Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KRITERIA

ORANG YANG MATANG BERAGAMA


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah : Psikologi Agama

Dosen Pengampu : Hj. Siti Ratnawati, M. Pd.

Disusun Oleh :

MBA ALFIATUN ()

SITI MARZUQOH (141219011)

ZAKIA ROSALIA SYAFIRA (141219013)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA TEGAL
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah untuk memenuhi tugas kuliah dari mata kuliah Psikologi
Agama dengan judul “KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Dosen
Pengampu yaitu Hj. Siti Ratnawati, M. Pd. yang telah membimbing dalam menulis makalah
ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Slawi, 24 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................................iii
BAB 1....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................................................1
C. TUJUAN....................................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. PENGERTIAN ORANG YANG MATANG BERAGAMA..................................................2
B. KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA........................................................3
C. CIRI-CIRI DAN SIKAP KEBERAGAMAN.........................................................................4
1. Diferensiasi yang Baik............................................................................................................5
2. Motivasi Kehidupan Beragama yang Dinamis........................................................................6
3. Pelaksanaan Ajaran Agama Secara Konsisten clan Produktif.................................................7
4. Pandangan Hidup yang Komprehensif....................................................................................7
5. Pandangan Hidup Yang Integral..........................................................................................8
6. Semangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan...............................................................8
D. TIPE-TIPE JIWA BERAGAMA............................................................................................8
1. Tipe Orang Yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)..........................................................................9
2. Tipe Orang Yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)..........................................................10
E. MISTISME DAN PSIKOLOGI AGAMA............................................................................11
1. Gaib......................................................................................................................................12
2. Magis....................................................................................................................................13
3. Kebatinan............................................................................................................................13

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian matang beragama?
2. Bagaimana kriteria orang yang matang beragama?
3. Bagaimana ciri-ciri dan sikap keberagaman orang yang matang beragama?
4. Bagaimana tipe-tipe jiwa beragama?
5. Bagaimana hubungan mistisisme dan psikologi agama?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian matang beragama.
2. Mengetahui kriteria orang yang matang beragama.
3. Mengetahui ciri-ciri dan sikap keberagaman orang yang matang beragama.
4. Mengetahui tipe-tipe jiwa beragama.
5. Mengetahui hubungan mistisisme dan psikologi agama.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ORANG YANG MATANG BERAGAMA


Menurut Allport (1953), kematangan beragama ialah watak keberagamaan yang
terbentuk melalui pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu sendiri akan membentuk
respon terhadap objek-objek atau stimulus yang diterimanya yang berupa konsep-konsep
dan prinsip-prinsip. Pada akhirnya, konsep dan prinsip-prinsip yang terbentuk dalam diri
individu tersebut akan menjadi bagian penting dan bersifat menetap dalam kehidupan
pribadi individu sebagai agama. Jika pada suatu saat keberagamaan individu sudah
matang, maka kematangan beragama itulah yang akan mengarahkan individu untuk
bersifat dan bersikap terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, dan memberi arah dalam
menuju kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktek. Dalam upaya pencapaian
kematangan beragama pada diri individu, peran kedewasaan, kematangan, dan
kemampuan dalam memahami makna, baik yang tersirat maupun yang tersurat dengan
bersandar pada sendi agama, menjadi faktor yang cukup menentukan. Dengan begitu,
setiap fakta atau nilai yang ditawarkan oleh lingkungan tidak akan diserapnya begitu saja,
tetapi tetap melalui proses pencernaan makna dan proses penyaringan yang selektif.1
Pengalaman supranatural dan religius juga tidak dapat diabaikan sebagai faktor
yang turut berperan dalam membentuk pribadi yang memiliki kematangan beragama.
Mencapai kematangan beragama yang ideal bukanlah suatu usaha yang mudah seperti
layaknya membalikkan telapak tangan. Harus diingat pula, bahwa antara kehidupan
beragama yang matang dibandingkan dengan yang tidak matang tidak dapat begitu saja
dipandang sebagai dua hal yang saling bertolak belakang, tetapi layak untuk dipandang
sebagai yang berproses dan berkesinambungan. Hal ini dipertegas oleh Subandi (1995)
yang mengungkapkan bahwa perkembangan keberagamaan seseorang merupakan proses
yang tidak akan pernah selesai.
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak
pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku
merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi kematangan beragama terlihat dari
kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai
luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama

1
Emma Indirawati, “Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan Strategi
Coping”, Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2, Desember2006, hal. 74-75.
2
karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Keyakinan itu
ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan
terhadap agamanya.
Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa kematangan beragama ialah
keberagamaan yang terbuka pada semua fakta, nilai-nilai, serta memberi arah pada
kerangka hidup, baik secara teoritis maupun praktis dengan tetap beipegang teguh pada
ajaran agama yang diyakini.

B. KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA


Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan
perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis.
Puncak perkembangan yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya
perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian
tingkat ablitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).2
Seorang anak yang normal, dalam usia tujuh tahun (jasmani) umumnya sudah matang
untuk sekolah. Maksudnya di usia tersebut anak-anak yang normal sudah mampu
mengikuti program sekolah. Di usia itu anak-anak sudah dapat menahan diri unutk
mematuhi peraturan dan disiplin sekolah serta sudah memiliki kemampuan untuk dapat
mengikuti pengajaran yang diberikan kepadanya. Anak-anak yang normal memiliki
tingkat perkembanagan yang sejajar anatara jasmani dan rohaninya.
Tetapi dalam kenyataan sehari-hari tak jarang dijumpai ada anak-anak yang
memiliki perkembangan jasmani dan rohani yang berbeda. Terkadang secara jasmani
perkembangannya sudah mencapai tingkat usia kronologis tertentu, namun belum
memiliki kematangan yang seimbang dengan tingkat usianya. Anak-anak seperti ini
disebut dengan anak yang mengalami keterlambatan perkembangan rohaninya, yang
kebanyakan disebabkan hambatan mental (mental handicapped). Sebaliknya ada anakanak
yang perkembangan rohaninya mendahului perkembanagn jasmaninya. Anak-anak seperti
ini dinamai anak yang mengalami percepatan kematangan, yang umumnya dikarenakan
adanya kemampuan bakat tertentu yang istimewa (gifted children). (Jalaludin, 2012)
Seperti halnya dalam tingkat perkembangan di usia anak-anak, masa
perkembangan kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan kematanagan
rohani. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan
memiliki pula kematangan rohani seperti kematanagn berpikir, kematanagn kepribadian

2
Surawan, dan Dr. H. Mazrur, Psikologi Perkembangan Agama : Sebuah Tahapan Perkembangan
Agama Manusia (Yogyakarta: K Media, 2020), hal. 105.
3
maupun kematangan emosi. Tetapi perkembangan antara kedewasaan jasmani dan
kematangan rohani ini adakalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang
mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang. Keterlambatan
percapaian kematangan rohani ini menurut ahli psikologi pendidikan sebagai
keterlambatan dan perkembangan kepribadian.
Kematangan dalam beragama, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami,
menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam
kehidupan sehari-hari. Jika ia menganut suatu agama karena menurut keyakinanya. Maka
keyakinan tersebut ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang
mencerminkan ketaatan terhadap agama.
Kemudian William James mengatakan adanya hubungan antara tingkah laku
keagamaan seseorang dipengaruhi oleh dorongan pengalaman keagamaan yang
dimilikinya (Zulkarnain, 2019). Menurut William James yang dianggap sebagai bapak
psikologi agama memberikan kriteria orang yang beragama matang sebagai berikut:3
1. Kesadaran akan eksistensi Tuhan, maksudnya adalah bahwa orang yang bergama
matang selalu tersambung hati dan pikirannya dengan Tuhan. Karena selalu
tersambung dengan Tuhan, perilaku orang yang beragama matang akan melahirkan
kedamaian, ketenangan batin yang mendalam dan terhindar dari keburukan-keburukan
hidup.
2. Kedekatan dengan Tuhan dan penyerahan diri pada Nya. Kesinambungan dengan
Tuhan (terjadi keselarasan yang pada gilirannya dapat mengontrol egonya sehingga
menciptakan keramahan dan persahabatan antar sesama. (Yulika dan Kiki, 2017)
3. Penyerahan diri sebagaimana dalam poin kedua sehingga melahirkan rasa bahagia dan
kebebasan.
4. Mengalami perubahan dari emosi menjadi cinta dan harmoni. (Faiz, 2014)

C. CIRI-CIRI DAN SIKAP KEBERAGAMAN


Walter Houton Clark mengartikan kematangan beragama sebagai pengalaman
keberjumpaan batin seseorang dengan Tuhan yang pengaruhnya dibuktikan dalam
perilaku nyata hidup seseorang. Kematangan beragama dalam konsepnya yang ideal
meniscayakan suatu kesadaran ketuhanan (God awareness) atau realitas kosmis lain, yang
tercermin dalam pengalaman “ke dalam” dan terekspresi “ke luar”. Adapun ciri-ciri dari
keberagamaan yang matang adalah sebagai berikut:
1. Lebih kritis, kreatif, dan otonom dalam beragama.
3
Ibid,…, hal. 108.
4
2. Keberagamaan matang memperluas perhatiannya terhadap hal-hal di luar dirinya.
3. Keagamaan matang tidak puas semata-mata dengan rutinitas ritual dan verbalisasinya.

Selain dari pernyataan Clark salah satu ilmuan psikologi yaitu Gordon Allport juga
menyertakan tentang beberapa ciri yang ada pada individu yang memiliki kematangan
beragama. Ciri-ciri tersebut ialah:4
1. Diferensiasi yang Baik
Differensiasi berarti semakin bercabang, makin bervariasi, makin kaya dan
makin majemuk suatu aspek psikis yang dimiliki seseorang. Semua pengalaman, rasa
dan kehidupan beragama makin lama semakin matang, semakin kaya, kompleks dan
makin bersifat pribadi. Pemikirannya makin kritis dalam memecahkan pelbagai
permasalahan yang dihadapi berlandaskan ke-Tuhanan. Penghayatan yang
berhubungan dengan Tuhan makin dirasakan bervariasi dalam pelbagai suasana dan
nuansa. Dalam kesendiriannya; ia mencari dan merasakan kerinduan kepada Tuhan.
Perasaan, penghayatan, pemikiran, kemauan dan keinginan yang bergolak pada situasi
dan kondisi yang berbeda tersebut merupakan differensiasi kesadaran beragama.
Harapan akan surga dan keridhaan Tuhan, kecemasan dan ketakutan terhadap api
neraka dan siksaan Tuhan, cinta kasih terhadap sesama pemeluk agama serta
kebencian terhadap hawa nafsu dan godaan syetan, kesemuanya itu merupakan hasil
differensiasi kesadaran beragama yang terpolakan ke dalam suatu sistem mental.
Kesadaran beragama yang terdifferensiasi merupakan perkembangan
tumbuhnya cabang-cabang baru dari pemikiran kritis, alam perasaan dan motivasi
terhadap pelbagai rangsangan lingkungan serta terjadinya reorganisasi yang terus-
menerus. Mulai dari peniruan dan identifikasi terhadap kehidupan Rasulullah saw.
Sebagai uswah hasanah, meneladani kesantunan orangtua maupun kehebatan tokoh
agama yang diidolakan, sosialisasi dengan masyarakat sekitamya, timbulnya
pemikiran-pemikiran dan pengolahan sendiri melalui pengalaman keagamaan,
akhirnya bercabang dan beranting menjadi kesadaran beragama yang kaya dan
rimbun.
Kesadaran beragama yang tidak terdifferensiasi menunjukkan sikap dan
tingkah laku keagamaan yang tidak kritis, statis dan menerima nasib. Ia menerima
ajaran agama tanpa pengolahan serta mempercayai begitu saja, apa yang diutarakan
oleh guru maupun tokoh agama. Ia merasa puas terhadap keimanan yang dimilikinya.
Kesadaran beragama yang tidak terdifferensiasi nampak sederhana, miskin wawasan,
kurang kritis, kurang dinamis dan kurang terintegrasi di dalam kepribadiannya.
4
Mulyono, “Kematangan Jiwa Beragama”. Ulul Albab, Vol. 9 No. 1, 2008, hal. 105-116.
5
Sikapnya bersifat reaktif, tidak lentur, mudah terbawa arus atau masa bodoh terhadap
situasi sosial politik kemasyarakatan dan perubahan lingkungan. Seringkali nampak
adanya kebencian, dengki, hasud, iri hati, kecemasan, prasangka terhadap suku dan
agama lain sebagai akibat tidak tersalurkan atau penekanan konflik batin ke alam
bawah sadar serta tidak terolahnya permasalahan, pertentangan dan perbedaan paham
yang dijumpai dalam kehidupan seharihari. Sebaliknya, kesadaran beragama yang
terdifferensiasi menunjukkan sikap dan tingkah laku yang kaya, matang, kritis dan
fleksibel sebagai wama dari pengalaman keagamaan yang semakin luas.
2. Motivasi Kehidupan Beragama yang Dinamis
Dorongan psikologis, seperti kebutuhan akan kasih sayang, pengembangan
diri, rasa ingin tahu, harga diri dan sebagainya. Dalam realitas kehidupan beragama,
sering ditemukan banyak pemuda-pemudi aktif mendekatkan diri kepada Tuhan dikala
memiliki pengharapan jatuh cinta pada lawan jenisnya, atau mereka mengharapkan
agar Tuhan memberikan jodoh yang baik. Banyak hasil observasi menunjukkan bahwa
para pelajar maupun mahasiswa akan lebih disiplin beribadah di saat-saat mendekati
ujian, tetapi mereka akan mengurangi bahkan melupakannya di saat ujian sudah
berlalu. Demikian juga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis yang lain.
Kebutuhan sosial, seperti ingin populer, agar diterima oleh suatu kelompok
maupun ambisi pribadi akan kebutuhan kekuasaan juga seringkali menjadi motif
seseorang ataupun kelompok lebih intens melakukan kehidupan beragama. Banyak
ditemukan di lapangan, bahwa karena terdorong oleh ambisi-ambisi pribadi, seseorang
aktif melakukan kegiatan · sosial keagamaan di masyarakat seperti menj adi takmir
masjid a tau membangun madrasah dan panti asuhan. Agar diterima di lingkungannya
yang bemuansa agamis, tak sedikit orang aktif mengikuti kegiatan keagamaan seperti
tahlil/yasin walaupun dalam kehidupan sehari-hari tak pemah shalat.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut jika mendapat pemuasan dalam kehidupan
beragama dapat menimbulkan dan memperkuat motivasi keagamaan yang lama-
kelamaan akan menjadi otonom (mandiri), yaitu orang akan termotivasi untuk
beribadah, baik didorong oleh kebutuhan atau tidak. Derajat otonom dalam bahasa
agama sering disebut beribadah yang dilandasi niat "ikhlas" yang artinya "mumi"
beribadah karena ingin melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba yang baik
serta hanya mengharapan ridha-Nya. Derajat kekuatan motifberagama itu sedikit
banyak dipengaruhi oleh pemuasan yang diberikan oleh agama, makin kokoh dan
makin otonom motif tersebut. Akhimya merupakan motif yang berdiri sendiri dan
secara konsisten serta dinamis mendorong manusia untuk bertingkah laku keagamaan.
6
Salah satu perbedaan penting antara orang yang memiliki kesadaran beragama yang
matang dengan orang yang belum matang terletak pada derajat otonomi motivasi
keagamaannya.
Bila kesadaran beragama telah menjadi pusat sistem mental kepribadian yang
mantap, maka ia akan mendorong, mempengaruhi, mengarahkan, mengolah serta
mewamai semua sikap dan tingkah laku seseorang. Peranan kesadaran beragama itu
merasuk ke dalam aspek mental lainnya. Tanggapan, pengamatan, pemikiran, perasaan
dan sikapnya akan diwamai oleh rasa keagamaan
3. Pelaksanaan Ajaran Agama Secara Konsisten clan Produktif
Tanda ketiga kesadaran beragama yang matang terletak pada konsistensi atau
keajegan pelaksanaan hidup beragama secara bertanggung jawab dengan mengerjakan
perintah agama sesuai kemampuan clan berusaha secara maksimal meninggalkan
larangan-larangan-Nya. Pelaksanaan kehidupan beragama atau peribadatan merupakan
realisasi penghayatan ke-Tuhanan clan keimanan. Pengertian ibadah mencakup
pelaksanaan aturan, hukum, ketentuan, tata cara, perintah, kewajiban, clan larangan
dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, masyarakat, dan alam. Ibadah yang
menekankan realisasi hubungan manusia dengan Tuhan, sering disebut ibadah dalam
arti khusus. Formalitas, tata cara dan peraturan ibadah khusus telah ditentukan oleh
Tuhan melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi sehingga tidak boleh diubah
atau dimodifikasikan. Ibadah dalam arti luas mencakup seluruh kehendak, cita-cita,
sikap, dan tingkah laku manusia berdasarkan penghayatan ke-Tuhanan disertai niat
atau kesengajaan dengan ikhlas karena dan demi Allah. Orang yang memiliki
kesadaran beragama yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten,
stabil, mantap dan penuh tanggung jawab dan dilandasi wama pandangan agama yang
luas. Tiada kebahagiaan yang lebih mulia daripada kewajiban melaksanakan perintah
agama secara konsisten (istiqamah).
4. Pandangan Hidup yang Komprehensif
Kepribadian yang matang memiliki filsafat hidup yang utuh dan komprehensif.
Keanekaragaman kehidupan dunia harus diarahkan pada keteraturan. Keteraturan ini
berasal dari analisis terhadap fakta yang ternyata mempunyai hubungan satu sama
lain. Fakta yang perlu dicari kaidahnya itu bukan hanya benda materi, akan tetapi
keteraturan itu meliputi pula alam perasaan, pemikiran, motivasi, norma, nilai-nilai
kemasyarakatan dan nilai-nilai kehidupan rohaniah. Manusia memerlukan pegangan
agar dapat menentukan pilihan tingkah lakunya secara pasti.

7
Agama seperti juga filsafat mampu memberikan jawaban, keteraturan dan
hukum/kaidah secara rasional dan logis. Bahkan agama lebih luas dan lebih mendalam
daripada filsafat, karena agama tidak hanya memberikan pegangan hidup yang logik
dan rasional saja, akan tetapi memberikan pula dinamika penyaluran dan kepuasan
bagi dorongan emosional. Agama memberikan jawaban terhadap masalah kematian,
hid up sesudah mati, alam akhirat dan rasa ke-Tuhanan. Agama memberikan dorongan
dan motivasi lebih kuat dan lebih bermakna terhadap semangat dan arti hidup.
5. Pandangan Hidup Yang Integral
Kesadaran beragama yang matang ditandai adanya pandangan hidup yang
komprehensif yang dapat mengarahkan dan menyelesaikan berbagai permasalahan
hidup. Fi1safat hidup yang komprehensifitu meliputi berbagai pola pandangan,
pemikiran dan perasaan yang luas. Di samping komprehensif, pandangan dan
pegangan hidup itu harus terintegrasi, yakni merupakan suatu landasan hidup yang
menyatukan hasil differensiasi aspek kejiwaan yang meliputi fungsi kognitif, afektif
dan psikomotorik. Dalam kesadaran beragama, integrasi tercermin pada keutuhan
pelaksanaan ajaran agama, yaitu keterpaduan antara Islam (amal shaleh), keimanan
(keyakinan dan pemikiran) serta ihsan (perasaan/kalbu). Pandangan hid up yang
matang bukan hanya keluasan cakupannya saja, akan tetapi mempunyai landasan
terpadu yang kuat dan harmonis.
6. Semangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan
Ciri terakhir dari orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang ialah
adanya semangat mencari kebenaran, keirnanan, rasa ke-Tuhanan dan cara-cara
terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan alam sekitar. la selalu menguji
keimanannya melalui pengalaman-pengalaman keagamaan sehingga menemukan
keyakinan lebih tepat. Peribadatannya selalu dievaluasi dan ditingkatkan agar
menemukan keledzatan ibadah dan kesyahduan penghayatan "kehadiran" Tuhan.
Walaupun demikian ia masih merasakan bahwa keimanan dan peribadatannya, belum
sebagaimana mestinya dan belum sempuma.

D. TIPE-TIPE JIWA BERAGAMA


Sikap beragama merupakan suatu tingkah laku seseorang dalam meyakini apa
yang dianutnya. Di dalam sikap beragama ada beberapa komponen yaitu: komponen
kognitif dan komponen efektif. Dimana kedua komponen ini tidak bisa dipisahkan karena
keduanya selalu berintegrasi dan kompleks. Dalam hal ini, Zakiah Dradjat (1988)
berpendapat bahwa sikap beragama merupakan perolehan bukan bawaan. Hal ini
8
dikarenakan seseorang tersebut memperolehnya melalui pengalaman-pengalaman yang
didapatnya dan juga beberapa faktor seperti faktor lingkungan, sosial, budaya, orang tua
dan lainnya. Meski sikap beragama itu bukan dari bawaan, namun bisa dipastikan bahwa
yang membuat seseorang tersebut memiliki sikap beragam ialah orang terdekatnya seperti
orang tua, saudara dan lain-lain. Dikarenakan dari sejak kecil orang tuanyalah yang
berperan penting dalam pembentukakan tingkah lakunya. Sikap beragama, setiap orang
memiliki sikap yang berbeda (Khaironi, 2017).
Menurut William James berpendapat bahwa ada dua yang menunjukkan tipe sikap
orang beragama, yaitu:
1. Tipe Orang Yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James orang yang sakit jiwa ini ditemui karena terganggunya
jiwa dalam beragama. Maksudnya, pada saat beragama dan memenuhi ajarannya
tetapi tidak sesuai dengan kematangannya dalam beragama yang sebagaimana
mestinya berkembang dari kecil hingga dewasa. Bisa dikatakan hal itu dikarenakan
beragama diakibatkan adanya rasa kesedihan batin yang mana disebabkan oleh
musibah, maupun lainnya yang sulit untuk diungkapkan. Dalam hal itulah yang
menyebabkan seseorang berubah atau berbeda dalam meyakini agama. Sehingga
terkadang menunjukkan seseorang tersebut berada pada sifat yang sangat fanatik
dalam meyakini suatu hal gaib yang memiliki kekuatan besar.
Adapun ciri-ciri tindakan keagamaan yang memiliki kelainan kejiwaan,
cenderung mimiliki sikap sebagai berikut:
a. Pesimis
Mereka cenderung lebih pasrah diri dalam beribadah atau beragama.
Segala penderitaan yang mereka alami menyebabkan mereka lebih taat kepada
Allah swt. Adapun penderitaan dan nikmat yang mereka terima merupakan azab
dan juga rahmat yang diberikan Tuhan yang mana sesuai dengan apa yang mereka
yakini.
b. Introvert
Penderitaan dan bahaya yang mereka peroleh itu merupakan masalah yang
diakibatkan oleh dosa yang mereka perbuat. Dari situlah mereka mendekatkan diri
kepada sang pencipta melalui penyucian diri. Adapun hal yang dilakukan biasanya
ialah bermeditasi, yang mana hal ini menjadi pilihan yang dirasan tepat olehnya.
c. Menyenangi Paham Ortodoks

9
Akibat pengaruh dari sikap pesimis dan introvert, kehidupan seseorang
akan menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi keyakinan
agama yang konservatif dan ortodoks.
d. Mengalami Proses Keagamaan Secara Graduasi
Munculnya kesadaran beragama tentunya tidak melalui proses yang biasa.
Bisa jadi dalam hal ini keyakinan beragama tersebut mereka peroleh melalui
proses pendekatan diri yang mana bisa jadi diakibatkan rasa berdosa maupun
petunjuk dari Tuhan. Yang mana sebelumnya tidak tahu menjadi tahu lalu
pengetahuan tersebut diamalkannya dengan perbuatan. Jadi sikap beragama yang
timbul dikarenakan adanya pendadakan ataupun terjadinya perubahan yang tiba-
tiba.5
2. Tipe Orang Yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Di atas telah dibahas tentang jiwa yang sakit, selanjutnya ciri-ciri jiwa yang
sehat adalah:
a. Optimis dan Gembira
Orang yang sehat dalam beragama menimbulkan rasa optimis pada
seseorang tersebut. Mereka percaya bahwa pahala yang didapat ialah merupakan
pemberian Tuhan atas perbuatan yang mereka lakukan. Adapun musibah yang
didapat itu merupakan akibat dari keteledoran mereka terhadap apa yang harus
dilakukan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan itu adalah maha pengasih lagi maha
penyayang bukan malah memberi azab. Dalam hal ini orang yang jiwanya sehat
akan merasakan ketenangan dan selalu berpikir positif terhadapa apa yang
ditimpanya.
b. Ekstrovet dan Tak Mendalam
Orang yang berjiwa sehat akan merasa bahwa hal yang buruk telah terjadi
alangkah baiknya untuk dilupakan. Mereka kan keluar dan melupakan ajaran-
ajaran agama yang dulu menuju kebaikan. Mereka senang akan kemudahan dan
belajar agama. Sebagi akibatnya mereka kurang senang memperdalam agama.
Adapun dosa yang didapat adalah akibat dari perbuatan yang tak lazim.
c. Menyenangi Ajaran Ketauhidan yang Liberal
Mereka cenderung mempelajari teologi yang luwes dan tidak kaku,
menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas, menekankan ajaran cinta
kasih daripada kemurkaan dan dosa, mempelopori pembelaan terhadap

5
Surawan, M.S.I. dan Dr. H. Mazrur, M.Pd., Psikologi Perkembangan dan Agama… hal. 115-116.
10
kepentingan agama secara sosial, tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan
hidup kebiaraan, bersifat liberal dalam penafsirkan pengertian ajaran agama.6

E. MISTISME DAN PSIKOLOGI AGAMA


Mistisisme merupakan salah satu sisi dan pokok bahasan dalam psikologi Agama.
Mistisisme dijumpai dalam semua agama, baik agama Teistik (Islam, Kristen, Yahudi)
maupun dikalangan mistik non teistik (misalnya penganut agama Budha). Baik tokoh
mistek teistik maupun non teistik sependapat mengenai arti penting pengalaman
yangmereka anggap sebagai murni terhadap salah satu aspek realitas, meskipun barang
kali mereka berbeda jauh dalam pernyataan verbal yang mereka kemukakan mengenai apa
yang mereka persipsi itu.7
Pendefinisian istilah mistisisme telah menjadi salah satu isu yang kontroversial
dalam kajian modern tentang mistisisme. Secara umum diketaui bahwa Kata mistisisme
berasal dari kata mysterion dalam bahasa Yunani yang berarti rahasia. Sehingga dalam
bahasa Indonesia timbul kata misteri dan misterius yang berarti rahasia atau sesuatu yang
tersembunyi (Wahidi, 2013). Namun, ada beberapa penulis menggunakan istilah tersebut
dengan merujuk pada subjek yang beralainan, berikut ini akan dijelaskan beberapa definisi
mistisme menurut para ahli.
Menurut Harun Nasution mistisme yang dalam Islam adalah tasawuf disebut
sufisme. Sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk
sebutan mistisisme Islam. Sebagaimana halnya mistisme, tasawuf atau sufisme
mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
disadari benar bahwa seseorang berada di hadriat Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran
akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan
mengasingkan diri dan berkontemplasi.8
Menurut William James ada empat ciri dari mistisisme yaitu sebagai justifikasi
dalam menentukan suatu pengalaman mistis. Dua diantara ciri pertama adalah “tidak
terbahaskan” (ineffability) dan “kualitas bermutan intelektual” (noetic quality) mencirikan
segala situasi yang dapat disebut mistis. Sisanya “sifat sementara” (transciency) dan

6
Ibid.,…, hal. 117.
7
Robert Henry, Thouless, An Introduction to the Psychology of Religion (New York: The Macmillan
company, 1923), hal. 219.
8
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 56.
11
“kefasifan” (passivity) atau peran fasik sang mistikus yang hanya menerima pengalaman
mistis. Menjadi ciri yang tidak menentukan namun seringkali ditemukan.
Ciri khas mistisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah
kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran
yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai
“kemanunggalan” (pengalaman menyatu dengan Tuhan). Kondisi ini digambarkan oleh
mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.
Kondisi kesadaran serupa juga dialami oleh tokoh mistik nonteisik (kalangan para
penganut Budha). Namun baik tokoh mistik teistik maupun nonteisik akan sependapat
mengenai arti penting pengalaman yang mereka anggap sebagai presepsi murni terhadap
salah-satu aspek realitias, meskipun barangkali mereka berbeda jauh dalam penyataan
herbal yang mereka gunakan ketika mengemukakan mengenai apa yang mereka
presepsikan (Thouless, 2001).
Kondisi kesadaran mistik seperti ini diperoleh melalui kontemplasi dan
pengasingan diri dari kehidupan sosial. Mistisme dalam kajian psikologi agama dilihat
dari hubungan sikap dan prilaku agama dengan gejala kejiwaan yang melatar
belakanginya. Jadi bukan dilihat dari absah tidaknya mistisme itu berdasarkan pandangan
agama masing-masing. Dengan demikian mistisme menurut pandangan psikologi agama,
hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejalagejala kejiwaan tertentu yang terdapat
pada tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut.
Mistisme merupakan gejala umum yang terlihat dalam kehidupan tokoh-tokoh mistik,
baik yang teistik maupun nonteistik. Arti penting mistisisme bagi psikologi agama adalah
bahwa ia merupakan rangsangan kreatif dalam pemikiran agama. Tokoh mistik mengakui
pengalaman-pengalamannya sebagai bentuk pengetahuan langsung mengenai realitas-
realitas ketuhanan yang cenderung menjadikannya sebagai inovator dalam agama: Santo
Paulus, Fox dan Nabi Muhammad SAW, semuanya melakukan perubahanperubahan
drastis dalam tradisi keagamaan yang mereka warisi (Thouless, 2001).
Kondisi kesadaran akan adanya pengalaman menyatu dengan Tuhan, atau istilah
umumnya disebut dengan kemanunggalan ini tampaknya memang sudah dialami tokoh-
tokoh mistik zaman kuno. Ada beberapa halhal yang termasuk kategori mistisisme, yaitu:
9

1. Gaib
Ilmu gaib yang dimaksud disini adalah cara-cara dan maksud menggunakan
ketentuan-ketentuan yang diduga ada di alam gaib, yaitu yang tidak dapat diamati oleh
9
Surawan, M.S.I. dan Dr. H. Mazrur, M.Pd., Psikologi Perkembangan dan Agama… hal. 121-123.
12
rasio dan pengalaman fisik manusia. Kekuatan-kekuatan gaib ini ini di percayai di
tempat-tempat tertentu, pada benda-benda (pusaka) ataupun berada dan menjelma
dalam tubuh manusia. Sejalan dengan kepercayaan tersebut timbullah fetis, tempat
keramat dan dukun sebagai wadah dari kekuatan gaib. Berdasarkan fungsinya
kekuatan gaib itu dibagi menjadi:
a. Kekuatan gaib hitam (black-magic) mempunyai pengaruh jahat,
b. Kekutan gaib merah (red-magic), untuk melumpuhkan kekuatan atau kemauan
orang lain (hypnotism),
c. Kekuatan gaib kuning (yellow-magic), untuk praktek occultism,
d. Kekuatan gaib putih (white-magic), untuk kebaikan.
2. Magis
Magis ialah suatu tindakan dengan anggapan, bahwa kekuatan gaib bisa
mempengaruhi duniawi secara nonklutus dan nonteknis berdasarkan kenangan dan
pengalaman. Orang mempercayai bahwa karenanya orang dapat mencapai suatu
tujuan yang diinginkannya dengan tidak memperlihatkan hubungan sebab akibat
secara langsung antara perbuatan dengan hasil yang diinginkan. Untuk menjelaskan
hubungan antara unsur-unsur kebatinan ini kita pertentangan magis ini dengan
masalah lain yang erat hubungannya:
a. Magis dan takhayul. Orang percaya bahwa untuk membunuh seseorang dapat
dipergunakaan bagian dari tubuh orang yang di maksud. Misalkan untuk
membunuh musuh dengan membakar rambut atau kukunya. Tindakan membunuh
dengan membakar rambut dan kuku agar seseorang mati (magis) dan penggunaan
rambut dan kuku sebagai alat pembunuh (takahyul).
b. Magis dan ilmu gaib. Jika kita pergunakan contoh di atas, maka mempercayai
kemampuan membunuh dengan menggunakan kemampuan rambut dan kuku
melalui suatu proses pengolahan tertentu secara irasional tergolong ilmu gaib.
c. Magis dan kultus. Jika dihubungkan denga kultus maka magis merupakan
perbuatan yang dianggap mempunyai kekuatan memaksa kehendak kepada
supernatural (Tuhan). Kultus merupakan perbutan yang terbatas pada mengharap
dan meempengaruhi supernatural (Tuhan).
3. Kebatinan
Menurut pendapat Djojodiguno berdasarkan hasil penelitiannya di Indonesia,
aliran kebatinan dapat dibedakan menjadi:

13
a. Golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia dengan Tuhan
selama manusia itu masih hidup agar mansia itu dapat merasakan dan mengetahui
hidup di alam yang baka sebelum manusia itu mengalami mati.
b. Golongan yang hendak menggunakan kekuatab gaib untuk melayani berbagai
keperluan manusia (ilmu gaib).
c. Golongan yang berniat mengenal Tuhan (selama manusia itu masih hidup) dan
menebus dalam rahasia ke-Tuhanan sebagai tempat asal dan kembalinya manusia.
d. Golongan yang berhasrat untuk menempuh budi luruh di dunia serta berusaha
menciptakan masyarakat yang saling harga menghargai dan cintai mencintai
dengan senantiasa mengindahkan perintah-perintah Tuhan.

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

15
DAFTAR PUSTAKA

Allport, Gordon W. The Individual and his Religion. New York: Macmillan Company. 1967.

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004.

James, William. The Varieties of Religious Experience: Pengalaman Religius. Penerjemah,


Luthfi Anshari. Yogyakarta: Jendela, Cetakan I. 2003.
Indirawati, Emma. “Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan
Strategi Coping” Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2. 2006. Dalam
https://media.neliti.com/media/publications/128422-ID-hubungan-antara-kematangan-
beragama-deng.pdf diakses pada tanggal 25 Oktober 2021.

Mubarak, Ahmad Zakki. “Perkembangan Jiwa Agama” Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI
Kalimantan Volume 12 No. 22. 2014.
Mulyono. “Kematangan Jiwa Beragama” Jurnal Ulul Albab, Vol. 9 No. 1. 2008. dalam
file:///C:/Users/User/Downloads/6225-16970-1-SM%20(2).pdf diakses pada tanggal
13 Oktober 2021.

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1996.

Surawan, dan Dr. H. Mazrur. Psikologi Perkembangan Agama : Sebuah Tahapan


Perkembangan Agama Manusia. Yogyakarta: K Media. 2020.

Thouless, Robert Henry. An Introduction to the Psychology of Religion. New York: The
Macmillan company. 1923.

16

Anda mungkin juga menyukai