Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KONSELING LINTAS BUDAYA

“Persepsi Terhadap Pluralisme”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok di semester IV

DOSEN PENGAMPU :
Dra. Tri Umari, M.Si.
Munawir, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
Denisa Dilla Magfiroh 1905113195
Gina Pratiwi Elson 1905110218
Shinta Dwi Sarlini 1905112482
Wisnu Rizky Wardana 1905155186

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Penulis ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan innayah-Nya kepada kita sampai saat ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Konseling Lintas
Budaya tentang “Persepsi Terhadap Pluralisme”.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penyelesaian makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar dapat memperbaiki makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah mata kuliah Konseling Lintas Budaya
tentang “Persepsi Terhadap Pluralisme” ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi kepada pembaca.

Kuantan Singingi, 25 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Bimbingan dan Konseling Spiritual........................................... 3
2.2 Pendekatan Holistik................................................................... 4
2.3 Monokulturalisme dan Multikulturalisme................................. 5
2.4 Dari Amilasi Ke Multikulturalisme........................................... 8
2.5 Analisis Jurnal............................................................................ 11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 14

iii
BAB 1
(PENDAHULUAN)

1.1 Latar Belakang


Pengalaman Amerika Serikat dengan kondisi masyarakat yang berbudaya
ganda (multikultural) dan tren perkembangan demografis yang mengarah pada
konfigurasi budaya plural, telah mendorong berkembangnya layanan
konseling yang lebih bersifat generik. Penggunaan berbagai pendekatan dan
teknik konseling diharapkan mampu memberikan layanan yang lebih efektif
dalam kondisi pluralitas budaya. Dalam kaitan dengan bimbingan dan
konseling pendekatan budaya ini sangat tepat untuk lingkungan yang
berbudaya piural seperti Amerika Serikat dan juga di Indonesia. Bimbingan
dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat Bhineka Tunggal Ika
yaitu kesamaan diatas keragaman.

Di Amerika Serikat yang berbudaya pluralistik, dikembangkan pendekatan


konseling yang disebut "multicultural counseling". Paul B. Pedersen (1991)
menyebutkan multikultural konseling sebagai pendekatan generik dalam
konseling. Pedersen mengelompokan multikultural konseling ke dalam
angkatan ke-empat dalam pendekatan konseling sebagai pelengkap dari ketiga
angkatan pendekatan sebelumnya yaltu: psychodynamic, behavioral, dan
humanistic. Dikatakan selanjutnya bahwa sebutan multikultural mempunyai
implikasi dalam rentang kelompok yang ganda (multiple) tanpa harus
membuat derajat, bandingan atau peringkat atau sebutan lebih baik atau lebih
jelek antara satu dengan lainnya, serta tanpa mengabaikan adanya kenyataan
saling melengkapi, dan perbedaan bahkan pertentangan satu dengan lainnya.
Perspektif pendekatan multikultural memberikan kombinasi antara pandangan
universalisme dan relativisme dengan memberikan penjelasan bahwa perilaku
dipelajari dalam perspektif secara kultural yang unik, dan mencari kesamaan
landasan antar budaya.

Dengan mengutip pendapat Brislin (1990), Pedersen (1991) menyebutkan


ada tujuh aspek budaya pada diri individu, yaitu :

1
1. Bagian jalan hidup yang digunakan orang,
2. Gagasan yang diwariskan dari generasi ke generasi,
3. Pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak yang berkembang menjadi
nilai-nilai yang kemudian terinternalisasi,
4. Sosialisasi anak-anak ke kedewasaan,
5. Pola-pola konsep dan tindak secara konsisten,
6. Pola-pola budaya yang dipelihara meskipun mur.gkin tidak sesuai, dan
7. Rasa tidak berdaya atau kebingungan manakala terjadi perubahan pola-
pola budaya. Dengan merujuk konsep di atas, maka konseling hendaknya
lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu
mewujudkan kehidupan yang narmori dalam kondisi pluralistik (Surya,
1997: 34).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa itu Bimbingan dan Konseling Spiritual?
2. Bagaimana Pendekatan Holistik?
3. Apa itu Monokulturalisme dan Multikulturalisme?
4. Bagaimana perkembangan dari Amilasi ke Multikulturalisme?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk Mengetahui Apa itu Bimbingan dan Konseling Spiritual.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Pendekatan Holistik.
3. Untuk Mengetahui Apa itu Monokulturalisme dan Multikulturalisme.
4. Untuk Mengetahui Bagaimana perkembangan dari Amilasi ke
Multikulturalisme.
5.

2
BAB II
(PEMBAHASAN)

2.1 Bimbingan dan Konseling Spiritual


Kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dari teknologi
serta kemajuan ekonomi yang dialami oleh bangsa-bangsa Barat ternyata telah
menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan
kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Mereka menyadari
bahwa kemajuan itu telah memisahkan nilai-nila spiritual sebagai sumber
kebahagian hidup dan dirasakan oleh mereka sebagai satu kekurangan.
Dewasa ini berkembang kecendrungan untu menata kehidupan yang
berlandasan nilai-nilai spiritual. Mereka menyadari bahwa suasana keluarga
yang harmonis di atas landasan nilai-nilai religi yang kuat pada dasarnya
merupakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana seperti
itu akan menumbuhkan kualitasmanusia agamis yang memiliki ketahanan dan
keberdayaan yang mantap.

Charlene E. Westgate (1996, dalam Moh. Surya, 2003: 4) menyebutkan


kondisi seperti itu sebagai "sipritual wellness" yang diartikan sebagai suatu
keadaan yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi spiritual yang
memungkinkan keterpaduan spiritualitas dirinya dengan dimensi kehidupart
lainnya, sehingga mengoptimalkan potensi untuk pertumbuhan dan
perwujudan diri.

Selanjutnya Charlene E. Westgate mengemukakan ada empat dimensi


"spiritual wellness" ini yaitu:
1. Meaning of life,
2. Intrinsic value,
3. Transcendence, dan
4. Community of shared values and support.

Dengan kata lain mereka yang telah memiliki "spiritual wellness"


memiliki kemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam
dimensi-dimensi hidup secara terpadu dan utuh.

3
Kondisi ini telah mendorong kecendrungan berkembangnya konseling
yang berfurdasikan spiritual atau relegi. Dalam kaitan ini Stanard, dkk (2000)
mengusulkan agar spirituaiitas ini dijadikan sebagai "angkatan kelima" dalam
konseling dan psikoterapi. Selanjutnya dijelaskan bahwa: "Spirituality
includes concepts such as trancendence, self-actualization, purpose and
meaning, wholness, balance, sacredness, universality, and a sense of Hight
Power". Berkaitan dengan isu-isu agama dalam konseling, Zinbauer &
Pargament (2000) mengemukakan ada empat pendekatan yaitu:
1. Rejectionist, yaitu yang menolak campur aduk agama dengan konseling,
2. Exlusivist, yang mengakui adanya agama akan tetapi dipisahkan antara
agama dengan konseling,
3. Constructivist, yang memberikan peluang pendekatan agama dalam
konseling dan klien sendiri yang membentuknya, dan
4. Pluralist, yaitu pendekatan yang memungkinkan prosese konseling yang
berlandaskan nilai-nilai agama.

2.2 Pendekatan Holistik


Bersamaan dengan perkembangan global yang mendorong makin besarnya
ketergantungan antar berbagai disiplin dan pihak, maka konseling mengalami
kecendrungan untuk bergeser dari situasi isclasi atau soliter ke arah
keterkaitan dengan berbagai aspek. Konseling holistik merupakan pendekatan
holistik yang melibatkan berbagai aspek dan dimensi dalam prosesnya.
Dengan demikian maka konseling tidak hanya menyentuh aspek permukaan
saja akan tetapi lebih menyeluruh dan utuh sehingga penyelesaian suatu
masalah dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan dapat diselesalkan
secara tuntas dan mendasar. Pola konseling holistik mempunyal makna bahwa
layanan yang diberikan merupakan suatukeutuhan dalam berbagai dimensi
yang terkait. Dalam kaitan dengan lingkungan pendidikan, konseling
dilaksanakan secara terpadu mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan di
masyarakat luas. Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan yang terpadu
antara strategi kurikuler interaksi, pengembangan peribadi, dan dukungan

4
sistem. Bidang-bidane layanan yang diberikan meliputi aspek sosial, pribadi,
belajar, karir, dan budi pekerti dalam satu kesatuan yang utuh.

2.3 Monokulturalisme dan Multikulturalisme


Multikulturalisme mengandung dua pengertian, yaitu: Pertama, ia
merupakan realitas sosial dalam masyarakat yang majemuk. Dari segi ini,
sebanyak 95 % negara di dunia pada dasarnya adalah multikultural karena
secara etnis bersifat heterogen (Stavenhagen, 1986, dalam Dedi Supriadi,
2001: 36). Amerika Serikat, Indonesia, RRC dan India adalah negara- negara
berpenduduk terpadat di dunia yang memiliki diversitas budaya yang luas. Di
pihak lain, Jepang adalah negara berpenduduk di atas 100 juta yang paling
homogen masyarakatnya dengan 95 % penduduknya berasal dari etnis yang
sama. Akan tetapi, kera-gaman etnik itu tidak selalu diterima oleh kelompok
mayoritas atau pemerintah yang berkuasa sebagai realitas sosiai yang mesti
dipelihara. Oleh sebab itu, dalam pengertian Kedua, multikulturalisme berarti
keyakinan, sikap, atau kebijakan yang menghargai pluraiisme budaya sebagai
sesuatu yang harus dipelihara darn ditumbuhkan, serta dianggap sebagai
khazanah kebudayaan. Keyakinan, sikap, dan kebijakan dimaksud lebih dari
sekedar semboyan, retorika politik, atau hanya berupa pengakuan simbolis
terhadap kekayaan seni, melainkan pengakuan yang sejati terhadap identitas
kelom-pok yang mendukungnya dan selaras dengan identitas nasional.

Multikulturalisme dalam pengertian kedua di atas. tumbuh dalam


masyarakat atau negara yang menghargai nilai-nilai demokratis danegalitari-
anisme. Dalam konteks pengertian kedua inilah, Pedersen (Locke, 1993: 1)
mendefinisikan multikulturalisme sebagai:

a wide range of multiple groups without grading, comparing, or ranking


them as better or worse than one another and without denying the very dis-
tinct and complementary or even contradictory perspectives that each
group brings whit it.

Definisi di atas bukan hanya meliputi perbedaan antar etnik atau kelompok
budaya, melainkan berbagai kategori atau variabel dalam suatu lingkup

5
budaya, misalnya usia, gender, tempat tinggal, pendidikan, status sosial-
ekonomi, afiliasi kelompok, etnisitas, bahasa, dan keyakinan. Pengertian ini
berbeda dengan apa yang diterima oleh sebagian besar kalangan dalam bidang
ini yang mengartikan multikulturalisme terbatas pada kera-gaman etnik dan
rasial dalam suatu lingkup bangsa atau budaya (Banks, 1981). Sedangkan
pentingnya multikulturalisme sebagai dasar untuk mengenali perilaku budaya
individu atau kelompok individu, sehingga Pedersen (1998) menempatkannya
sebagai "kekuatan keempat" dalam psikologi setelah psikodinamika,
behaviorisme, dan psikologi humanistik. Disebutkan demikian, karena
multikulturalisme memberikan perspektif baru dalam memahami perilaku
manusia dalam konteks budayanya sesuatu yang masih belum mendapatkan
tempat yang selayaknya dalam psikologi.

Kebalikan dari multikulturalismę adalah monokulturalisme yang juga bisa


menunjuk pada pengertian pertama maupun yang kedua di atas. Dalam
pengertian yang kedua, monokulturalisme adalah pandangan bahwa
keragaman budaya adalah sesuatu tidak perlu. tidak bernilai, melelahkan, dan
rawan politik, sehingga budaya yang beragam itu pada akhirnya harus di
arahkan. untuk menuju budaya tunggal yang seragam (uniform) dengan
melebur elemen-elemen budaya yang beragam itu dengan mengikuti arus
budaya mayoritas atau memiliki kakuatan dominan dałam masyarakat.
Monokulturalisme sebagai sikap atau kepercayaan pada perlunya diciptakan
uniformitas budaya tumbuii dalanı masyarakat atau sistem pemerintahan
toialiter dan monolitik yang tidak toleran terhadap perbedaan.

Dengan demikian, dapat terjadi empat kemungkinan kombinasi:


1. Negara dengan realitas etnik/ras dan budaya yang heterogen dan
menerima ide multikulturalisme;
2. Negara dengan realitas etnik/ras dan budaya yang heterogen tetapi
kebijakan pemerintahnya cendrung mengarah pada monokulturalisme;
3. Negara dengan realitas etnik/ras yang relatif homogen dan mernelihara
kebijakan yang monokulturalistik; dan

6
4. Negara dengan derajat homogenitas etnik/ras yang tinggi tetapi sangat
menghareai multikulturalisme.

Amerika Serikat, India, Malaysia adalah contoh neg pada kelompok


pertama; RRC adalah contoh untuk yang kedua; Israel van mempercayai akan
keunggulan ras Yahudinya sebagai"umat pilihan Tuhan dapat dimasukkan ke
dalam kategori ketiga; dan Jepang adalah contoh yang tepat untuk kategori
keempat. Lalu, di manakah posisi Indonesia? Dilihat dari semboyan Bhineka
Tunggal lka -nya, Indonesia termasuk kategori pertama, seperti halnya
Amerika Serikat yang menganut semboyang Pluribus Unum (unity in
diversity) yang artinya sama Bhineka Tunggal Ika. Tetapi praktik-praktik
kebijakan publik di masa ialu - - sebelum terjadi reformasi - - cendrung pada
yang kedua; dan sekarang Indonesia sedang kembali kepada kategori yang
pertama. Kalau Indonesia adalah negara yang mengakui plurarisme budaya,
maka negara ini adalah tempat yang .aman bagi siapa pun yang berlainan
budayanya, termasuk juga agamanya.

Sejalan dengan kategori-kategori di atas, Berry dkk. (1999) membedakan


"masyarakat plural yang berkebudayaan majemuk" dan "masyarakat plural
yang tidak berkebudayaan majemuk". Kategori yang disebut pertama adalah
masyarakat yang memiliki banyak tradisi budaya dan pemerintahannya
mengembangkan kebijakan yang mengarah pada pemeliharaan mesing-masing
tradisi budaya yang beragam itu. Kategori kedua cendrung mengembangkan
kebijakan yang menjurus pada penciptaan homogenitas budaya dengan
menghindarkan kekhasan pada budaya kelompok etnis/ras. Arah kebijakan
politik Indonesia pada era 1970-an dan 1980-an cendrung mengikuti kategori
kedua, padahal ralitas kultural dan semboyan bangsa Indonesia (Bhineka
tunggal Ika) berada pada kategori pertama (Setiadi, 1999).

7
2.4 Dari Amilasi Ke Multikulturalisme
Multikulturalisme sebagai sikap, praktik sosial, dan kebijakan pemerintah
dewasa ini diterima di banyak negara sebagai sesuatu yang penting, bahkan
menjadi semacam "ideologi" dalam pengembangan kebudayaan dan upaya
menciptakan masyarakat yang sehat. Sebagaimana dikemukakan oleh Berry
dkk. (1998), multikulturalisme pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan
suatu konteks sosiopolitik yang memungkinkan individu dapat
mengembangkan identitas yang sehat dan secara timbal balik mengembangkan
sikap-sikap antar kelompok yang positif. Namun jalan menuju pengakuan
tersebut adalah sebuah pendakian yang terjal dan sikap terhadap realitas
multikultural masyarakat/bangsa mengalami perkembangan sepanjang sejarah.
Di masa lalu, multikulturalisme dipandang sebagal sesuatu yang tidak
berguna, dan pandangan yang anti-pluralisme itu justru berkembang di negara-
negara Barat. Bahkan John Dewey (West- brook, 1991) menganggap
multikulturalisme hanya menciptakan garis pemisah yang kaku antar-
kelompok dalam masyarakat. Karena itu, apa yang seharusnya terjadi adalah
asimilasi.
Meskipun setiap negara memiliki problematiknya masing-masing dalam
menyikapi isu-isu pluralisme etnik dan budaya, ada kesamaan di banyak
negara dalam hal kecendrungannya yang mengarah pada kebijakan
multikultural. Beberapa contoh dikemukakan berikut ini. Pada tahun 1971,
Kanada mengubah kebijakan asimilasinya menjadi kebijakan multikultural.
Salah satu prinsip dasar yang dikembangkannya adalah "terpisah tetapi sama"
(separate but equal), sebagaimana terjadi pada keturunan inggris dan Perancis.
Australia menempuh jalan yang sama. Pada akhir tahun 1960- an, Menteri
imigrasi Ausiralia menyapaikan, "Kita harus mempunyai budaya tunggal" .
Saya begitu yakin bahwa kita mesti memiliki suatu monokultur, dengan semua
orang yang tinggal di negeri ini memakai cara yang sama, saling memahami
satu sama lain, dan berbagi aspirasi yang sama. Kita tidak menginginkan
pluralisme. "Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1970- an, kebijakan negara
itu berubah. Pada tähun 1978 pemerintah Australia mengernukakan bahwa
"Australia merupakan masyarakat multikultural satu dari masyarakat paling

8
konsmopolit di dunia" (Berry dkk., 1999: 578). Kebijaksanaan yang sama
ditempuh di Swedia yang memaklumkan kebijakan multikultural pada tahun
1975.
Di antara negara-negara Eropa, Perancis adalah sebuah kasus. Secara
resmi, negara ini menyatakan menganut uniformitas dalam peradabannya
sebagaimana juga tampak pada sistem pendidikannya yang uniform. Hal ini
tercermin dalam kata-kata Edouard Balladur, mantan Perdana Menterinya,
"Anda harus mengerti bahwa peradaban Perancis adalah peradaban yang
menganut uniformitas, sedangkan peradaban Anglo-Saxon didasarkan pada
diversitas Jandt, 1993: 420. Akan tetapi, secara de facto negara ini sangat
menghargai pluralisme di dalam negaranya dan sangat apresiatif terhadap
kebudayaan-kebudayaan asll (indigenous cultures) di luar wilayahnya.
Di kawasan Asia, RRC contoh menarik. Ketika Revolusi Kebudayaan
dilancarkan pada tahun 1960-an, RRC di bawah Mao Tse Tung mengkam
panyekan semboyan, "Biarlah sejuta bunga tumbuh untuk menunjukkan
penghargaan pemerintah pada multikulturalisme. Akan tetapi kemudian
diketahui bahwa hal itu hanya untuk memancing apa yang disebut "musuh-
musuh Sosialisme", untuk menampakakan diri. Setelah "bunga-bunga itu
tumbuh", mereka dihabisi. Tibet dianeksasi dan pemimpin spiritualnya, Dalai
Lama, terpaksa melarikan diri dan tinggal di Dharmapala, India. Kebudayaan
Tibet dikikis habis, dan orang-orang Tibet pun secara sistimatis mengalami
Sinoisasi (pencinaan). Dewasa ini, Palun Gong (latihan spiritu Cina)
diperangi. Setelah lepas dari Inggris pada tahun 1997, Hong Kong setahap
demi setahap benar-benar menjadi Cina, dan menurut laporan terakhir, bahasa
Inggris makin ditinggalkan oleh masyarakat bekas kolo ni Inggris itu. Salah
satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus RRC (juga Uni Soviet di masa lalu)
ialah sukar bagi negara yang menganut ideologi sosialisme-komunisme yang
cendrung totaliter (Ballestrem, 1991; Shipler, 1984) untuk menerima ide
multikulturalisme.
Multikulturalisme adalah perkembangan lanjut dari kebijakan asimilasi
yang diterapkan di banyak negara di masa lalu. Asimilasi di dasari asumsi
bahwa keragaman harus ditekan seminimal mungkin, dan untuk terjadinya

9
integrasi sosial, maka elemen-elemen baru baik berupa kelompok etnik
minoritas maupun tradesi budaya yang masuk harus meleburkan diri ke dalam
arus budaya utama (biasanya budaya kelompok maycritas). Asimilasi akan
mengakibatkan ciri-ciri identitas budaya asal menjadi terkikis dan akhirnya
lenyap, sehingga generasi berikut tidak dapat lagi mengenali identitas aslinya.
Dengan merujuk pada kasus Eropa, Van Oudenhoven dan Willemsen (Berry
dkk., 1998: 580) mencatat, "Suatu konsekuensi dari asi-milasi lengkap adalah
suatu hampa budaya pada kelompok-kelompok minoritas boleh jadi
berkembang. Generasi kedua para imigran dengan cara tertentu boleh jadi
kehilangan akar etnik, kebahasaan dan keagamaan mereka; sementara belum
ada budaya maycritas pun yang dapat dijadikan akar pijakan". Keadaan inilah
yang oleh Emile Durkheim disebut "anomie". Ekspresi perilaku agresif dan
tak terkendali sebagian penduduk keturunan Afrika Utara di Eropa dan Afrika-
Hitam di Amerika Utara hingga tingkat tertentu dapat dipahami dari zudut
pandang tersebut.
Model integrasi sosial melalui kebijakan asimilasi apalagi dilakukan
secara paksa, terbukti banyak menemui kegagalan bila tidak diikuti penye
suaian psikologis antara pihak-pihak yang terlibat. Di Indonesia, menyusul
terjadinya peristiwa G-30S/PKI pada tahun 1965 yang menempatkan Kke
sebagai "aktor Intelektual"-nya, segala yang berbau Cina dilarang. Name nama
Cina harus diubah menjadi nama bernuansa Indonesia dengan hale an terjadi
adaptasi psikologis, meskipun untuk tidak kehilangan identitas aslinya, nama
baru itu selalu disertai nama alias dalam nama Cina; misal- nya Setiadi
Santoso alias Tjio Djin Tie. Hal serupa terjadi di Uni Soviet (se- belum
runtuh) yang memaksa penduduk di republik-republik "jajahannya" di
kawasan Asia Tengah yang mayoritas Muslim untuk mengadopsi nama yang
ke-Rusia-rusiaan, misalnya Ibrahim jadi Ibrahimov, Ali menjadi Aliya- nov.
Tapi nama saja tidak mengubah identitas budaya. Tatkala Uni Soviet ambruk
dan negara-negara bekas jajahannya menyatakan kemerdekaan, identitas
keislaman mereka tetap kuat, meskipun namanya masih belum berubah.
Begitu juga tiga negara sekitar Laut Baltik (Latvia, Lithuania, dan Estonia)
kembali menampilkan identitas Kristen Ortodoksnya. Benar kata Shakespeare,

10
"(Horatio), what is in a name" - "Horatio (tokoh dalam drama Hamlet), apalah
artinya sebuah nama". Kenyataan seperti ini pula antara lair. yang membuat
kebijakan asimilasi cendrung di tinggalkan dan beralih ke-kebijakan
multikultural.
Mengapa multikultural sebagai suatu sikap yang mengakui diversitas
budaya dikatakan maju? Sebab pendirian ini sesuai dengan watak dasar
kebudayaan (manusia) yang dalam dirinya melekat sifat-sifat keberagaman di
satu pihak dan kesamaan di pihak lain (Carrither, 1992).

2.5 Analisis Jurnal


Judul Jurnal :
PENGARUH PELAKSANAAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PADA
MATA PELAJARAN SEJARAH TERHADAP SIKAP PLURALIS SISWA
KELAS XI SMA NEGERI 2 PEKALONGAN TAHUN PELAJARAN
2017/2018.

Penulis : Wirasari, Bain, Atno Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Semarang,


Semarang-Indonesia

Nama Jurnal : Indonesian Journal of History Education.

Hasil dan Pembahasan :


Penulis dalam mendeskripsikan pengaruh pelaksanaan pendidikan
multikultural pada mata pelajaran sejarah terhadap sikap pluralis siswa kelas
XI SMA Negeri 2 Pekalongan mendapatkan data dari menyebar angket
kepada 162 siswa kelas XI, dengan variabel pelaksanaan pendidikan
multikultural terdiri dari 25 soal dan variabel sikap pluralis terdiri dari 22 soal.
Dalam membuktikan bahwa pelaksanaan pendidikan multikultural pada mata
pelajaran sejarah berpengaruh terhadap sikap pluralis siswa SMA Negeri 2
Pekalongan tahun ajaran 2017/2018 maka dilakukan uji prasyarat, regresi
linier sederhana, koefisien korelasi dan uji.

11
Tujuan akhir dari pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak
hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya
akan tetapi diharapkan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap
demokratis, pluralis dan humanis.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif, pelaksanaan pendidikan multikultural


pada mata pelajaran sejarah di SMA Negeri 2 Pekalongan dapat dikatakan
baik. Ini diperoleh dari hasil perhitungan angket yang telah diberikan kepada
162 responden. Dari angket pelaksanaan pendidikan multikultural diperoleh
skor rata-rata sebesar 80,31 dan masuk dalam kriteria baik. Kaitannya dengan
hal tersebut diatas, proses pelaksanaan pendidikan multikultural dalam
pembelajaran sejarah sangat membutuhkan kreatifitas guru dalam
menginternalisasikan nilai-nilai multikultural kepada siswa. Guru sejarah
SMA Negeri 2 Pekalongan memang tidak memiliki strategi atau metode
khusus untuk mengintegrasikan pendidikan multikultural dalam pembelajaran
sejarah, namun sebisa mungkin siswa diberikan pemahaman tentang
pentingnya menumbuhkan sikap saling menghargai, toleransi dengan
memberikan contoh penerapan pembelajaran di kelas yang mengedapankan
anak bisa menerima perbedaan.

12
BAB III
(PENUTUP)

3.1 Kesimpulan
Charlene E.Westgate mengemukakan ada empat dimensi "spiritual
wellness" yaitu: Meaning of life, Intrinsic value, Transcendence, dan
Community of shared values and support.

Konseling holistik merupakan pendekatan holistik yang melibatkan


berbagai aspek dan dimensi dalam prosesnya. Dengan demikian maka
konseling tidak hanya menyentuh aspek permukaan saja akan tetapi lebih
menyeluruh dan utuh sehingga penyelesaian suatu masalah dapat dilakukan
secara lebih komprehenslf dan dapat diselesalkan secara tuntas dan mendasar.

Multikulturalisme mengandung dua pengertian, yaitu: Pertama, ia


merupakan realitas sosial dalam masyarakat yang majemuk. Kedua,
multikulturalisme berarti keyakinan, sikap, atau kebijakan yang menghargai
pluraiisme budaya sebagai sesuatu yang harus dipelihara darn ditumbuhkan,
serta dianggap sebagai khazanah kebudayaan.

Monokulturalisme adalah pandangan bahwa keragaman budaya adalah


sesuatu tidak perlu, tidak bernilai, melelahkan, dan rawan politik, sehingga
budaya yang beragam itu pada akhirnya harus di arahkan. untuk menuju
budaya tunggal yang seragam (uniform) dengan melebur elemen-elemen
budaya yang beragam itu dengan mengikuti arus budaya mayoritas atau
memiliki kakuatan dominan dałam masyarakat. Monokulturalisme sebagai
sikap atau kepercayaan pada perlunya diciptakan uniformitas budaya tumbuii
dalanı masyarakat atau sistem pemerintahan toialiter dan monolitik yang tidak
toleran terhadap perbedaan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Putra, Anak Agung Ngurah Adhi. 2013. Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Wirasari, Bain, Atno. 2018. Pengaruh Pelaksanaan Pendidikan Multikultural Pada


Mata Pelajaran Sejarah Terhadap Sikap Pluralis Siswa Kelas XI SMA
Negeri 2 Pekalongan Tahun Pelajaran 2017/2018. Indonesian Journal of
History Education. 6 (1), 2018: p.76-88

14

Anda mungkin juga menyukai