DOSEN PENGAMPU :
Dra. Tri Umari, M.Si.
Munawir, S.Pd., M.Pd.
Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
Denisa Dilla Magfiroh 1905113195
Gina Pratiwi Elson 1905110218
Shinta Dwi Sarlini 1905112482
Wisnu Rizky Wardana 1905155186
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Penulis ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan innayah-Nya kepada kita sampai saat ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Konseling Lintas
Budaya tentang “Persepsi Terhadap Pluralisme”.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penyelesaian makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar dapat memperbaiki makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah mata kuliah Konseling Lintas Budaya
tentang “Persepsi Terhadap Pluralisme” ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi kepada pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Bimbingan dan Konseling Spiritual........................................... 3
2.2 Pendekatan Holistik................................................................... 4
2.3 Monokulturalisme dan Multikulturalisme................................. 5
2.4 Dari Amilasi Ke Multikulturalisme........................................... 8
2.5 Analisis Jurnal............................................................................ 11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 14
iii
BAB 1
(PENDAHULUAN)
1
1. Bagian jalan hidup yang digunakan orang,
2. Gagasan yang diwariskan dari generasi ke generasi,
3. Pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak yang berkembang menjadi
nilai-nilai yang kemudian terinternalisasi,
4. Sosialisasi anak-anak ke kedewasaan,
5. Pola-pola konsep dan tindak secara konsisten,
6. Pola-pola budaya yang dipelihara meskipun mur.gkin tidak sesuai, dan
7. Rasa tidak berdaya atau kebingungan manakala terjadi perubahan pola-
pola budaya. Dengan merujuk konsep di atas, maka konseling hendaknya
lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu
mewujudkan kehidupan yang narmori dalam kondisi pluralistik (Surya,
1997: 34).
2
BAB II
(PEMBAHASAN)
3
Kondisi ini telah mendorong kecendrungan berkembangnya konseling
yang berfurdasikan spiritual atau relegi. Dalam kaitan ini Stanard, dkk (2000)
mengusulkan agar spirituaiitas ini dijadikan sebagai "angkatan kelima" dalam
konseling dan psikoterapi. Selanjutnya dijelaskan bahwa: "Spirituality
includes concepts such as trancendence, self-actualization, purpose and
meaning, wholness, balance, sacredness, universality, and a sense of Hight
Power". Berkaitan dengan isu-isu agama dalam konseling, Zinbauer &
Pargament (2000) mengemukakan ada empat pendekatan yaitu:
1. Rejectionist, yaitu yang menolak campur aduk agama dengan konseling,
2. Exlusivist, yang mengakui adanya agama akan tetapi dipisahkan antara
agama dengan konseling,
3. Constructivist, yang memberikan peluang pendekatan agama dalam
konseling dan klien sendiri yang membentuknya, dan
4. Pluralist, yaitu pendekatan yang memungkinkan prosese konseling yang
berlandaskan nilai-nilai agama.
4
sistem. Bidang-bidane layanan yang diberikan meliputi aspek sosial, pribadi,
belajar, karir, dan budi pekerti dalam satu kesatuan yang utuh.
Definisi di atas bukan hanya meliputi perbedaan antar etnik atau kelompok
budaya, melainkan berbagai kategori atau variabel dalam suatu lingkup
5
budaya, misalnya usia, gender, tempat tinggal, pendidikan, status sosial-
ekonomi, afiliasi kelompok, etnisitas, bahasa, dan keyakinan. Pengertian ini
berbeda dengan apa yang diterima oleh sebagian besar kalangan dalam bidang
ini yang mengartikan multikulturalisme terbatas pada kera-gaman etnik dan
rasial dalam suatu lingkup bangsa atau budaya (Banks, 1981). Sedangkan
pentingnya multikulturalisme sebagai dasar untuk mengenali perilaku budaya
individu atau kelompok individu, sehingga Pedersen (1998) menempatkannya
sebagai "kekuatan keempat" dalam psikologi setelah psikodinamika,
behaviorisme, dan psikologi humanistik. Disebutkan demikian, karena
multikulturalisme memberikan perspektif baru dalam memahami perilaku
manusia dalam konteks budayanya sesuatu yang masih belum mendapatkan
tempat yang selayaknya dalam psikologi.
6
4. Negara dengan derajat homogenitas etnik/ras yang tinggi tetapi sangat
menghareai multikulturalisme.
7
2.4 Dari Amilasi Ke Multikulturalisme
Multikulturalisme sebagai sikap, praktik sosial, dan kebijakan pemerintah
dewasa ini diterima di banyak negara sebagai sesuatu yang penting, bahkan
menjadi semacam "ideologi" dalam pengembangan kebudayaan dan upaya
menciptakan masyarakat yang sehat. Sebagaimana dikemukakan oleh Berry
dkk. (1998), multikulturalisme pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan
suatu konteks sosiopolitik yang memungkinkan individu dapat
mengembangkan identitas yang sehat dan secara timbal balik mengembangkan
sikap-sikap antar kelompok yang positif. Namun jalan menuju pengakuan
tersebut adalah sebuah pendakian yang terjal dan sikap terhadap realitas
multikultural masyarakat/bangsa mengalami perkembangan sepanjang sejarah.
Di masa lalu, multikulturalisme dipandang sebagal sesuatu yang tidak
berguna, dan pandangan yang anti-pluralisme itu justru berkembang di negara-
negara Barat. Bahkan John Dewey (West- brook, 1991) menganggap
multikulturalisme hanya menciptakan garis pemisah yang kaku antar-
kelompok dalam masyarakat. Karena itu, apa yang seharusnya terjadi adalah
asimilasi.
Meskipun setiap negara memiliki problematiknya masing-masing dalam
menyikapi isu-isu pluralisme etnik dan budaya, ada kesamaan di banyak
negara dalam hal kecendrungannya yang mengarah pada kebijakan
multikultural. Beberapa contoh dikemukakan berikut ini. Pada tahun 1971,
Kanada mengubah kebijakan asimilasinya menjadi kebijakan multikultural.
Salah satu prinsip dasar yang dikembangkannya adalah "terpisah tetapi sama"
(separate but equal), sebagaimana terjadi pada keturunan inggris dan Perancis.
Australia menempuh jalan yang sama. Pada akhir tahun 1960- an, Menteri
imigrasi Ausiralia menyapaikan, "Kita harus mempunyai budaya tunggal" .
Saya begitu yakin bahwa kita mesti memiliki suatu monokultur, dengan semua
orang yang tinggal di negeri ini memakai cara yang sama, saling memahami
satu sama lain, dan berbagi aspirasi yang sama. Kita tidak menginginkan
pluralisme. "Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1970- an, kebijakan negara
itu berubah. Pada tähun 1978 pemerintah Australia mengernukakan bahwa
"Australia merupakan masyarakat multikultural satu dari masyarakat paling
8
konsmopolit di dunia" (Berry dkk., 1999: 578). Kebijaksanaan yang sama
ditempuh di Swedia yang memaklumkan kebijakan multikultural pada tahun
1975.
Di antara negara-negara Eropa, Perancis adalah sebuah kasus. Secara
resmi, negara ini menyatakan menganut uniformitas dalam peradabannya
sebagaimana juga tampak pada sistem pendidikannya yang uniform. Hal ini
tercermin dalam kata-kata Edouard Balladur, mantan Perdana Menterinya,
"Anda harus mengerti bahwa peradaban Perancis adalah peradaban yang
menganut uniformitas, sedangkan peradaban Anglo-Saxon didasarkan pada
diversitas Jandt, 1993: 420. Akan tetapi, secara de facto negara ini sangat
menghargai pluralisme di dalam negaranya dan sangat apresiatif terhadap
kebudayaan-kebudayaan asll (indigenous cultures) di luar wilayahnya.
Di kawasan Asia, RRC contoh menarik. Ketika Revolusi Kebudayaan
dilancarkan pada tahun 1960-an, RRC di bawah Mao Tse Tung mengkam
panyekan semboyan, "Biarlah sejuta bunga tumbuh untuk menunjukkan
penghargaan pemerintah pada multikulturalisme. Akan tetapi kemudian
diketahui bahwa hal itu hanya untuk memancing apa yang disebut "musuh-
musuh Sosialisme", untuk menampakakan diri. Setelah "bunga-bunga itu
tumbuh", mereka dihabisi. Tibet dianeksasi dan pemimpin spiritualnya, Dalai
Lama, terpaksa melarikan diri dan tinggal di Dharmapala, India. Kebudayaan
Tibet dikikis habis, dan orang-orang Tibet pun secara sistimatis mengalami
Sinoisasi (pencinaan). Dewasa ini, Palun Gong (latihan spiritu Cina)
diperangi. Setelah lepas dari Inggris pada tahun 1997, Hong Kong setahap
demi setahap benar-benar menjadi Cina, dan menurut laporan terakhir, bahasa
Inggris makin ditinggalkan oleh masyarakat bekas kolo ni Inggris itu. Salah
satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus RRC (juga Uni Soviet di masa lalu)
ialah sukar bagi negara yang menganut ideologi sosialisme-komunisme yang
cendrung totaliter (Ballestrem, 1991; Shipler, 1984) untuk menerima ide
multikulturalisme.
Multikulturalisme adalah perkembangan lanjut dari kebijakan asimilasi
yang diterapkan di banyak negara di masa lalu. Asimilasi di dasari asumsi
bahwa keragaman harus ditekan seminimal mungkin, dan untuk terjadinya
9
integrasi sosial, maka elemen-elemen baru baik berupa kelompok etnik
minoritas maupun tradesi budaya yang masuk harus meleburkan diri ke dalam
arus budaya utama (biasanya budaya kelompok maycritas). Asimilasi akan
mengakibatkan ciri-ciri identitas budaya asal menjadi terkikis dan akhirnya
lenyap, sehingga generasi berikut tidak dapat lagi mengenali identitas aslinya.
Dengan merujuk pada kasus Eropa, Van Oudenhoven dan Willemsen (Berry
dkk., 1998: 580) mencatat, "Suatu konsekuensi dari asi-milasi lengkap adalah
suatu hampa budaya pada kelompok-kelompok minoritas boleh jadi
berkembang. Generasi kedua para imigran dengan cara tertentu boleh jadi
kehilangan akar etnik, kebahasaan dan keagamaan mereka; sementara belum
ada budaya maycritas pun yang dapat dijadikan akar pijakan". Keadaan inilah
yang oleh Emile Durkheim disebut "anomie". Ekspresi perilaku agresif dan
tak terkendali sebagian penduduk keturunan Afrika Utara di Eropa dan Afrika-
Hitam di Amerika Utara hingga tingkat tertentu dapat dipahami dari zudut
pandang tersebut.
Model integrasi sosial melalui kebijakan asimilasi apalagi dilakukan
secara paksa, terbukti banyak menemui kegagalan bila tidak diikuti penye
suaian psikologis antara pihak-pihak yang terlibat. Di Indonesia, menyusul
terjadinya peristiwa G-30S/PKI pada tahun 1965 yang menempatkan Kke
sebagai "aktor Intelektual"-nya, segala yang berbau Cina dilarang. Name nama
Cina harus diubah menjadi nama bernuansa Indonesia dengan hale an terjadi
adaptasi psikologis, meskipun untuk tidak kehilangan identitas aslinya, nama
baru itu selalu disertai nama alias dalam nama Cina; misal- nya Setiadi
Santoso alias Tjio Djin Tie. Hal serupa terjadi di Uni Soviet (se- belum
runtuh) yang memaksa penduduk di republik-republik "jajahannya" di
kawasan Asia Tengah yang mayoritas Muslim untuk mengadopsi nama yang
ke-Rusia-rusiaan, misalnya Ibrahim jadi Ibrahimov, Ali menjadi Aliya- nov.
Tapi nama saja tidak mengubah identitas budaya. Tatkala Uni Soviet ambruk
dan negara-negara bekas jajahannya menyatakan kemerdekaan, identitas
keislaman mereka tetap kuat, meskipun namanya masih belum berubah.
Begitu juga tiga negara sekitar Laut Baltik (Latvia, Lithuania, dan Estonia)
kembali menampilkan identitas Kristen Ortodoksnya. Benar kata Shakespeare,
10
"(Horatio), what is in a name" - "Horatio (tokoh dalam drama Hamlet), apalah
artinya sebuah nama". Kenyataan seperti ini pula antara lair. yang membuat
kebijakan asimilasi cendrung di tinggalkan dan beralih ke-kebijakan
multikultural.
Mengapa multikultural sebagai suatu sikap yang mengakui diversitas
budaya dikatakan maju? Sebab pendirian ini sesuai dengan watak dasar
kebudayaan (manusia) yang dalam dirinya melekat sifat-sifat keberagaman di
satu pihak dan kesamaan di pihak lain (Carrither, 1992).
11
Tujuan akhir dari pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak
hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya
akan tetapi diharapkan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap
demokratis, pluralis dan humanis.
12
BAB III
(PENUTUP)
3.1 Kesimpulan
Charlene E.Westgate mengemukakan ada empat dimensi "spiritual
wellness" yaitu: Meaning of life, Intrinsic value, Transcendence, dan
Community of shared values and support.
13
DAFTAR PUSTAKA
Putra, Anak Agung Ngurah Adhi. 2013. Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
14