MAKALAH
“KETUHANAN YANG MAHA ESA”
OLEH:
NUR AFIFAH
1921042027
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik sesuai
waktu yang telah ditentukan.
Makalah dengan judul “Ketuhanan yang Maha Esa” penulis susun dalam rangka
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pancasila.
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak menerima bantuan baik berupa
bimbingan maupun dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini,
kami mengucapkan terima kasih yang sedalam- dalamnnya.
Besar harapan penulis agar makalah ini dapat memberi manfaat bagi seluruh umat Islam
di dunia, khususnya mahasiswa muslim di Universitas Negeri Makassar. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, seperti peribahasa tak ada gading yang tak
retak. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah
ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Memahami tentang konsep ketuhanan dalam Islam sehingga tidak jatuh pada
kekufuran dan kemusyrikan
2. Memahami berbagai macam kekuasaan Allah sehingga dapat lebih mengimani dan
meningkatkan ketaqwaan serta dapat mengimpilikasikan dalam kehidupan sehari
hari.
1
3. Dapat berpikir Kritis, bahwasanya hanya Allah yang Maha Esa pencipta seluruh alam
yang patut disembah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam
surat al-Furqan ayat 43.[1]
Contoh ayat di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti
berbagai benda, baik abstrak. Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk
tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun).
Jadi dapat disimpulkan Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin tidak ber-Tuhan.
Ibnu Taimiyah memberikan defenisi Al-ilah yaitu: yang dipuja dengan penuh
kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri dihadapannya, takut dan
mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan,
berdo’a, dan bertawakal kepada-Nya untuk kemashlahatan diri, meminta perlindungan
dari pada-Nya, dan menimbulkan ketenangan disaat mengingat-Nya dan terpaut cinta
kepada-Nya (M.Imaduddin, 1989 : 56). [2]
http://www.academia.edu/12133761/Makalah_Agama_-_Ketuhanan_dan_Tuhan_YME, diakses
pada tanggal 1 Oktober 2018, pukul 09.30 WIB
3
2.2 Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
2.2.1 Pemikiran Barat
Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yg
menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Teori tsb mula-mula dikemukakan oleh Max
Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan
Jevens. Proses perkembangan pemikiran tenteng Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah :
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui
adanya kekuatan yang berpengaruh dlm kehidupan. Mula-mula sesuatu
yang berpengaruh tersebut ditunjukkan pada benda.
b. Animisme
Disamping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga
mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang
dianggap benda baik mempunyai roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan dinamisme lama-lama tidak
memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan
pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa.
d. Henoteisme
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan
Tuhan. Namun manusia masih mengakui Tuhan (ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan Henoteime
(Tuhan tingkat Nasional).
e. Monoteisme
4
2.2.2 Pemikiran Islam
Pemikiran tentang Tuhan dalam islam melahirkan ilmu kalam, ilmu
tauhid atau ilmu ushuluddin dikalangan umat Islam, setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional dan
ada aliran diantara keduanya. Ketiga corak pemikiran ini mewarnai sejarah
pemikiran ilmu ketuhanan (teologi) dalam Islam. Aliran-aliran tersebut adalah:
1. Muktazilah, adalah kelompok rasionalis dikalangan orang Islam, yang
sangat menekankan penggunaan akal dalam memahami semua ajaran Islam.
Dalam menganalisis masalah ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu
logika guna mempertahankan keimanan.
2. Qodariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa manusia memiliki
kebebasan berkehendak dan berbuat. [5] Manusia berhak menentukan
dirinya kafir atau mukmin sehingga mereka harus bertanggung jawab pada
dirinya. Jadi, tidak ada investasi Tuhan dalam perbuatan manusia.
3. Jabariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa kehendak dan
perbuatan manusia sudah ditentukan Tuhan. Jadi, manusia dalam hal ini tak
ubahnya seperti wayang. Ikhtiar dan doa yang dilakukan manusia tidak ada
gunanya.
4. Asy’ariyah dan Maturidiyah, adalah kelompok yang mengambil jalan
tengah antara Qodariyah dan Jabariyah. Manusia wajib berusaha
semaksimal mungkin. Akan tetapi, Tuhanlah yang menentukan hasilnya.
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam
kalangan umat islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di
atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam
yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana
yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan
koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh
kepentingan politik tertentu.
5
2.3 Konsep Ketuhanan dalam Islam
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang
yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran
konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu)
dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain
dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-
Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:
Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.
س َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ هن ه
ََّللاُ فَأَنهى يُؤْ فَكُون س هخ َر ال ه
َ ش ْم َ ت َو ْاْل َ ْر
َ ض َو سأ َ ْلت َ ُه ْم َم ْن َخلَقَ ال ه
ِ س َم َوا َ َولَئ ِْن
6
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.
7
Hukum tersebut menerangkan energi panas selalu berpindah dari
keadaan panas beralih menjadi tidak panas, sedangkan kebalikannya tidak
mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak
panas berubah menjadi panas. Perubahan energi yang ada dengan energi yang
tidak ada.
Hal ini membuktikan secara pasti bahwa alam bukanlah bersifat azali.
Jika alam ini azali sejak dahulu alam sudah kehilangan energi dan sesuai hukum
tersebut tentu tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini.
berputar dari porosnya dengan kecepatan 1000 mil perjam dan menempuh garis
edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Dan sembilan planet
tata surya termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan yang luar
biasa.
Logika manusia memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang
teliti. Berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya.
Bahkan akan menyimpulkan, bahwa dibalik semuanya itu pasti ada kekuatan yang
maha besar yang membuat dan mengendalikan semuanya itu, kekuatan maha besar
itu adalah Tuhan.
d. Argumentasi Qur’ani
Allah Swt. berfirman, termaktub dalam surat Al-Fatihah ayat 2 yang
terjemahya “Seluruh puja dan puji hanalah milik Allah Swt, Rabb alam semesta”.
Lafadz Rabb dalam ayat tersebut, artinya Tuhan yang dimaksud adalah
Allah Swt. Allah Swt sebagai “Rabb” maknanya dijelaskan dalam surat Al-A’la
ayat 2-3, yang terjemahannya “Allah yang menciptakan dan menyempurnakan,
yang menentukan ukuran-ukuran ciptaannya dan memberi petunjuk”. Jadi,
8
adanya alam semesta dan seisinya tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi,
ada yang menciptakan dan mengatur yaitu Allah Swt.
Dalam menciptakan sesuatu memang Allah tinggal berfirman Kun
Fayakun yang artinya jadilah maka jadi. Akan tetapi, dimensi manusia dengan
Allah berbeda sampai kepada manusia membutuhkan waktu enam periode. Hal
ini agar manusia dapat meneliti dan mengkaji dengan metode ilmiahnya sehingga
muncul atau lahir berbagai macam ilmu pengetahuan.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Wujud nyata dari percaya atau iman itu sendiri tidak boleh hanya berupa ikrar
atau pernyataan kosong, melainkan harus dilakukan dengan perbuatan berupa
menjalankan seluruh perintahnya dan menjauhi larangannya secara ikhlas lahir batin.
3.2 SARAN
1. Sebagai seorang yang beragama Islam kita tidak hanya wajib untuk mempercayai
Allah SWT tetapi kita juga harus mengimplementasikan keimanan itu pada
kehidupan sehari-hari dengan cara menjalankan semua perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.
10
2. Selain itu, kita juga harus beramal kepada sesama, memperhatikan orang lain,
berkasih sayang dan mencintai sesama makhluk ( Hablum Minanas)
3. Manusia yang diciptakan sempurna dan dibekali akal pikiran seharusnya banyak
melakukan observasi (pengamatan) pada kejadian-kejadian di alam sekitarnya.
Dengan begitu, manusia akan merasakan dan lebih mempercayai adanya Allah
SWT yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya serta memilih manusia
sebagai khalifah di muka bumi.
11
DAFTAR PUSTAKA
12