Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Makna Agama Dalam Kehidupan Modern ; Sebagai Sumber Spiritualitas

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah : Agama Islam B


Dosen Pengampu : Prof. Mifedwil Jandra, M.Ag.

Disusun Oleh :
 Alisadikin (2017011156)

FAKULTAS PSIKOLOGI
PRODI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
2021
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa, atas berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Makna Agama Dalam Kehidupan Modern.” Makalah ini sengaja disusun untuk melengkapi
tugas mata kuliah Agama islam yang diampu oleh Bapak Prof. Mifedwil Jandra, M.Ag selaku
dosen. Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Masih terdapat banyak
kekurangan yang dalam penyusunan serta terbatasnya referensi yang digunakan. Sekiranya
hal tersebut dapat terus dibenahi seiring dengan proses pembelajaran dimasa datang. Dan
penulis berharap semoga dengan selesainya makalah ini, pembaca mendapat sedikit
tambahan pengetahuan dalam kajian Agama dewasa ini. Tentu saja selain bagi pembaca
penulis pun banyak belajar tentang peranan serta makna Agama dalam kehidupan keseharian.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin Allahumma Amin.

Mamuju, 01 Oktober 2021


Penulis

Alisadikin
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ………………..................................................…………….......i

KATA PENGANTAR …………………………..........................................................ii

DAFTAR ISI ………………………………….............................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ……...................................................…………………......1

 A. Latar Belakang…….......................……….…….……………………….......1
 B. Rumusan Masalah………………..........................……………………….....1
 C. Tujuan Penulisan………………….…….………….......................……........1

BAB II PEMBAHASAN…………………………........................................................2

 A. Definsi Agama dalam berbagai perspektif………………..............................2


 B. Makna Agama Dalam Kehidupan Modern.……………….............................3
 C. Agama Sebagai Sumber Spiritualitas Masyarakat Modern……..……….......5

BAB III PENUTUP..……………………………………..............................................7

 A. Simpulan..……………………………………………………........................7
 B. Saran..…………………………………………………………......................7

DAFTAR PUSTAKA …………………………………................................................


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama bukan hanya sebuah keyakinan melainkan sebuah medium yang membuat
orang-orang mampu merasakan kehadiran Tuhan. Pandangan tentang agama tersebut
harus dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada praktiknya
dikehidupan modern, cara pandang seseorang berbeda-beda dalam memaknai
agamanya, ada orang yang memandang keyakinan agama itu sebagai sesuatu yang
harus dipraktikkan dalam peribadatan ritual. Kehidupan modern memberikan
tantangan seseorang yang dimanjakan dengan teknologi media, krisis makna
menyebabkan agama menjadi bukan suatu kebutuhan melainkan hanya sebuah
formalitas saja. Dalam mengantisipasi segala bentuk pengikisan iman, setiap orang
mempunyai cara yang berbeda-beda untuk menentukan tujuan hidupnya, sehingga
timbullah sikap-sikap yang berbeda dalam memaknai agama.
Agama adalah suatu fenomena yang selalu hadir dalam sejarah umat manusia,
bahkan dapat dikatakan bahwa sejak manusia ada, fenomena agama telah hadir.
Walaupun demikian, tidaklah mudah untuk mendefinisikan apa itu agama. Mengapa?
Pertama, karena pengalaman manusia tentang agama sangat bervariasi, mulai
dengan yang paling sederhana seperti dalam agama animisme/dinamisme sampai
keagama-agama politeisme dan monoteisme. Kedua, selain begitu variatifnya
pengalaman manusia tentang agama, dan begitu variatifnya disiplin ilmu yang
digunakan untuk memahami fenomena agama. Misalnya, agama bisa ditinjau dari
sudut psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, bahkan teologi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Agama?
2. Apa makna Agama dalam kehidupan modern?
3. Mengapa Agama dikatakan sebagai sumber spiritulitas?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan defenisi Agama dari berbagai sudut pandang.
2. Mengetahui makna Agama dalam kehidupan modern.
3. Memahami Agama sebagai sumber spiritualitas.
BAB 1II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Agama
Agama dalam bahasa Arab disebut Din yang memiliki pemaknaan banyak.
Makna-makna utama dalam kata din disimpulkan menjadi empat, yaitu 1) keadaan
berutang; 2) penyerahan diri; 3) kuasa peradilan; dan (4) kecenderungan alami.
Konsep-konsep pemaknaan yang berkaitan dengan berhutang, seperti merendah diri,
menjadi hamba mengabdi. Lalu dari pemaknaan utama seorang hakim, penguasa dan
pemerintah, dapat diperoleh makna lain seperti yang perkasa, yang besar, dan kuat
(Al-Attas, 2011). Dalam perspektif berbeda, agama adalah gejala yang begitu sering
“terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk
mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam
semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling
sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju kepada
adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya
dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari (Nottingham, 1985).
Menurut Toynbee, dalam agama, keseluruhan kepribadian manusia terlibat
antara lain: segi-segi emosional, segimoral dan kejiwaan, dan segi intelektual juga.
Keprihatinan agama mencakup keseluruhan “dunia manusia”; tidak hanya dibatasi
pada bagian yang bisa diakses oleh indra manusia yang pada gilirannya dapat
dipelajari secara ilmiah tetapi juga yang dapat dimanipulasi oleh teknologi.
Singkatnya, seluruh kemanusiaan kita terlibat di dalam pengalaman beragama
manusia.
Kita mencoba menelusuri berbagai pengertian agama sebagaimana
dikemukakan oleh berbagai ahli dari berbagai perspektif. Jika ditelusuri, ternyata ada
begitu banyak definisi/pengertian agama dari yang sifatnya sangat positif sampai ke
yang sifatnya sangat negatif. Begitu bervariasinya definisi agama karena, antara lain,
ada yang memasukkan agama-agama yang sangat sederhana atau primitif, seperti
dalam bentuk animisme/dinamisme, sampai ke agama-agama yang lebih rumit dan
kompleks, seperti dalam agama-agama yang monoteisme ke dalam definisi mereka.
Pada umumnya definisi-definisi tersebut bersifat positif dan tidak menilai benar atau

2
salahnya suatu keyakinan religius. Namun, ada juga definisi-definisi yang sangat
kritis bahkan cenderung merendahkan pengalaman agamawi manusia.
Berikut tiga contoh definisi negatif tentang agama:
1. Karl Marx mendefinisikan agama adalah vitamin untuk masyarakat yang
tertindas...agama adalah candu bagi masyarakat.
2. Sigmund Freud dalam New Introductory Lectures on Psychoanalysis,
mengatakan bahwa agama adalah ilusi dan menarik kekuatannya dari fakta
bahwa ia berasal dari keinginan-keinginan instingtif manusia.
3. Bertrand Russel berpendapat bahwa agama adalah sesuatu yang
terbawa/tertinggal dari masa kanak-kanak dari inteligensi kita, agama akan
lenyap ketika kita mengadopsi penalaran dan ilmu pengetahuan sebagai
penuntun kita.
B. Makna Agama Dalam Kehidupan Modern
Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang
maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama
juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian secara
psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif
ekstrinsik (luar diri). Motif yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki
kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan non-agama, baik
doktrin maupun ideologi yang bersifat profan (Rahmat, 2010). Dengan begitu agama
adalah sebuah makna dimana setiap orang bebas menentukan haknya untuk
beragama karena didalamnya manusia menemukan pandangan hidup dan inspirasi
yang dapat menjadi landasan yang kokoh untuk pembentukan nilai, harkat dan
martabat manusia.
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem
nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut
menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan
keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang
khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.
Menurut McGuire (2002), diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem
nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem ini
dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem nilai ini dipengaruhi
oleh keluarga, teman, institusi pendidikan dan masyarakat luas. Sistem nilai yang
berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat perangkat sistem nilai

3
dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan
masyarakat. Pengaruh sistem nilai terhadap kehidupan individu karena nilai sebagai
realitas yang abstrak dirasakan sebagai daya dorong atau prinsip yang menjadi
pedoman hidup. Dalam realitasnya nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola
tingkah laku, pola berpikir dan pola bersikap (Kaswardi, 1993).
Nilai adalah daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan
pengabsahan pada tindakan seseorang. Karena itu nilai menjadi penting dalam
kehidupan seseorang, sehingga tidak jarang pada tingkat tertentu orang siap untuk
mengorbankan hidup mereka demi mempertahankan nilai. Dalam kaitannya dengan
kehidupan beragama, contoh-contoh seperti ini terlihat bahwa kerelaan berkorban
akan meningkat, jika sistem nilai yang berpengaruh terhadap seseorang sudah
dianggap sebagai prinsip. Nilai mempunyai dua segi, yaitu segi intelektual dan segi
emosional. Dan gabungan dari kedua aspek ini yang menentukan sesuatu nilai
beserta fungsinya dalam kehidupan. Bila dalam kombinasi pengabsahan terhadap
suatu tindakan unsur intelektual yang dominan, maka kombinasi nilai ini disebut
norma atau prinsip (Kaswardi, 1993). Namun dalam keadaan tertentu dapat saja
unsur emosional yang lebih berperan, sehingga seseorang larut dalam dorongan rasa.
Beberapa fenomena agama yang terjadi karena seseorang yang beragama
namun tidak mampu mengontrol emosinya dan bersifat dogma. Sehingga banyak
kejadian-kejadian terkait dengan kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Kekerasan agama secara spesifik adalah kekerasan yang dimotivasi oleh atau reaksi
terhadap aturan, teks, atau doktrin agama. Kekerasan ini mencakup kekerasan
terhadap institusi, individu, atau objek keagamaan dari target kekerasan atau ajaran
pelaku kekerasan. Kekerasan agama sering kali berkecenderungan menekankan pada
aspek simbolik dari tindakan. Kekerasan agama, sebagaimana kekerasan pada
umumnya, tidak hanya masalah melukai dan menumpahkan darah orang lain, namun
juga pemaksaan dan perampasan kebebasan. Kekerasan agama juga tidak semata-
mata masalah kekerasan secara fisik yang dimotivasi oleh ajaran agama, tapi juga
kekerasan verbal yang biasanya muncul dalam bahasa-bahasa kebencian dan
kekerasan terhadap kelompok lain (Hamdi & Muktafi, 2017).
Dilihat dari fungsi dan peran agama dalam memberi pengaruhnya terhadap
individu, baik dalam bentuk sistem nilai, motivasi maupun pedoman hidup, maka
pengaruh yang paling penting adalah sebagai pembentuk kata hati (conscience). Kata
hati adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya (Fromm, 1997). Pada diri

4
manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehiduan manusia.
Potensi tersebut adalah: 1) bidayat al-ghariyat (naluriah); 2) bidayat al-Hissiyat
(inderawi), 3) bidayat al-aqliyyat (nalar); dan 4) bidayat-aldiniyyat (agama). Melalui
pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir.
Pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa
bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas. Perasaan positif ini lebih
berlanjut akan menjadi pendorong untuk berbuat. Agama dalam kehidupan individu
selain menjadi motivasi dan nilai etik juga merupakan harapan (Rahmat, 2010).
Agama berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan
aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama
dinilai mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi
pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilai etik
karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan
antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang
dianutnya.

C. Agama Sebagai Sumber Spiritualitas Masyarakat Modern


Penemuan metode ilmiah yang berwatak empiris dan rasional secara menak-
jubkan membawa terhadap kemajuan ilmu pengetahunan, teknologi dan seni yang
luar biasa dalam kehidupan umat manusia. Keberadaan industri dan berbagai macam
penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kemudahan-kemudahan hidup,
membuka wawasan kehidupan baru, dan melahirkan pola kehidupan baru yang
disebut modernisme. Modernisme kemudian pada akhirnya dirasakan membawa
kehampaan dan ketidakbermaknaan dalam kehidupan. Dewasa ini, manusia modern
sangat memerlukan pola pemikiran baru yang diharapkan dapat membawa kesadaran
dan pada saat yang sama dapat memberi pola kehidupan baru pula.
Kehidupan modern memang memberikan kemudahan untuk mencari
pengetahuan agama dengan melalui media sosial yang marak di masa kini. Namun,
sesuatu yang bersifat instan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap diri
seseorang. Semua yang terkait di media sosial dianggap suatu kebenaran yang mutlak,
sehingga dijadikan panduan dalam memahami agama. Semua ditelan mentah-mentah
tanpa difilter terlebih dahulu membentuk diri menjadi pola pikir yang kaku, kebencian
terhadap umat beragama, dan menghambakan sosial media sebagai Tuhan.
Maka secara praktis muncul gejala pencarian makna hidup dan upaya untuk
menemukan diri pada kepercayaan-kepercayaan yang sarat dengan spiritualitas.
Meskipun kehadiran "Organized Religion" (agama yang terorganisasi) tidak
selamanya dapat memenuhi harapan. Oleh sebab itu, muncul berbagai kecenderungan
5
untuk kembali kepada orisinalitas (fundamen-talis), kharisma yang dapat menentukan
(cults) dan fenomena-fenomena yang luar biasa (magic).
Kecenderungan ini dapat ditelusuri secara historis dan psikologis pada budaya
Indonesia secara umum. Namun, pada hakekatnya, fenomena yang belakangan ini
yang marak terjadi berakar pada gejolak masyarakat perkotaan di Indonesia sebagai
akibat krisis spiritual berkepanjangan yang menimpa negeri ini. Termasuk dekadensi
moralitas yang mempengaruhi gaya hidup orang modern.
Spiritualitas diartikan sebagai kerohanian; kejiwaan; kehidupan rohani.
Spiritua-litas adalah bidang penghayatan bathiniah kepada Tuhan melalui prilaku
masyarakat tertentu yang sebenarnya terdapat pada setiap agama. Meskipun, tidak
semua peng-anut agama menekuninya, karena masih terdapat sebagian orang
memegang agama konsisten yang pada akhirnya berhenti pada segi-segi eksoteris,
pada segi-segi luar saja (segi-segi lahiriyah saja). Fokus spiritualitas adalah diri
manusia. jika psikologi mengkaji wilayah jiwa sebagai psyche (dalam terminologi
spiritual lebih dikenal sebagai ego), maka spiritualitas menyentuh jiwa sebagai spirit.
Budaya Barat menyebutnya inner self, sesuatu yang "diisikan" Tuhan pada saat
manusia diciptakan. Meskipun diyakini bahwa agama berasal dari Tuhan, namun
spiritualitas adalah area manusia.
Spiritualitas adalah sikap yang meyakini adanya kehadiran dan campur tangan
Tuhan dalam diri manusia, meskipun pada hakekatnya tidak mesti demikian. Secara
sederhana modern menurut bahasa adalah cara baru; secara baru; model baru; bentuk
baru; kreasi baru; mutakhir. Dengan demikian, abad modern adalah zaman ketika
manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan hidup. Manusia dipandang sebagai makhluk yang hebat, yang independen
dari Tuhan dan alam. Manusia modern sengaja melepaskan diri dari keterikatannya
dengan Tuhan (theosentris), untuk selanjutnya membangun tatanan manusia yang
semata-mata berpusat pada manusia (antroposentrisme).
Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkan terputusnya
dari nilai-nilai spiri-tual. Akibatnya, manusia modern pada akhir-nya tidak mampu
menjawab persoalan-persoalan hidupnya sendiri. Secara sederhana, Hosein Nasr
mendefinisikan masa modern sebagai masa peralihan dari pola berfikir yang
theosentris ke antroposentris. Manusia menjadi pusat dan tolak ukur segala yang ada.
Hosein Nasr mendefinisikan bahwa dunia modern adalah dunia yang terpisah dari
yang transenden, dari prinsip-prinsip langgeng yang mengatur materi dan yang
diberitahukan manusia melalui wahyu dalam pengertian universalnya. Dan yang lebih
sederhananya keadaan ini saya istilah-kan dengan kehilangan visi keilahian, yang
mengakibatkan terjadinya krisis spiritual, yang pada akhirnya mereka mencoba
mencari-cari alternatif untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Akibat dari terlalu mengagungkan rasio, manusia modern mudah dihinggapi
penyakit kehampaan spiritual. Kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu
pengetahuan dan filsafat rasionalisme abad ke-18 dirasakan tidak mampu memenuhi
kebutu-han pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital
yang hanya bisa digali dari sumber wahyu ilahi. Schumacher, sebagaimana telah
dikutif oleh Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa, kini semakin banyak orang
yang menyadari akan “percobaan modern” telah mengalami tingkat kegagalan yang
amat dahsyat. Percobaan itu mendapatkan rangsangannya mula-mula dari revolusi ala
Descartes yang berusaha memisahkan manusia dari Tuhan. Manusia, tandas
Schumacher, menutup gerbang-gerbang surga terhadap dirinya sendiri dan mencoba
dengan daya kerja dan kecedikannya yang besar sekali, membutakan dan mengurung
diri mereka di bumi yang sempit. Yang dimaksud dengan percobaan modern yang
gagal menurut schumacher adalah per-cobaan manusia untuk hidup tanpa Tuhan dan
Agama. Pernyataan Schumacher itu mengingatkan kita pada penegasan al-Qur’an
surat Thaha ayat: 124: “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunya pada
hari kiamat dalam keadaan buta.”
6
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Agama adalah pegangan hidup untuk menuju kehidupan yang kekal. Agama
adalah solusi untuk menjawab persoalan kehidupan manusia. Manusia yang sadar
akan agamanya sangat dibutuhkan maka praktik agama yang dilakukan dijalani
dengan ikhlas tanpa melihat bahwa itu sebuah kewajiban. Kehidupan modern yang
mengikis keimanan manusia bukan sebuah alasan untuk tidak berusaha dalam
memperbaikinya. Melainkan arus modern dijadikan acuan untuk terus meningkatkan
ketakwaan. Wacana keagamaan yang mempengaruhi agama seseorang, diantaranya
adalah negara membuat aturan pada setiap orang harus memeluk salah satu agama.
Kemudian aturan-aturan agama yang mewajibkan untuk mengikuti aturan-aturan
tertentu yang membentuk perilaku seseorang menjadi lebih baik namun berbeda
dengan orang yang menganggap bahwa kewajiban itu adalah sebuah keharusan yang
memaksakan kehendak hasratnya untuk menaati aturan tersebut.
B. Saran
Manusia modern Barat membutuh-kan pegangan moral dan makna hidup.
Islam, dengan ajaran kekayaan spiritualnya, menawarkan kepada manusia modern
sebagai alternatif pencarian diri. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari jawaban dari
pertanyaan dalam Al-Qur‟an:”Fa aina tadzhabuun” “mau kemana kalian?”. Kadang
kita harus menjawab seperti jawaban Nabi Ibrahim As dalam al-Qur‟an “Inni
dzaahibun ila Robbi” Dibawah semua kerja keras yang kita lakukan, pada akhirnya
adalah bekal untuk menuju Allah Yang Maha Kasih dan Maha Sayang.
7
Daftar Pustaka

Komaruddin Hidayat. 2000. Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern, dalam


Nurcholis Majid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Media Cita: Jakarta.

Waryono Abdul Ghafur. 2003. Seyyid Hossen Nsr: Neosufisme sebagai


alternatif Modernisme, dalam Mulyadi Kartanegara, Pemikiran Islam Kontemporer.
Jendela: Yogyakarta.

Abdullah, M.A. 2004. Studi Agama Normativitas atau Historisitas.


Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai