseling sebagai
salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu memperkembangkan diri secara
optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan tuntutan lingkungan. Konseling
membantu individu mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, dan
kecerdasan kinestetik, sehingga akan dapat diwujudkannya manusia yang berhasil
sebagai pribadi mandiri (mahluk individu), sebagai bagian dari sistem sosial yang saling
berinteraksi dan mendukung satu sama lain (mahluk sosial), dan sebagai pemimpin bagi
terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi (mahluk Tuhan). Konseling
sebagai profesi bantuan (helping profession) adalah konsep yang melandasi peran dan
fungsi konselor.
Profesi konselor sebagai profesi bantuan adalah profesi yang anggotanya dilatih
khusus dan memiliki lisensi atau sertifikat untuk melakukan sebuah layanan unik dan
dibutuhkan oleh masyarakat, yaitu layanan konseling. Konselor melaksanakan konseling
untuk membantu individu-individu normal yang sedang menjalani proses perkembangan
sesuai dengan tahap-tahap perkembangan agar mencapai perkembangan optimal,
kemandirian dan kebahagiaan dalam menjalani berbagai kehidupan. Konselor sebagai
profesi bantuan bertugas membantu manusia mencapai tingkat perkembangan yang lebih
tinggi atau optimal, dan mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Teori dan konsep
konseling yang dikuasai konselor didasarkan pada sistem kehidupan sosial dan budaya
tertentu belum tentu berlaku bagi sistem kehidupan sosial dan budaya lain, untuk itu
diperlukan hakikat tujuan konseling dan kehidupan individu yang hendak dilayani. Kita
harus mengakui jika ikatan disipliner terkuat bagi profesi konselor adalah dengan bidang
psikologi, namun kita juga harus mengakui kontribusi penting ilmu-ilmu lain bagi profesi
konseling.
Standarisasi diperlukan oleh setiap profesi. Standarisasi profesi konselor ilakukan
atas dasar pertimbangan sebagai berikut:
a. Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah
satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar,
dst (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6).
b. PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

4
c. UU nomor 14 tentang Guru dan Dosen, dalam UU No.14 dijelaskan bahwa
konselor memiliki keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang tidak sama
persis dengan guru
d. Pelayanan ahli bimbingan dan konseling yang diampu oleh konselor berada dalam
konteks tugas “kawasan pelayanan yang bertujuan memandirikan individu dalam
memotivasi perjalanan hidupnya melalui pengambilan keputusan tentang
pendidikan termasuk yang terkait dengan keperluan untuk memilih, meraih serta
mempertahankan karir untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera,
serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum melalui
pendidikan”.
e. Ekspektasi kinerja konselor yang mengampu pelayanan bimbingan dan konseling
selalu digerakkan oleh motif altruistik dalam arti selalu menggunakan penyikapan
yang empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan
pengguna pelayanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan
dampak jangka panjang dari tindak pelayanannya itu terhadap pengguna
pelayanan, sehingga pengampu pelayanan professional itu juga dinamakan the
reflective practitioner.
2.2 Syarat Konselor Sekolah
Konselor menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
No.27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor,
adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata
satu (S1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program pendidikan profesi yang
terakreditasi. Sebagai tenaga pendidikan profesional seorang konselor selain telah
memenuhi standar kualifikasi akademik juga memiliki kompetensi sebagai seorang
konselor profesional.
Kompetensi konselor telah dikembangkan dan dirumuskan menjadi empat
kompetensi pendidik sebagaimana yang tertuang dalam PP No 19/2005 yang dipetakan
menjadi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Dalam Naskah
Akademik, kompetensi konselor terdiri atas 2 komponen yaitu (Fatchurahman, 2018):
1. Kompetensi akademik konselor profesional terdiri atas :
a. Kemampuan mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani
dengan memiliki kemampuan intelegensi dan kemampuan berpikir, motivasi
dan keuletan, kreatif, arif,
b. Memiliki kepemimpinan, sikap empatik, menghormati keragaman

5
c. Mengedepankan masalah konseli dengan menguasai secara akademik teori,
prinsip, teknik dan prosedur dan saran pelayanan bimbingan dan konseling
dan mengemas semuanya dalam menyelenggarakan pelayanan bimbingan
dan konseling yang memandirikan
d. Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang
memandirikan dengan merancang, mengimplementasikan, menilai proses dan
hasil serta mengembangkan profesionalitas sebagai konselor.
2. Kompetensi profesional konselor melalui :
a. Latihan Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang sistematis dan sungguh-
sungguh mulai dari observasi, dalam rangka pengenalan lapangan
b. Latihan keterampilan dasar penyelenggaraan konseling
c. Latihan terbimbing kemudian meningkat menjadi latihan melalui penugasan
terstruktur
d. Latihan mandiri dalam program pemagangan di bawah pengawasan Dosen
Pembimbing

Selain keberadaan kompetensi konselor yang dijadikan landasan bagi


pengembangan konselor yang profesional, latar belakang pendidikan juga merukan hal
yang penting dalam membentuk konselor yang profesional. Keberadaan konselor yang
professional diharapkan diperoleh dari orangorang yang memiliki latar belakang
pendidikan bimbungan dan konseling yang telah menyelesaikan mata kuliah 151 sks.
Hal ini karena kurikulum program studi bimbingan dan konseling berbasis
kompetensi konselor yang sesuai dengan standar Kompetensi Konselor Indonesia yang
dirumuskan oleh Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Komposisi
kurikulum terdiri dari 50% teori dan 50% praktek sangat efektif dalam rangka
penanaman konsep-konsep penting bimbingan dan konseling, pembentukan keterampilan
intelektual yang unggul dalam rangka menganalisis masalah-masalah induvidu yang
dilayaninya, dan penguasaan keterampilan konseling dan kelompok.
Namun kenyataannya, kurikulum yang diterapkan masih mengandalkan banyak
waktu untuk teori, sedangkan untuk praktek hanya dilaksanakan selama 4 bulan melalui
praktek Pengalaman Lapangan. Praktek konseling yang dilakukan juga masih terbatas
pencapaian jumlah klien yang ditargetkan sebagai laporan dan bukan pada bagaimana
menerapkan Keterampilan Dasar Komunikasi dan mata kuliah pendekatan konseling
dalam menangani siswa yang dikonseling.

6
Pelaksanaan konseling yang belum dapat profesional ini, seringkali terbawa
hingga mereka bekerja menjadi guru bimbingan dan konseling atau konselor di sekolah
yang melaksanakan konseling sebatas mendengarkan keluhan siswa dan memberikan
jalan keluar tanpa melihat apakah pengambilan keputusan itu telah sesuai bagi siswa dan
membuat siswa nyaman atau menimbulkan masalah baru bagi siswa.
2.3 Identitas Konselor
Dalam konteks keilmuan, bimbingan dan konseling terletak dalam wilayah ilmu
normatif, dengan fokus kajian utama bagaimana memfasilitasi dan membawa manusia
berkembang dari kondisi apa adanya kepada bagaimana seharusnya. Seorang konselor
hendaknya memiliki kemampuan untuk memahami gambaran perilaku individu masa
depan, dan konselor datang lebih awal memasuki dunia konseli. Sejarah menunjukkan
terjadinya ragam pemaknaan dan pemahaman terhadap bimbingan dan konseling, dan
menghadapkan konselor kepada konflik, ketidak konsistenan, dan ketidak kongruenan
peran. Untuk mempersempit kesenjangan semacam ini perlu ada langkah penguatan
dan penegasan peran dan identitas profesi. Langkah-langkah penguatan dan penegasan
peran identitas profesi sebagai berikut :
1. Memahamkan Kepala Sekolah
Diyakini bahwa dukungan kepala sekolah dalam implementasi dan
penanganan progam bimbingan dan konseling di sekolah sangat esensial.
Hubungan antara kepala sekolah dengan konselor sangat penting terutama dalam
menentukan keefektifan program. Kepala sekolah yang memahami dengan baik
profesi bimbingan dan konseling akan: (a) memberikan kepercayaan kepada
konselor dan memelihara komunikasi yang teratur dalam berbagai bentuk,
(b) memahami dan merumuskan peran konselor, (c) menempatkan staf sekolah
sebagai tim atau mitra kerja.
2. Membebaskan konselor dari tugas yang tidak relevan
Masih ada konselor sekolah yang diberi tugas mengajar bidang studi,
bahkan mengurus hal-hal yang tidak relevan dengan bimbingan dan konseling,
seperti menjadi petugas piket, perpustakaan, koperasi, petugas tatib dsb. Tugas-
tugas ini tidak relevan dengan latar belakang pendidikan, dan tidak akan
menjadikan bimbingan dan konseling dapat dilaksankan secara profesional.
3. Mempertegas tanggung jawab konselor
Sudah saatnya menegaskan bahwa bimbingan dan konseling menjadi
tanggung jawab dan kewenangan konselor. Sebutan guru pembimbing sudah harus

7
diganti dengan sebutan konselor (UU No. 20 thn 2003). Perlu ditegaskan bahwa
konselor adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan
konseling dan memperoleh latihan khusus sebagai konselor, dan memiliki lisensi
untuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling. Pemberian kewenangan
untuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling didasarkan kepada lisensi
dan kredensialisasi oleh ABKIN, sesuai dengan perundangan dan peraturan yang
berlaku. Kekuatan dan eksistensin suatu profesi muncul dari kepercayaan publik.
Untuk meningkatkan kepercayaan publik yang perlu diperhatikan adalah memliliki
kompetensi atau keahlian khusus. Profesi dipersiapkan melalui pendidikan dan
latihan khusus, profesi menggunakan standart kecakapan yang tinggi, diuji melalui
pendidikan yang formal terutama memasuki dunia kerja, kompetensi dilakukan
periodik, dan adanya perangkat aturan atau kode etik.
Masyarakat percaya bahwa layanan yang diperlukannya hanya bisa
diperoleh dari orang yang dianggap sebagai orang yang berkompeten di bidangnya.
Kepercayaan publik akan melanggengkan profesi, karena di dalamnya terkandung
keyakinan publik bahwa profesi dan para anggotanya itu :
a. Memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan
latihan khusus dalam standar kecakapan yang tinggi. Kompetensi ini diuji
melalui pendidikan formal atau ujian khusus sebelum memasuki dunia
praktik profesional.
b. Ada perangkat aturan untuk mengatur perilaku professional dan
melindungi kesejahteraan publik. Aspek penting dalam hal ini adalah
kepercayaan :
 Adanya modifikasi perilaku profesional sebagai aturan yang
mengandung nilai keadilan dan kaidah-kaidah, perilaku
professional yang tidak semata-mata melindungi anggota profesi
tetapi juga melindungi kesejahteraan publik.
 Anggota profesi akan mengorganisasikan dan bekerja dengan
berpegang pada standar perilaku profesional. Diyakini bahwa
seorang yang profesional akan menerima tanggung jawab
mengawasi dirinya sendiri, mampu melakukan self regulation. Dua
aspek penting dari self regulation yaitu melahirkan sendiri kode
etik dan standar praktek.

8
 Anggota profesi dimotivasi untuk melayani orang-orang dengan
siapa mereka bekerja.
Setiap saat persepsi publik terhadap profesi dapat berubah karena perilaku
tidak etis, tidak profesional dan tidak bertanggung jawab dari para anggotanya.
Seorang konselor profesional mesti menaruh kepedulian khusus terhadap konseli,
karena konseli amat rawan untuk dimanipulasi dan dieksploitasi. Kode etik suatu
profesi muncul sebagai wujud self regulation dari profesi itu. Kode etik
merupakan suatu aturan yang melindungi profesi dari campur tangan
pemerintahh, mencegah ketidaksepakatan internal dalam suatu profesi dan
melindungi atau mencegah para praktisi dari perilaku-perilaku malpraktik.
4. Membangun standar supervisi
Tidak terpenuhinya standar yang diharapkan untuk melakukan supervisi
bimbingan dan konseling membuat layanan tersebut terhambat dan tidak efektif.
Supervisi yang dilakukan oleh orang yang tidak memahami atau tidak berlatar
belakang bimbingan dan konseling bisa membuat perlakuan supervisi bimbingan
dan konseling disamakan dengan perlakuan supervisi terhadap guru bidang studi.
Akibatnya balikan yang diperoleh konselor dari pengawas bukanlah hal-hal yang
substantif tentang kemampuan bimbingan dan konseling melainkan hal-hal teknis
administratif. Supervisi bimbingan dan konseling mesti diarahkan kepada upaya
membina keterampilan profesional konselor seperti: memahirkan keterampilan
konseling, belajar bagaimana menangani isu kesulitan siswa, mempraktekan kode
etik profesi, mengembangkan program komprehensif, mengembangkan ragam
intervensi psikologis, dan melakukan fungsi-fungsi relevan lainnya.
2.4 Sifat Dasar Konselor
Undang-undang RI No. 20 thn 2003 pasal 1 yang menyatakan pendidikan
merupakan “Usaha sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengenalan diri, kepribadian, kecerdasan, bangsa, dan negara”.
Terdapat beberapa ciri atau karakteristik konselor yang lebih khusus. Ciri-ciri penting
dikemukakan oleh Corey (Ernawati, 2020) sebagai berikut:
1. Memiliki cara-cara tersendiri. Konselor selalu ada dalam proses pengembangan
gaya yang unik, yang menggambarkan filsafat dan gaya hidup pribadinya.

9
2. Memiliki kehormatan diri dan apresiasi diri. Mereka dapat meminta, dibutuhkan,
dan menerima dari orang lain. Dan tidak menutup diri dari orang lain sebagai
suatu tampilan kekuatan semu.
3. Mempunyai kekuatan yang utuh, mengenal dan menerima kemampuaan sendiri.
Tidak meremehkan orang lain dan tidak pula mendorong orang lain
mempertahankan ketidakberdayaan dan ketergantungan kepada konselor. Mereka
menjadi sumber kekuatan dan model bagi konseling.
4. Terbuka terhadap perubahan dan mau mengambil resiko yang lebih besar.
Mengembangkan diri lebih luas dan menyadari bahwa semakin banyak tuntutan
makin berat resiko yang dihadapi.
5. Terlibat dalam proses pengembangan kesadaran tentang diri orang lain.
Menyadari bahwa dengan kesadaran yang terbatas haanya akan memperoleh
kebebasan yang terbatas dan bahwa kesadaran meningkatkan kemungkinan untuk
memilih kehidupan yang lebih kaya yang membawa kepada berbagai tingkat
perasaan, nilai, keyakinan, motivasi, dan sebagainya.
6. Mau dan mampu menerima dan memberikan toleransi terhadap ketidaknentuan.
Pertumbuhan ditandai oleh ditinggalkannya sesuatu yang sudah biasa dan
memasuki sesuatu yang tidak atau belum dikenal, konselor yang efektif mencari
suatu tingkat ketidakmentuan dalam hidup.
7. Memiliki identitas diri. Artinya mereka mengetahui siapa diri mereka, apa yang
mereka capai, keinginan-keinginan dalam hidup, ingin dan berupaya menguji
nilai-nilai sendiri. Secara esensil, standar mereka diinternalisasi dan mereka
mempunyai keberanian untuk bertindak dalam cara yang diyakininya sekalipun
tanpa imbalan.
8. Mempunyai rasa empati yang tidak positif. Menyadari perjuangaan dan
penderitaan sendiri, dan mempunyai kerangka pikir untuk mengenal orang lain
tanpa kehilangan identitas diri. Dalam empati terkadang kepedulian, kehangatan,
kontrol diri.
9. Hidup, artinya pilihan mereka berorientasi pada kehidupan, Perasaan sangat
mendalam .
10. Auntetik, nyata, sejalaan, jujur, dan bijak. Mereka tidak hidup dengan berpura-
pura tetapi berupaya menjadi apa yang mereka pikir dan rasakan.

10
11. Memberi dan menerima kasih sayang, dapat memberikan sesuatu dengan sepenuh
hati, mudah dipengaruhi oleh orangorang yang dikasihi serta mempunyi
kemampuan untuk memperhatikan orang lain.
12. Hidup pada masa kini. Mereka tidak mencap dirinya dengan apa yang seharusnya
dilakukan pada masa lalu ataupun apa yang seharusnya dilakukan pada masa
dataang. Mereka tidak hidup dalam hkayalan atau angan-angan. Oleh karena itu
mereka dapat menjalani masa kini, hidup pada masa kini, dan berada pada orang
lain pada masa kini.
13. Dapat berbuat salah dan mengakui kesalahan. Mereka belajara dari kesalahan,
tidak gampang melupakan kesalahan tetaoi tersiksa oleh kesalahan- kesalahan
tersebut.
14. Dapat terlibat secara mendalam dengan pekerjaan- pekerjaan dan kegiatan-
kegiatan kreatif, menyerap makna yang kaya dalam hidup melalui kegiatan-
kegiatan.
Melaksanakan peranan profesional yang unik sebagaimana adanya tuntutan
profesi, konselor harus memiliki pribadi yang berbeda dengan pribadi-pribadi yang
bertugas dan bersifat membantu lainnya. Konselor dituntut untuk memiliki pribadi yang
mampu menunjang keefektifan konseling. Brammer juga mengakui adanya kesepakatan
helper, tentang pentingnya pribadi konselor sebagai alat yang mengefektifkan proses
konseling, ia mengatakan : “A general dictum among people helpers says that if I want to
become more affective I must begun with my self; own personalities thus the principal
tools of the helping process…”(Brammer, 1979). Menurut Brammer (1979) tentang
karakteristik konselor di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Awareness of self and values (Kesadaran akan Diri dan Nilai). Konselor
memerlukan kesadaran tentang posisi nilai mereka sendiri. Konselor harus
mampu menjawab dengan jelas pertanyaan-pertanyaan, siapakah saya? Apakah
yang penting bagi saya? Mengapa saya mau menjadi konselor?. Kesadaran ini
membantu konselor membentuk kejujuran terhadap dirinya sendiri dan terhadap
konseli mereka dan juga membentuk konselor menghindari tidak bertanggung
jawab atau tidak etis terhadap konseli bagi kepentingan pemuasan kebutuhan diri
pribadi konselor.
2. Awareness of cultural experience (Kesadaran akan Pengalaman Budaya). Suatu
program latihan kesadaran diri yang terarah bagi konselor mencakup
pengetahuan tentang populasi khusus konseli. Misal, jika seseorang telah

11
menjalin hubungan dengan konseli dalam masyarakat suku lain dengan latar
belakang yang sangat berbeda, konselor dituntut mengetahui lebih banyak lagi
tentang perbedaan konselor dan konseli karena hal tersebut merupakan hal yang
sangat penting bagi hubungan helping yang efektif. Konselor professional
hendaknya mempelajari cirri-ciri khas budaya dan kebiasaan tiap kelompok
konseli mereka.
3. Ability to analyze the helper’s own feeling (Kemampuan untuk Menganalisis
Kemampuan Konselor Sendiri). Observasi terhadap konselor spsialis
menunjukkan bahwa mereka perlu “berkepala dingin”, terlepas dari perasaan-
perasaan pribadi mereka sendiri. Selain adanya persyaratan bagi konselor efektif,
konselor juga harus mempunyai kesadaran dan mengontrol perasaannya sendiri
guna menghindari proyeksi kebutuhan, harus pula diakui bahwa konselor
mempunyai perasaan dari waktu ke waktu.
4. Ability so serve as model and influencer (Kemampuan Melayani sebagai Teladan
dan Pemimpin atau Orang yang Berpengaruh). Kemampuan ini penting terutama
dengan kredibilitas konselor dimata konselinya. Konselor sebagai teladan atau
model dalam kehidupan sehari-hari adalah sangat perlu. Konselor harus tampak
beradab, matang dan efektif dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan konselor
sebagai “pemimpin” atau sebagai teladan sangat diperlukan dalam proses
konseling.
5. Altruism (Altuisme). Pribadi altuis ditandai kesediaan untuk berkorban (waktu,
tenaga dan mungkin materi) untuk kepentingan, kebahagiaan atau kesenangan
orang lain (konseli). Konselor merasakan kepuasaan tersendiri untuk dapat
berperan membantu oranglain dari pada diri sendiri.
6. Strong sense of ethics (Pengahayatan Etik yang Kuat). Rasa etik konselor
menunjukkan rasa aman konseli dengan ekspektasi masyarakat. Konselor
professional memiliki kode etik untuk dihayati dan dipakai dalam menumbuhkan
kepercayaan pengguna jasa layanan konseling.
7. Responsibility (Tanggung Jawab). Tanggung jawab konselor dalam hal ini
khusus berkenaan dengan konteks bantuan khusus yang diberikan kepada
konselinya. Salah satu tempat penerapan tanggung jawab konselor adalah dalam
menangani kasus diluar bidang kemampuan atau kompetensi mereka. Konselor
menyadari keterbatasan mereka, sehingga tidak merencanakan hasil atau tujuan
yang tidak ralistik. Konselor mengupayakan referral kepada spesialis ketika

12
mereka menyadari keterbatasan diri. Begitu juga dalamsuatu kasus, mereka tidak
membiarkan kasus-kasus “terlunta-lunta” tanpa penyelesaian.
Kemudian Hobbs menyatakan bahwa idealnya sebagai seorang konselor adalah
memiliki pribadi yang dapat mencerminkan perilaku mewujudkan kemampuan dalam
hubungan membantu konseli tetapi juga mampu menyadari dunia lingkungannya, mau
menyadari masalah sosial politiknya, dan dapat berdaya cipta secara luas dan tidak
terbatas dalam pandangan profesionalinya, Cavanagh (Sanyata, 2018) mengemukakan
bahwa kualitas pribadi guru bimbingan dan konseling ditandai dengan beberapa
karakteristik sebagai :
1. Self-knowledge (Pemahaman diri) ini berarti bahwa konselor memahami dirinya
dengan baik, dia memahami secara pasti apa yang dia lakukan, mengapa dia
melakukan hal itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman diri
sangat penting bagi konselor, karena beberapa alasan berikut.
 Konselor yang memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya cenderung
akan memiliki persepsi yang akurat pula tentang orang lain atau klien
(konselor akan lebih mampu mengenal diri orang lain secara tepat pula).
Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil
juga memahami orang lain.
 Konselor yang memahami dirinya, maka dia akan mampu mengajar cara
memahami diri itu kepada orang lain. Pemahaman tentang diri
memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan berkomunikasi secara
jujur dengan klien pada saat proses konseling berlangsung.
2. Competence (Kompeten) yang dimaksud kompeten disini adalah bahwa
konselor itu memiliki kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral
sebagai pribadi yang berguna. Kompetensi sangatlah penting bagi konselor,
sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-
kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan
bahagia. Dalam hal ini, konselor berperan untuk mengajar kompetensi-
kompetensi tersebut kepada klien. Satu hal penting yang membedakan
hubungan persahabatan dengan hubungan konseling adalah kompetensi yang
dimiliki konselor. Konselor yang efektif adalah yang memiliki (a) pengetahuan
akademik, (b) kualitas pribadi, dan (c) keterampilan konseling.

13
3. Good Psychological Health (Kesehatan Psikologis yang Baik). Konselor
dituntut untuk memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dari kliennya. Hal
ini penting karena mendasari pemahamannya terhadap perilaku dan
keterampilan. Ketika konselor memahami bahwa kesehatan psikologis yang
dikembangkan melalui konseling, maka dia membangun proses konseling
tersebut secara lebih positif. Apabila konselor tidak mendasarkan konseling
tersebut kepada pengembangan kesehatan psikologis, maka dia akan mengalami
kebingungan dalam menetapkan arah konseling yang ditempuhnya. Kesehatan
psikologis konselor yang baik sangat berguna bagi hubungan konseling. Karena
apabila konselor kurang sehat psikisnya, maka dia akan teracuni atau
terkontaminasi oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-
nilai yang keliru, dan kebingungan.
4. Trustworthiness (Dapat Dipercaya). Kualitas Ini berarti bahwa konselor itu tidak
menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas konselor yang
dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa alasan, yaitu
sebagai berikut:
 Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan
masalah dirinya yang paling dalam. Dalam hal ini, klien harus merasa
bahwa konselor itu dapat memahami dan mau menerima curahan hatinya
(curhatnya) dengan tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa percaya
ini, maka rasa frustrasi lah yang menjadi hasil konseling.
 Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor.
Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi untuk
membantunya.
 Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka
akan berkembang dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri.
5. Honesty (Jujur) yang dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu bersikap
transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine). Sikap keterbukaan
memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang
lebih dekat satu sama lainnya di dalam proses konseling. Konselor yang
menutup atau menyembunyikan bagian-bagian dirinya terhadap klien dapat
menghalangi terjadinya relasi yang lebih dekat. Kedekatan hubungan psikologis
sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang

14
langsung dan terbuka antara konselor dengan klien. Apabila terjadi ketertutupan
dalam konseling dapat menyebabkan merintangi perkembangan klien. Kejujuran
memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada
klien.
6. Strength (Kekuatan). Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam
konseling, sebab dengan hal itu klien akan merasa aman. Klien memandang
konselor sebagai orang yang (a) tabah dalam menghadapi masalah, (b) dapat
mendorong klien untuk mengatasi masalahnya, dan (c) dapat menanggulangi
kebutuhan dan masalah pribadi.
7. Warmth (Bersikap Hangat) yang dimaksud bersikap hangat itu adalah : ramah,
penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Klien yang datang meminta
bantuan konselor, pada umumnya yang kurang mengalami kehangatan dalam
hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah,
memberikan perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling, klien ingin
mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan konselor.
8. Actives responsiveness (pendengar yang aktif). Keterlibatan konselor dalam
proses konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang aktif,
konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan klien.
Disini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik
yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna, mengemukakan
gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan klien tentang cara mengambil
keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses
konseling.
9. Patience (Sabar) melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat
membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar
konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya.
10. Sensitivity (kepekaan) kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang
adanya dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah
tersinggung, baik pada diri klien maupun dirinya sendiri. Klien yang datang
untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang
sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya
bermasalah. Pada diri mereka hanya nampak gejala-gejalanya (pseudo masalah),
sementara yang sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor

15
yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa masalah
sebenarnya yang dihadapi klien
11. Holistic awareness (Kesadaran Holistik) pendekatan holistik dalam konseling
berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak mendekatinya
secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor sebagai seorang
ahli dalam segala hal, disini menunjukkan bahwa konselor perlu memahami
adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami
bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang
lainnya. Dimensi-dimensi itu meliputi : fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual,
dan moral spiritual.
2.5 Wawasan Konselor
Wawasan BK secara khusus meliputi: pemahaman tentang pengertian BK, visi
misi BK, bidang layanan BK, kode etik BK, kegiatan pendukung, dan bidang bimbingan
BK. Wawasan kependidikan dan profesi konselor secara umum meliputi:
1. Konselor wajib terus menerus berusaha mengembangkan dan menguasai
dirinya, ia wajib mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka
pada dirinya sendiri, yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain
dan mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan profesional serta merugikan
klien.
2. Memiliki wawasan pedagogis dalam melaksanakan layanan profesional
konseling.
3. Memahami dengan baik landasan-landasan keilmuan bimbingan dan konseling.
4. Menghayati kode etik dan proses pengambilan keputusan secara etis.
5. Mengetahui dengan baik standar dan prosedur legal yang relevan dengan setting
kerjanya.
6. Aktif melakukan kolaborasi profesional dan mempelajari literaturnya.
7. Menunjukkan komitmen dan dedikasi pengembangan profesional dalam
berbagai setting dan kegiatan.
8. Menampilkan sikap open minded dan profesional dalam menghadapi
permasalahan klien.
9. Memantapkan prioritas (bidang layanan) profesionalnya.
10. Mengorganisasikan kegiatan sebagai wujud prioritas profesionalnya.
11. Merumuskan perannya sendiri sesuai dengan setting dan situasi kerja yang
dihadapi.

16
2.6 Kredensialisasi Profesi Konselor
Kredensialisasi merupakan penganugerahan kepercayaan kepada konselor
profesional yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki kewenangan dan
memperoleh lisensi untuk menyelenggarakan layanan profesional secara independen
kepada masyarakat maupun di lembaga tertentu. Pemberian kewenangan yang
dimaksudkan itu dilakukan berdasarkan aturan kredensial yang dikeluarkan oleh pihak-
pihak yang berwenang. Aturan kredensial itu meliputi pemberian sertifikasi, akreditasi,
dan lisensi yaitu :
1. Sertifikasi memberikan pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi
untuk melaksanakan pelayanan konseling pada jenjang dan jenis setting tertentu,
setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
tenaga profesi konseling yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
2. Akreditasi memberikan derajat penilaian terhadap kondisi yang telah dimiliki
oleh satuan pengembang dan/atau pelaksana konseling, seperti Program Studi
Bimbingan dan Konseling di LPTK, yang menyatakan kelayakan program
satuan pendidikan atau lembaga yang dimaksud. Keterlibatan ABKIN dalam
melakukan akriditasi dipandang penting karena ABKIN adalah institusi yang
menetapkan kompetensi nasional yang harus dicapai melalui program
pendidikan konselor di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan). Dengan sertifikasi dan akriditasi ini, pekerjaan bimbingan dan
konseling akan menjadi profesional karena hanya dilakukan oleh konselor yang
telah tersertifikasi.
3. Lisensi memberikan ijin kepada tenaga profesi bimbingan dan konseling untuk
melaksanakan praktik pelayanan bimbingan dan konseling pada jenjang
dan setting tertentu, khususnya untuk praktik mandiri (privat). Lisensi diberikan
oleh ABKIN atas dasar permohonan yang bersangkutan, berlaku untuk masa
waktu tertentu dan dilakukan evaluasi secara periodik untuk menentukan apakah
lisensi masih bisa diberikan. Pemberian lisensi diberikan atas hasil assessment
nasional yang dilakukan ABKIN melalui BAKKN (Badan Akreditasi dan
Kredensialisasi Konselor Nasional). Seorang konselor tidak secara otomatis
memperoleh kredensialisasi kecuali atas dasar permohonan dan melakukan
secara nyata layanan profesi bagi masyarakat atau sekolah.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bimbingan dan konseling sebagai profesi itu sendiri merupakan suatu hubungan yang
saling berkaitan untuk membimbing dan membantu orang lain agar menjadi pribadi yang
lebih baik untuk memahami dirinya yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu pekerjaan
(profesi).
Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain melalui standarisasi
untuk kerja profesional konselor dan standarisasi penyiapan konselor. Profesi bimbingan
dan konseling di Indonesia harus memiliki kemampuan dasar keilmuan pendidikan yang
kuat, karena konselor sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan membantu profesi konselor memahami proses pemberdayaan dan
pembudayaan manusia yang sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat
membantu dirinya sendiri dan masyarakat. Melalui pendidikan konselor membantu
manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi bermanfaat di sekitar, karena
pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia.

3.2 Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk
datangnya dari kami. Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna,
masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang
bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.

18
DAFTAR RUJUKAN

Brammer, L.M. 1998. The Helping Relationship: Process and Skills. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.

Daryanto dan Farid, M. 2015. Bimbingan Konseling Panduan Guru BK dan Guru Umum.
Yogyakarta: Gava Media

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2008. Penataan Pendidikan Profesioal Konselor dan
Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.

Ditjen Dikti, Depdiknas. 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta: Proyek
Peningkatan Tenaga Akademik

Ernawati, R., 2020. Buku Materi Pembelajaran Profesionalisasi BK. Jakarta : Universitas
Kristen Indonesia.

Ernawati, Renatha. 2018. Profesionalisasi Bimbingan dan konseling. Jakarta

Fatchurahman, M., 2018. Problematik pelaksanaan konseling individual. Jurnal Bimbingan


dan Konseling Ar-Rahman, 3(2), 25-30.

Ikatan Konselor Indonesia (IKI). 2008. Arah Pemikiran Pengembangan Profesi Konselor.
Padang: Ikatan Konselor Indonesia.

Limbong, Mesta. 2013. Bahan Ajar Profesionalisasi Guru Bimbingan dan Konseling di
Sekolah. Jakarta: UKI Press

Nursalim, M. 2015. Pengembangan Profesi Bimbingan & Konseling. Jakarta: Erlangga

PB-ABKIN. 2018. Kode Etik Bimbingan dan Konseling Indonesia. Yogyakarta: PB-
ABKIN.

Permendiknas RI No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru. Bandung: Nuansa Aulia.

Permendiknas RI No. 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Konselor. Bandung: Nuansa Aulia.

19
Prayitno, 2017. Konseling Profesional yang Berhasil. Layanan dan Kegiatan Pendukung.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Prayitno. 2018. Landasan Keilmuan Keprofesionalan Bimbingan dan Konseling. Padang:


Universitas Negeri Padang.

Sanyata, Sigit. 2018. Teori dan Praktik Pendekatan Konseling Feminis. Yogyakarta : UNY
Press.

Sukardi, Dewa K. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di


Sekolah (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

Supriatna, Mamat. 2011. Bimbingan Dan konseling Berbasis Kompetensi. Jakarta: Rajawali
Pers.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta :


Sistem Pendidikan Nasional.

20

Anda mungkin juga menyukai