Anda di halaman 1dari 52

ULASAN TEMA KEISLAMAN:

1. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM


2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
5. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN
HUKUM

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam


Dosen Pengampuh:
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : BAIQ FARA AUDY HARPANI


NIM : E1Q02009
Fakultas&Prodi : FKIP dan Pendidikan Fisika
Semester : 1 (Ganjil)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Assaamualaikum warahamatullahi wabarakatuh

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah SWT. atas karunia-Nya berupa
nikmat iman,islam dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas yang
berjudul "ULASAN TEMA KEISLAMAN".
Sholawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada Rasulullah saw.yang telah
menunjukkan jalan yang lurus yang berupa ajaran agama islam dan menjadi rahmat bagi
umat muslim.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr.Taufiq Ramdani,S.Th,.I.M.Sos.
sebagai dosen pengampuh mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan saya sampaikan
terima kasih kepada kedua orang tua yang selalu mendukung saya dalam mengerjakan
tugas ini.
Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat dan menambah ilmu wawasan bagi
sang pembaca dan saya menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan tugas
ini.Apabila ada kesalahan dalam penulisan atau kata yang kurang berkenan saya mohon
maaf serta saya berharap semoga saran dan kritik dari pembaca dapat melengkapi segala
kekurangan tugas ini,terima kasih.

Penyusun,Lombok Timur, 24 Oktober 2020

Nama : BAIQ FARA AUDY HARPANI


NIM : E1Q02009

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER…….... …………………………………………………………….i


KATA PENGANTAR…………………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………iii
I Keistimewaan dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam……….1
II Sains dan Teknologi dan Al-Qur’an dan Al-Hadts…………………….…10
III 3 Generasi TerbaikMenurut Al-Hadits……………………………………..24
IV Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits…………………………………….....32
V Islam: Ajaran Tentang Berbagi serta Keadilan Penegakan Hukum…...44
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..48
LAMPIRAN

iii
BAB I

KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

1.1 Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan


Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya
dalam surat al-Furqan ayat 43.

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai


Tuhannya?

Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:

Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan
bagimu selain aku’.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung
arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata
(Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga
dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak
(jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti
tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai
berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang


dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan
diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri,

1
meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat
mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk
apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin
atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti
mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis
pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan
(utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan
dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan
yang bernama Allah.

1.1.1 . Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik
yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah
agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari
kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori
tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB
Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran
tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:

a. Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada
yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada
pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah
(Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau

2
diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius.
Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b. Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai


adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif
sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang
selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-
kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini,
agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus
menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah
satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

c. Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,


karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain
kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan
bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi
masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh


karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan
satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam


monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat

3
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max


Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan
adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang
yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap
Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami
sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara
evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan
pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan
masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul
kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal
dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).

1.2 Pemikiran Umat Islam


Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang
berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah
yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam
pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup
menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh
penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya
faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah
Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq
secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh
Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

4
Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok
orang Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan
kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah
yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan
gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa
khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul
Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah
terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi
Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas
dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah
bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari
perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya
bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk
memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan
penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah.
Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh
pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah
menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang
menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama
disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ.
Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok
Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-


segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok
lainnya. Menurut Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak
Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena
menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas
terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan

5
Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-
Maidah (5) : 44

َ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ فَأُولَئِكَ هُ ُم ْالكَافِرُون‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-
Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain
membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik
(pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-
Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat
tentang orang yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa
mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir. Para pelaku
politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka dinilai
sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin beralasan
bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati
seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu
bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti
orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan
mukmin berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan


tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha
mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir
melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut
memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa
besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil
membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah
ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang
yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry.
Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan,
“I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata

6
inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat
Harun Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep


yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada
waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin
Muktazilah terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya

2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)

3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)

4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)

5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang
baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-
kewajiban lain. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam
posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional
dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai


sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak.
Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan
orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang
jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu
kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.

1.3 Konsep Ketuhanan dalam Islam


Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang
yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran
konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu)
dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain

7
dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-
Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

ِ ‫ُون هَّللا ِ أَ ْندَادًا ي ُِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا‬


ِ ‫اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن د‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬

Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan
yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika
memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum
turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29).
Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab
sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah,
kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan
apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul
karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan
keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama
dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-
Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

َ‫س َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ َّن هَّللا ُ فَأَنَّى ي ُْؤفَ ُكون‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
َ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّش ْم‬ َ َ‫َولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َم َوا‬

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang
itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada
Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep
ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran
dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga
pengatur alam semesta.

8
Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana
dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai
jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah
yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping
Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah
hasanah.

9
BAB II

SAINS DAN TEKNOLOGI DAN AL-QUR’ANDANAL-HADITS

2.1 Dimensi Sains dan Teknologi dalam al-Qur’an

Kata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan satu
sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia tentang
alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan secara
rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran yang
diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah himpunan
pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari
penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-
60).

Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat
praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an bukanlah ensiklopedi sains dan
teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu secara gamblang.

Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an memberikan


informasi stimulan mengenai fenomena alam dalam porsi yang cukup banyak, sekitar
tujuh ratus lima puluh ayat (Ghulsyani, 1993: 78). Bahkan, pesan (wahyu) paling awal
yang diterima Nabi SAW mengandung indikasi pentingnya proses investigasi
(penyelidikan). Informasi alQur’an tentang fenomena alam ini, menurut Ghulsyani,
dimaksudkan untuk menarik perhatian manusia kepada Pencipta alam Yang Maha Mulia
dan Maha Bijaksana dengan mempertanyakan dan merenungkan wujud-wujud alam
serta mendorong manusia agar berjuang mendekat kepada-Nya (Ghulsyani, 1993).
Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam adalah tanda-tanda kekuasaan Allah. Oleh sebab
itu, pemahaman terhadap alam itu akan membawa manusia lebih dekat kepada
Tuhannya.

Pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi dapat ditelusuri dari pandangan al-
Qur’an tentang ilmu. Al-Qur’an telah meletakkan posisi ilmu pada tingkatan yang hampir
sama dengan iman seperti tercermin dalam surat al-Mujadalah ayat 11:

10
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia mencari ilmu atau menjadi ilmuwan
begitu banyak. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah yang berkaitan dengan hal ini.
Misalnya, mengajak melihat, memperhatikan, dan mengamati kejadian-kejadian (Fathir:
27; al-Hajj: 5; Luqman: 20; alGhasyiyah: 17-20; Yunus: 101; al-Anbiya’: 30), membaca
(al- ‘Alaq: 1-5) supaya mengetahui suatu kejadian (al-An’am: 97; Yunus: 5), supaya
mendapat jalan (al-Nahl: 15), menjadi yang berpikir atau yang menalar berbagai
fenomena (al-Nahl: 11; Yunus: 101; al-Ra’d: 4; al-Baqarah: 164; al-Rum: 24; al-Jatsiyah:
menjadi ulu al-albab (Ali ‘Imran: 7; 190-191; al-Zumar: 18), dan mengambil pelajaran
(Yunus: 3).

Sedangkan pandangan al-Qur’an tentang sains dan teknologi, dapat diketahui dari
wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia menciptakan


manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang
Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia Mengajarkan manusia
apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq: 1-5)

Kata iqra’, menurut Quraish Shihab, diambil dari akar kata yang berarti menghimpun.
Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak.
Sedangkan dari segi obyeknya, perintah iqra’ itu mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh manusia. (Shihab, 1996:433)

Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama dan
ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap tidak
mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting dalam
meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani mengajukan
beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama sebagai
berikut:

1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam
maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar: TA’DIB, Vol. XV No. 01.

11
Edisi, Juni 2010 126 “Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui.” Beberapa ayat lain yang senada di antaranya QS
2:31; QS 12:76; QS 16: 70.

2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya
berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada surat
Fathir ayat 27-28:

“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami
hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan di antara
gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan
ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah “ulama”.

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." Dengan jelas kata ulama
(pemilik pengetahuan) pada ayat di atas dihubungkan dengan orang yang menyadari
sunnatullah (dalam bahasa sains: “hukum-hukum alam”) dan misteri-misteri penciptaan,
serta merasa rendah diri di hadapan Allah Yang Maha Mulia.

3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata:


Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78)
(Ghulsyani, 1993: 44- 45).

Di samping itu, subyek yang dituntut oleh wahyu pertama (al-‘Alaq: 1-5) adalah
manusia, karena potensi ke arah itu hanya diberikan oleh Allah swt. kepada jenis
makhluk ini. Pemberian potensi ini tentunya tidak terlepas dari fungsi dan tanggung
jawab manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi. Sedangkan bumi dan langit
beserta isinya telah ‘ditundukkan’ bagi kepentingan manusia. Mari perhatikan firman
Allah di dalam surat al-Jatsiyah ayat 13:

“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya (sebagai rahmat dari-Nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”

12
Kata sakhkhara (menundukkan) pada ayat di atas atau kata yang semakna dengan itu
banyak ditemukan di dalam alQur’an yang menegaskan bahwa Allah swt. menundukkan
semua ciptaan-Nya sesuai dengan peraturan-peraturan (sunnatullah) Nya, sehingga
manusia dapat mengambil manfaat sepanjang manusia mau menggunakan akal dan
pikirannya serta mengikuti langkah dan prosedur yang sesuai dengan sunnatullah itu.
Misalnya, menurut Baiquni, (1997: 15- 16 ) tertiupnya sehelai daun yang kering dan pipih
oleh angin yang membawanya membumbung tinggi ke atas adalah karena aliran udara
di sekitarnya. Orang yang melakukan pengamatan dan penelitian untuk menemukan
jawaban atas pertanyaan: “bagaimana daun itu diterbangkan?”, niscaya akan sampai
kepada sunnatullah yang menyebabkan daun itu bertingkah laku seperti yang tampak
dalam pengamatannya. Pada dasarnya, sebuah benda yang bentuknya seperti daun itu,
yang panjang dan bagian pinggir dan lebarnya melengkung ke bawah, akan
mengganggu aliran udara karena pada bagian yang melengkung itu aliran udara tidak
selancar di tempat lain. Akibatnya, tekanan udara di lengkungan itu lebih tinggi dari pada
bagian lainnya sehingga benda itu terangkat. Orang yang melakukan pengamatan dan
penelitian itu menemukan sunnatullah yang dalam ilmu pengetahuan disebut
aerodinamika. Dengan pengetahuan yang lengkap dalam bidang aerodinamika dan
pengetahuan tentang sifat-sifat material tertentu manusia mampu menerapkan ilmunya
itu untuk membuat pesawat terbang yang dapat melaju dengan kecepatan tertentu.

Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia telah
dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri manusia)
dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-Qur’an juga
memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah penting bagaimana
memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara penghampiran yang
sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan al-Qur’an dalam surat al-
Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum, mengamati, dan memahami.
Dalam konteks sains, al-Qur’an mengembangkan beberapa langkah/proses sebagai
berikut.

Pertama, al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk mengenali secara seksama


alam sekitarnya seraya mengetahui sifat-sifat dan proses-proses alamiah yang terjadi di
dalamnya. Perintah ini, misalnya, ditegaskan di dalam surat Yunus ayat 101.

13
“Katakanlah (wahai Muhammad): Perhatikan (dengan nazhor) apa yang ada di langit
dan di bumi….”

Dalam kata unzhuru (perhatikan), Baiquni memahaminya tidak sekedar memperhatikan


dengan pikiran kosong, melainkan dengan perhatian yang seksama terhadap kebesaran
Allah SWT dan makna dari gejala alam yang diamati (Baiquni, 1997:20). Perintah ini
tampak lebih jelas lagi di dalam firman Allah di surat al-Ghasyiyah ayat 17-20:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan (dengan nazhor) onta bagaimana ia


diciptakan. Dan langit bagaimana ia diangkat. Dan gunung-gunung bagaimana mereka
ditegakkan. Dan bumi bagaimana ia dibentangkan.”

Kedua, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk mengadakan pengukuran


terhadap gejala-gejala alam. Hal ini diisyaratkan di dalam surat al-Qamar ayat 149.

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.”

Ketiga, al-Qur’an menekankan pentingnya analisis yang mendalam terhadap fenomena


alam melalui proses penalaran yang kritis dan sehat untuk mencapai kesimpulan yang
rasional. Persoalan ini dinyatakan dalam surat al-Nahl ayat 11- 12.

“Dia menumbuhkan bagimu, dengan air hujan itu, tanamantanaman zaitun, korma,
anggur, dan segala macam buahbuahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir. Dan Dia
menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu; dan bintang-bintang itu
ditundukkan (bagimu) dengan perintah-Nya. Sebenarnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang menalar.”

Tiga langkah yang dikembangkan oleh al-Qur’an itulah yang sesungguhnya yang
dijalankan oleh sains hingga saat ini, yaitu observasi (pengamatan), pengukuran-
pengukuran, lalu menarik kesimpulan (hukum-hukum) berdasarkan observasi dan
pengukuran itu.

Meskipun demikian, dalam perspektif al-Qur’an, kesimpulan-kesimpulan ilmiah


rasional bukanlah tujuan akhir dan kebenaran mutlak dari proses penyelidikan terhadap
gejala-gejala alamiah di alam semesta. Sebab, seperti pada penghujung ayat yang

14
menjelaskan gejala-gejala alamiah, kesadaran adanya Allah dengan sifat-sifat-Nya Yang
Maha Sempurna menjadi tujuan hakiki di balik fakta-fakta alamiah yang dinampakkan.

Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-


orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta
memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika,
fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang dapat
digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan
ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam
wujud keteraturan tatanan (order) di alam ini tersingkap.

2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah dalam al-Qur’an

Atas dasar pandangan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan (sains dan teknologi),
dapat dirumuskan beberapa prinsip dasar yang menopang dan memantapkan kegiatan
ilmiah manusia sebagai berikut.

1. Prinsip Istikhlaf

Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an
dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan erat
dengan fungsi kekhalifahan manusia. Dalam Islam, konsep kekhalifahan memiliki sifat
yang multi dimensional.

Pertama, konsep kekhalifahan telah menempatkan manusia sebagai pengatur dunia ini
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu, imanusia dibekali dengan
dua kekuatan pokok, wahyu Allah dan kemampuan berpikir (akal). Apabila dua kekuatan
itu dipergunakan sebagaimana mestinya, maka manusia akan meraih keberhasilan
dalam kehidupan kini dan kehidupan nanti.

Kedua, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang paling bertanggung jawab
terhadap Allah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab ini merupakan
konsekuensi logis dari anugerah kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.

Ketiga, sebagai khalifah Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki peranan penting
untuk mengolah potensipotensi alam semesta. Manusia paling berperan dalam
mengelola seluruh aspek kehidupan, baik aspek fisik, sosial, dan spiritual yang

15
didasarkan pada hukum-hukum Allah. Sungguhpun demikian, karena pusat kehidupan
alam semesta ini adalah Allah (Dia yang menciptakan, menggerakkan segala sesuatu,
dan mengawasinya), bukan manusia, maka manusia memiliki kemampuan terbatas.

2. Prinsip Keseimbangan

Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an adalah keseimbangan antara
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan material. Prinsip ini dibahas secara
luas dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan mengambi berbagai bentuk ungkapan.
Manusia disusun oleh Allah dengan susunan dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan
bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan susunan yang membentuk
manusia itu. Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki terwujudnya keseimbangan yang
adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan material) sehingga manusia mampu
berbuat, berubah dan bergerak secara seimbang.

3. Prinsip Taskhir

Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan al-Qur’an tentang
alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri, manifestasi prinsip ini ke dalam
kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan.

Alam semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk
kepada manusia. Allah telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya
yang sesuai dengan fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta
secara positif dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-
nilai dan norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta.
Oleh sebab itu, al-Qur’an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui batas.

Prinsip taskhir yang ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya
merupakan faktor kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban
yang sesuai dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan.

4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik

16
Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara sistem penciptaan yang mengagumkan
dengan Sang Pencipta Yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak
untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan keterkaitan itu.

Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk


mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka
sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya
di balik semua realitas yang diciptakan (makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses
penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya
telah ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang
Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.

Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan (sains dan
teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia
melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta
mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang
benar dan memuaskan.

2.3 Sains dan Teknologi Modern: Pertimbangan Epistemologis

Berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an di atas, beberapa isu penting di seputar


epistemologi sains dan teknologi modern patut dipertimbangkan.

Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan sarat nilai menjadi perhatian
dan polemik di kalangan ilmuwan Barat sejak Spengler menerbitkan bukunya The
Decline of the West setelah Perang Dunia I.

Argumen bahwa sains itu netral – bahwa sains bisa digunakan untuk kepentingan yang
baik atau buruk; bahwa pengetahuan yang mendalam tentang atom bisa digunakan
untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa menyembuhkan penyakit kanker; bahwa
ilmu genetika bisa dipergunakan untuk mengembangkan teknoogi pertanian dan juga
bisa dipergunakan untuk “menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa genetika) – semua tampak
amat meyakinkan. Tetapi, benarkah sains dapat dipisahkan dari penerapannya
(teknologi)? Padahal, sejak masa renaissance (masa kelahiran sains modern) tujuan
sains adalah untuk diterapkan dengan menempatkan manusia sebagai penguasa alam

17
dan memberinya kebebasan untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia
sendiri, apapun akibat yang ditimbulkannya.

Dampak-dampak fisis dari penerapan sains ini tentunya sudah dirasakan dalam realitas
kehidupan dahulu dan saat ini. Dengan demikian, pada hakekatnya sains tidak dapat
dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, sehingga sains tidak netral. Pernyataan
ini, sudah barang tentu, mengundang pertanyaan: “sistem nilai siapa yang
mempengaruhi sains?”

Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20) ada indikasi kuat bahwa sains banyak
dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut komunitas ahli sains yang terkait, yang
setengahnya tidak serasi dengan nilai Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang menyertai
sains modern harus diantisipasi secara cermat agar kita tidak terperangkap dalam nilai-
nilai yang tidak Islami itu.

Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan suatu pola di mana
rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan (scientific method).
Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas pada pola pikir manusia di hampir
semua bidang kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia atas realitasrealitas – baik
realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan – diukur berdasarkan kesadaran
obyektif di mana eksperimen, pengalaman empiris, dan abstraksi kuantitatif adalah cara-
cara yang paling bisa dipercaya. Akibatnya, seperti pengalaman AB Shah (1987)
(ilmuwan India) yang ingin memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat India,
sains telah memungkinkan manusia untuk memandang setiap persoalan secara obyektif
dan membebaskan manusia dari ikatan-ikatan takhayul. Akan tetapi, sayangnya, sains
juga membebaskan manusia dari agamanya. Tampaknya, menurut AB Shah, dunia
pengalaman kita sudah semakin sempit. Yang nyata adalah yang empiris, rasional.
Selain itu, termasuk agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan.

Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai sekularisme. Sains memisahkan secara
jelas antara dunia material dengan spiritual, antara pengamat dengan yang diamati,
antara subyek dengan obyek, antara manusia dengan alam. Akibatnya, karena sains
hanya mengamati fakta dan aspek yang dapat diukur, sifat ruhaniah dari alam dan

18
bendabenda yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang disebut sekularisme oleh
Naquib al-Attas. (1991)

Belum diketahui secara persis sejauh mana dampak nilai-nilai yang menyertai
perkembangan sains itu terhadap masyarakat Muslim. Akan tetapi, apa yang dikemukan
di atas (bahkan mungkin lebih dari itu) bukanlah rekaan dan mengada-ada. Inilah
ancaman serius bagi generasi sekarang dan generasi mendatang, yang oleh Ziauddin
Sardar (1987: 86) digambarkan sebagai imperialisme epistemologis. Dalam
ungkapannya:“Epistemologi peradaban Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran
dan pencarian yang dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan
alternatif lainnya. Jadi, semua masyarakat Muslim, dan bahkan sesungguhnya seluruh
planet ini, dibentuk dengan citra manusia Barat.”

Perangkap epistemoogi peradaban (termasuk di dalamnya sains dan teknologi) Barat


demikian kuatnya yang, tampaknya, tidak memungkinkan bagi siapapun untuk
menghindar darinya. Bagi umat Muslim, sungguhpun belum mampu menciptakan
epistemologi alternatif sebagai tandingan, dalam kapasitas kemampuan masing-masing
umat harus kembali kepada al-Qur’an seraya mencermati pesan-pesan ilahiyah yang
terkandung dalam fenomena alam semesta.

Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kerangka
tujuan ilahiyah. Berpijak pada ajaran Tauhid – di mana Allah adalah Pencipta alam
semesta, segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya – seyogyanya
setiap langkah yang diambil ditujukan untuk memperoleh keridlaan-Nya dan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Penyelidikan untuk menyingkap rahasia alam semesta
tanpa terkecuali terkait dengan kerangka tujuan ini.

Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap alam semesta hanya untuk


pemuasan keinginan (science for science), seperti yang berlaku di Barat. Menurut al-
Qur’an, sains hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir. Pemahaman seseorang
terhadap alam harus mampu membawa kesadarannya kepada Allah Yang Maha
Sempurna dan Maha Tak Terbatas. Dalam perspektif inilah al-Qur’an menampakkan
dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s. di dalam surat al-An’am: 76-79.

Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka cakrawala peneliti kepada pandangan
alam yang lebih komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam secara parsial dan sebagai

19
bagian yang terpisah dari dirinya, melainkan kesalinghubungan dalam kesatuan di balik
keragaman. Inilah yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa setiap benda yang diciptakan oleh
Allah berada dalam satu kerangka tujuan, sehingga benda terkecilpun memiliki nilai.

Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada kesadaran adanya realitas
supranatural di luar realitas eksternal yang dapat diindera. Oleh sebab itu, ada banyak
hal yang tidak bisa diraih lewat indera dan dengan demikian tumbuh suatu kesadaran
bahwa pada hakekatnya pengetahuan manusia itu sangat terbatas.

2.4 Implikasi Pandangan al-Quran tentang Sain dalam Proses Pembelajaran

kepada pandangan Barbour tentang relasi agama dan sains, secara umum ada
empat pola yang menggambarkan hubungan tersebut. Keempat hubungan itu adalah
berupa konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Hubungan yang bersifat konflik
menempatkan agama dan sains dalam dua sisi yang terpisah dan saling bertentangan.
Pandangan ini menyebabkan agama menjadi terkesan menegasi kebenaran-kebenaran
yang diungkap dunia sains dan sebagainya.

Persepsi yang menggambarkan hubungan keduanya sebagai interdependensi


menganggap adanya distribusi wilayah kekuasaan agama yang berbeda dari wilayah
sains. Keduanya tidak saling menegasi. Ilmu pengetahuan bertugas memberi jawaban
tentang proses kerja sebuah penciptaan dengan mengandalkan data publik yang
obyektif. Sementara agama berkuasa atas nilai-nilai dan kerangka makna yang lebih
besar bagi kehidupan seseorang.

Yang ketiga adalah persepsi yang menempatkan sains dan agama bertautan dalam
model dialog. Model ini menggambarkan sains dan agama itu memiliki dimensi irisan
yang bisa diperbandingkan satu sama lain. Pertanyaan sains bisa dipecahkan melalui
kajian-kajian agama dan sebaliknya.

Keempat, hubungan antara sains dan agama itu dinyatakan sebagai hubungan
terintegrasi. Integrasi ini bisa digambarkan dalam dua bentuk yakni teologi natural
(natural theology) yang memandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu merupakan
sarana mencapai Tuhan, dan teologi alam (theology of nature) yang menganggap

20
bahwa pertemuan dengan Tuhan harus senantiasa di-up grade sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan (Barbour, 2005).

Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya ilmu


pengetahuan dan menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah. Di samping itu, al-
Quran juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah Allah
SWT. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu dalam
pandangan al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran, yang secara tegas
maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa agama dan sain merupakan dua sisi
yang berbeda. Dengan demikian, dalam pandangan al-Quran, sains dan agama
merupakan dua hal yang terintegrasi.

Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses mengamati, menemukan,


memahami, dan menghayati sunnatullah, yang berupa fenomena alamiah maupun
sosial, kemudian mengaplikasikan pemahaman tersebut bagi kemaslahatan hidup
manusia dan lingkungannya serta menjadikan kesadaran adanya Allah dengan sifat-
sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki dari kegiatan pembelajaran.
Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada kesadaran adanya realitas
supranatural di luar realitas eksternal yang dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-prinsip
dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran, (istikhlaf, keseimbangan, taskhir, dan
keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam mempelajari
subyek apapun.

Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembagalembaga pendidikan formal, dari


jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi, masih menghadapi perosalan serius yang
bermuara pada dikotomi pandidikan. Ada beberapa persoalan yang signifikansi dampak
dari dikotomi pendidikan ini, yaitu:

1) munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak pada munculnya split


personality dalam diri peserta didik; 2) kesenjangan antara sistem pendidikan dengan
ajaran Islam berimplikasi pada out put pendidikan yang jauh dari citacita pendidikan
Islam.

Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu dilakukan upaya integrasi
dalam pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan sekelompok ahli pendidikan atau
cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan tesebut. Ada tiga tahapan upaya kerja

21
integrasi yang telah di kembangkan yaitu: 1) integrasi kurikulum, 2) integrasi
pembelajaran, 3) integrasi ilmu (Islamisasi ilmu).

Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilainilai ilahiyah dalam keseluruhan


materi pelajaran, mulai dari perumusan standar kompetensi sampai dengan evaluasi
pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang dimaksud adalah menanamkan motivasi dan
pandangan al-Quran tentang sains kepada peserta didik di saat proses pembelajran
berlangsung. Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan integrasi pembelajaran)
merupakan langkah strategis ke arah integrasi ilmu.

Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa dilakukan, setidaknya, pembelajaran sains
(kealaman maupun sosial) harus mampu menghantarkan peserta didik kepada
kesadaran yang permanen tentang keberadaan Allah. Sementara pembelajaran agama
harus mampu memotivasi peserta didik untuk melakukan kegiatan ilmiah secara terus-
menerus. Inilah yang sesungguhnya yang menjadi inti pandangan al-Quran tentang
sains.

2.5 Penutup

Islam pernah menjadi ahli dan penemu di berbagai bidang sains dan teknologi
pada masa klasik, namun sekarang kemajuan sains dan teknologi dalam berapa
dasawarsa abad XX telah menempatkan negara-negara yang penduduknya mayoritas
Muslim dalam posisi pinggiran.

Langkah awal yang harus ditempuh adalah membongkar kembali pemahaman umat
Islam terhadap agama yang dianutnya. Misalnya, beberapa terminologi keagamaan
seperti jihad, ilmu, taqwa, amal shalih, dan ihsan perlu ditafsirkan dalam konteks yang
lebih luas dari sekedar terminologi ibadah dalam arti sempit.

Terminologi jihad yang sementara ini dipahami dalam konteks ‘perang’ melawan orang
kafir dengan harapan pahala dan mati syahid, harus diperluas dalam konteks jihad
menuntut ilmu.

Persepsi umat Islam tentang ilmu dan persepsi-persepsi lain yang terkait dengan ilmu,
seperti sekolah agama dan ulama, harus diluruskan. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu
agama (ilmu naqli) dan ilmu non agama (ilmu aqli). Persepsi yang membuat dikotomi itu
telah menjauhkan umat Islam dari kemajuan sains dan teknologi. Sains yang maknanya

22
adalah ilmu dianggap begitu asing dalam pemikiran sebagian besar umat Islam masa
kini. Akibatnya, karena kata ulama (yang memiliki akar kata yang sama dengan ilmu)
dipersepsi sebatas orang yang berilmu di bidang pengetahuan agama, tidak
mengherankan apabila tokoh-tokoh sains Muslim tidak dikenali sebagaimana tokoh-
tokoh ulama (agama).

Demikian pula dengan terminologi amal shalih dan ihsan amat perlu diterjemahkan
dalam konteks yang meliputi karya sains dan teknologi, bukan kebajikan dalam arti
sempit. Umpamanya, seseorang yang mencipta teori baru di bidang sains dan teknologi
yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan harus dihargai sebagai orang yang
berbuat shalih. Pengembangan pemahaman umat Islam terhadap agamanya itu mudah-
mudahan dapat memotivasi untuk menekuni sains dan teknologi dengan landasan nilai-
nilai alQur’an.

23
BAB III

GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS

3.1 Pengertian Sahabat

Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam
keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah
murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam
pengertian ini lebih luas daripada sekedar duduk di hadapannya, berjalan bersama,
terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila
salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum
radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah
Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)

3.2 Sikap Ahlus Sunnah terhadap para Sahabat

Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah


wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan sering
menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendo’akan rahmat kepada para
sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan ; Wahai
Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami
dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami
kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Hasyr : 10) Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh
Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan
kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi
perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang
agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi
di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang
apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala.

24
“Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah mereka
perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 141). Barangsiapa yang
mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab,
As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)

3.3 Dalil-dalil Al Kitab tentang keutamaan para Sahabat

1. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah beserta
orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan
saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa
mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath)

2. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bagi orang-orang fakir dari kalangan
Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka
karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang
yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai
orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak
ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan
saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam
kesulitan.” (QS. Al Hasyr : 8-9)

3. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-
orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di
bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.
Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka
dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18)

4. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terlebih dulu
(berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun
ridha mepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah : 100)

25
5. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari dimana Allah tidak akan
menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka
bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim :) (lihat Al Is’aad,
hal. 77-78)

3.4 Dalil-dalil dari As Sunnah tentang keutamaan para Sahabat

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela


seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada
salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu
tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar
genggaman tangan atau bahkan setengahnya saja.” (Muttafaq ‘alaih)

2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat),


kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang
mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)

3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat


bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan
akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku. Apabila aku
telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku.
Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para
sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red)
yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)

4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencela para


sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan
laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah : 234)

5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan


tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah : 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)

3.5 Dalil Ijma’ tentang keutamaan para Sahabat

1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya,


“Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada
seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang

26
ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan
para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”

2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat


adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam fitnah maupun tidak, ini berdasarkan
kesepakatan para ulama yang layak untuk diperhitungkan pendapatnya.”

3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah
sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang
menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli
bid’ah.”

4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah


adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang
terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya sesudah
tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh
oleh Al Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan
kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para
sahabat sama saja dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)

3.6 Urutan keutamaan para Sahabat

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki


keutamaan yang bertingkat-tingkat. [1] Yang paling utama di antara mereka adalah
khulafa rasyidin yang empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu’anhum al
jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam,
“Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang
berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.” [2] Kemudian sesudah
mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira pasti masuk surga selain
mereka, yaitu : Abu ‘Ubaidah ‘Aamir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin
Zaid, Zubeir bin Al Awwaam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf
radhiyallahu’anhum. [3] Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu [4] Ahlu Bai’ati Ridhwan,
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang
yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah
pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.
Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka

27
dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath : 18). [5] Kemudian para sahabat yang
beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama daripada
sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath. Allah ta’ala berfirman
yang artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara
kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-
orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah
janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid : 10). Sedangkan yang dimaksud
dengan Al Fath di sini adalah perdamaian Hudaibiyah. [6] Kemudian kaum Muhajirin
secara umum, [7] kemudian kaum Anshar. Sebab Allah telah mendahulukan kaum
Muhajirin sebelum Anshar di dalam Al Qur’an, Allah subhanahu berfirman (yang artinya),
“Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka
dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan
keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang
yang benar.” (QS. Al Hasyr : 8). Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah
berfirman tentang kaum Anshar, Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut
(Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah
kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa
yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka
sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barangsiapa yang
dijaga dari rasa bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Al Hasyr : 9). Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum
Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama.
Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-
harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman mereka…”
(Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul
‘Aqidah, hal. 492-494)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab


berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal
shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka
kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman
yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum
Anshar.” (QS. At Taubah : 117). Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan

28
antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka
(terhadap dakwah Nabi di Mekkah, pent). Sedangkan orang paling utama di antara para
sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian
‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap
dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan
antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman
kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru
‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang
pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman
maka tidak dicap sesat, karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang
berpendapat demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)

3.7 Menyikapi polemik yang terjadi di kalangan para Sahabat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap


mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang
terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari
kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber
dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka dia
berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia
berhak mendapatkan satu pahala. Dan polemik yang mencuat di tengah mereka
bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud
membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat
radhiyallahu’anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang
paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari
kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik
umat manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan
demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk
memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara
mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan
rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)

29
3.8 Keterjagaan para Sahabat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para


sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena
mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada
orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk
meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut :

1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih

2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik
generasi (sebaik-baik umat manusia, red)

3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang
selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan

4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa
yang dilakukan sebelumnya.

5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan

6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi
yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan
menutup bekas-bekas dosa.

7. Kaum mukminin senantiasa mendo’akan mereka

8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat
manusia yang paling berhak untuk memperolehnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang


diingkari (karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan
mereka. Hal itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan
juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik. Belum
pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)

30
3.9 Cintailah mereka!

Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan, “Kami -Ahlus Sunnah-


mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui
batas dalam mencintai salah seorang di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas
diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka
dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara yang tidak baik.
Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah
termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran,
kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah,
hal. 488

31
BAB IV

PENGERTIAN SALAF (REFERENSIHADITS)

Pengertian Salafi Isilah Salafi atau Salafiyah menurut bahasa adalah telah lalu.
Kata Salaf juga bermakna seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu,
iman, keutamaan dan kebaikan. Ibnu Manzhur mengatakan bahwa salaf berarti orang
yang mendahului anda, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang
lebih tua umurnya dan lebih utama. (Yazid bin Abdul Qodir jawas 2009 : 14)

Adapun salaf menurut istilah adalah sifat yang khusus dimutlakkan kepada para
sahabat. Ketika disebutkan salaf, maka yang maksud pertama kali adalah para sahabat.
Adapun selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang–orang yang
mengikuti mereka. Artinya bila mereka mengikuti para sahabat, maka disebut Salafiyyun
(orang- orang yang mengikuti salafush shalih) (Yazid : 15). Allah berfirman dalam al-
Qur’an surat al-Taubah ayat 100 yang maksudnya bahwa: "Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-
orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.”

Dari segi zaman, kata salaf digunakan untuk menunjukkan kepada sebaik-baik kurun,
dan yang lebih patut dicontoh dan diikuti yaitu tiga kurun yang pertama (dalam Islam)
yang diutamakan, yang disaksikan dan disifati dengan kebaikan melalui lisan sebaik-baik
manusia, yaitu Rasulullah. (Yazid : 18)

Apakah pembatasan dari segi zaman ini cukup untuk membatasi pengertian salaf,
sehingga setiap orang yang hidup pada tiga generasi awal adalah termasuk dalam
kriteria salaf. Tentu saja tidak demikian, sesungguhnya sudah banyak golongan dan
kelompok muncul pada masamasa tersebut. Terdahulu berdasarkan masa, tidak cukup
untuk menentukan itu salaf atau tidak. Harus ditambahkan syarat dalam hal ini yatiu
kesesuaian dengan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga siapapun yang akalnya menyelisihi
kedua sumber tersebut bukanlah salafi, meskipun dia hidup ditengah-tengah para

32
sahabat dan tabi’in. (Abdussalam bin Salim al-Suhaimi 1429 H : 56). Ada beberapa hal
di dalam memahami pengertian Salafi yaitu:

Al-salaf yaitu mereka tiga generasi pertama dan paling utama dari umat islam, yaitu para
sahabat (mereka yang hidup sebagai muslim pada masa Nabi, pernah bertemu dengan
beliau, serta wafat sebagai muslim), Tabi’in (mereka yang hidup di masa sahabat dan
wafat sebagai muslim), dan Tabi’ut Tabi’in (mereka yang hidup di masa tabi’in dan wafat
dalam keadaan muslim).

Salafiyah adalah sebuah gerakan dakwah yang sama artinya dengan gerakan dakwah
Ahlul Sunnah wal Jama’ah. Gerakan dakwah ini sudah mulai dari masa Rasulullah, lalu
terus berlanjut dan Manhaj Salafiyah, Muhammaddin 149 mempertahankan
eksistensinya hingga menjelang akhir zaman kelak. Salafi adalah sebutan untuk orang
yang menyatakan diri sebagai muslim yang berupaya mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-
Hadits, sesuai dengan pemahaman ulama al-Salaf. Dari uraian tersebut dapat dipahami
bahwa salafiyah adalah arus pemikiran yang mengedepankan nash-nash syar’iyah
berbagai macam pemikiran baik secara metode maupun sistem, yang senantiasa
komitmen terhadap petunjuk Nabi dan petunjuk para sahabat baik secara keilmuan dan
pengamalan, menolak berbagai manhaj yang menyelisihi petunjuk tersebut, baik terkait
masalah ibadah maupun ketetapan syari’at. (Zainal Abidin bin Syamsudin 2009 : 26)

Imam al-Safarini mengatakan bahwa yang dimaksud mazhab salaf ialah apa yang
berjalan di atasnya para sahabat yang mulia, orangorang yang mengikuti mereka
dengan baik (tabi’in), tabi’ul tabi’in, para imam Islam yang diakui keimanan mereka dan
dikenal besar peranannya dalam Islam serta diterima ucapannya oleh kaum muslimin
generasi demi generasi, bukan mereka yang tertuduh dengan kebid’ahan, atau dikenal
dengan julukan yang tidak diridhai seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji’ah,
Jabariyah, Jahmiyah, Mu’tazilah dan sebagainya. (Abdussalam : 56). Salaf atau
salafiyah memiliki nama-nama lain, diantaranya ; al-Jama’ah, Ahlul Sunnah wal
Jama’ah, Ahlul Atsar, alFirqatun Najiyah, al-Thaifah al-Manshurah. (Yazid : 33)
Penyebutan alJama’ah berdasrkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,
yang artinya “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab
telah terpecah belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan. Sesungguhnya umat Islam

33
akan terpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, 72 golongan tempatnya di
dalam neraka, dan hanya satu golongan di dalam surga, yaitu al-Jama’ah. (Yazid : 34)

Penamaan mereka dengan nama ahlul sunnah wal jama’ah, ini disebabkan karena
mereka membedakan diri dengan dua pembeda yang utama, yaitu: pertama, berpegang
teguh dengan sunnah Rasul, hingga menjadi ahlinya. Berbeda dengan golongan lain
yang berpegang teguh dengan akal dan nafsunya serta pendapat para tokohnya. Maka
mereka ini tidak dinisbahkan kepada al-sunnah, tetapi kepada kebid’ahannya. Kedua,
mereka adalah ahlul jama’ah, karena bersatu di atas al-haq, tidak terpecah belah.
Berbeda dengan golongan lain, karena mereka tidak bersatu di atas al-haq, tetapi hanya
mengikuti hawa nafsunya. JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2/147-161 150
(Abdussalam : 49) Adapun makna ahlul atsar, menurut al-Safarini adalah mereka yang
hanya mengambil aqidah mereka dari apa yang diriwayatkan dan dinukilkan dari Allah
dalam kitab-Nya, sunnah Nabi, sesuatu yang shahih dan tsabit dari salaful shalih dari
kalangan para sahabat yang mulia dan para tabi’in. (Abdussalam : 52)

Sebutan al-firqatun najiyah artinya golongan yang selamat, yaitu golongan yang selamat
dari api neraka. Nabi mengecualikan golongan ini ketika menyebutkan seluruh golongan
yang ada dengan sabda beliau “Seluruhnya masuk neraka, kecuali satu golongan”, yaitu
yang tidak masuk neraka. (Yazid : 20) Sedangkan penyebutan al-thaifah almanshurah
artinya, golongan yang mendapatkan pertolongan Allah. Berdasarkan sabda Nabi “
Senantiasa ada di antara umatku yang selalu dalam kebenaran menegakkan perintah
Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang melecehkan mereka dan orang yang
menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap di atas yang
demikian itu.” (Yazid : 36)

Lukman bin Ba’abduh (2005 : 88) dalam bukunya “Mereka adalah Teroris”,
memeberikan pemahaman bahwa sebutan ahlul hadits. al-firqatun najiyah dan al-thaifah
al-manshurah itu diperuntukkan bagi siapa saja yang dalam semua urusan agama
senantiasa mengikuti apa yang Rasulullah dan para sahabatnya berjalan di atasnya.
Sebaliknya, barang siapa yang menyimpang dari jalan tersebut, maka dia termasuk
golongan yang celaka dan sesat.

Untuk lebih mudah memahami tentang salafi, perlu diketahu profil yang khas dari salafi
yaitu (Yazid : 159) : orang-orang yang berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah

34
Rasul, dan jalan hidup generasi Islam awal terdahulu dari kalangan al-muhajirin dan al-
anshar; mereka adalah teladan baik yang menunjukkan kepada kebenaran serta
mengamalkannya; ahlul sunnah adalah orang-orang pilihan yang melarang kebid’ahan
dan menjauhi para pelakunya; ahlul sunnah adalah orang -orang asing di saat zaman
sudah penuh dengan kerusakan; ahlul sunnah adalah orang-orang yang membawa
cahaya ilmu mencegah penyelewengan orang-orang yang melampaui batas,
perpecahan ahli kebatilan dan penakwilan orang-orang yang jahil; dan ahlul sunnah
adalah yang membuat sedih orang banyak bila terpisah dengan mereka.

4.1 Prinsip- Prinsip Faham Salafi

Gerakan salafi berdiri di atas prinsip-pronsip yang kokoh dan benar, sehingga
siapapun yang berpegang teguh dengannya maka dijamin bahagia dan senantiasa
selamat dari keksesatan, kebia’ahan dan kebatilan. Prinsip-prinsip yang kokoh yang
dipegang teguh manhaj ini banyak sekali, prinsip dalam hal aqidah, dalam ibadah, dalam
mu’amalah dan prinsip dalam dakwah dan lain-lain. Di sini hanya memaparkan sebagian
saja dari prinsip-prinsip manhaj salaf. Diantaranya prinsip-prinsip yang dipegang oleh
manhaj salaf tersebut ialah:

1. Sumber aqidah adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang shahih dan ijma’ salaful
shalih. Sumber rujukan dalam memahami aqidah dalam manhaj salaf hanya terbatas
pada tiga, yaitu al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ salaful shalih. Aqidah dalam agama Islam
adalah perkara yang ghaib, yakni yang tidak dapat diketahui dengan sunnah dan ijma’
ahlul sunnah karena ijma’ mereka ma’sum. Yang menjadi tolok ukur dan patokan dalam
menjelaskan persoalan tauhid kepada manusia adalah al-Qur’an dan al-Sunnah tanpa
membuat kebid’ahan, atas menimba dalil-dalil dari ilmu filsafah yang tidak pernah dapat
sinkron dengan al-Qur’an alSunnah. (Zainal Abidin : 38)

Dalam memegang prinsip ini, lebih lanjut mereka berpegang teguh pada pemahaman
sahabat dalam berinteraksi dengan nash- nash agama dan mengambil interpretasi
mereka dalam menganalisis dan menyimpulkan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah,
karena mereka secara langsung menimba ilmu dan mengambil kaidah tafsir dari
Rasulullah saw. Salafi menolak dengan tegas setiap takwil yang diusung oleh kalangan
ahli kalam dalam berinteraksi dengan nash- nash, karena manhaj ahli kalam menjadikan
akal sebagai asas untuk mengukur dan menilai kebenaran nash. Bila nash agama cocok

35
dengan logika maka nash tersebut diambil dan bila tidak cocok maka harus dipalingkan
kepada makna lain yang sesuai dengan logika mereka. (Zainal Abidin).

Dalam memahami persoalan aqidah, manhaj salaf mempunyai rambu-rambu yang harus
diperhatikan, yaitu (Abdussalam : 73) : Pertama, membatasi sumber pengambilan i’tiqad
dan kitab Allah dan sunnah Rasul, serta memahami nash sesuai dengan pemahaman
salaful shalih. Kedua, Berhujjah dengan sunnah yang sahih dalam masalah
JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2/147-161 152 aqidah, baik sunnah yang yang sahih
itu mutawatir maupun ahad. Ketiga, menerima yang dibawa wahyu, tidak menentangnya
dengan akal dan tidak berdalam- dalam membahas masalah ghaib yang tidak ada
peranan akal didalamnya. Keempat, tidak bergelut dengan ilmu kalam dan filsafat.
Kelima, menolak penakwilan yang batil. Keenam, menggabungkan nashnash dalam satu
masalah.

Menurut manhaj ini dalil naqli harus lebih didahulukan dari pada dalil aqli. Apabila Allah
telah berfirman, tidak diperkenankan ada pendapat lain, dan jika Rasulullah telah
bersabda tidak diperkenankan ada pendapat lain. ahlul sunnah menghormati dan
berlaku sopan terhadap nash yang datang dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang shahih.
(Ahmad Farid 2009 : 27)

Mereka mengamalkan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 1 yang bermaksud : Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya1 [1] dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.

Manhaj ini juga menolak takwil perkataan manusia, karena takwil merupakan pintu
keburukan yang sangat besar bagi umat. Makna takwil secara istilah yang dipakai oleh
para salaf adalah pengalihan suatu lafazh dari lahiriahnya ke makna yang lain (marjuh,
lemah). Takwil seperti ini ditolak oleh para salaf. Karena lahiriah al-Qur’an dan Sunnah
wajib diikuti dan dipakai sebagai rujukan. Membuka pintu takwil seperti itu akan
menyebabkan agama ini menjadi hancur. Maka lahiriah alQur’an dan Sunnah wajib
dipegang dan menjadi rujukan, meski dalil menunjukkan bahwa lahiriahnya bukan yang

36
dimaksudkan. ( Ahmad Farid, : 34) Manhaj salafi berpendapat bahwa dalam memahami
alQur’an dibutuhkan telaah tafsir, terlebih lagi ayat-ayat yang membutuhkan tafsir dan
penjelasannya. Di dalam memahami al-Qur’an, manhaj ini menggunakan beberapa
kriteria tafsir yaitu: tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, tafsir al-Qur’an dengan Hadits
shahih, tafsir al-Qur’an dengan ucapan para shahabat, tafsir al-Qur’an dengan ucapan
para tabi’in, dan tafsir al-Qur’an dengan bahasa Arab. (Muhammad bin Shalih al-
Utsaimin 2006 : 117) Terkait menafsirkan al-Qur’an dengan akal (ra’yu), manhaj salaf
berpendapat ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang. Yang dibolehkan adalah mana
kala tafsir tersebut didukung oleh dalil dan atas dasar prinsip-prinsip ilmu perangkat
tafsir. Al-Baihaqi mengatakan: Bila Hadits tentang larangan tafsir dengan ra’yu itu
shahih, maka yang beliau maksudkan-wallahu a’lam- hanyalah pendapat yang dominan
(akalnya) tanpa dalil yng mendasarinya, adapun yang didukung oleh dalil maka
berpendapat dengannya boleh”. Sedangkan yang terlarang adalah bila tafsir itu semata-
mata hanya pendapat atau gagasan. Ibnul Anbari mengatakan : sebagian ulama
mengarahkan makna ra’yu tersebut kepada makna hawa nafsu, maka barang siapa
yang mengatakan (menafsirkan) sesuatu dari al-Qur’an dengan pendapat yang sesuai
dengan nafsunya dan tidak mengambil dari para imam ulama salaf, seandainya pun
benar maka itu salah, karena ia menghukumi sesuatu atas al-Qur’an tanpa mengetahui
dalilnya dan tanpa pengetahuan terhadap mazhab ahli Hadits dalam masalah itu.
(Qomar Su’aidi ZA 2008 : 454)

2. Wajib taat kpada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan
untuk berbuat kemaksiatan. Apabila mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat,
dikala itu tidak boleh mentaati namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya. Ibnu
‘Abil ‘Izz berpendapat bahwa hukum mentaati ulil amri adalah wajib selama tidak dalam
kemaksiatan meskipun mereka berbuat zalim, karena kalau ke luar dari ketatan kepada
mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibandingkan dengan
kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat
melebur dosa- dosa dan dapat melipargandakan pahala23 . (Yazid bin Abduk Qadir
Jawas 2006 : 573) Ahlu sunnah mentaati pemimpin dalam hal yang ma’ruf. Jika para
pemimpin memerintahkan perbuatan taat kepada Allah, maka ahlu sunnah akan
melaksanakannya dalam rangka mengamalkan apa yang ditunjukkan oleh nash
mengenai perbutan taat ini, dalam rangka mengikuti apa yang diperintahkan oleh Nabi.

37
Apabila pemimpin memerintahkan kemaksiatan, maka Ahlu Sunnah tidak melakukan
kemaksiatan tersebut. Namun tidak berarti membolehkan untuk melakukan
pembangkangan kepada para penguasa tersebut. (Ibrahim bin ‘Amar al-Ruhaili 2006 :
28)

Kesepakatan yang menjadi prinsip ahlu sunnah wal jama’ah tentang wajibnya
mendengar dan taat kepada para penguasa dibangun di atas nash atau dalil yang jelas
dan mutawatir. Allah berfirman di dalam al-Qur’an surat al Nisa’ ayat 59 yang bermaksud
: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.

Terkait dengan ayat ini Abdul Rahman al Sa’di berpendapat, Allah memerintahkan untuk
taat kepada pemimpin Negara. Mereka adalah orang- orang yang meimiliki tanggung
jawab mengurusi manusia , yaitu para pemimpin dari kalangan pejabat Negara, ataupun
para penguasa dan ahli fatwa. Karena urusan agama dan dunia mereka tidak akan
berjalan dengan baik melainkan dengan cara taat dan tunduk kepada para penguasa,
sebagai perwujudaan ketaatan kepada allah dan mengharap pahala disis-Nya. Akan
tetapi dengan syarat penguasa tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat,
jika mereka memerintahkan berbuat maksiat maka tidak boleh ada ketaatan sedikitpun
kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Allah. (Abdul Salam bin Barjas 1999 : 80)

Sedangkan dalil tentang ketaatan kepada pemimpin yang bersumber dai Hadits adalah
Hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah
bersabda, yang artinya “ Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat kepada
pemimpin Negara dalam perkara yang dia cintai maupun yang dia benci, kecuali jika dia
diperintahkan untuk berbuat maksiat. Karena jika dia diperintahkan untuk berbuat
maksiat maka dia tidak wajib ia mendengar dan taat kepada pemimpin itu.” (Abdul
Salam : 81). Mubarok Furi berkata tentang maksud dari Hadits tersebut, bahwa jika
pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah maka

38
wajib melaksanakannya. Sedangkan al-Muthahhar menjelaskan bahwa mendengar
ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia
memerintahkan untuk berbuat maksiat.

Keberadaan penguasa atau pemerintah merupakan kebaikan, oleh karena itu


mempelajari tentang kaidah- kaidah syar’i dalam bersikap terhadap pemerintah
merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan. Dalam berhubungan dengan pemerintah
ada empat prinsip yang harus dilakukan yaitu : pertama, berkeyakinan bai’at bagi
penguasa. Kedua, hendaknya amalan seorang manusia ikhlas karena Allah dalam
semua urusannya. Ketiga, mendengar dan taat kepada penguasa pada perkara yang
bukan maksiat kepada Allah. Dan keempat, tidak sembarangan untuk melontarkan takfir
kepada penguasa muslim. Takfir merupakan hak Allah, tidak boleh dilontarkan kecuali
kepada orang yang berhak dikafirkan dan termasuk layak mendapatkannya.
(Muhammad Ashim Mustofa 2006 : 34-39)

3. Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslim kecuali apabila dia melakukan
perbuatan yang membatalkan aqidah atau keimanan dan keislaman. Adapun dosa besar
selain syirik tidak ada dalil yang menghukumi pelakuknya sebagai kafir. Sesuangguhnya
masalah pengkafiran merupakan persoalan berbahaya yang telah menjerumuskan
sebagaian jama’ah dan pemuda dewasa ini. Hal ini karena tidak adanya sikap berhati-
hati, sehingga mudah menvonis saudaranya sesame muslim bahwa dia kafir. Yang
demikian hanya karena saudaranya melakukan satu dosa atau menyelisihi satu sunnah
atau sejenisnya. (Muhammad nashiruddin al-Bani 2007 : 86) Rasulullah bersabda
“Apabila seseorang mengatakan kepada saudara sesama muslim wahai kafir, maka
tuduhan kafir itu kembali kepada salah satu dari keduanya”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda “Apabila seseorang berkata kepada temannya,
hai kafir. Maka hal itu berlaku terhadap salah satu dari keduanya. Kalau yang dia
katakan itu kafir maka dia adalah kafir. Kalau tidak, maka kata- kata kafir itu akan
kembali kepada dia” (HR Ahmad) (al-Bani). Hadits tersebut menjelaskan bahwa
seseorang yang mengatakan kepada orang lain kamu kafir, kalau dia tidaklah seperti
yang dituduhkannya, maka yang mengatakan kafir itulah yang berhak menyandang
tuduhan yang dilontarnnya.

39
Dalam maalah pengkafiran manhaj salaf berpendapat bahwa tidak boleh mengkafirkan
seseorang atau kelompok dengan sembarangan. JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor
2/147-161 156 Ada beberapa prinsip yang dipegang oleh manhaj ini dalam masalah
kufur dan pengkafiran. Prinsip-prinsip tersebut adalah (Yazid bin Abdul Qadir Jawas:
362-367) :

a. Pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah dan
Rasul-Nya.

b. Barang siapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu
tidak bisa lenyap darinya kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula

c. . Tidak setiap ucapan dan perbuatan yang disifatkan nash sebagai kekufuran
merupakan kekafiran yang besar atau kufur akbar yang mengeluarkan seseorang dari
agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam yaitu kekafiran kecil dan
kekafiran besar. Maka hukum atas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan ini
sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlul Sunnah dan hukum-
hukum yang mereka keluarkan.

d. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang muslim, kecuali telah ada
petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari alQur’an dan Sunnah atas kekufurannya.
Maka dalam permasalahan ini tidak cukup hanya syubhat dan persangkaan saja.

e. Terkadang ada keterangan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang


mendefinisikan suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan kekufuran (biasa
disebut kufur). Namun seseorang tidak boleh dihukum kafir kecuali telah ditegakkan
hujjah atasnya dengan kepastian syarat-syarat, yaitu mengetahui, dilakukan dengan
sengaja dan tidak dipaksa.

f. Ahlu sunnah tidak mengkafirkaan orang yang dipaksa (dalam keadaan diancam)
selama hatinya dalam keadaan beriman

g. Ahlu sunnah tidak mengkafirkan kaum muslimin karena dosadosa besarnya. Ahlu
sunnah menyebut mereka dengan mukmin fasiq dan mereka khawatir apabila nash-nash
ancaman terjadi kepada pelaku dosa besar, walaupun mereka tidak kekal di neraka.
Bahkan mereka akan bisa ke luar dengan syafaat para pemberi syafaat dan karena
rahmat Allah disebabkan masih adanya tauhid pada diri mereka.

40
4. Al-wala’ wal bara’, salah satu prinsip aqidah Ahlu sunnah wal jama’ah adalah
cinta karena Allah dan benci karena Allah, yaitu mencintai dan memberikan wala’
(loyalitas) kepada kaum muslimin, dan membenci kaum musyrikin serta orang- orang
kafir dengan bara’ (berpaling) dari mereka. (Yazid bin Abduk Qadir Jawas : 493) Setiap
muslim yang beragama dengan prinsip aqidah ini wajib mencintai orangorang yang
memegang teguh aqidah Islam dan membenci orang-orng yang memusuhi aqidah Islam.
Berdasarkan prinsip al-wala’ dan al-bara’, manusia dibagi menjadi tiga golongan yaitu
(Shalih bin Fauzan al-Fauzan 2007 : 31-32) : pertama, orang yang harus dicintai dengan
tulus tanpa disertai rasa permusuhan. Kedua , orang yang harus dibenci dan dimusuhi
tanpa disertai rasa kasih sedikitpun. Dan ketiga, orang yang berhak dicintai dan dibenci.
Yang termasuk dalam kategori golongan pertama adalah orang- orang mukmin yang
sesungguhnya baik dari kalangan Nabi, shiddiqin (orang-orang yang jujur dan benar),
syuhada’, dan orangorang yang shalih. Orang yang paling utama di antara mereka
adalah Rasulullah. Beliau harus lebih dicintai dari pada diri sendiri, anak, istri, orang tua
dan manusia seluruhnya. Kemudian istri beliau, keluarga beliau, para shahabat
khususnya para khulafa’urrasyidin, kaum muhajirin dan anshar.

Sedangkan yang termasuk dalam kaegori golongan kedua, mereka ini adalah orang-
orang kafir tulen, baik dari kalangan orangorang musyrik, munafik, murtad dan orang-
orang yang menyimpang, apapun jenis mereka. Allah berfirman di dalam al-Qur’an surat
alMujadilah ayat 22 yang bermaksud : Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman
pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-
anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang
telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan2 yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha
terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.
mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah
golongan yang beruntung.

Golongan ketiga, adalah orang-orang yang beriman yang berbuat maksiat. Mereka
berhak mendapat cinta karena mereka beriman, dan mereka juga berhak mendapat
kebencian kerna mereka berbuat maksiat yang tidak sampai pada kekafiran dan

41
kesyirikan. Bentuk kecintaan terhadap mereka adalah menasihati mereka dan
mengingkari perbuatan maksiat yang mereka lakuka. Perbuatan maksiat mereka tidak
tidak boleh dibiarkan, tetapi harus dicegah dan diperintah untuk melakukan perbuatan
yang baik, dan ditegakkan hukum terhadap mereka hingga mereka berhenti dan
bertaubat dari kemaksiatan.

Wala’ (cinta) dan bara’(benci) menurut kaum salaf dibangun di atas asas al-Qur’an dan
Sunnah, bukan di atas hizby (kelompok). Kaum salaf menyukai agar orang muslim itu
berpegang dengan al-Qur’an dan Sunnah berdasarkamn pemahaman salaful salih. Dan
mereka membenci pengekor hawa nafsu dan bid’ah,

lantaran penyelisihan mereka terhadap manhaj salaful shalih. (Zaid bin Muhammad al-
Madkhali 2009 : 19)

5. Ahlul Sunnah senantiasa menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar
menurut ketentusan syari’at (Yazid bin Abdul Qadir Jawas: 540) Yang dimaksud al-
ma’ruf ialah semua ketaatan, dan yang paling agungnya adalah ibadah kepada Allah
satu- satunya, tidak sekutu baginya, mengikhlaskan ibadah itu hanya kepada-Nya,
meninggalkan semua peribadatan kepada selain Dia, dan kemudian ketaatan lainnya
baik yang wajib maupun yang sunnah. Sedangkan al-munkar adalah semua yang
dilarang Allah dan Rasul-Nya, termasuk di dalamnya kemaksiatan, kebid’ahan, dan
kemunkaran. Adapun kemunkaran yang paling besar adalah syirik kepada Allah. (Abdul
Salam : 99)

Amar ma’ ruf nahi munkar ini memiliki kaidah- kaidah, barang siapa yang menempuhnya
berarti dia telah menempuh cahaya dan petunjuk, daan barang siapa yang tidak
menempuhnya maka kerusakannya lebih besar dari pada kemaslahatannya. (Fawaz bin
Hulayyil al-Suhaimi 2008 : 175) Di antara kaidah tersebut adalah : pertama, bersabar
dan ikhlas, pelaku amar ma’ruf nahi munkar mesti bersabar dalam menghadapi cobaan
dan tidak boleh berputus asa atau marah yang mengeluarkannya dari batasan islam.
Ibnu Taimiyah di kala menjelaskan tentang amar ma’ruf nahi munkar dan kewajiban
yang mesti ditunaikan oleh orang yang melakukannya, mengatakan: hendaknya orang
yang melakukannya bersabar dan penyantun dalam mengahadapi segala cobaan,
karena cobaan adalah sesuatu yang mesti didapatkannya. kalau dia tidak bersabar dan

42
santun, maka kerusakan yang diakibatkannya akan lebih besar dari pada maslahatnya.
(Fawaz)

Kaidah kedua, pelaku memiliki ilmu tentang yang ma’ruf dan munkar, sehingga ia tidak
mengingkari sesuatu yang ma’ruf atau sebaliknya. Ibnu Taimiyah berkata: Dia mesti
meiliki ilmu tentang ma’ruf dan munkar, dan juga dapat membedakan keduanya, ia mesti
mengenal apa yang diperintah dan apa yang dilarang. (Fawaz)

Kaidah ketiga, si pelaku mesti mengetahui maslahat dan mafsadat, juga memiliki
kemampuan dalam meninbang kedua hal tersebut ketika ada kontradiksi. Perlu dipahami
bahwa menolak kerusakan lebih utama dari pada sekedar mengaharap yang maslahat.
Dan jika mengubah kemunkaran mengakibatkan kemunkaran atau fitnah yang lebih
besar, maka tinjauan syari’at menuntut kita untuk meninggalkannya. Ibnu taimiyah
berkata: karena itu tidak dibenarkan merubah kemunkaran dengan sesuatu yang lebih
besar kemunkarannya. Oleh karena itu haram hukumnya memberontak kepada
pemerintah dengan mengangkat pedang, walau alasannya adalah untuk melakukan
amar ma’ruf nahi munkar. (Fawaz : 176)

4.2 Penutup

Amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib kifayah, diantara syarat diterimanya
amalan adalah memurnikan sikap mutaba’ah Rasul. Pangkal agama Islam adalah ilmu
yang bermanfaat dan amal shalih, karenanya ahlul sunnah wal jama’ah yang mengikuti
salaful shalih selalu ittiba’ terhadap al-Qur’an, al Sunnah, atsar dan salaful shalih. Selain
itu manhaj salaf menolak mafsadah lebih didahulukan dari pada mencari maslahat. Dan
selanjutnya kaidah manhaj salaf adalah hukum ushul dan furu’ tidak sempurna kecuali
dengan dua hal, yaitu adanya syarat dan hilangnya penghalang

43
BAB V

ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN HUKUM

5.1 Penegakan Hukum

Terdapat beberapa faktor yang dapat mendukung tegaknya hukum di suatu Negara
antara lain: Kaidah hukum, Penegak hukum, Fasilitas dan Kesadaran hukum warga
Negara. Dalam pelaksanaannya masih tergantung pada sistem politik Negara yang
bersangkutan. Jika sistem politik Negara itu otoriter maka sangat tergantung penguasa
bagaimana kaidah hukum, penegak hukum dan fasilitas yang ada. Adapun warga
Negara ikut saja kehendak penguasa (lihat synopsis). Pada sistem politik demokratis
juga tidak semulus yang kita bayangkan. Meski warga Negara berdaulat, jika sistem
pemerintahannya masih berat pada eksekutif (Executive heavy) dan birokrasi
pemerintahan belum direformasi, birokratnya masih “kegemukan” dan bermental
mumpung, maka penegakan hukum masih mengalami kepincangan dan kelambanan
(kasus “hotel bintang” di Lapas).

Belum lagi kaidah hukum dalam hal perundang-undangan yang simpang siur
penerapannya (kasus Prita). Agar suatu kaidah hukum berfungsi maka bila kaidah itu
berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah
mati (dode regel), kalau secara sosiologis (teori kekuasaan), maka kaidah tersebut
menjadi aturan pemaksa (dwang maat regel). Jika berlaku secara filosofi, maka
kemungkinannya hanya hukum yang dicita-citakan yaitu ius constituendum. 4 Kaidah
hokum peraturan itu sendiri, apakah cukup sistematis, cukup sinkron, secara kualitatif
dan kuantitatif apakah sudah cukup mengatur bidang kehidupan tertentu. Dalam hal
penegakan hukum mungkin sekali para petugas itu menghadapi masalah seperti sejauh
mana dia terikat oleh peraturan yang ada, sebatas mana petugas diperkenankan
memberi kebijaksanaan. Kemudian teladan macam apa yang diberikan petugas kepada
masyarakat. Selain selalu timbul masalah jika peraturannya baik tetapi petugasnya
malah kurang baik. Demikian pula jika peraturannya buruk, maka kualitas petugas baik.

Fasilitas merupakan sarana dalam proses penegakan hukum. Jika sarana tidak
cukup memadai, maka penegakan hukum pun jauh dari optimal. Mengenai warga

44
negara atau warga masyarakat dalam hal ini tentang derajat kepatuhan kepada
peraturan. Indikator berfungsinya hukum adalah kepatuhan warga. Jika derajat
kepatuhan rendah, hal itu lebih disebabkan oleh keteladanan dari petugas hukum.

5.2 Keadilan

Pengertian keadilan dapat ditinjau dari dua segi yakni keadilan hukum dan
keadilan sosial. Adapun keadilan mengandung asas kesamaan hukum artinya setiap
orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Dengan kata lain hukum harus
diterapkan secara adil. Keadilan hukum ternyata sangat erat kaitannya dengan
implementasi hukum di tengah masyarakat. Untuk mencapai penerapan dan
pelaksanaan hukum secara adil diperlukan kesadaran hukum bagi para penegak hukum.

Dengan demikian guna mencapai keadilan hukum itu, maka faktor manusia sangat
penting. Keadilan hukum sangat didambakan oleh siapa saja termasuk penjahat
(pembunuh, pemerkosa, dan koruptor). Jika dalam suatu negara ada yang cenderung
bertindak tidak adil secara hukum, termasuk hakim, maka pemerintah harus bertindak
mencegahnya. Pemerintah harus menegakkan keadilan hukum, bukan malah berlaku
zalim terhadap rakyatnya. Keadilan sosial terdapat dalam kehidupan masyarakat,
terdapat saling tolong-menolong sesamanya dalam berbuat kebaikan. Terdapat naluri
saling ketergantungan satu dengan yang lain dalam kehidupan sosial (interdependensi).
Keadilan sosial itu diwujudkan dalam bentuk upah yang seimbang, untuk mencegah
diskriminasi ekonomi. Keadilan sosial adalah persamaan kemanusiaan, suatu
penyesuaian semua nilai, nilai-nilai yang termasuk dalam pengertian keadilan.
Kepemilikan atas harta seharusnya tidak bersifat mutlak. Perlu dilakukan pemerataan,
distribusi kekayaan anggota masyarakat. Bagaimana pemilik harta seharusnya
menggunakan hartanya. Penimbunan atau konsentrasi kekayaan, sehingga tidak
dimanfaatkan dalam sirkulasi dan distribusi akan merugikan kepentingan umum.
Sebaiknya harta kekayaan itu digunakan sebaik mungkin dan memberikan manfaat bagi
pemiliknya maupun bagi masyarakat.

Hukum dan Keadilan Dalam Islam Menurut M. Natsir (demokrasi dibawah hukum
cet.III, 2002) adalah suatu penegasan, ada undang-undang yang disebut Sunnatullah
yang nyatanyata berlaku dalam kehidupan manusia pada umumnya. Perikehidupan
manusia hanya dapat berkembang maju dalam berjama’ah (Society).

45
Man is born as a social being. Hidup perorangan dan hidup bermasyarakat
berjalin, yang satu bergantung pada yang lain. Kita mahluk sosial harus berhadapan
dengan berbagai macam persoalan hidup, dari persoalan rumah tangga, hidup
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, berantara negara, berantar agama dan
sebagainya, semuanya problematika hidup duniawi yang bidangnya amat luas. Maka
risalah Muhammad Saw, meletakkan beberapa kaidah yang memberi ketentuan-
ketentuan pokok guna memecahkan persoalan-persoalan.

Kestabilan Hidup bermasyarakat memerlukan tegaknya keadilan lanjut M. Natsir.


Tiap-tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian masyarakat, maka bisa
merusak kestabilan secara keseluruhan. Menegakkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat dan bangsa diawali dengan kedaulatan hukum yang ditegakkan. Semua
anggota masyarakat berkedudukan sama di hadapan hukum. Jadi di hadapan hukum
semuanya sama, mulai dari masyarakat yang paling lemah sampai pimpinan tertinggi
dalam Negara.

“Dan janganlah rasa benci kamu kepada suatu golongan menyebabkan kamu tidak
berlaku adil. Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat mengetahui apa yang kamu
kerjakan”(QS.5:8).

“Dengarlah dan taatilah sekalipun andaikata yang menjalankan hukum atasmu


seseorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis selama dijalankannya hukum
Allah Swt”. (H.R.Buchori dari Anas)

Tidak mungkin hukum dan keadilan dapat tegak berdiri keadilan dapat tegak
berdiri kokoh apabila konsep persamaan itu diabaikan. Implementasi keadilan hukum di
masyarakat dewasa ini banyak ditemui sandungan yang menyolok atas pandangan lebih
terhadap orang yang punya kedudukan tinggi, yang punya kekayaan melimpah,
sehingga rakyat banyak telah menyimpan imej bertahun-tahun bahwa di negeri ini
keadilan itu dapat dibeli. Lebih jauh kesamaan itu dijabarkan Rachman di bukunya
Political Science and Government dalam Ramly Hutabarat di bukunya Hukum dan
Demokrasi (1999) yaitu, yakni:

a. Manusia secara alamiah dilahirkan sama (Natural Equality)

46
b. Setiap masyarakat memiliki kesamaan hak sipil

c. Semua warga negara memiliki hak yang sama mendapatkan lapangan pekerjaan

d. Semua warga Negara sama kedudukannya dalam politik.

QS.4:135.”Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang tegak


menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapakmu atau kerabatmu”.

5.3 Penutup

Seorang raja dan hati pemuda dalam synopsis di awal tulisan ini tak akan ada lagi
dalam alam demokrasi sekarang ini. Namun bisa lebih dari hanya sekedar pembunuhan
fisik, malah sering terjadi pembunuhan karakter dan pengorbanan hati nurani yang
paling dalam. Mudah-mudahan jika bangsa ini mulai berpaling kepada ajaran Islam yang
sempurna, insyaAllah tegaknya hukum dan keadilan itu suatu keniscayaan.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari


Insan, 1989), h. 16-21, 54-56.
2. Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2001), h. 28-39.
3. Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.
4. Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah, 1981),
h. 9-11.
5. Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1983), h. 39-101.
6. Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h. 67-
77.
7. Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.
55-152.
Attas, Syed Naquib al-. 1991. Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka Salman.
Baiquni, Achmad

(a). 1995. Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf.

(b). 1997. Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta: Dana Bhakti
Primayasa. Barbour, Ian G. 2005.

Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, Bandung: Mizan. Dzahabi,
al-. 1961.
al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, Kairo: Daar al-Kutub al-Haditsah. Ghulsyani, Mahdi.
1993.

Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan. Levy, R. 1975. The Social
Structure of Islam, Cambridge. Sardar, Ziauddin. 1987.
Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka Salman. Sarton, George. tanpa tahun.
Introduction to the History of Science, Jilid 1. Shah, A.B. 1987.

Metodologi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Yayasan Obor. Zain, Shaharir bin Mohamad.
1992. “Islam dan Pembangunan Sains dan Teknologi” , Makalah, disampaikan dalam
Konggres “Menjelang Abad 21: Islam dan Wawasan 2020, di Kuala Lumpur tahun
1992. Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Abdussalam bin Salim al-Suhaimi, Menjadi Salaf Sejati, Terj” Abu Muhammad Harits
Abror Thalib, Pustaka al-Haura’, Yogyakarta, 1429 H. Abdul Salam bin Barjas, Sikap
Politik Ahlul Sunnah waj Jama’ah Terhadap Pemerintah, Terj” Abdul Rahman, Pustaka
al Salaf, Solo, 1999. Ahmad Farid, Salih al-Fauzan, Polemik Salafi, Terj” Muhammad

48
Muhtadi, Agus Suwandi, Multazam, Solo, 2009. Fawaz bin Hulayyil al- Suhaimi, Begini
Seharusnya Berdakwah, Terj”Beni Sarbeni, Darul Haq, Jakarta, 2008. Ibrahim bin
‘Amar al-Ruhaili, Mendengar & Taat Merupakan Kekuatan Umat, dalam Majalah al-
Sunnah edisi no 06 tahun X/1427 H/ 2006 M. Lukman bin Muhammad Ba’abduh,
Mereka adalah Teroris, Pustaka Qaulan Sadida, Malang. Muhammad Ashim Mustofa,
Empat Prinsip Menjalin Hubungan Dengan Penguasa, Majalah al-Sunnah edisi 06
Tahun X/1427 H/ 2006 M. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Muhammad bin Jamil
Zainu, Bagaimana Kita Memahami al-Qur’an, Terj “Muhammad Qawwam, Cahaya
Press, Malang, 2006Yazid bin Abdul Qodir jawas,Mulia dengan Manhaj Salaf, Pustaka
al-Taqwa, 2009. Muhammad Nashiruddin al-Bani, Tidak Berhukum Dengan Hukum
Allah= kafir, Terj” Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, Pustaka al-Rayan, Solo, 2007.
Qomar Su’aidi ZA, Agar Tidak Menjadi Muslim Liberal, Pustaka Qaulan Sadida,
Malang, 2008. Shalih bin Fauzan al- Fauzan, Antara Cinta dan Benci, terj”Abu
alHasan, Maktabah al- Hanif, Yogyakarta, 2007.

Andi Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, 2005. Natsir,M Demokrasi dibawah
Hukum, Media Dakwah, Jakarta Cet.III 2002. Hutabarat, Ramly Hukum dan Demokrasi
menurut M.Natsir, Biro Riset DDII Jakarta, 1999. Soekamto, Soeryono, Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Radja Gravindo Persada, Jakarta 1993
_________, penegakan Hukum, BPHN DEPKES, 1983 Natsir, Chaidar, Republika
Minggu, 7 Maret 2010

49

Anda mungkin juga menyukai