Anda di halaman 1dari 14

Studi Kasus Konseling Ditinjau dari Perspektif Multikultural

Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Probematika Bimbingan dan Konseling
Dosen Pengampu :
Dzinnun Hadi, S. Sos. I., M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Abdul Aziz (12306193033)


2. Riya KuriyatulKamila (12306193029)
3. Julia Ayu Nur Khovivah (12306193032)

SEMESTER V
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
DESEMBER 2021
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT, yang Maha Pengasih
lagi MahaPenyayang yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas Problematika Bimbingan dan
Konselingberupa makalah “Studi Kasus Konseling Ditinjau dari Perspektif
Multikultural”. Tak lupa sholawat serta salam semoga, tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya ila yaumilhada wal yaumil
kiyamah. Aamiin Yarobbalngamin.
Pada kesempatan ini, penyusun hendak menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penyusun.
Dengan kerendahan hati, penyusun hanya mampu menyampaikan terima kasih
kepada:

A. Bapak Dzinnun Hadi, S. Sos. I., M.Pd., yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan bimbingan serta arahankepada penyusun, sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini.
B. Kedua orang tua penyusun yang selalu memberikan dorongan baik materi maupun
moral, hingga dapat terselesaikannya penyusunan makalah yang sederhana ini.
C. Teman-teman kelompok 12 yang sangat, bertanggung jawab akan penyelesaian
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Maka, makalah yang berjudul "Studi
Kasus Konseling Ditinjau dari Perspektif Multikultural" inipun, masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.Kami berharap dari makalah yang kami susun
ini dapat bermamfaat dan menambah wawasan bagi kami maupun pembaca.Aamiin
Yarobbalngalamin.

Tulungagung, 6 Desember 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFRAR ISI............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

A. Latar Belakang.................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3

A. Perspektif Budaya............................................................................................... 3
B. Perspektif Multikultural...................................................................................... 5
C. Perspektif Spiritual.............................................................................................. 7
D. Konseling dalam Perspektif Multikultural.......................................................... 8

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 10

A. Kesimpulan......................................................................................................... 10
B. Saran................................................................................................................... 10

DAFTAR RUJUKAN............................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan sosial yang pesat berupa akulturasi budaya sebagai akibat
globalisasi meningkatkan frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung dan
tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi canggih transportasi,
telekomunikasi, disertifikasi, dan migrasi penduduk secara besar-besaran.
Pertukaran informasi yang sangat cepat menyebabkan banyak masalah psikologis
di masyarakat yang akhirnya menuntut para konselor dan terapis
mengembangkan model konseling atau terapi berbasis multikultural.
Pengembangan terapi ini diharapkan mampu menjadi teknik yang dapat diterima
secara universal di masyarakat Global saat ini. Salah satu teknik yang
dikembangkan pada pembahasan ini adalah cognitifbehavioraltherapy berbasis
praktik empiris dan penggunaan meta-analisis dalam penerapannya pada
masalah-masalah masyarakat yang disesuaikan dengan konteks budaya yang
dianut oleh klien. Bagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
teknik terapi yang disesuaikan dengan konteks budaya masyarakat memberikan
fungsi terapis yang menyembuhkan. Adanya perubahan sosial yang sangat pesat
menjadi bagian yang penting bagi perkembangan konseling multikultural dan
terapi multikultural dalam 25 tahun terakhir. Salah satu penyebab utamanya
adalah perubahan sosial berupa globalisasi dan peningkatan frekuensi pertemuan
antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi
canggih transportasi dan telekomunikasi.
Sumber kedua adalah perubahan gelombang di seluruh dunia melalui
migrasi. Konseling multikultural merupakan proses interaksi antara konselor dan
konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlakukan
pemahaman terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat
memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya konseling. Untuk
memberikan konseling multikultural secara efektif konselor harus dapat
memahami karakter budaya dan konselingnya serta merancang segala tindakan
dalam perspektif budaya multikultural dan perspektif spiritual. Berdasarkan latar

1
belakang tersebut dalam makalah ini akan dikupas mengenai perspektif budaya
perspektif multikultural dan perspektif spiritual.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Perspektif Budaya?
2. Bagaimana yang dimaksud dengan Perspektif Multikultural?
3. Bagaimana yang dimaksud dengan Perspektif Spiritual?
4. Bagaimana yang dimaksud Konseling dalam Perspektif Multikultural?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui yang dimaksud dengan Perspektif Budaya.
2. Untuk Mengetahui yang dimaksud dengan Perspektif Multikultural.
3. Untuk Mengetahui yang dimaksud dengan Perspektif Spiritual.
4. Untuk Mengetahui yang dimaksud Konseling dalam Perspektif
Multikultural.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perspektif Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu “buddhayah”,
yang merupakan bentuk jamak dari “buddhi” (budi atau akal) diartikan sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa inggris,
kebudayaan disebut “culture”, yang berasal dari kata lain “colere”, yaitu mengolah
atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
“culture” juga diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa indonesia. Budaya
adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya
didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap,
makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan, ruang, konsep alam semesta.
Obyek-obyek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar dari generasi ke
generasi melalui usaha individu dan kelompok. Berkenaan dengan cara hidup,
manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut
menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi,
tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi,
semua itu berdasarkan pola-pola budaya.
Untuk lebih jelas dalam memahami apa yang dimaksud dengan budaya,
maka kita dapat melihatnya dari empat buah definisi yang disampaikan oleh
Schein. Pertama, Schein mendefinisikan budaya sebagai kumpulan fenomena,
seorang individu tidak dapat memiliki budaya, karena pembentukan budaya
tergantung pada komunikasi. Bagaimanapun, kelompok budaya dapat berada pada
berbagai tingkatan, mulai dari masyarakat dan negara hingga organisasi kecil atau
kelompok sosial. Kedua, Schein mendefinisikan budaya sebagai sebuah pola
asumsi dasar, menyarankan bahwa kepercayaan yang membentuk budaya relative
bertahan dan sulit berubah. Tentu saja, individu mungkin tidak menyadari asumsi
budaya yang dipegangnya. Sebagaimana akan kita lihat pada model yang
dikembangkannya, schein menyatakan bahwa budaya organisasi juga mencangkup
nilai, perilaku, aturan, artefak fisik.
Ketiga, schein melihat budaya sebagai sebuah proses kemunculan dari
perkembangan. Menurut definisinya, budaya dipelajari atau ditemukan sebagai
sebuah kelompok bertemu tantangan internal dan eksternal. Perimbangkan, sebagai

3
contoh, sejarah mulainya perusahaan internet pada tahun 1990-an dan awal abad
ke-21. Budaya perusahaan seperti itu akan mencerminkan kemungkinan lingkungan
yang agresif, percaya diri, bergerak cepat, bahkan mungkin kurang ajar.Keempat,
Schein menyoroti aspek sosialisasi budaya organisasi. Pada titik ini, walaupun, itu
sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ketika individu memasuki suatu
organisasi, bagian utama dari “learning the ropes” terdiri dari pengembangan
pemahaman mengenai asumsi dan nilai-nilai yang membentuk budaya organisasi.
Pandangan “Strong Cultures” dari Deal and kennedy, sebuah organisasi
akan menjadi tempat yang lebih baik bagi individu untuk bekerja dan akan
meningkatkan baik performanc/prestasi individu maupun organisasi, jika sebuah
syarat dipenuhi. Syarat yang dimaksud adalah jika sebuah organisasi tersebut
memiliki komponen-komponen budaya yang kuat. Dalam hal ini ada empat
komponen yaitu :
1. Nilai (Value), yaitu keyakinan dan pandangan anggota/yang dianut organisasi.
Setiap organisasi memiliki nilai inti sebagai pedoman berfikir dan bertindak
bagi semua warganya untuk mencapai tujuan/misi organisasi. Nilai-nilai ini
dianut bersama oleh anggota organisasi antara lain dapat berupa slogan atau
moto yang berfungsi sebagai jati diri.
2. Pahlawan (Heroes), yaitu individual-individual yang hadir untuk memberikan
contoh nilai-nilai organisasi. Pahlawan-pahlawan tersebut diberitahukan
melalui cerita-cerita dan mitos-mitos organisasi.
3. Tatacara dan ritual-ritual (Rites and Rituals), yaitu upacara melalui
peringatan-peringatan organisasi atas nilai-nilai yang dimiliki. Inovasi nilai-
nilai sebuah organisasi bisa mengembangkan ritualistik cara memberikan
penghargaan ide-ide baru para karyawan. Setiap organisasi memiliki cara atau
ritual ritual yang berbeda-beda. Stephen P.Robbins mendefinisikan ritual
sebagai deretan berulang dari kegiatan yang mengungkapkan dan memperkuat
nilai-nilau sebagai deretan berulang dari kegiatan yang mengungkapkan dan
memperkuat nilai-nilai utama sebuah organisasi.
4. Jaringan Budaya (Cultural Network), yaitu sistem komunikasi melalui nilai-
nilai budaya dimulai dan diperkuat. Jaringan budaya ini merupakan suatu
jaringan komunikasi informal yang pada dasarnya merupakan saluran
komunikasi primer. Fungsi utamanya, untuk menyalurkan informasi dan
memberikan interpretasi terhadap informasi. Melalui jaringan komunikasi

4
informal, kehebatan perusahaan diceritakan dari waktu ke waktu. Dengan
jaringan budaya, organisasi mengungkapkan nilai-nilai budaya dan mitologi
kepahlawanan yang relevan dengan organisasi.
B. Perspektif Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
pandangan tentang ragam kehidupan di dunia, atau kebijakan kebudayaan yang
menekankan penerimaan tentang adanya keragaman, kebinekaan, pluralitas,
sebagai realitas utama dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem
sosial-budaya, dan politik yang mereka anut (Roal, 2009). Sedangkan Konsep
multikulturisme yang memiliki pandangan dunia, yang pada akhirnya
diimplementasikan dalam kebijakan tentang kesediaan menerima kelompok lain
secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik,
gender, bahasa, ataupun agama (Roald, 2009). Sedangkan Dalam konteks agama,
pluralisme dapat dipahami melalui dua sudut pandang. Pertama, melalui sudut
pandang sosial yang mana individu berhak untuk menganut agama apapun dan
dalam hidup semua umat beragama sama-sama belajar untuk toleran, dan
menghormati iman atau kepercayaan dari setiap penganut agama. Kedua, etika atau
moral yaitu, semua umat beragama memandang bahwa moral atau etika dari
masing-masing agama bersifat relatif dan sah apabila umat beragama menganut
pluralisme agama, maka dari sini sesama umat tidak berhak menghakimi penganuy
agama lain (Roald, 2009).
Faktor Penyebab Multikulturalisme di Indonesia
a. Faktor Sejarah
Faktor sejarah terdapat dua aspek munculnya multikulturalisme, yakni
migrasi yang masuk ke suatu daerah dan adanya kebanggaan sebagai minoritas.
Sedangkan aspek ke dua lebih bersifat pada unsur identitas yang dimemiliki
oleh individu yang dirasa lebih kuat dari pada rasa nasionalismenya. Misalnya
saja Negara indonesia, yang dikenal masyarakatnya multikultural. Indonesia
sendiri merupakan negara dengan sumber daya alam yang begitu melimpah
terutama dalam sektor rempah-rempah. Hal ini yang membuat negara lain ingin
menjajah indonesia. Bahkan ada beberapa negara yang dapat tinggal
diindonesia, Hal ini juga menyebabkan terjadi penambahan kekayaan budaya
serta ras di indonesia sehingga muncul multikultural.

5
b. Letak geografis
Suatu negara atau wilayah memiliki karakteristik dan geografis yang
berbeda-beda. Kondisi geografis ini akan mempengaruhi fenomena alam yang
sering terjadi di wilayah tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung,
fenomena alam akan mempengaruhi kehidupan sosial dalam suatu lingkungan
masyarakat. Perbedaan kondisi geografis ini akan menimbulkan corak dan cara
hidup beraneka ragam dalam masyarakat.
c. Adanya pengaruh budaya asing
Selain dipengaruhi oleh letak geografis di indonesia adanya masyarakat
multikultiral disebabkan oleh adanya pengaruh budaya asing. Masuknya
pengaruh kebudayaan asing ini dipengaruhi juga oleh letak geografis di
indonesia sehingga banyak berbagai unsur agama dan juga budaya yang masuk
ke indonesia. Indonesia terletak diantara samudra hindia dan pasifik dan jalur
tersebut merupakan jalur lintasan para pedagang yang berasal dari china, india,
dan lain-lain. Para pedangang tersebut datang ke indonesia tidak hanya untuk
berdagang akan tetapi bertujuan juga untuk menyebarkan kebudayaan dan
agama yang dianutnya sehingga saat ini di indonesia terdapat bermacam-
macam agama.
d. Kondisi iklim
Kondisi iklim yang berbeda-beda dan juga banyaknya macam-macam
ras di indonesia yang tumbuh membuat masyarakat indonesia menjadi
masyarakat multikultura. Selain itu perbedaan yang menyebabkan masyarakat
diindonesia disebut masyarakat multikultural yaitu adanya perbedaan antara
tipe masyarkat perkotaan, pertanian, dan juga komunitas budaya suku dan
bangsa lainnya.
e. Integrasi Nasional
Faktor penyebab terjadinya masyarakat multikultural yang terakhir yaitu
adanya bentuk integritas sosial. Integrasi nasional tersebut berasal dari suku
bangsa menjadi suatu kesatuan bangsa indonesia yang berberaneka ragam.
Adanya intergrasi suku bangsa menjadi suatu kesatuan bangsa indonesia
dipengaruhi oleh empat pariwisata diantaranya yaitu, Peristiwa kerajaan
sriwijaya dan majapahit, adanya penjajahan belanda, pada masa pergerakan
nasional yang menyebabkan munculnya sumpah pemuda dan peristiwa yang
sangat berpengaruh yaitu kemerdekaan indonesia.

6
C. Perspektif Spiritual
Definisi Spritualitas, Menurut alder, manusia adalah mahluk yang sadar,
yang berarti bahwa ia sadar terhadap semua alasan tingkah lakunya, sadar
inferioritasnya, mampu membimbing tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya
arti dari segala perbuatan untuk kemudian dapat mengaktualisasikan dirinya.
(dalam Mahpur&Habib,2006:35).
Spiritualitas diarahkan kepada pengalaman subjektif dari apa yang relevan
secara eksistensial untuk manusia. Spiritualitas tidak hanya memperlihatkan apakah
hidup itu barharga, namun juga fokus pada mengapa hidup berharga. Menjadi
spiritualitas berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian
atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas
merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna
hidup. Spirutualitas merupakan bagian esistensial dari keseluruhan kesehatan dan
kesejahteraan seseorang.Secara terminologis, spiritualitas berasal dari kata “spirit”.
Dalam literatur agama dan spiritualitas, istilah spirit memiliki dua makna
subtansial, yaitu :
a. Karakter dan inti dari jiwa-jiwa manusia, yang masing-masing saling
berkaitan, serta pengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa tersebut yang
merupakan dasar utama dari keyakinan spiritual. “spirit” merupakan
bagian terdalam dari jiwa, dan sebagai alat komunikasi atau sarana yang
memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan.
b. Mengacu pada konsep bahwa semua “spirit” yang saling berkaitan
merupakan bagian dari sebuah kesatuan. Menurut kamus webster (1963)
kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin “Spiritus” yang berarti
nafas (breath) dan kata kerja”spirare” bernafas. Melihat asal katanya,
untuk hidup adalah bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit.
Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang
bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat
material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri
dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan
bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.
(dalam tamami, 2011:19).

7
Piedmont (2001:7) mengembangkan sebuah konsep spiritualias yang
disebutnya Spiritual Transendence. Yaitu kemampuan individu untuk berada diluar
pengalamahaman dirinya akan waktu dan tempat, serta untuk melihat kehidupan
dari perspektif yang lebih luas dan objektif. Perspektif transendensi tersebut
merupakan suatu perspektif dimana seseorang melihat satu kesatuan fundamental
yang mendasari beragam kesimpulan akan alam semesta. Konsep ini terdiri atas
tiga aspek yaitu :

1) PrayerFulfillment (pengalaman ibadah), yaitu sebuah perasaan gembira dan


bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan realitas transeden.
2) Universality (Universalitas), Yaitu sebuah keyakinan akan kesatuan kehidupan
alam semesta (natureoflife) dengan dirinya.
3) Connectedness (Keterkaitan), yaitu sebuah keyakinan bahwa seseorang merupakan
bagian dari realitas manusia yang lebih besar yang melampaui generasi kelompok
tertentu.
D. Konseling dalam Perspektif Multikultural
Konseling lintas budaya merupakan hal baru yang belakangan ini popular
Locke (dalam Brown et al, 1988) mendefinisikan (1) konseling multikultural
sebagai bidang praktik yang menekankan pentingnya dan keunikan atau kekhasan
individu. (2) mengaku bahwa konselor membawa nilai-nilai pribadi yang berasal
dari lingkungan kebudayaannya di dalam setting konseling. (3) Dan selanjutnya
mengakui bahwa klien-klien yang berasal dari kelompok ras dan suku minoritas
membawa nilai-nilai dan sikap-sikap yang mencerminkan latar belakang budaya
mmereka. Dalam perkataan lain ada tiga hal pokok yang menyangkut pengertian
konseling multikultural pertama, individu itu penting dan unik. Kedua, waktu
menjalankan konseling konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan
budayanya. Ketiga, klien dari kelompok minoritas etnis dan ras dalam menemui
konselor harus membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan latar
belakang budayanya. Konsep dasar konseling multikultural kajiannya menyangkut
keberagaman budaya dikenal dari beberapa istilah seperti cross culture (lintas
budaya) Interculture (antar budaya) dan multicultural (multi budaya). Dalam
konseling istilah multikultural atau multibudaya lebih sering digunakan karena
mencerminkan kesetaraan dari masing-masing budaya dan menafikan keunggulan
satu budaya pada budaya lainnya. (Pedersen, 1988)

8
Draguns (1989), menjabarkan poin kunci dalam pelaksanaan konseling
multikultural yaitu
1. Teknik konseling harus dimodifikasi jika terjadi proses yang melibatkan
latar belakang budaya yang berbeda.
2. Konselor harus menyiapkan diri dalam memahami kesenjangan yang makin
meningkat antara budayanya dengan budaya konseling pada saat proses
konseling berlangsung
3. Konsepsi menolong atau membantu harus berdasarkan pada perspektif
budaya konseli dan konselor dituntut memiliki kemampuan untuk
mengkomunikasikan bantuannya serta memahami distress dan kesusahan
konseli.
4. Konselor dituntut memahami perbedaan gejala dan cara Menyampaikan
keluhan masing-masing kelompok budaya.
5. Konselor harus memahami harapan dan norma yang mungkin berbeda
antara lain dengan konseli.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Konseling multikultural merupakan proses interaksi antara konselor dan
konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga diperlakukan
pemahaman terhadap konsep dan budaya lain terutama bagi konselor agar dapat
memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif budaya konseling. Untuk
memberikan konseling multikultural secara efektif konselor harus dapat memahami
karakter budaya dan konselingnya serta merancang segala tindakan dalam perspektif
budaya multikultural dan perspektif spiritual.Ras, etnis, jenis kelamin, usia, status
sosial ekonomi, agama, gaya hidup, dan orientasi seksual merupakan faktor penting
untuk dipertimbangkan ketika membangun hubungan terapeutik dengan klien.
Beberapa prinsip dasar yang harus disadari konselor dalam melakukan konseling
multikultural antara lain:
a. Kesadaran tentang kemampuan konselor.
b. Kesadaran tentang memahami konseli dan nilai-nilainya.
c. Kesadaran tentang kemampuan melaksanakan proses konseling ynag mampu
mendorong optimisme dan menemukan solusi yang realistis.
B. Saran
Penulisan makalah ini, masih jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu, kami
sangat menantikan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca.Semoga,
ilmu yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semua.Alangkah baiknya, pembaca juga
memiliki sumber rujukan lainnya sebagai upaya menambah pemahaman atas materi
dalam makalah ini.

10
DAFTAR RUJUKAN

Corey , Gerad. 2009. Case Approach to Counseling and Psychotherapy, (Cetakan 12).
USA : Brooks/Cole 20 Davis Drive

Draguns, JG (1989). Dilema dan pilihan dalam konseling lintas budaya: Yang universal
versus yang khas secara budaya. Dalam PB Pedersen, JG Draguns, WJ Lonner, &
JE Trimble (Eds.), Konseling lintas budaya (hlm. 3–21). Pers Universitas Hawaii.

Pedersen, P. (1988). Sebuah buku pegangan untuk mengembangkan kesadaran


multikultural. Asosiasi Amerika untuk Konseling.

Brown et al., 1988. Small Rumin. (Online diakses pada 4 Desember 2021)

_Online http://s3ilmusosial.fisip.unair.ac.id diakses pada 5 Desember 2021.

_Online https://id.m.wikipedia.org diakses pada 5 Desember 2021

11

Anda mungkin juga menyukai