Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“KONSEP KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Dosen Pengampu : Penti Fiska Nanda, M.Pd

Di Susun Oleh :
1. Elsa Gustiana (2226010122)
2. Selvia Rani Putri (2226010117)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas nikmat dan
karunianya yang telah dilimpahkan pada kita sebagai umatnya. Tidak lupa juga
kamimengucapkan shawalat serta salam tercurahkan bagi Baginda Agung
Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak. Akhirnya, kami
sebagai penulis bisa melaksanakan tugas dan membuat makalah mengenai
“Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa”. Makalah ini merupakan sedikit kecilnya
membahas mengenai konsep tuhan yang maha esa yang dibahas baik dari sisi
islami maupun dari sisi para ahli dan juga membahas mengenai beberapa teori
dari beberapa ahli. Adapun penulisan makalah bertema konsep ketuhanan ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Penulis
mengucapkan terima kasih pada pihak yang telah membantu penulisan makalah
ini. Harapannya, semoga makalah ini dapat membantu para mahasiswa/i dalam
proses pembelajaran juga dalam kehidupan sehari hari dan harapannya semoga
mahasiswa/i bisa mengambil pembelajaran dari makalah ini dan bisa di terapkan
dalam kehidupannya sehari – hari. Akhir kata, penulis memohon maaf apabila ada
ketidak sesuaian kalimat atau kesalahan dalam makalah ini. Meskipun demikian,
penulis terbuka terhadap saran, kritik dari pembaca.

Bengkulu, Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3
A. Konsep Ketuhanan Dalam Islam ..................................................... 3
B. Filsafat Ketuhanan Islam................................................................. 5
C. Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan ................................... 8
1. Pemikiran Barat ......................................................................... 8
2. Pemikiran Umat Islam............................................................... 10
D. Dalil Pembuktian Adanya Tuhan .................................................... 11
BAB III PENUTUP .................................................................................... 15
A. Kesimpulan ..................................................................................... 15
B. Saran ................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan
kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam
bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian
filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof
Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam
membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat
Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan
perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan
berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan
semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan
kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al-Farabi
dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna
pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam.
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek
permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka
sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki,
wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula
sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan.
Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu
atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam.
Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti
penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor
tertentu.
Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para
Nabi dan Rasul yakni, Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan
di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala
realitas wujud.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud konsep Tuhan ?
2. Apa yang dimaksud filsafat ketuhanan ?
3. Bagaimana sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan ?
4. Apa saja dalil pembuktian adanya tuhan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep Tuhan.
2. Untuk mengetahui filsafat ketuhanan.
3. Untuk mengetahui sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan.
4. Untuk mengetahui dalil pembuktian adanya Tuhan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Ketuhanan Dalam Islam


Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Qur’an digunakan kata ilaahun,
yaitu setiap yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan
dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba).
Kata ilaah (Tuhan) di dalam Al-Qur’an konotasinya ada dua kemungkinan,
yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah
(Tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat
pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-
Baqarah (2) : 165, sebagai berikut :

            

              

     

“Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah,


sebagai tandingan terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu
sebagaimana mencintai Allah”.
Sebelum turun Al-Qur’an dikalangan masyarakat Arab telah
menganut konsep tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal
ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam
do‘a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah
nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya
Al- Qur’an) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,
hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di
kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Qur’an. Keyakinan akan
adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain- lain, telah

3
mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep
ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul
karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat
tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang
dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini
tentu tidak demikian kejadiannya.
Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam
dikemukakan dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai
berikut :

        

     

“Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit


dan bumi, dan menundukkan matahari dan bulan”? Mereka pasti akan
menjawab Allah”.
Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah,
belum tentu berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah
memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep
ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah
yaitu Al- Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan
sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.
Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah
sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah
pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-
Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam
kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai

4
Zat, juga Al-Qur’an sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah
hasanah.

B. Filsafat Ketuhanan Islam

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta,
dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat
berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-
Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan
cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan
perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya
ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa
pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang
masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang
pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di
atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau
semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan
demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan
pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental,
kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah SWT,
kecintaan, pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya,
tawakkal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur dalam pribadi muslim
yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus
kecerdasan spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga sikap
keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan
pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan
berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum : 30)

5
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu
kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar
kepercayaan umat Muslim.
Siapakah Tuhan itu ?
Perkataan inlah, yang diterjemahkan Tuhan dalam Al-Qur’an
dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau
dipentingkan manusia, misalnya dalam QS : 45 (Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:

            

            

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa


nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya
dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah
bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan
pribadi) maupun benda nyata (Fir‘aun atau penguasa yang dipatuhi dan
dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal
(mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama‘:
aalihatun). Derifasi makna dari kata ilah tersebut mengandung makna
bahwa ‗bertuhan nol’ atau atheisme adalah tidak mungkin. Untuk dapat
mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-
Qur’an sebagai berikut :
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting)
oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya
dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas.
Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan

6
dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula
sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut :
Al-Ilah ialah : yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk
kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut dan mengharapkannya,
kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan
bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari
padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut
cinta kepadanya (M. Imaduddin, 1989 : 56)
Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa saja, yang
dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin atheis, tidak
mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan logika Al- Qur’an, setiap manusia
pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang
komunis pada hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah
ideologi atau angan- angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat ―laa ilaaha illa Allah‖.
Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu ―tidak ada
Tuhan‖, kemudian baru diikuti dengan penegasan melainkan Allah. Hal itu
berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala
macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya
ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT.
Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR. M. Yusuf
Musa menjelaskan dalam makalahnya yang berjudul “Al Ilahiyyat Baina
Ibnu Sina wa Ibnu Rusyd” yang telah di edit oleh DR. Ahmad Daudy,
MA dalam buku Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Beliau
mengatakan : Dalam ajaran Islam, Allah SWT adalah pencipta segala
sesuatu ; tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada
sesuatu yang kekal tanpa pemeliharaan-Nya. Allah SWT mengetahui segala
sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Ia yang menciptakan
alam ini, dari tidak ada kepada ada, tanpa perantara dari siapa pun. Ia
memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung.

7
C. Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia
adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui
pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional
maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan
yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori
tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan
oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses
perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme
adalah sebagai berikut :
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah
mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan.
Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda.
Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif.
Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-
beda, seperti mana (Melanesia), tuah (melayu), dan syakti (india).
b. Animisme
Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu
yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh
dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang
apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar
manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia
harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan
saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak
memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi

8
sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian
disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap
cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi
angin dan lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama terhadap
kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui
diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang
sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi
lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa
yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui tuhan
(ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsa disebut
dengan Henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi
Monoteisme. Dalam Monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk
seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk Monoteisme
ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu:
deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana
dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew
Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat
primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah
juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas
terhadap tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur
golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama
terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka

9
menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi
dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan
pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-
bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme
dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan.
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu
Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa
periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yakni pada saat
terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan
kelompok Mu‘awiyyah. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal,
tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya
aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam
memahami Al-Qur’an dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga
lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain
memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga
lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Aliran-aliran
tersebut yaitu :
a. Mu‘tazilah
Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta
menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran
dan keimanan dalam Islam. Dalam menganalisis ketuhanan, mereka
memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk
mempertahankan kedudukan keimanan. Mu‘tazilah lahir sebagai
pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan
dari Khawarij.
b. Qodariah
Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki

10
apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan
manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah
Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia
ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan. Aliran ini merupakan pecahan
dari Murji‘ah.
d. Asy‘ariyah dan Maturidiyah
Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di
antara aliran Qadariah dan Jabariah. Semua aliran itu mewarnai
kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat Islam periode
masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak
bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat
Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran
tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia
keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi
ilmu berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi
oleh kepentingan politik tertentu.

D. Dalil Pembuktian Adanya Tuhan


1. Dalil Ontologis
Tuhan ada dalam pikiran manusia. Karena mereka berfikir, tak ada
manusia yang sempurna, yang sempurna hanyalah Tuhan. Atas dasar itu,
Bapak menasehati jika kamu membenci seseorang, cintai dia alakadarnya.
2. Dalil Kosmologis/ Kausalitas/ Sebab-Akibat
Tuhan ada karena ada bukti penciptaanNya.
3. Dalil Teleologis ( pendekatan tentang keteraturan)
Alam ini sangat teratur. Logikanya, jika sesuatu tercipta karena
kebetulan, maka tidak akan ada keteraturan. Alaam ini dibuat teratur untuk
menjadi sarana bagi manusia.

11
4. Dalil Moral
Manusia tidak mungkin memberikan kode moral sebaik-
baiknya, seadli adlinya, susuai fitrah manusia, dan bersifat absolut untuk
manusia lainnya– kecuali datangnya dari Allah. Contoh : anak tidak boleh
menikahi ibunya. Sebab, sebelum Al Qur’an turun, istri seorang pria itu akan
diwariskan kepada anak laki lakinya.
5. Dalil Al- Qur’an
Al Ankabut (29) : 61 Dan jika engkau bertanya kepada mereka
siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukan matahari dan
bulan ? Pasti mereka akan menjawab Allah. Maka mengapa mereka bisa
dipalingkan (dari kebenaran)
Al Kahfi (18) : 84 Sungguh, Kami telah memberi kedudukan
kepadanya di bumi, dan Kami telah Memberikan jalan kepadanya (untuk
mencapai) segala sesuatu. Ath Thur (52) : 35 Atau apakah mereka tercipta
tanpa asal usul ataukah mereka yagn menceptakan (diri mereka sendiri) ?
Al Hijr (15) : 21 Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan
pada sisi kami lah Khazanahnya ; Kami tidak menurunkannya melainkan
dengan ukuran tertentu.
6. Dalil Cosmologi
Bukti-bukti adanya Tuhan dapat diketahui dengan menggunakan
dasar-dasar cosmologi, sebagaimana diisayaratkan Al-Qur’an Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ; 164
Tuhan menyuruh manusia mempelajari cosmos dan kekuatannya
yang merupakan kumpulan alam semesta yang menggambarkan adanya
kesatuan di balik penampilan yang beragam sehingga dapat dipergunakan
sebai-baiknya dalam menyimpulkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta dan
Maha Pengatur. Untuk memudahkan manusia menarik kesimpulan, maka Al-
Qur’an mengungkapkannya dengan cara yang komunikatif dan dialogis.
Perhatikan QS.Asy-Syura ; 23-24 dan An-Naml ; 60.
Al-Qur’an memberikan dasar-dasar dan membimbing dasar-dasar dan
membimbing metode berpikir. Dalam usaha berpikir untuk mendapatkan

12
kepastian kebenaran Tuhan khusunya di bidang cosmologi adalah
menyelediki sebab (causa) terjadinya kosmos yang mengharuskan akal kita
mengambil keputusan, bahwa pasti ada penyebab yang menyebabkan
terjadinya cosmos itu.
7. Dalil Astronomi
Tuhan memperkenalkan diri-Nya bahwa Dia ada dengan cara
menunjuk planet-planet yang terdiri atas bintang, bulan dan matahari yang
masing-masing beredar tetap pada garis orbitnya. Tidak mungkin yang satu
akan melampui yang lainnya dan tidak akan keluar pula dari garis ukuran
yang telah ditentukan untuknya. Semua itu sebagai bukti adanya
perhitungan yang sangat rapi.
Sebagaimana ditemukan Taufiq al-Hakim (intelektual terkemuka)
tentang teori al- Ta‘adduliyah (keserasian), bahwa bumi merupakan bola
(globe) yang hidup dengan seimbang dan tawazun dengan bola terbesar di
alam ini, yaitu matahari (Yusuf Qardlawi, 1995, 143). Fenomena tersebut
sebagai hasil dan kecermatan ciptaan-Nya. Dalam QS Ath-Tahriq ; 1-3 dan
Asy-Syams ;1 dan 2 Allah menegaskan :
Semua penegasan tersebut mendapat jawaban yang jelas dan selaras
dengan teori-teori ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip kebenaran yang
berdasarkan pada logika yaitu bahwa alam yang luas dan indah ini pasti ada
pengaturnya yang memiliki kepandaian agung, dan penjaganya mestilah
Maha Kuat dan Maha Kuasa yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan.
8. Dalil antropologi
Keistimewaan manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah terletak
pada akal, ilmu pengetahuan dan ruhnya. Bukti antropologi ini dibuktikan
dalam Al-Qur’an Surat At-Thariq ; 5-7 Dan Ar-Rum ; 20 berikut ini :
Manusia itu sebagai makhluk berkemauan, karena Allah
menghendakinya. Inilah realisasi dari makna la- haula walaa quwwata illa
billah, atau, manusia itu mempunyai daya dan kekuatan untuk mengambil
manfaat dan menolak bahaya. Namun daya dan kekuatannya itu bukan dari

13
diri dan dengan dirinya sendiri, melainkan dengan dan dari Allah
(Yusuf Qardlawi, 1995 ; 63).
9. Dalil Psikologi
Dibandingkan makhluk lain , manusia memiliki dua keistimewaan.
Pertama, bentuk tubuh yang indah, sempurna dan praktis untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kedua, jiwa yang memiliki perasaan dan kepandaian,
untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapkan kepadanya dengan berpikir
dan memelihara ketahanan mental (sabar). QS.Ar-Rum ; 21.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa konsep
Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang
dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun
konkret). Filsafat Ketuhanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang
fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif.
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting)
oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya
dikuasai oleh-Nya. Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat la illaha illa Allah.
Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan. Yaitu ―tidak ada
Tuhan‖, kemudian baru diikuti dengan penegasan melainkan Allah. Hal
ini berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala
macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada
satu Tuhan yaitu Allah.

B. Saran
Sebagai pemula di bangku perkuliahan, kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Karena
saran dan kritik itu akan bermanfaat bagi kami untuk lebih
memperbaiki atau memperdalam kajian ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Terjemahan. 2015. Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus


Sunnah.

Bertens. K. (1975). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Muhayati dan Moh. Rifai.2011. Pendidikan Agama Islam Di PerguruanTinggi.


Madiun:IKIP PGRI Madiun

Nasution, Harun. (1975). Filsafat Agama. Jakarta

Siti Muhayati dan Moh. Rifai.2011. Konsep Ketuhanan Dalam


Islam. Madiun:IKIP PGRI Madiun
Yasin T Al Jibouri. Konsep Tuhan Menurut Islam. Jakarta : Penerbit Lentera

Zakiah Daradjat, dkk. (1984). Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta

16

Anda mungkin juga menyukai