Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM


Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)

Dibuat untuk melengkapi tugas


Mata Kuliah Agama Islam
Dosen Pengampu Prof. Dr. Mefidwil Jandra M. Ag.

Oleh ;
Muhammad Shohibun Novan
2021011088

FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Biopsikologi
tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang
syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulisan makalah berjudul “KONSEP TUHAN DALAM ISLAM Kajian QS. Al-
Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)” dapat diselesaikan karena bantuan banyak pihak.
Kami berharap makalah tentang konsep tuhan dalam islam dapat menjadi referensi bagi pihak
yang tertarik pada karya karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan monoeisme dalam agama,
khususnya karya tulis yang berkaitan dengan agama. Selain itu, kami juga berharap agar
pembaca mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.
Penulis menyadari makalah bertema keagamaan ini masih memerlukan
penyempurnaan, terutama pada bagian isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran
pembaca demi penyempurnaan makalah. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini, kami memohon maaf sebanyak-banyaknya.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah Agama ini dapat
bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yogyakarta, 17 September 2021

Penulis;

MUHAMMAD SHOHIBUN NOVAN

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................I
DAFTAR ISI.............................................................................................................................II
BAB 1.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................1
B. PERNYATAAN MASALAH........................................................................................2
C. RUMUSAN MASALAH...............................................................................................2
D. METODOLOGI.............................................................................................................3
E. TUJUAN PENULISAN.................................................................................................4
F. HASIL YANG DIHARAPKAN....................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
A. DEFINISI MONOTEISME...........................................................................................5
B. PROSES PECARIAN TUHAN SERTA PROSES DITEMUKANNYA PAHAM
MONOTEISME.....................................................................................................................7
C. KAITAN KONSEP MONOTEISME DALAM ISLAM DENGAN QS. AL-IKHLAS
AYAT 1-4.............................................................................................................................12
D. TUJUAN MENGETAHUI KONSEP TAUHID DALAM ISLA................................15
E. MANFAAT MENGETAHUI KONSEP TAUHID DALAM ISLAM........................15
BAB III.....................................................................................................................................16
PENUTUP................................................................................................................................16
A. KESIMPULAN............................................................................................................16
B. SARAN........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................19

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| II
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Dari awal kemunculannya manusia selalu mencari titik tertinggi dalam


hidupnya, tentang siapa yang menguasai alam semesta serta dirinya. Dan untuk
mengungkapnya maka manusia mengerahkan seluruh potensi dalam dirinya untuk
menemukan jawaban atas pencariannya itu. Pencarian yang dimaksud adalah
pencarian terhadap kekuatan Supra Empiris, yang menguasai alam dan dirinya.
Manakala manusia merasa terancam keberadaannya di alam raya ini, maka manusia
akan berusaha membangun hubungan baik dengan yang Supra Empiris. Hal itu
dikarenakan sebagaimana dalam A. Susanto, dalam agama ada sesuatu yang dianggap
berkuasa, yaitu Zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang mengatur
seluruh alam beserta isinya.1
Keadaan yang berusaha dibangun dalam konteks memperbaiki relasi manusia
dengan Tuhan, kemudian kita kenal dengan agama. Agama dalam kehidupan manusia
merupakan hal yang tak mungkin dipisahkan. Keberadaan agama dalam jiwa manusia
sangat dibutuhkan, terlebih dalam membangun relasi yang positif dengan Tuhan. Hal
ini disebabkan di dalam agama ada bentuk-bentuk ritual yang merupakan sarana bagi
manusia untuk lebih dekat dengan-Nya.
Selanjutnya, agama dalam perkembangannya merupakan bagian dari
perjalanan hidup manusia sebagai entitas yang percaya terhadap Tuhan sebagai titik
tertinggi dalam hidupnya. Sedangkan perkembangan agama sebagaimana
Sardjuningsih, pada manusia primitif seiring dengan kemampuan manusia dalam
memahami alam sekitar yang menjadi bagian dari kehidupannya. Dalam upaya
memahami kehidupan, manusia berupaya memahami segala bentuk hubungan dengan
alam raya ini. Hal ini menjadi analisis awal dalam menjelaskan bagaimana agama dan
konsep Tuhan itu lahir dalam pemikiran manusia. Dalam berbagai macam kajian,
banyak sarjana mendasarkan teori asal-usul agama berawal dari cerita mitos atau
dongeng yang tumbuh berkembang di masyarakat.2
Labih lanjut, agama berkembang dengan tradisi yang merupakan wujud dari
interpretasi dalam sejarah dan kebudayaan. Maka dengan demikian dapat dikatakan

1
A. Susanto, Filsasat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2011), 125.
2
Sardjuningsih, Teori Agama: Dari Hulu Sampai Hilir (Kediri: STAIN Kediri Press, 2013), 1.

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 1
bahwa domain agama adalah konstruksi kreativitas manusia yang sifatnya sangat
relatif.3 Hal ini dapat diartikan bahwa pada awal munculnya agama merupakan hasil
penafsiran manusia terhadap kosmos sehingga melahirkan bentuk-bentuk
kepercayaan, dan sistem yang ditaati.
Dalam bentuk paling sederhana, agama diawali dengan cerita mitos. Artinya
segala bentuk kepercayaan terhadap kekuatan dan fenomena alam, atau bahkan
konsep ketuhanan pun didasarkan pada cerita-cerita mitos yang berkembang di
masyarakat. Seiring perkembangan manusia, kepercayaan terhadap kekuatan Supra
Empiris yang dibangun juga semakin maju. Mitos diganti dengan kepercayaan
dinamisme, animisme hingga sampai pada babakan zaman modern saat ini. sedangkan
agama dan konsep ketuhanan terus berkembang mengikuti konteks zamannya.
Konsep mitologi, dinamisme, animisme merupakan perkembangan agama
awal dalam kepercayaan primitif. Pra-animisme atau animatisme dianggap bagian
paling sederhana mendahului animisme. Dalam konteks ini, sebagaimana telah
dijelaskan di atas, bahwa historis agama tidak mengalami stagnasi melainkan
bergerak maju mengikuti konteks perkembangan pemikiran manusia. Artinya agama
dan konsep ketuhanan tidak berhenti pada pemahaman primitif akan tetapi senantiasa
berkembang hingga pada konsep teologi natural dan teologi wahyu.

B. PERNYATAAN MASALAH
Al-Qur’an dan Al-Hadist merupakan suatu pedoman bagi orang-orang
muslim. Oleh karena itu sebagai muslim yang baik kita mestinya dapat mengambil
dalil dari Al-Qur’an untuk memahami lebih jauh setiap permasalahan hidup, tidak
terkecuali dengan problem pengetahuan kita terhadap tuhan yang saat ini sering
dipermasalahkan karena tiap agama mempunyai konsep tentang monoteisme yang
berbeda, serta proses yang berbeda pula dalam tiap kitab suci berbagai agama.

C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi monoteisme ?
2. Bagaimana proses pecarian tuhan serta proses ditemukannya paham monoteisme ?
3. Apa kaitannya konsep monoteisme dalam Islam dengan QS. Al-Ikhlas ayat 1-4 ?
4. Apa Tujuan dan Manfaat mengetahui konsep Tuhan dalam Islam

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 2
D. METODOLOGI

Dalam penyusunan makalah ini, jenis penelitian yang digunakan adalah


penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan merupakan sebuah
penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dari bantuan
macam-macam materi yang terdapat diruang perpustakaan. Penelitian dalam bentuk
pustaka ini difokuskan pada penelusuran dan penelaahan literatur-literatur yang
berkaitan dengan tema yang akan di bahas untuk di kaji lebih lanjut. Disini terdapat
dua sumber kepustakaan yang menjadi rujukan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Sumber data primer


Sebagaimana yang diketahui bahwa sumber data primer adalah sumber
data atau literature yang menjadi sumber utama dalam penelitian ini, adapun yang
menjadi literatur pokok dalam penelitian ini.
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder adalah literatur atau rujukan kepustakaaan yang menjadi
bahan penjelas atau pendukung dari penelitian ini, baik yang bersumber dari
tulisan atau karya lain dari ulama-ulama tersebut maupun yang berasal dari
literature lain yang mempunyai keterangan dengan pembahasan seputar topik
yang dikaji, berupa buku, artikel, jurnal,website, atau tulisan ilmiah yang
memberikan pemaparan yang berhubungan dengan tema penelitian ini serta dapat
memperkuat argumentasi yang di bangun dalam penelitian ini. Sumber data
sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari sumber lain yang diperoleh
dari sumber primer.

Analisis Data
Adapun dalam pembahasan ini, penulis meggunakan 2 metode:
1. Deskriptif analitik, yaitu:Penyusun mencari data atau literatur kemudian
mengumpulkannya tentang objek-objek penelitian yang akan di teliti lalu di susun
dan dijelaskan secara sistematis dan objektif, kemudian di analisis dengan
menggunakan data-data yang sudah terkumpul. Dalam prakteknya diawali dengan
menjelaskan setiap langkah pengkajian deskriptif dengan teliti dan terperinci.3
2. Metode muqarin (komparatif), yaitu: menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
cara mengemukakan pendapat-pendapat para mufasir terhadap tema tertentu, lalu
3
Winarno Surakhma,. Pengantar Penelitian Ilmiah: dasar, metode dan teknik. (Bandung: Tarsito, 1982) hlm.
140.

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 3
membandingkannya untuk melihat dan menentukan variasi penafsiran terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an dari para penafsir yang berbeda, bukan untuk menentukan
benar dan salahnya.4

E. TUJUAN PENULISAN

Sejalan dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian


ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Mengetahui definisi monoteisme .


2. Mengetahui proses pecarian tuhan serta proses ditemukannya paham monoteisme.
3. Mengetahui kaitan konsep monoteisme dalam Islam dengan QS. Al-Ikhlas.
4. Mengetahui Tujuan dan Manfaat mengetahui konsep tuhan dalam Islam

F. HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari penulisan makalah ini, guna untuk menambah
wawasan penulis dalam menyusun penelitian ini dengan menelusuri penelitian atau
tulisan-tulisan yang pernah dilakukan dan menyinggung tema atau topik yang sama
yang termuat dalam beberapa buku, desertasi, tesisi, skripsi dan juga jurnal. Serta
makalah ini diharapkan medapatkan nilai yang baik dari dosen pengampu mata
kuliah.

4
M. Alfarih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. (Yoyakarta: TERAS, 2005) hlm. 151.

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI MONOTEISME

Ada beberapa pengertian monoteisme menurut para ahli. Monoteisme (berasal


dari kata Yunani monon yang berarti tunggal dan Theos yang berarti Tuhan) adalah
kepercayaan bahwa Tuhan adalah satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala
sesuatu. Terdapat berbagai bentuk kepercayaan monoteis, termasuk: Teisme, istilah
yang mengacu kepada keyakinan akan tuhan yang ‘pribadi’, artinya satu tuhan dengan
kepribadian yang khas, dan bukan sekadar suatu kekuatan ilahi saja. Intinya,
monotheisme adalah faham yang meyakini Tuhan itu tunggal dan personal, yang
sangat ketat menjaga jarak dengan ciptaan-Nya.
Monoteisme diduga berasal dari ibadah kepada tuhan yang tunggal di dalam
suatu panteon dan penghapusan tuhan-tuhan yang lain, seperti dalam kasus
penyembahan Aten dalam pemerintahan firaun Mesir Akhenaten, di bawah pengaruh
istrinya yang berasal dari Timur, Nefertiti. Ikonoklasme pada masa pemerintahan
firaun ini dianggap sebagai asal-usul utama penghancuran berhala-berhala dalam
tradisi Abrahamik, yang didasarkan pada keyakinan bahwa tidak ada Tuhan lain di
luar tuhan yang mereka akui. Dengan demikian, sebetulnya di sini tergantung
pengakuan dualistik dan diam-diam tentang keberadaan tuhan-tuhan yang lain, namun
hanya sebagai lawan yang harus dihancurkan karena mereka mengalihkan perhatian
dari tuhan utama mereka.
Monoteisme sebagaimana yang diwarisi oleh bangsa Israel dalam pengalaman
Exodus di bawah pimpinan Musa, dianggap, oleh mereka yang berpendapat bahwa
bangsa Israel ini adalah orang-orang Hiksos, sebagai pewaris kebijakan-kebijakan
keagamaan Akhenaten, karena sebelumnya orang-orang Yahudi ini adalah politeis
seperti halnya orang-orang Mesir. Masalah-masalah lain seperti Hak ilahi Raja juga
muncul dari hukum-hukum FIraun tentang penguasa sebagai demigod atau wakil-
wakil dari pencipta di muka bumi. Kuburan-kuburan yang besar di piramida Mesir
yang mengikuti observasi astronomis, menggambarkan hubungan antara firaun
dengan langit atau sorga dan karena itu kemudian diambil oleh para penguasa Kristen
yang mengklaim bahwa mereka diberikan kekuasaan langsung oleh Allah.

Terdapat berbagai bentuk kepercayaan monoteis, termasuk:

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 5
1. Teisme, istilah yang mengacu kepada keyakinan akan tuhan yang 'pribadi', artinya
satu tuhan dengan kepribadian yang khas, dan bukan sekadar suatu kekuatan ilahi
saja.
2. Deisme adalah bentuk monoteisme yang meyakini bahwa tuhan itu ada. Namun
demikian, seorang deis menolak gagasan bahwa tuhan ini ikut campur di dalam
dunia. Jadi, deisme menolak wahyu yang khusus. Sifat tuhan ini hanya dapat
dikenal melalui nalar dan pengamatan terhadap alam. Karena itu, seorang deis
menolak hal-hal yang ajaib dan klaim bahwa suatu agama atau kitab suci memiliki
pengenalan akan tuhan.
3. Teisme monistik adalah suatu bentuk monoteisme yang ada dalam Hindu. Teisme
seperti ini berbeda dengan agama-agama Semit karena ia mencakup panenteisme,
monisme, dan pada saat yang sama juga mencakup konsep tentang Tuhan yang
pribadi sebagai Yang Tertinggi, Mahakuasa, dan universal. Tipe-tipe monoteisme
yang lainnya adalah monisme bersyarat, aliran Ramanuja atau Vishishtadvaita,
yang mengakui bahwa alam adalah bagian dari Tuhan, atau Narayana, suatu
bentuk panenteisme, namun di dalam Yang Mahatinggi ini ada pluralitas jiwa dan
Dvaita, yang berbeda dalam arti bahwa ia bersifat dualistik, karena tuhan itu
terpisah dan tidak bersifat panenteistik. Panteisme berpendapat bahwa alam
sendiri itulah Tuhan. Pemikiran ini menyangkal kehadiran Yang Mahatinggi yang
transenden dan yang bukan merupakan bagian dari alam. Tergantung akan
pemahamannya, pandangan ini dapat dibandingkan sepadan dengan ateisme,
deisme atau teisme.
4. Panenteisme adalah suatu bentuk teisme yang berkeyakinan bahwa alam adalah
bagian dari tuhan, tapi tuhan tidaklah identik dengan alam. Pandangan ini diikuti
oleh teologi proses dan juga Hindu. Menurut Hindu, alam adalah bagian dari
Tuhan, tetapi Tuhan tidak sama dengan alam melainkan mentransendensikannya.
Akan tetapi, berbeda dengan teologi proses, Tuhan dalam Hinduisme itu
Mahakuasa. Panenteisme dipahami sebagai "Tuhan ada di dalam alam
sebagaimana jiwa berada di dalam tubuh". Dengan penjelasan yang sama,
panenteisme juga disebut teisme monistik di dalam Hinduisme. Namun karena
teologi proses juga tercakup di dalam definisi yang luas dari panenteisme dan
tidak menerima kehadiran Yang Mahatinggi dan Yang Mahakuasa, pandangan
Hindu dapat disebut sebagai teisme yang monistik.

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 6
5. Monoteisme substansi, ditemukan misalnya dalam sejumlah agama pribumi
Afrika, yang berpendapat bahwa tuhan yang banyak itu adalah perwujudan dari
substansi yang satu yang ada di belakangnya, dan bahwa substansi yang ada di
belakangnya itulah Allah. Pandangan ini banyak miripnya dengan pandangan
Tritunggal Kristen tentang tiga pribadi yang mempunyai hakikat yang sama.

G. PROSES PECARIAN TUHAN SERTA PROSES DITEMUKANNYA PAHAM


MONOTEISME

KH. Said Aqil Siroj dalam suatu kesempatan meringkas pengertian Abraham
(Nabi Ibrahim) ini sebagai "Bapaknya umat" pemeluk agama monoteisme samawi,
yakni Yahudi, Nasrani dan Islam.
Prosesi Ibrahim dalam mencari Tuhan telah mengillustrasikan adanya proses
dan tahapan dalam mencari sekaligus menemukan kebenaran. Di sinilah tergambar
dengan jelas tentang perjalanan spiritual manusia. Ibrahim memulai dengan
pemberdayaan potensi badani (phisik), kemudian potensi pikir (akliah, rasio) dan
terakhir potensi hati (qalbu). Semua ini merupakan langkah-langkah praktis bagi
manusia dalam menemukan kebenaran.
Pemberdayaan segala potensi sebagaimana yang dipraktikkan oleh Ibrahim
sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Nahl 78. Allah SWT berfirman, bahwa
manusia diciptakan dan dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu apapun. “Allah telah mengeluarkan kamu sekalian dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui suatu apapun, dan Dia adakan bagimu pendengaran,
penglihatan dan hati, mudah-mudahan kamu menjadi (hamba-hamba) yang bersyukur
kepada-Nya” .
Ketika lahir, tidak mengetahui sesuatu apapun bukan berarti kosong sama
sekali tetapi untuk menyatakan bahwa manusia ketika lahir itu dalam keadaan suci.
Dalam kesucian ini setiap manusia dalam kondisi fitrah. Berdasarkan firman Allah
dalam surat Al-Rum 30 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang telah meciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” Al-Thabari dan Al-Syuyuthi menyatakan bahwa fitrah
yang dimaksudkan di sini adalah fitrah keberagamaan, yaitu asal kejadian manusia

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 7
telah mengakui adanya Tuhan sebagai Tuhannya.5 Tegasnya yang dimaksudkan fitrah
adalah Islam yang berintikan tauhid.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-A’raf 172, di mana
manusia di alam dzuriat telah berikrar bahwa Allah adalah Tuhannya. “Dan ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar Engkau Tuhan kami, kami menjadi
saksi.” Sementara ulama lainnya disamping berpendapat bahwa fitrah berarti Islam,
juga berarti potensi dasar.6
Sementara hadist nabi yang juga menyebut kata fitrah pada “Kullu mauludin
yuladu ala al-fitrati (Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah)” juga sejalan dan
merupakan bayan tafsir dari ayat di atas. Manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Artinya ia memiliki seperangkat potensi-dasar sebagai faktor internal yang siap
menerima pengaruh baik dari orangtua, guru maupun lingkungannya sebagai faktor
eksternal. Jadi dalam Islam, baik faktor internal maupun eksternal bersama-sama
berpengaruh terhadap perkembangan manusia.
Dengan kemurahan Allah SWT, manusia dibekali dengan seperangkat
potensi-dalam, yaitu al-sam`a (pendengaran), al-abshara (penglihatan) dan al-
af‟idah (hati). Ketiga kata kunci ini telah menggambarkan adanya tiga potensi dasar
yang ada pada diri manusia, al-sam’a melambangkan adanya potensi phisik (potensi
panca indera), al-abshara (penglihatan) menggambarkan potensi akal- intelektual
karena penglihatan, observasi, research, merenung melibatkan potensi akal ini, dan
al-af‟idah sebagai potensi hati.
Dengan seperangkat potensi-dalam (faktor internal) ini, kita dituntut untuk
mensyukurinya, la`alakum tasykurun, yaitu dengan cara memberdayakannya
semaksimal mungkin dan mempergunakannya sesuai dengan tuntunan Ilahi. Secara
praksis, pemberdayaan potensi ini disebut sebagai faktor eksternal.
Pemberdayaan potensi phisik (olah phisik, olah raga) dengan berusaha
memenuhi kebutuhan akan makanan minuman yang bergizi (halal dan thayyib) dan
berolah raga secara teratur, akan melahirkan manusia yang sehat, bugar dan serasi,
sehingga memiliki ketrampilan (skill) yang memadahi. Pemberdayaan potensi akal-
5
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ul Bayan,an Ta’wili al-Qur’an, Jilid 19, Dar al-Fikry,
Beirut, 1984, hlm. 40-41
6
Abu al-Fadhal Jamaluddin Muhammad Ibn Makr Ibn Madkur, Lisan al-Arab, Jilid V, Dar al-Sadr, Beirut, t.t.,
hlm. 55-57

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 8
intelektual (olah pikir) dengan belajar, observasi, research sampai berfilsafat, akan
melahirkan beragam teori ilmiah dengan aneka sains dan teknologi sampai pada
lahirnya gagasan-gagasan yang filosofis. Pemberdayaan potensi hati (olah rasa)
dengan iman, zikir, amal salih dan amalan sufistik lainnya akan melahirkan orang-
orang suci, amanah, siddiq, sabar, dan ikhlas mengabdi.
Bila ketiga potensi dasar ini diberdayakan secara simultan maka akan
terciptalah insan kamil (manusia seutuhnya), karena ketiganya merupakan the gate of
knowledge (pintu gerbang pengetahuan), yang dengannya manusia bisa
mengembangkan dirinya secara sempurna. Untuk menjadi insan kamil, diperlukan
usaha dan doa optimal. Oleh karenanya tidak semua orang bisa memenuhinya, bahkan
oleh Allah dinyatakan bahwa kebanyakan manusia lalai, sehingga ketiga potensi ini
terbengkalai atau pincang. “Dan (Allah) telah mengadakan pendengaran, penglihatan
dan hati untukmu, tetapi sedikit kamu yang berterima kasih kepada-Nya” (QS. Al-
Mukminun 78). Padahal di akhirat kelak, ketiga potensi dasar ini nanti akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah. “Janganlah engkau turuti segala hal yang tidak
engkau ketahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
masing-masing akan diperiksa” (QS al-Isra 36). Pemberdayaan potensi secara optimal
dan simultan telah tercermin dalam kisah Ibrahim ketika mencari Tuhan. Oleh
karenanya secara ideal hendaknya menjadi suri teladan yang harus diikuti oleh
manusia.
Di sisi lain kita juga mendapat pelajaran berharga tentang perjalanan spiritual
manusia. Hal ini akan tanpak jelas dalam kronologis penyebutan potensi yang dimiliki
manusia. Penyebutan potensi alsam‟a diawal, al-abshara ditengah dan terakhir al-
afidah menunjukkan bahwa yang mula sekali berfungsi adalah potensi badani (panca
indera), kemudian baru potensi akal intelektual dan terakhir adalah potensi hati.
Kenyataan ini secara tegas dapat dicerna dalam ilustrasi Ibrahim dalam kisahnya
mencari Tuhan yang berawal dari pengamatan empiris, kemudian dipikirkan dan
akhirnya menemukan Tuhan melalui potensi hatinya, yaitu dengan imannya.
Demikian juga al-Ghazali yang mengawali karirnya sebagai ahli ilmu syariat, hal-hal
yang lahiriah (sebagai faqih), kemudian sebagai filosof dan akhirnya “dalam
kedamaian-Nya” sebagai sufi agung.
Potensi badani yang direpresentasikan dalam term al-sam’a yang berarti
pendengaran telah mencakupi potensi panca indera lainnya. Bila potensi badani ini
diberdayakan dengan olah-raga atau olah-fisik, maka ia akan melahirkan generasi

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 9
yang memiliki sklill yang memadahi, seperti yang didapati pada kalangan olah
ragawan. Berbagai kecakapan dan kemampuan badani tidak terlepas dari
pemberdayaan potensi al-sam‟a. Karena sifat fisik badaniahnya maka dalam
pendidikan dikenal dengan kemampuan tangan (hand ability).
Potensi kedua adalah al-abshara yang berarti penglihatan, pemandangan.
Penglihatan yang intensif mengarah kepada observasi dan research akan melahirkan
berbagai temuan ilmiah dan teori ilmu pengetahuan. Oleh karenanya barangkali al-
abshara di sini mewakili potensi akal dan karena letaknya di kepala. Karenanya bisa
dikatakan sebagai kemampuan akal pikiran (head ability). Pemberdayaan potensi ini
dikenal dengan olah pikir. Di mana dengan belajar giat, mengadakan observasi,
research, akan lahir generasi yang memiliki ilmu pengetahuan tinggi. Bahkan dalam
tataran tertentu dengan memberdayakan akal ini seoptimal mungkin, maka akan lahir
filosof-filosof terkemuka.
Potensi terakhir yang disebut dalam ayat ini adalah al-af‟idah (hati) heart
ability. Pemberdayaan potensi ini dikenal dengan olah-batin atau olah-rasa. Para sufi
barangkali mewakili untuk tahapan ini.
Lanjutan ayat berikutnya merupakan harapan ideal di mana manusia dituntut
untuk mensyukuri potensi ini dengan cara memberdayakannya melalui upaya
pendidikan. Jadi dalam Islam, baik faktor internal maupun eksternal bersama-sama
berpengaruh terhadap perkembangan manusia. Dengan kata lain faktor bawaan dan
faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap perkembangan manusia. Perpaduan
kedua faktor ini pada abad ke 19 diperkenal kembali oleh William Stern dengan teori
convergensi. Teori convergensi ini sendiri lahir sebagai sintesis dari teori
nativismenya Schoupen. Hauer yang hanya mempercayai faktor internal dan
empirismenya John Lokce yang hanya mempercayai faktor eksternal yang muncul
sebelumnya.
Di samping mengilustrasikan tentang perjalanan spiritual manusia, prosesi
Ibrahim dalam mencari Tuhan juga sebagai upaya dakwah kepada kaummnya yang
telah sesat. Dalam menuntun umatnya, Ibrahim tidak menghina atau menyerang,
melainkan membawa mereka kepada kebenaran secara bertahap; langkah demi
langkah seraya menghancurkan syirik untuk menetapkan dasar-dasar akidah.
Semula ketika malam tiba, Ibrahim sesaat menyaksikan bintang, ia
menyatakan bahwa bintang-bintang yang ada di langit adalah Tuhannya. Dengan
demikian umatnya yang sebagian para penyembah bintang merasa senang dengan

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 10
pernyataan Ibrahim ini. Namun setelah bintang-bintang itu lenyap, Ibrahim
menyatakan bahwa sesuatu yang berubah atau berpindah dan lenyap tidak mungkin
menjadi Tuhannya. Sebab berubah, berpindah dan lenyap mengindikasikan bahwa
benda itu “hadits” (baru), berawal dan berakhir.
Demikian pula ketika menyaksikan bulan yang terang, Ibrahim juga
menyatakan bahwa bulan adalah Tuhannya. Namun setelah bulan hilang dan tidak
bercahaya lagi, Ibrahim mengingkari bulan sebagai tuhan yang patut disembah.
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat”. Dalam hal ini dengan kebijaksanaan yang dimiliki,
Ibrahim ingin menyatakan bahwa sebagian umatnya yang menyembah bulan agar
menyadari akan kekhilafan dan kesesatannya.
Kemudian setelah malam berganti siang, tampaklah oleh Ibrahim matahari
yang sinarnya cerah menyinari bumi. Ibrahim menyatakan bahwa matahari adalah
Tuhannya, sebab matahari adalah benda terbesar di seluruh makhluk langit yang ia
saksikan. Dengan pernyataan Ibrahim ini membuat bangga para penyembah matahari.
Namun ketika matahari terbenam, Ibrahim mengingkari sebagai Tuhannya. Dia
menyatakan terlepas dari kesesatan kaumnya yang menyembah matahari.
“Sesungguhnya aku terlepas dari apa yang kamu persekutukan”.
Dengan demikian dalam prosesi Ibrahim dalam mencari Tuhan dapat
dipahami tentang metode dakwah, terutama dalam mengajak umat yang syirik
(politesme) kepada monotisme. Untuk membongkar kesesatan politisme umatnya,
Ibrahim menuntun umatnya, dengan memberikan hujah (bukti) dan argumentasi
(dalil) adanya keesaan Allah ta’ala.
Ibnu Arabi dalam kutipan Ali al-Shabuni menyatakan bahwa betapa indahnya
apa yang telah diberikan Allah kepada Ibrahim as berupa pengetahuan dalam
berargumentasi, menyatakan dan memenangkan dalil dengan tauhid. Hal ini juga
menerangkan maksumnya Nabi Ibrahim as dari kejahilan, syak dan ragunya Ibrahim
terhadap Allah, di samping memberitahukan bahwa apa yang terjadi antara Ibrahim
dengan kaumnya hanyalah sebagai metode Nabi Ibrahim as dalam menuntun umatnya
kepada kebenaran.7

7
Ali Al-Shabuni, Kenabian, hal. 89.

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 11
H. KAITAN KONSEP MONOTEISME DALAM ISLAM DENGAN QS. AL-IKHLAS
AYAT 1-4

Ajaran yang terkandung dalam surah al-Ikhlas seperti yang sering disebut
dalam hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, Ibnu Hanbal, Abu Dawud, an-Nasa’i, at-
Tirmidhi dan Ibnu Majah meliputi sepertiga ajaran al-Quran. Karena itu, dalam hadis-
hadis tersebut dikatakan bahwa membaca surah al-Ikhlas sama seperti membaca
sepertiga al-Quran.
Dengan kata-kata lain jika ditilik secara doktrin, sepertiga kandungan al-Quran
yang semuanya berisi ajaran tauhid teringkas secara padat dan mengena dalam surah
al-Ikhlas, sebuah surah yang mengajarkan keesaan Allah SWT.
Surah al-Ikhlas ini seperti yang dikemukakan para ahli tafsir klasik diturunkan
di masa-masa awal dakwah Nabi di Mekkah. Muhammad Asad dalam the Message of
the Qur’an menerjemahkan nama surah al-Ikhlas sebagai the declaration of God’s
perfection (Deklarasi mengenai keesaan Allah).
Ayat pertama dalam surah ini mengatakan: Qul Huwa Allah Ahad (Katakanlah
olehmu wahai Muhammad bahwa Allah itu Maha Esa). Ayat ini menunjukkan bahwa
fondasi dasar keyakinan dalam Islam dibangun di atas prinsip tauhid, prinsip yang
menekankan keesaan Allah SWT. Agama-agama pagan yang dilawan oleh al-Quran
dibangun di atas prinsip syirik, yakni pandangan yang meyakini akan adanya
perantara yang menghubungkan antara Allah dan manusia atau paham yang meyakini
adanya pluralitas Tuhan.
Perantara tersebut bisa dalam bentuk materi seperti berhala-berhala yang
dijadikan sesembahan dalam agama-agama pagan dan bisa juga dalam bentuk
immateri seperti akal-akal dan ruh-ruh langit yang dijadikan tumpuan dan harapan
dalam aliran kepercayaan filosofis dan gnostik yang irasional.
Agama-agama samawi seperti Tuhan, Kristen dan Islam merupakan agama-
agama yang didasarkan kepada prinsip tauhid namun dengan sedikit perbedaan, yakni
bahwa al-Quran memandang Tuhan dan Kristen telah melenceng dari ajaran tauhid
yang sebenarnya dan mulai ada kecenderungan ke arah syirik. Syirik yang mereka
lakukan sebenarnya dikategorikan sebagai syirik bid’ah karena syirik itu muncul
setelah mereka bertauhid.
Dalam QS. At-Taubah: 30-31, Allah SWT berfirman yang kira-kira
terjemahan Indonesianya demikian:

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 12
“Orang-orang Tuhan berkeyakinan bahwa Uzair adalah putera Allah
sedangkan orang-orang Kristen berkeyakinan bahwa Yesus Kristus adalah putera
Allah. Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Keyakinan mereka mirip dengan
keyakinan orang-orang kafir sebelumnya. Allah sungguh murka atas apa yang mereka
ada adakan. Mereka bahkan menjadikan para pendeta, para tokoh agama dan Yesus
Kristus sebagai Tuhan-Tuhan selain Allah. Padahal mereka tidaklah diperintah
kecuali hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak ada Tuhan selain-Nya.
Maha suci Allah atas apa yang mereka sekutukan.”
Ayat ini menjadi penegas bagi surah al-Ikhlas bahwa Islam sangat
menekankan doktrin tauhid: kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusannya. Dalam kalimat tidak ada Tuhan selain Allah
terkandung dua prinsip tauhid, yakni negasi dan afirmasi. Al-Quran menegasikan
semua jenis  Tuhan  dan mengafirmasi hanya satu Tuhan yang layak disembah: Allah
SWT.
Tidak hanya itu,  kesaksian ini juga menolak segala bentuk pengatribusian
sifat-sifat ketuhanan kepada selain Allah. Segala macam bentuk glorifikasi dan
pengkultusan atas individu ditolak mentah-mentah oleh al-Quran termasuk
pengatribusian Ezra atau Uzair dan Yesus sebagai putera Allah. Kendati yang
dimaksud ‘putera Allah’ oleh sebagian kalangan Tuhan (dan itu minoritas) dan
terutama Kristen di sini bukanlah putera biologis tapi lebih diartikan sebagai metafora
dari firman Allah, al-Quran tetap menolak prinsip ini. Hal demikian karena sama saja
dengan mengatribusikan sifat-sifat ketuhanan, terutama sifat kalam-Nya, kepada
selain Allah. Inilah yang dimaksud redaksi ayat lam yalid walam yulad (tidak
memperanakkan dan tidak diperanakkan).
Ayat ini tidak hanya menegasikan segala macam peranakkan. Seperti misalnya
teologi trinitas dalam Kristen yang mengajarkan bahwa Allah itu Bapa, Putera dan
Roh Kudus. Masing-masing hipostasis ini merupakan metafor dari sifat wujud, kalam
dan hayat. Dan kalam/putera, kata teolog Kristen seperti yang disebut at-Tabari dalam
Jami’ al-Bayan dilahirkan dari wujud/Bapa. Keyakinan yang sangat neoplatonis ini
ditolak oleh al-Quran dengan sebutan lam yalid wa lam yulad.
Syahadat tauhid ini juga mempertegas bahwa Nabi Muhammad SAW
hanyalah rasulnya. Posisi Nabi Muhammad SAW sama seperti manusia pada
umumnya. Perbedaan Nabi dengan manusia lainnya hanya soal turunnya wahyu
kepada beliau, wahyu yang berisi tauhid dan tidak lebih dari itu. Karena itu, nabi

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 13
berkali-kali marah ketika melihat ada usaha-usaha glorifikasi dan kultusisasi
pribadinya oleh sebagian umatnya. Bahkan sampai-sampai beliau tidak ingin disebut
sayyid yang dalam bahasa Inggris terjemahannya ialah lord.
Bukan sekedar persoalan beliau rendah hati seperti yang dipahami oleh
sebagian ulama, tapi  lebih kepada ingin mengikis habis sikap mudah mengglorifikasi
dan mengkultusakn tokoh-tokoh agama yang sudah jamak di abad pertengahan
ataupun di abad-abad sebelumnya. Bahkan Nabi Muhammad SAW tidak ingin
kesalahan yang dilakukan oleh umat pengikut ajaran para nabi terdahulu terulang dan
terjadi juga pada umatnya. Nabi tidak ingin seperti nasib Yesus Kristus dan Uzair
yang diposisikan oleh para pengikutnya sebagai putera Allah.
Meski Tuhan dan Kristen masih dianggap sebagai agama tauhid, al-Quran
tetap mengkritisi sebagian di kalangan mereka yang memiliki kecenderungan ke arah
syirik. Tentu kritik terhadap Tuhan dan Kristen dengan sendirinya sebenarnya kritik
terhadap umat Islam sendiri yang melakukan tindakan serupa. Misalnya di kalangan
muslim, kita sering mendengar syair-syair Ibad Allah, Ibada Allah, aghisuna, a’inunan
(wahai para wali Allah, tolonglah kami, bantulah kami karena Allah). Redaksi seperti
ini mengandung unsur syirik dan hal demikian sering kita temukan dalam tradisi
manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, terutama ketika kita membaca isinya, akan
ditemukan di situ banyak sekali unsur-unsur ke arah glorifikasi dan kultusasi terhadap
tokoh wali. Ini jelas bertentangan dengan prinsip ‘wa lam yakun lahu kufuwan ahad’.
Surah al-Ikhlas ini sebenarnya menekankan bahwa al-Quran sangat menolak
syirik dan semua yang mengarah ke arah syirik. Al-Quran menolak syirik yang
didasarkan atas keyakinan mengenai pluralitas Tuhan dan menolak syirik yang
berdasarkan kepada keyakinan mengenai adanya perantara-perantara yang
menghubungkan antara Allah dan manusia.
Hanya Allah lah yang as-shomad yang diterjemahkan Asad sebagai the
Uncaused Cause of All Being (Yang Maha Berdiri Sendiri). Dengan sendirinya,
semua makhluknya bertumpu kepada-Nya dan tak perlu ada perantara kecuali
perantara wahyu atau kenabian. Dalam bahasa Ibnu Sina, Tuhan itu Wajib al-Wujud.
Sedangkan ayat terakhir, al-Qur’an menolak segala bentuk pengatribusian sifat-sifat
ketuhanan kepada selain Allah SWT. Inilah prinsip tauhid Al-Quran.
Sebut saja surah al-Ikhlas ini mengajarkan kepada kita tentang arti penting
monoteisme radikal. Yahudi dan Kristen meski mengklaim sebagai agama monoteis

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 14
namun ajaran-ajarannya masih mengandung unsur syirik dan karena itu
monoteismenya kurang radikal. 
I. TUJUAN MENGETAHUI KONSEP TAUHID DALAM ISLA
a. Untuk mengetahui bagaimana implikasi tauhid uluhiyah, mulkiyah, dan rububiyah
dalam kehidupan?
b. Untuk mengetahui bagaimana syirik dalam kehidupan modern?
c. Untuk mengetahui bagaimana keterkaitan iman dan ilmu?

J. MANFAAT MENGETAHUI KONSEP TAUHID DALAM ISLAM


a. Untuk pemakalah, lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan implikasi
tauhid uluhiyah, mulkiyah, dan rububiyah dalam kehidupan, bentuk syirik dalam
kehidupan modern, dan keterkaitan iman dan ilmu.
b. Untuk pembaca, dapat menjadi referensi bacaan hal-hal yang berkaitan dengan
implikasi tauhid uluhiyah, mulkiyah, dan rububiyah dalam kehidupan, bentuk
syirik dalam kehidupan modern, dan keterkaitan iman dan ilmu.

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah melakukan penelitian, penulis mengambil kesimpulan bahwa, Nilai-


nilai ketauhidan yang terkandung dalam dan al-Ikhlās mencakup konsep monoteisme.
Dalam penafsiran surat al-Kāfirūn, secara umum menjelaskan akan perbedaan
sesembahan dan cara yang disembah oleh golongan kafir dan golongan Muslim.
Kedua golongan memiliki sesembahan dan cara beribadat yang berbeda, mereka
menyembah berhala-berhala dan Islam menyembah Allah SWT. sehingga tidak ada
kata toleransi dalam hal ibadat. Masalah konsep monoteisme (tauhid) dan aqidah
tidaklah dapat diperdamaikan atau dicampur-adukkan dengan syirik (sesembahan
selain Allah). Kedua golongan telah diberi kebebasan untuk melakukan peribadatan
sesuai keimanan mereka masing-masing dengan tidak menyentuh atau ikut campur
terhadap selain agama yang mereka yakini. Begitupun dalam surat al-Ikhlās yang
terkandung di dalamnya ketiga Tauhid tersebut. Kandungan Surat al-Ikhlās
merupakan pokok dan pangkal Akidah, puncak dari kepercayaan bahwa Allah adalah
ke-Esaan yang mutlak yang tidak ada sekutu baginya, satu-satunya pencipta alam
semesta dan seisinya dan tempat bergantung seluruh makhluk yang berhajat
kepadanya. Dialah Allah yang awal dan akhir yang tidak berkesudahan.
Melihat pada penafsiran para ulama terhadap QS. al-Ikhlās, penulis tidak
menemukan perbedaan penafsiran yang sangat signifikan, penjelasan setiap ayat dari
keempat penafsir secara global dapat penulis katakan dari segi substansi sama, saling
berkaitan dan tidak ada pertentangan.
Perbedaanya hanya dari segi karakteristik, metode dan corak dari masing-
masing penafsir serta terdapat perbedaan terjemahan kedua surat dari para penafsir.
Perbedaannya juga terlihat dari model penafsiran dari setiap mufassir, seperti
penafsiran az-Zamakhsyari yang lebih menekankan pada uraian balaghah dan
sastranya, akan tetapi kandungan ayatnya sedikit dan hanya secara global saja, tidak
semua ayat ia tafsirkan, yang menurutnya penting saja untuk ditafsirkan. Ath-Thabari
yang lebih kepada kajian bilma’tsurnya yaitu dengan menguraikan pendapat-pendapat
dari ulamaulama terdahulu serta melakukan tarjih terhadap riwayat atau pendapat
yang dikutip, akan tetapi terkadang ia tidak mengutarakan pendapatnya sendiri dan
menafsirkan ayatnya secara global saja. Hamka dalam penafsirannya menjauhi

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 16
penulisan tentang penertian kata (mufradat), ia lebih banyak menekankan pemahaman
ayat secara menyeluruh, menghindari israilliyat dan juga memasukkan antrolpologi
sejarah serta bercorak adaby ijtima’i. Pada akhir penafsirannya ia memberikan
ringkasan kandungan surat tersebut untuk membantu pembaca dalam memahami
materi apa yang dibicarakan dalam surat tersebut. Sama halnya dengan Quraish
Shihab yang penafsirannya juga bercorak adaby ijtima’i. Penafsirannya memang
terkesan bertele-tele, tidak tertuju langsung pada intinya, akan tetapi cara
penyajiannya juga memudahkan pemahaman pembaca dengan menghidangkan
bahasan setiap surat dengan apa yang dinamai tujuan surat atau tema pokok serta
memasukkan kajian mufradat.
Hal yang paling menonjol dari penafsirannya ialah penekanannya pada
munasabah atau keserasian antar ayat dan surat sehingga terlihat unsur keindahan Al-
Qur’an. Sama halnya dengan Hamka, pak Quraish juga memberikan kesimpulan atau
kandungan pokok dari surat tersebut di akhir penafsirannya.
Negara dan agama telah mengatur kehidupan antar umat beragama secara
murni. Tauhid tidak semata-mata berbicara hubungan vertikal saja, akan tetapi juga
berada pada level hubungan hirozontal, mengimplikasikan pentingnya hablun min al-
nas, sehingga Tauhid mempunyai dampak sosial konkret dalam kehidupan.
keterikatan hubungan yang sangat kuat antara hablun min Allah dengan hablun min
al-nas, serta menunjukkan sebagai bentuk keimanan dan ketaatan seorang hamba
terhadap Allah yang langsung berdampak pada relasirelasi sosial dan lingkungan
sebagai bentuk manifestasi Tauhid, dan inilah kandungan inti dari Tauhid Ketuhanan
Yang Maha Esa. Keberagaman yang ada di Indonesia dari segi warna kulit, ras, etnik,
bahasa, kebudayaan, agama, dan lain-lain, seluruhnya dapat dipersatukan dalam
ikatan kemanusiaan sebagi umat Tauhid. Eksistensi akan keberadaan agama-agama
lain, Al-Qur’an dengan tegas mengakuinya dan menyerukan kepada umat Islam untuk
hidup berdampingan secara damai. Semboyan bhinneka tunggal ika sangatlah
menggambarkan keberagaman bangsa Indonesia sebagai sebuah bentuk kesatuan dan
persatuan rakya Indonesia. Untuk konteks kenegaraan, kita sudah selesai dengan nilai-
nilai Pancasila yang tertulis dalam piagam Jakarta dan kepemimpinan yang
demokrasi. Pancasila sebagai Tauhid sosial yang berlandaskan pada ajaran Islam telah
mempersatukan semua perbedaan itu. Dengan begitu, sila kedua, ketiga, keempat, dan
kelima dengan sendirinya akan termanifestasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegera.

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 17
K. SARAN

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,


mengingat cakupan kandungan pesan-pesan ayat yang begitu puas. Harapan penulis,
penelitian ini tidak cukup sampai di sini, tetapi berlanjut pada permasalahan atau
persoalan yang lebih kompleks lagi. Pembahasan dalam penelitian ini tentunya
menyisakan berbagai persoalan yang kiranya bisa ditindaklanjuti kemudian, guna
memperoleh kesimpulan-kesimpulan baru dalam bidang ilmu pengetahuan kiranya
perlu dilakukan upaya penelitian yang berkesinambungan. Untuk mengoptimalkan
pembahasa ini, menuntut peneliti selanjutnya dengan semangat dan kemajuan
menghasilkan wacana baru dalam keilmuannya sehingga dapat menambah dan
mewarnai khazanah kelimuan yang semakin berkembang, sehingga keberadaannya
akan saling melengkapi antara satu dengan lainnya.
Demikianlah penelitian kajian konsep monoteisme dalam QS. al-Kāfirūn,
tentunya akan terdapat banyak kekurangan dari penelitian ini. Maka dari itu, penulis
mengharapkan kritikan dan saran konstruktif sebagai evaluasi dan refleksi untuk
penelitian ini dan penelitian selanjutnya. Besar harapan penulis agar penelitian ini
dapat menambah khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam bidang keilmuan Al-
Qur’an dan tafsir.

Wa Allahu a’lām bi al-ṣawwāb wa al-ḥamdu li Allahi rabbi al-ālamīn.

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 18
DAFTAR PUSTAKA

 Al-Thabari, A. j. (1984). Jami'ul Bayan an ta'wili Al-Qur'an Jilid 19. Beirut: Dar al-fikry.
 As-Shabuni, A. (1993). Kenabian. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
 M. Alfarih Suryadilaga, d. (2005). Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras.
 Madkur, A. a.-F. (n.d.). Lisan Al-Arab, Jilid V . Beirut: Dar Al-Sadr.
 Sardjuningsh. (2013). Teori Agama Dari Hulu Sampai ke Hilir. Kediri: STAIN Kediri Press.
 Surakhma, W. (1982). Pengantar Penelitian Ilmiah; dasar, metode dan teknik. Bandung:
Tarsito.
 Susanto, A. (2011). Filsafat Ilmu; Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistomologis dan
Aksiologis. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

KONSEP TUHAN DALAM ISLAM; Kajian QS. Al-Ikhlas, Monoteisme Islam (Tuhan satu)| 19

Anda mungkin juga menyukai