Anda di halaman 1dari 15

PERKEMBANGAN IDENTITAS PSIKOLOGI SOSIAL DALAM KONSELING LINTAS

BUDAYA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Konseling Multibudaya

Dosen Pengampu :
Ari Kusumadewi, M, Pd.

Disusun Oleh :
Yunita Rani (17010014044)
Lubna Dhiya’ul Irbah C. (17010014074)
Nabil Rifqy Anwar (17010014076)
Elya Nova Anggraini (17010014078)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
BIMBINGAN DAN KONSELING
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas curahan rahmat
dan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas yang telah diberikan pada
mata kuliah Konseling multibudaya dengan waktu yang di harapkan.
Kami mengucapkan banyak terimakasih terhadap beberapa pihak yang telah membantu
dalam penyajian makalah ini. Terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Bimbingan dan
Konseling Keluarga yaitu Ari Kusumadewi, M.Pd. yang telah memberikan arahan dan
bimbingannya, sehingga kami dapat menyeslesaikan makalah ini dengan ketentuan dan arahan
dari beliau.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
didalamnya, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
untuk penyempurnaan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini sedikitnya dapat memberikan pengetahuan dan ilmu
yang bermanfaat untuk pihak yang memerlukan dan juga para pembaca.

Surabaya, 12 Maret 2020

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang............................................................................................................1

i
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2
C. Tujuan.........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Identitas Psiko-Sosial........................................................................3
B. Peran Identitas Dalam Kelompok...............................................................................6
C. Dimensi Konseptual Konseling Lintas Budaya............................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang
mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui
maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah
diartikan secara beragam dan berbeda-beda, sebagaimana keragaman dan perbedaan
budaya yang memberi artinya. lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari
kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang
tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi
seksual, dan usia.
Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan
konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Perbedaan budaya
bisa terjadi pada ras atau etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi
konseling lintas budaya dapat dikatakan sebagai berbagai hubungan konseling yang
melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas atau
hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik
sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti
seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia.
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif. Untuk menciptakan keefektifan ini, maka konselor dituntut untuk
memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan keterampilan yang responsif
secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan
budaya” (cultural encounter) antara konselor dan konseli. Maka dari itu diperlukannnya
wawasan dan pemahaman konselor dalam perkembangan identitas baik secara psikologi
maupun social dalam konseling lintas budaya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan indentitas psiko-sosial ?

1
2. Apa peran identitas dalam kelompok?
3. Bagaimana dimensi konseptual konseling lintas budaya?

C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami perkembangan identitas psiko-sosial.
2. Mahasiswa dapat mengetahui peran identitas dalam kelompok.
3. Mahasiswa dapat memahami dimensi konseptual konseling lintas budaya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

3
A. Pengertian Psiko-Sosial

Matsumoto (2004)

Psikologi lintas budaya adalah cabang psikologi yang (terutama) menaruh perhatian pada
pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-
orang dari berbagai budaya yang berbeda.

Dalam arti sempit, psikologi lintas budaya secara sederhana hanya berarti melibatkan
unsur latar belakang keragaman budaya yang berbeda dalam memaknai hal psikologis.

Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah
kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di
semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu
di budaya-budaya tertentu)

B. Ruang Lingkup Psiko-Sosial Lintas Budaya


1. Pewarisan dan Perkembangan Budaya, bagaimana budaya dapat diwariskan dan
berkembang menjadi satu kesatuan dalam diri individu.

2. Budaya dan Diri (Self), bagaimana diri dan dan budaya memandang manusia
sebagai individu yang utuh.

3. Kognisi & Perkembangannya, yaitu bagaimana kaitannya pola pikir manusia


dengan budaya, apakah ada perbedaan antar budaya dalam memahami kognisi
atau pola pikir.

4. Bahasa dan komunikasi, bahasan dan bagaimana berkomunikasi antarbudaya


menjadi bahasan dalam ruang lingkup Psikologi Lintas Budaya

5. Emosi, apakah ada kaitan antara emosi dengan budaya, dan bagaimana
antarbudaya menanggapi dan memahami kajian emosi.

6. Kepribadian, bagaimana keterkaitan antara keperibadian dengan budaya.

7. Gender, gender menjadi topik hangat dalam kajian lintas budaya, karena setiap
budaya memiliki pemahaman dan menafsiran yang berbeda perihal gender.

4
8. Psikologi Kesehatan dan abnormalitas; kaitan Psikologi Lintas Budaya dan
Psikologi Kesehatan Abnormal menjadi penting untuk mengetahui sebab dan
akibat budaya pada diri individu.

9. Psikologi Komunitas dan Sosial, bagaimana psikologi lintas budaya menjadi


bagian tak terpisahkan dalam komunitas sosial dalam masyarakat.

10. Psikoterapi, permasalahan psikologi individu, seringkali berkaitan dengan


bagaimana norma dan budaya yang dianut. Lantas apakah ada pengaruh signifikan
apabila menggunakan pendekatan psikoterapi tertentu sesuai dengan lintas
kebudayaannya.

C. Perkembangan Identitas Psiko-Sosial


Perkembangan identitas psiko-sosial menurut Erikson berasal dari ketertarikannya
akan pengaruh masyarakat dan kultur terhadap perkembangan anak. Ia belajar dari
kelompok anak-anak Amerika asli untuk membantu merumuskan teori-teorinya.
Berdasarkan studinya ini, membuka peluang baginya untuk menghubungkan
pertumbuhan kepribadian yang berkenaan dengan orangtua dan nilai kemasyarakatan.
Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia yang dikenal dengan teori
perkembangan psiko-sosial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam
psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang
dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial
Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang
kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu
berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam
berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi
sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan
mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang
bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh
manusia. Menurutnya manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada
tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan
kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu
akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil
dengan perasaan tidak selaras. Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan
mengalami konflik atau krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Delapan
tahapan menurut erikson tersebut sebagai berikut :
 Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
Terjadi pada usia 0 - 18 bulan (terjadi antara kelahiran sampai usia satu
tahun) merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup. Oleh karena bayi
sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada
ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak. Jika anak berhasil
membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia.
Pola asuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak,
dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak. Kegagalan dalam

5
mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan
bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
 Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
Terjadi pada usia 18 bulan - 3 tahun (masa awal kanak-kanak), berfokus
pada perkembangan besar dari pengendalian diri. Erikson percaya bahwa
belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada
perasaan mengendalikan dan kemandirian. Kejadian-kejadian penting lain
meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan,
mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian. Anak yang berhasil
melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak
berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
 Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
Terjadi pada usia 3 - 5 tahun. (usia prasekolah), masa ini mulai menunjukkan
kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi
sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang
lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan. Anak yang berhasil
dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain.
Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa. Sedangkan ereka yang
gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-
ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat
muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat
cemas. Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan
dengan cepat oleh rasa berhasil.
 Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
Terjadi pada usia 6 tahun – masa pubertas. Masa ini anak mulai
mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan
mereka melaluai interaksi sosial. Anak perlu didukung dan diarahkan oleh
orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya dengan
ketrampilan yang dimilikinya. Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi
mereka untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru. Sehingga ketika
beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan
energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah
berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak
produktif.
 Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 - 20 tahun. Selama remaja ia
mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya. Masa ini
dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan
kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
Dihadapkan pada banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa
pekerjaan dan romantisme. Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu
dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas
positif akan dicapai. Dukungan yang memadai akan mengeksplorasi personal,
kepekaan diri, perasaan mandiri dan kontrol dirinya akan muncul dalam tahap
ini. Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya,
akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
 Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
Terjadi selama masa dewasa awal (20an - 30an tahun). Tahap ini dianggap
penting, karena merupakan tahap seseorang membangun hubungan yang dekat

6
dan siap berkomitmen dengan orang lain. Mereka yang berhasil di tahap ini,
akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman. Erikson percaya
bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan
yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam
menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional,
kesendirian dan depresi. Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa
keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
 Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an - 50an tahun). Selama masa
ini, masa untuk melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir
dan keluarga. Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa
mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah
serta komunitas. Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak
produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
 Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun). Selama fase ini cenderung
melakukan cerminan diri terhadap masa lalu. Mereka yang tidak berhasil pada
fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak
penyesalan. Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa. Mereka yang
berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan
kegagalan yang pernah dialami.  Individu ini akan mencapai kebijaksaan,
meskipun saat menghadapi kematian.

D. Peran Identitas Dalam Kelompok


1. Budaya dan konsep diri
Disadari atau tidak, konsep diri kita adalah sesuatu yang bersifat integral dan
merupakan bagian penting dalam hidup kita. Berpikir mengenai beberapa deskripsi diri
anda, mungkin anda telah meyakinkan diri anda merupakan seorang yang optimis atau
pesimis, introvert atau extrovert.
 Terkadang kita menggunakan label tersebut untuk memberi karakter terhadap diri
kita. Dekripsi label seperti ini memiliki beberapa arti yakni :
a. Bahwa kita memiliki atribut dalam diri, seperti kita memiliki atribut lain yakni
kecakapan, hak, atau ketertarikan.
b. Bahwa perilaku kita dimasa lalu, perasaan, maupun pikiran memiliki hubungan
yang dekat terhadap atribut kita.
c. Bahwa perbuatan kita dimasa depan, rencana, perasaan, maupun pikiran kita akan
mengontrol atau menjaga atribut ini dan dapat memprediksi kurang atau lebih akurat dari
itu.

7
 Perasaan terhadap diri adalah inti dari diri kita, kesadaran yang secara otomatis
mempengaruhi pikiran, perilaku, dan perasaan kita. Perbedaan budaya juga
menghantarkan proses pembentukan self-concept pada anggota mereka. Perbedaan
self-concept ini mengubah dan mempengaruhi aspek perilaku individual mereka.
Tuntutan budaya yang bebeda dalam menempatkan anggotanya berarti individu
mengintergrasikan, mensintesis, dan mengkoordinasikan dunia mereka
2. Perbedaan budaya dan konsep diri
 Pemahaman diri independen
Pemahaman ini terdapat dalam budaya individualistis seperti negara Amerika, dimana
dalam budaya ini ada keyakinan yang kuat terhadap keterpisahan individu, Pada
pemahaman diri independen, individu fokus pada personal, kemampuan atribut
internal, kecerdasan, kepribadian, tujuan, atau preferensi - mengekspresikan diri
mereka di depan umum dan memverifikasi dan mengkonfirmasi diri mereka secara
pribadi melalui perbandingan social
 Pemahaman diri interdependen
Pemahaman ini terdapat pada banyak kebudayaan non-Barat. Budaya ini menekankan
pada “kesalingterkaitan yang mendasar pada manusia”. Pemahaman diri
interdependen Pemahaman ini terdapat pada banyak kebudayaan non-Barat. Budaya
ini menekankan pada “kesalingterkaitan yang mendasar pada manusia”.
3. Budaya dan Identitas
Identitas adalah kelompok sosial dari individu yang melihat dirinya dalam
suatu bagian. Setiap individu memiliki berbagai identitas karena berbagai peran sosial
yang ia perankan seperti murid, guru, kakak, adik, anak, dan lain-lain.
 Tipe-tipe ini yang disebut dengan Cultural Identity (identitas budaya). Manusia
memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok karena individu
yang berada pada suatu keanggotaan akan memiliki hubungan interpersonal yang
baik. Penelitian membuktikan bahwa individu yang diterima dalam kelompok sosial
akan memiliki kondisi fisik dan psikososial yang lebih baik, sedangkan individu yang
ditolak itu sebaliknya.
 Sebuah teori mengungkapkan bahwa seorang individu dapat memiliki penyangkalan
identitas (identity denial). Hal ini terjadi ketika individu tidak diterima dalam suatu
kelompok karena identitasnya yang tidak sesuai dengan kelompok.
 Multicultural Identities

8
Individu tidak hanya memiliki satu identitas budaya tetapi dalam satu situasi individu
memiliki dua atau lebih identitas. Saat ini, istilah “identitas multikultural” meningkat
di dunia, karena budaya asli semakin menurun, meningkatnya komunikasi serta
interaksi antara orang-orang yang berbeda budaya, dan semakin banyak pernikahan
beda budaya. Jika budaya didefinisikan sebagai konstruk psikologi, eksistensi
multicultural identity menunjukan munculnya sistem multiple psychocultural dari
representasi pikiran individual multicultural
 Cultural Frame Switching adalah individu yang memiliki pikiran tentang berbagai
sistem budaya. Cultural Reaffirmation Effect adalah individu yang memiliki berbagai
macam budaya, tinggal di lingkungan yang memiliki berbagai macam budaya pula.
Terdapat penelitian lain terkait dengan efek penegasan kembali budaya (cultural
reaffirmation) antara individu multikultural yang hidup dalam lingkungan masyarakat
multikultural.

E. Dimensi Konseptual Konseling Lintas Budaya


1. Konsep Konseling Lintas Budaya

Latar belakang konseling lintas budaya Isu – isu tentang lintas budaya yang disebut
juga multibudaya meningkat dalam decade 1960-an yang selanjutnya melatari kesadaran
bangsa amerika pada decade 1980-an , namun ternyata kesadaran itu disertai dengan
kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah bela secara meningkat. Hal ini
menjelaskan pandangan bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad 21 ,
baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun professional dalam bidang lintas
serta keragaman budaya.

Dalam bidang konseling dan psikologi pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan
keempat setelah pendekatan psikodinamik , behavioristic dan humanistic ( Paul Pedersen,
1991 ) . Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang
mengartikanya secara berbeda yang mempersulit untuk mengetahui aknanya secara pasti .
Dapat dinyatakan bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-
beda sebagaimana keragaman dan perbedaan yang memberi artinya

2. Pengertian konseling lintas budaya


Definisi lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas , dan sebagainya. Para
teoritisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variable –
variabelnya ( Alexander, 1995 ) Dilihat dari sisi identitas budaya , konseling lintas budaya
merupakan hubungan konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dan konseli
( Burn, 1992)

3. Pendekatan konseling lintas budaya

9
Ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya , pertama pendekatan universal atau etik
yang menekankan inklusivitas , komonalitas , atau keuniversalan kelompok – kelompok .
Kedua pendekatan emik yang menyoroti karakterisitik – karakteristik khas dari populasi
spesifik dan kebutuhan konseling khusus mereka . Ketiga pendekatan inklusif atau
transcultural yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardene dan Mahtani ( 1989 )

Pendekatan konseling transcultural mencakup komponen berikut :


Sensitivitas konselor terhadap variasi - variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling
yang digunakan Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya
Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang
mereflesikan kebutuhan budaya konseli Kemampuan konselor untuk menghadapi
peningkatan kompleksitas lintas budaya

 Model berpusat pada budaya


Palmer and Laungani (2008) Berpendapat bahwa budaya-budayabarat menekankan
individualism, kognitifme , bebas dan matrealisme . sedangkan budaya timur menekankan
komunalisme , emosionalisme , deteminisme dan spirualisme. Konsep – konsep ini bersifat
kotinum tidak dikhotomus.

 Model Integratif
Berdasarkan uji coba model terhadap oranag kulit hitam amerika ( Jones palmer and
laughani, 2008 ) merumusan empat kelas variable sebagai suatu panduan konseptual dalm
konseling model integrative.

 Model etnomedikal
Model ini merupakan pertama kali diajukan oleh Ahmed and Fraser ( 1979 ) yang
dalam perkembanganya dilanjutkan oleh Alladin ( 1993 ) . Model ini merupakan alat
konseling transcultural yang berorientasi pada pradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan
peningkatan sensivitas transcultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi
sakit dalam budaya dengan Sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.

Konsepsi Sakit
Seseorang dikatakan sakit apabila :
o Melakukan penyimpangan norma budaya
o Melanggar batas keyakinan agama dan berdosa
o Melakukan pelanggaran hokum
o Mengalami masalah interpersonal

Causal atau healing beliefs


o Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
o Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
o Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor

Kriteria Sehat

Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya
yang artinya fungsi – fungsi pribadinya adaptif dan secara penuh dapat melakukan aturan
aturan social dalm komunitasnya.

10
Mampu menentukan sehat dan sakit
Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
Menyadari dan memahami budayanya sendiri

Body Function Beliefs


Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebih bermakna
Sosial dan okupasi konseling semakin membaik dalam kehidupan sehari –hari
Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli

Health practice efficacy beliefs


Ini merupakan implementasi pemecahan masalah dengan arahan atas
keyakinan yang sehat dari konseli.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Jhon W. Santrock.1995. Life-Span Development, 13th Edition  University of Texas at Dallas,


1995
Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangan Anak, Gunung Mulia, Jakarta, 1990
Sarlito W Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh Psikologi, Bulan Bintang,
Jakarta, 2002
Matsumoto, D. (2000). Pengantar psikologi lintas budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Berry, John W dkk. (1999). Psikologi Lintas Budaya Riset dan Aplikasi. PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Sarlito W. Sarwono 2014. Psikologi Lintas Budaya. Rajagrafindo Persada. Jakarta

11
12

Anda mungkin juga menyukai