Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Hubungan Psikologi Agama Dengan Tasawuf


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Agama
Dosen pengampu:
M.E Abdurahman, M.Pd

Disusun Oleh:
Septiana Gumelar
Yudi Maulidin

PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH

STAI RIYADHUL JANNAH SUBANG

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah swt. keharibaan serta pengakuan yang tak terhingga kepada-
nya yang telah memberikan rahmat dan hidayah serta 'inayah-nya kepada kita semua sehingga
kita dapat mengikuti mata kuliah secara rutin setiap minggu pada mata kuliah Psikologi Agama
yang dilaksanakan setiap hari rabu. Kemudian shalawat dan salam tidak lupa sepanjang zaman
dan sampai akhir zaman kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. yang sampai saat ini
kita masih menjalankan visi dan misi beliau dalam mengembangkan syiar agama Islam melalui
ibadah beriringan dengan demikian mudah-mudahan kita semua mendapat syafaat di hari
kiamat kelak, serta kita termasuk golongan orang-orang yang berdiri di garis depan dalam
menuju pintu surga. Aamin.
Terima kasih saya ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah Psikologi Agama
bapak, M.pd yang telah memberikan kesempatan kepada kami dalam membuat tugas makalah
ini yang khususnya membahas tentang Hubungan Psikologi Agama Dengan Tasawuf sebagai
bagian dari tugas rutin kelompok. Dalam penulisan makalah ini, penulis ada menemui
hambatan serta kekurangan baik dari segi pengkajian, penalaran, penulisan sampai pada
bingkai pemaknaan dalam tulisan dan kalimat, sehingga diperlukan upaya kritik yang dapat
membangun sinergitas antara mengkaji dan menulis makalah dalam satu bahasan sebagai
bagian dari budaya untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam membaca dan menulis
karangan ilmiah nantinya.

Subang, 22 Maret 2023

Penulis

ii
Daftar isi
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii
Daftar isi................................................................................................................................... iii
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5
1. Apa yang dimaksud dengan psikologi agama? ........................................................... 5
2. Bagaimana ruang lingkup kajian psikologi agama? .................................................... 5
3. Apa pengertian dari tasawuf? ...................................................................................... 5
4. Bagaimana ruang lingkup kajian tasawuf?.................................................................. 5
5. Hubungan antara psikologi agama dan tasawuf? ........................................................ 5
C. Tujuan ............................................................................................................................. 5
1. Mengetahui pengertian psikologi agama..................................................................... 5
2. Mengetahui pengertian tasawuf .................................................................................. 5
3. Mengetahui hubungan psikologi agama dan tasawuf ................................................. 5
D. Manfaat Pembahasan ...................................................................................................... 5
1. Pembahasan untuk menambah wawasan mahasiswa tentang psikologi agama dan
taswuf sehingga dapat mengetahui urgensi dalam beragama ............................................. 5
2. Menjadi referensi dalam mengambil argumentasi yang berdasar ............................... 5
BAB II ........................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6
A. Pengertian Psikologi Agama ........................................................................................... 6
B. Ruang Lingkup Kajian Psikologi Agama ....................................................................... 8
C. Pengertian Tasawuf ......................................................................................................... 9
D. Ruang Lingkup Kajian Tasawuf ................................................................................... 10
E. Hubungan Psikologi Agama Dengan Tasawuf ............................................................. 12
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 18
A. Simpulan ....................................................................................................................... 18
B. Kritik dan Saran ............................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk Allah SWT yang paling sempurna karena manusia
memiliki unsur jasmani, ruhani, maupun akal sebagai pembeda dengan makhluk lain.1
Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi,
kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia
lainnya. Manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama, sehingga
keseimbangan manusia dilandasi kepercayaan beragama.(Mutholingah & Qomarudin,
2022)
Dalam islam keberagaman pemeluknya begitu luar biasa. Kultur memisahkan
mongol, Turki, Indonesia, dan Maghribi, namun demikian mereka semua terhubung
oleh ajaran yang sama dan mereka mewarisinya tanpa pernah berhenti mengalami
evolusi dalam semua wilayah sosio-kultural mereka masing-masing. (Mutholingah &
Qomarudin, 2022)
Religi ini tergabung dalam sebuah kesinambungan ajaran kenabian yang
diserukan oleh yudhaisme dan kristianisme. Meskipun demikian sangatlah
mengherankan dan menyedihkan, bahwa ketiga agama yang berasal dsari sebuah
sumber spiritual yang sama ini berabad-abad lamanya saling bertikai dengan segala
macam kesalah pahaman dan ketiadaan toleransi diantara mereka.(Mutholingah &
Qomarudin, 2022)
Pada jantung religi ini, terdapat sebuah tradisi yang berusia ribuan tahun yaitu
tasawuf (sufisme) yang merupakan aspek mistik islam. Karena menurut Dr. Jaluddin
(1997 :117), sufisme atau disebut juga mistisme merupakan salah satu sisi dan pokok
bahasan dalam psikologi agama. Sebutan sufisme ini tidak dikenal dalam agama-agama
lain, melainkan khusus disebut mistisme islam. sufisme memiliki tujuan memperoleh
langsung dan disadari dengan tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada
dihadirat tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara
roh manusia dengan tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran
berada dekat tuhan itu dapat mengambil bentuk ijtihad, Bersatu dengan Tuhan.
Dalam hal ini apakah ada hubungan antara psikologi agama dan tasawuf,
kemudian bagaimana ruang lingkup psikologi agama dan tasawuf.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan psikologi agama?
2. Bagaimana ruang lingkup kajian psikologi agama?
3. Apa pengertian dari tasawuf?
4. Bagaimana ruang lingkup kajian tasawuf?
5. Hubungan antara psikologi agama dan tasawuf?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian psikologi agama
2. Mengetahui pengertian tasawuf
3. Mengetahui hubungan psikologi agama dan tasawuf
D. Manfaat Pembahasan
1. Pembahasan untuk menambah wawasan mahasiswa tentang psikologi agama dan
taswuf sehingga dapat mengetahui urgensi dalam beragama
2. Menjadi referensi dalam mengambil argumentasi yang berdasar

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikologi Agama


Psikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari perilaku manusia secara umum
dapat dilihat dari segi mental, baik yang bersifat perasaan ataupun bukan, dengan tujuan
untuk mencapai kaidah-kaidah yang dapat dipakai guna memahami berbagai motif
perilaku, mengenali dan memastikan (gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam
perilaku).
Kemudian pengertian agama, Jung berpendapat bahwa agama adalah kondisi
mental khusus yang bias dikondisikan. Pandangan Jung ini berdasarkan kepada
penggunaan kata asli agama atau religion yang biasa dipakai untuk menunjukkan
makna pandangan baru atau titik persepsi, yang terbentuk karena berbagai factor.
Artinya, agama adalah suatu istilah yang mungkin sekali terbentuk dalam diri manusia
karena beberapa factor. Hal ini terjadi karena manusia menemukan keadaan mental
tersebut bersifat kuat dan kukuh, sehingga mencapai suatu derajad kemungkinan besar
menjadi fokus perhatiaannya.
Jadi, Psikologi agama terdiri dari dua paduan kata, yakni psikologi dan agama.
Kedua kata ini mempunyai makna yang berbeda. Psikologi diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, 1979:
77). Sedangkan agama memiliki sangkut paut dengan kehidupan batin manusia.
Menurut Harun Nasution, agama berasal dari kata Al-Din yang berarti undang-undang
atau hukum, religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian
religare berarti mengikat.
Dari definisi tersebut, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan
beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu
dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-
faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiyah darajat dikutip oleh Jalaluddin,
2004: 15).
Dari ketiga rumusan pengertian psikologi agama tersebut ditemukan beberapa
catatan penting, yang selanjutnya dapat digunakan untuk melacak bagaimana hakekat
ilmu ini?.
6
Pertama, psikologi agama menitikberatkan pada aspek pengaruh, karenanya ada
yang menyebut psikologi agama sebagai ilmu pengaruh, yakni ilmu yang mempelajari
sikap dan perilaku seseorang sebagai hasil pengaruh keyakinan atau kepercayaan
agama yang dianutnya.
Kedua, psikologi agama mengkaji proses terjadinya pengaruh tersebut.
Psikologi agama mengkaji bagaimana proses terjadinya pengaruh suatu kepercayaan
atau keyakinan dalam menumbuhkembangkan jiwa keagamaan seseorang.
Ketiga, psikologi agama mengkaji kondisi keagamaan seseorang. Bagaimana
terjadinya kemantapan dan kegoncangan jiwa dalam keberagamaannya juga menjadi
obyek kajian penting psikologi agama. Tiga ranah itu yang menjadi kajian pokok
psikologi agama.
Bila dicermati dari ketiga kajian pokoknya, maka jelas bahwa psikologi agama
tidak menyentuh keyakinan atau kepercayaan agama seseorang. Psikologi agama hanya
meneliti seberapa besar atau kecil pengaruh keyakinan terhadap sikap dan perilakunya,
bagaimana proses terjadi, dan bagaimana kondisi jiwa keberagamaan seseorang.
Psikologi agama tidak menyentuh ajaran agama dan atau keyakinan seseorang. Ini
berarti, psikologi agama tidak berhak mendukung, membenarkan, menolak atau
menyalahkan ajaran, keyakinan, atau keimanan seseorang. Ungkapan seperti itu dapat
ditemukan dalam pengertian Jalaluddin, dan juga Thouless, karena keduanya
menyatakan, kajian psikologi agama mengarah pada aplikasi prinsip-prinsip psikologis
perilaku keagamaan seseorang.
Pendapat kedua tokoh sekaligus mempertegas, bahwa obyek kajian psikologi
agama bukan ajaran agama, melainkan tiga aspek sebagaimana disebut di atas, yang
oleh Zakiah diringkas menjadi dua aspek, yaitu, kesadaran keagamaan (religious
consciousness) dan pengalaman keagamaan (religious experience). Kesadaran
keagamaan diartikan sebagai bagian atau segi yang hadir dalam pikiran yang
pengujiannya dapat dilakukan melalui metode instrospeksi. Juga dapat dikatakan,
kesadaran keagamaan adalah aspek mental dan aktifitas keagamaan seseorang.
Sementara pengalaman keagamaan diartikan sebagai perasaan yang membawa pada
keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. Dengan demikian dapat dipahami, psikologi
agama adalah ilmu psikologi yang menekankan kajiannya pada pengaruh, proses
kejiwaan, dan bentuk-bentuk kemantapan atau kegoncangan dalam kehidupan
keberagamaan seseorang.

7
Psikologi agama merupakan studi psikologi dalam kaitannya dengan kehidupan
keagamaan seseorang dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip psikologi. Bagaimana
bentuk pengaruh ajaran keagamaan, bagaimana terjadinya proses pembentukan suasana
kejiwaan, dan bagaimana pula bentuk-bentuk kepribadian keagamaan seseorang dikaji
dengan tetap bertopang pada prinsip-prinsip psikologi.
Dalam percakapan sehari hari, banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsur
kejiwaan dalam diri manusia. Dalam hal ini cukup beralasan mengingat substansi
pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan
identik dengan unsur kejiwaan.
B. Ruang Lingkup Kajian Psikologi Agama
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup
pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah
agama lainnya. Pernyataan Robert Thouless, memusatkan kajiannya pada agama-
agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok / masyarakat itu sendiri. Kajiannya
terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menggunakan
psikologi.
Menurut Zakiyah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian
psikologi agama mengenai:
1. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut serta dalam
kehidupan beragama orang biasa ( umum ). Contoh : perasaan tenang, pasrah dan
menyerah.
2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap
Tuhannya. Contohnya: kelegaan batin.
3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup
sesudah mati/ akhirat pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang
berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi
pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap
ayat-ayat suci kelegaan batinnya. Semua itu tercangakup dalam kesadaran
beragama (religious counsciousness) dan pengalaman agama ( religious
experience).

8
C. Pengertian Tasawuf
Tasawuf adalah disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang
mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai Islam, dengan pengertian bahwa
pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, karena seluruh agama
Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar
mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab di dalam ajarannya yang menjadi sasaran
utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan
bagaimana rekayasa agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai
makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Khaliq pencipta
alam semesta.(Mutholingah & Qomarudin, 2022)
Sedangkan pengertian tasawuf dalam terminologi Islam, ternyata banyak para
ahli dan tokoh-tokoh Islam yang berbeda pendapat tentang apa yang sebenarnya
pengertian tasawuf itu secara baik dan benar. Nampaknya di sini kita perlu melihat
beberapa pengertian itu antara lain:
1. Tasawuf berasal ari istilah “ahlu Shuffah” artinya sekelompok orang di zaman
Rasulullah Saw, yang hidupnya banyak berdiam diri di serambi-serambi mesjid dan
mereka hanya mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.
2. Tasawuf berasal dari kata “Shof” yang maksudnya adalah barisan orang yang dalam
sholat yang berada di sohf yang paling depan.
3. Tasawuf berasal dari kata “Shaffa” yang artinya adalah orang-orang bersih dan suci
yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhannya sesuci-sucinya.
4. Tasawuf diasrtikan sebagai sekelompok orang-orang bani “Shuffah”.
5. Tasawuf diartikan dari bahasa Grik atau Yuanani, yakni “Saufi” yang berarti
hikmah atau kebijaksanaan.
6. Tasawuf berasal dari kata “Shaufanah” yaitu sebangsa buah-buahan kecil dan
berbulu banyak yang tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan pakaian kaum sufi
adalah berbulu-bulu seperti buah itu pula.
7. Tasawuf bersal dari kata “Suff” yang berarti bulu domba atau wol, maksudnya
adalah kaum sufi itu adalah kaum yang sering kali berpakaian yang berasal dari bulu
domba yang menimbulkan kesederhanaan dan kefakiran. (Mutholingah &
Qomarudin, 2022)
Dari ketujuh pengertian tersebut di atas yang diaukui oleh banyak kalangan
adalah yang ketujuh, yaitu makna tasawuf dengan istilah “Shuff” yakni kaum sufi

9
adalah kaum yang menggunakan pakaian woll, walaupun kenyataannya tidak semua
kaum sufi berpakaian wol.
Pengertian tasawuf secara terminologipun tidak sedikit para ahli yang berbeda
pendapat, hal ini nampaknya disebabkan oleh selera masing-masing dalam memaknai
kata tasawuf. Akan tetapi untuk memberikan penekanan pada pemabahasan ilmu
taswawuf ini, penulis coba pengutip pendapat Al-Junaidi tentang tasawuf, seperti yang
dikutip oleh Mukhtar Solihin, yaitu ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang
pembersihan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan
makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia serta berpegang teguh
pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah saw, dengan mendekatkan diri dan
mencapai keridhoan-Nya.
D. Ruang Lingkup Kajian Tasawuf
Sebagai salah satu disiplin ilmu, tasawuf merupakan bidang yang oleh
sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah yang berbeda
dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam percakapan sehari hari, banyak yang
mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Dan hal ini cukup
beralasan mengingat substansi pembahasannya, yaitu berkisar pada jiwa manusia. Dari
sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan.
Mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas
tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas
dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam pembahasan tasawuf
dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian
tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara
keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat sejauh
mana hubungan perilaku yang dipraktekkan manusia dengan dorongan yang
dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. Dari sini baru muncul perbuatan
perbuatan manusia, baik atau buruk, yang disebut dengan akhlak. Maka hubungan
tasawuf dengan psikologi agama secara jelas bisa dihilat dalam lingkup Tasawuf
Akhlaqi.
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku,
akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang
telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmumah
dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’
lama sufi.
10
Oleh karena itu pada tahap-tahap awal dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap
sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang
sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela.
Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara
lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan
diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan
ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang
disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat,
puasa, haji dll. Adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan
kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase
tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan
organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah
terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa
ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran
optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Dalam hal ini, dengan demikian tampaklah beberapa sifat bahwa zuhud,
qona’ah, shabar, tawakkal hatinya, mujahadah, ridho, syukur, masuk dalam kategori
kriteria jiwa atau mental yang sehat. Sedangkan cinta dunia, tamak, mengikuti hawa
nafsu, ujub, riya, takabbur, hasad, sum’ah, masuk dalam kriteria jiwa atau mental yang
sakit.
Keterkaitan antara tasawuf dengan psikologi (agama) ini dibahas dalam
psikologi transpersonal yaitu sebuah aliran baru dalam psikologi yang merupakan
pengembangan dari psikologi humanistik yaitu yang menolak teori dan metode
sebelumnya yaitu psikoanalitik dan behavoristik. Aliran ini berusaha mengembangkan

11
potensi manusia, hanya saja aliran ini menjangkau hal yang bersifat adikodrati dan
spiritual.
E. Hubungan Psikologi Agama Dengan Tasawuf
Dari kedua ilmu tersebut yaitu tasawuf dan psikologi agama ditemukan
beberapa persamaan dari keduanya, yaitu :
1. Persamaan konsepsi tentang potensi dasar manusia
Di kalangan para ilmuwan muslim terutama para ahli tasawuf hampir
terjadi kesepakatan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan dalam keadaan
suci atau fitrah. Yang dimaksud fitrah di sini adalah bahwa manusia ketika
dilahirkan adalah dalam kondisi yang tidak memiliki dosa sama sekali, bahkan
manusia memiliki potensi dasar, yakni ketaatan kepada Allah. Konsepsi Islam
mengenai potensi dasar manusia berupa pengakuan akan adanya Allah sebagai
Tuhan, atau kecenderungan kepada kebenaran.
Konsepsi tentang fitrah di atas, memiliki kesamaan dengan pandangan
Maslow dan juga para ahli psikolog humanistik lain, yang menekankan potensi
dasar manusia. Menurutnya, manusia adalah spesies yang memiliki kemampuan
atau potensi dasar yang sangat besar. Namun pada umumnya manusia hanya
menggunakan sebagian kecil kemampuannya. Kebanyakan manusia justru lebih
didominasi oleh rangsangan dari luar dirinya yang dapat mengarahkan pada pilihan
mundur, atau kejahatan. Konsepsi semacam ini adalah salah satu factor penting dari
teori maslow tentang motivasi manusia secara komperhensip.
Menurut maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan
kecenderungan untuk mengaktualisasikan dirinya. Meski demikian banyak orang
yang tidak mengetahui potensi yang dimilikinya, mereka tidak menyadari seberapa
besar prestasi yang dapat meraka raih dan berapa banyak ganjaran bagi mereka yang
mengaktualisasikan dirinya.
2. Persamaan konsepsi perkembangan jiwa manusia
Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan mepunyai peluang untuk
mengaktualisasikan potensi dasar tersebut. Dengan kehendak bebasnya manusia
diberi kebebasan untuk memilih maju atau mundur, di mana pilihan inilah yang
dapat merubah kondisi psikologis manusia.
Sesuai Firma Tuhan " Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan
suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri" (QS. Ar-Ra'd,
13).
12
Dari ayat tersebut jelas sekali bahwa perkembangan dan pertumbuhan
manusia sangat ditentukan oleh pilihannya sendiri. Jika ia konsisten dengan
fitrahnya maka ia akan berkembang secara wajar.
Dalam prespektif psikologi humanistik maslow, pertumbuhan yang wajar
dan sehat adalah dipengaruhi oleh motif perkembangan, sementara pertumbuhan
yang mengarah pada kemunduran dipengaruhi oleh motif kekurangan (defisiensi
need). Motif kekurangan atau kebutuhan dasar ini, serupa dengan konsepsi nafs al-
ammarah dalam tradisi tasawuf, di mana jika seseorang didominasi oleh nafsu
rendah maka ia akan cenderung pada kebutuhan atau keinginan rendah, jika
dorongan tingkat rendah ini tidak dapat dipenuhi maka akan menimbulkan penyakit
mental dan menjauhkan diri dari proses aktualisasi diri (fitrah).
Perlu dikatahui bahwa tasawuf merupakan presfektif spiritual untuk
memetakan kondisi kejiawaan manusia, dalam usahanya menuju kesempurnaan,
yaitu pengetahuan terhadap atau penyatuan dengan Yang Maha Mutlak. Menurut
Javad Nurbakhsi (2000 : 3), ada beberapa hal dalam memahami bahwa tasawuf
merupakan bagian dari psikologi agama, yaitu:
Pertama, perlu diketahui bahwa para sufi sebagaimana mistis yang lain,
memiliki konsep dunia yang berbeda dengan ilmu pengetahuan modern. Ilmu
pengetahuan modern menganggap dunia yang dikaji manusia secara valid hanyalah
realitas yang obyektif, yang seringkali disebut dunia materi. Meskipun keberadaan
dunia non-materi tidak sepenuhnya diingkari, namun mereka tidak memiliki
ketegasan, apakah realitas spiritual itu merupakan sesuatu yang ada dalam dirinya
sendiri ataukah hanya sisi dalam dunia materi. Sedangkan para sufi dengan tegas
menganggap bahwa hakikat realitas bersifat spiritual, karena segala sesuatu berasal
dari Tuhan dan Tuhan adalah wujud spiritual.
Kedua, Para sufi juga menganggap diri manusia memiliki lapisan-lapisan
yang paralel dengan realitas alam raya. Kita tidak hanya berjumpa dengan istilah
mikrokosmos dan makrokosmos, yang menggambarkan bahwa diri manusia adalah
miniatur alam raya; melainkan juga mikroantropos dan makroantropos, dari Ibnu
Arabi yang berarti alam raya sebenarnya merupakan tiruan dalam struktur raksasa
dalam diri manusia. Didalam diri manusia terdapat lapisan fisikal yang berada di
alam materi; lapisan selanjutnya lebih tinggi adalah nafs yang setara dengan alam
nasut;lapisan Qalb yang sejajar dengan ‘Arsy; lapisan ruh yang setara dengan
Malakut; lapisan kesadaran batin, Sirr atau kahfi, yang berada dalam tingkat alam
13
jabarut; serta lapisan kesadaran batin terdalam (Akhfa) yang berada dalam tingkatan
alam lahut.
Ketiga, di dalam konsep sufi juga terdapat berbagai realitas dan wujud
spiritual yang berinteraksi serta memberi pengaruh kepada kondisi jiwa manusia,
seperti mukjizat, bantuan malaikat, godaan setan, atau gangguan jin yang bukan
hanya terdapat dalam, namun juga tidak mungkin diterima oleh psikologi modern.
Keempat, dalam presfektif mistisisme secara umum, dan juga bagi para sufi,
terdapat kaidah yang mengatakan: ‘hanya yang sama bisa saling mengetahui’, yang
mengacu kepada kesejajaran antara aspek-espak di dalam diri manusia dengan
lapisan alam raya di atas.
Kaidah di atas menjadikan sebuah naskah atau pembicaraan mistik hanya
bisa difahami oleh para mistikus, yaitu orang telah, sedang, akan, atau ingin
menekuni kehidupan mistis. Dunia sufi adalah dunia spiritual, yanng tidak dapat
diperbincangkan secara diskursif karena tidak memilki acuan kongkrit.
Dari sisi lain Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa Agama (Psikologi
Agama) semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan
latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual ke arah yang
lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut
adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih
kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk
mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia
itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur,
resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya. Dengan tasawuf
manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa
prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah,
gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan Tuhan bahwa
berusaha untuk berada di hadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman
batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa. Dengan demikian
antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu
tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati,
ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki,
sombong, serakah, takabbur dan sebagainya. Tasawuf juga selalu membicarakan
14
persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah
jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan
keislaman.(Masduki & Warsah, 2020)
Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia
muslim. Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara
spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf
tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri. Dalam
pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan
yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam
tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa
dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan
perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya
sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori
perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan
baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut
orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek ia
disebut sebagai orang yang berakhlak buruk. (Mutholingah & Qomarudin, 2022)
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada
jenis jiwa yang berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah nafsu-
nafsu hewani atau nabati, prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan nabati
pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku
insani pula. Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang
manusia, berarti bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur
spritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf
tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini
juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam
melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di
bumi.(Mutholingah & Qomarudin, 2022)
Tasawuf dapat dijadikan pijakan jiwa alternative dalam menghadapi
problem kehidupan yang semakin kompleks. Setiap orang membutuhkan pijakan
dalam hidupnya untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang
berimplikasi pada psikologi pada orang tersebut. Tasawuf dijadikan pijakan karena
tasawuf lebih dekat dengan disiplin ilmu psikologi. Akan tetapi sering kedua kajian

15
tersebut seakan terpisahkan, padahal objek kajian tasawuf, psikologi agama, dan
kesehatan mental berurusan dengan soal yang sama, yakni soal jiwa.(Asnawi, 2021)
Kemudian pendapat lain juga menyatakan tidak ditemukan secara langsung
hubungan psikologi agama dengan tasawuf, namun jika dikaji lebih teliti maka akan
ditemuakan beberapa keterkaitan, yaitu:
Pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian
kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada metode pengkajiannya.
Tasawuf lebih banyak menggunakan metode intuitif, metode nubuwah, metode
ilahiyah, dan metode-metode yang berkaitan dengan “qalb” lainnya. Sementara
psikologi agama menggunakan metode pengkajian psikologis empirik. Tasawuf
membahas bagaimana menyucikan jiwa spiritualitas manusia beragama, psikologi
agama membahas bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap seluruh aspek
kehidupan manusia yang observeable.(Asnawi, 2021)
Kedua, Tasawuf dan psikologi agama berbicara tentang kondisi
keberagamaan seseorang. Tasawuf menggunakan pendekatan “rasa” , sementara
psikologi agama menggunakan pendekatan “positivisme”, cara berfikir positif, dan
rasional empirik.
Ketiga, kedekatan hubungan tasawuf dengan psikologi agama ditemukan
ketika ternyata salah satu kajian psikologi agama adalah perilaku para sufi. Hanya
saja psikologi agama melihat ketasawufan para sufi melalui fenomena yang dapat
diteliti dan diobservasi. Psikologi agama tidak mengkaji tasawuf dari segi ajaran
dan ritus-ritusnya, melainkan hanya mengkaji bukti-bukti empirik ketasawufan
seorang sufi. Psikologi agama tidak melibatkan diri dalam pembelaan atau
penyangkalan terhadap hasil penghayatan para sufi. Psikologi agama hanya
mengungkap pengaruh ajaran tasawuf terhadap perilaku dan kepribadian seseorang.
Keempat, persinggungan tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan
dalam obyek kajian. Psikologi agama bersinggungan dengan tasawuf dikarenakan
ada kepentingan obyek kajian dan atau obyek penelitian. Sebagaimana dalam uraian
di atas, salah satu obyek kajian psikologi agama adalah kesadaran dan pengalaman
keberagamaan seseorang. Sementara dua hal tersebut banyak ditemukan dalam
ajaran dan perilaku kehidupan para sufi. Berkait dengan itu, Nicholson menyatakan
“Sufism is the type of religious experiences” (Sufisme, tasawuf, merupakan suatu
bentuk berbagai pengalaman keberagamaan).(Asnawi, 2021)

16
Dengan demikian, titik persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama
dapat ditemukan dalam beberapa aspek, sebagaimana diungkap di atas, sekalipun
persinggungannya tidak bersifat esensial. Secara hakiki kedua bidang kajian
tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan berbeda. Bahkan
dapat dikatakan, tasawuf lebih bersikap pasif, sedangkan psikologi lebih bersikap
agresif. Penghayatan tasawuf para sufi sama sekali tidak pernah berorientasi pada
kepentingan keilmuan. Mereka hanya memiliki satu orientasi, yaitu, bagaimana
memperoleh kebahagiaan dan kedekatan sedekat-dekatnya dengan Allah, Sang
Khaliq, sementara psikologi agama cenderung terus mencari dan meneliti semua
perilaku dan perikehidupan para sufi.
Kapanpun psikologi agama berdiskusi, maka aspek kehidupan esoterik
sufistik umat beragama tidak bisa ditinggalkan. Bahkan aspek tasawuf menjadi
bagian kajian yang menyita ruang buku-buku dan riset-riset psikologi agama.
Sekalipun persinggungan antara keduanya bersifat pasif aktif, namun
persinggungannya dapat dikatakan bersifat mutualisme. Persinggungan antara
kedua saling memberi keuntungan dan saling memberi manfaat, terutama, bagi
upaya pengembangan dan pemahaman masing-masing ilmu tersebut. Studi terhadap
pengalaman para sufi dapat memberikan kesempurnaan pengkajian psikologi
agama. Sedangkan pengalaman para sufi yang diungkap melalui kajian psikologi
agama dapat memberikan pemahaman dan sekaligus manfaat bagi orang yang
hendak mengkaji dan atau mendalaminya.(Asnawi, 2021)

17
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Tasawuf dengan psikologi memiliki hubungan, yaitu tentang jiwa dan aspek yang
mempengaruhinya.
2. Kesamaan potensi dasar manusia memiliki kecenderungan kebaikan dan keburukan
yang nantinya dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan yang datang dari luar
dalam perkembangan kehidupannya, dan dalam konsep psikologi Maslow manusia
lah yang menentukan pilihan baik buruk itu, sedangkan dalam tasawuf selain
manusia itu sendiri namun jug tidak terlepas dari takdir Illahi.
3. Kesamaan-kesamaan itu meliputi kesederhanaan, kesabaran, menerima kodarat apa
adanya, kerelaan ,kreativ, suka cita, kesatuan, ketahanan terhadap budaya, efisien,
terpusat pada persoalan , kemandirian, kesegaran paresiasi, kesadaran social,
demokratis dll. Di mana karakter-karakter tersebut ditemukan baik dalam maqomat,
ahwal, self actualization, peak-experience, dan metamotivation.(Maslow)
4. Perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya adalah pada tujuan akhir. Tujuan
akhir dari pengalam sufi adalah ketauhidan yang murni, sedangkan Maslow
menjadikan aktualisasi diri sebagai tujuannya. Dalam pandangan tasawuf maqomat
dan ahwal merupakan proses yang harus dilalui seseorang untuk mencapai
kesempurnaan, sementara aktualisasi diri Maslow adalah proses sekaligus
tujuannya.

B. Kritik dan Saran


Segala puji bagi Tuhan semesta alam, dalam waktu yang minimal singkat, dan
dengan kekuatan yang maksimal makalah ini dapat diselesaikan. Dalam mengerjakan
makalah ini, kami merasa sedikit kesulitan tetapi inilah proses belajar yaitu untuk
menghilangkan kebodohan sehingga menjadi sebuah penemuan dan pemahaman baru.
Tetapi kami percaya, bahwa makalah ini tidaklah sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami butuhkan guna untuk memperbaiki makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA
Asnawi, N. (2021). Hubungan Akhlaq Tasawuf Dengan Filsafat Dan Psikologi Agama.
Waratsah: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Dan …, 07(02), 1–30.
http://waratsah.com/index.php/waratsah/article/view/42
Masduki, Y., & Warsah, I. (2020). Psikologi agama. Tunas Gemilang Press.
Mutholingah, S., & Qomarudin, A. (2022). Hubungan Psikologi, Tasawuf dan Pendidikan
Agama Islam. TaLimuna: Jurnal …, 11(02), 170–179. https://e-journal.staima-
alhikam.ac.id/talimuna/article/view/1165

19

Anda mungkin juga menyukai