DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1 :
DIKA INGRIYANA
IDA SURYANI
MEI WULIDA
SITI SUMARNI
AKADEMI KEBIDANAN
2021
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam menjalani kehidupan selalu berinteraksi dengan manusia lain atau
dengan kata lain melakukan interaksi sosial. Dalam melakukan interaksi sosial manusia harus
memiliki akhlak yang baik agar dalam proses interaksi tersebut tidak mengalami hambatan
atau masalah dengan manusia lain. Proses pembentuk akhlak sangat berperan dengan masalah
keimanan dan ketakwaan seseorang. Keimanan dan Ketakwaan seseorang berbanding lurus
dengan akhlak seseorang atau dengan kata lain semakin baik keimanan dan ketakwaan
seseorang maka semakin baik pula akhlak seseorang hal ini karena keimanan dan ketakwaan
adalah modal utama untuk membentuk pribadi seseorang. Keimanan dan ketakwaan
sebenarnya potensi yang ada pada manusia sejak ia lahir dan melekat pada dirinya hanya saja
sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan seseorang yang telah terjamah oleh
lingkungan sekitarnya maka potensi tersebut akan semakin muncul atau sebaliknya potensi itu
akan hilang secara perlahan.
1.1 Filsafat Ketuhanan (Teologi)
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat
al-Furqan ayat 43.[1]
”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ?”
Contoh ayat di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai
benda, baik abstrak. Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Jadi dapat disimpulkan
Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin tidak ber-Tuhan.
Berdasarkan logika al-Qur’an Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap
penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.
Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan
kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan
bahaya atau kerugian.
1
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui
adanya kekuatan yang berpengaruh dlm kehidupan. Mula-mula sesuatu yang
berpengaruh tersebut ditunjukkan pada benda.
b. Animisme
Disamping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga
mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap
benda baik mempunyai roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan dinamisme lama-lama tidak
memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan
pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa.
d. Henoteisme
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan.
Namun manusia masih mengakui Tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu
Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan Henoteime (Tuhan tingkat
Nasional).
e. Monoteisme
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang
yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran
konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu)
dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain
dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah
(2) : 165, sebagai berikut:
Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.
Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep
tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-
ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Pengakuan
mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran surat
Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;
َس َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ َّن هَّللا ُ فَأَنَّى ي ُْؤفَ ُكون َ ْت َواأْل َر
َ ض َو َس َّخ َر ال َّش ْم َ ََولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن َخل
ِ ق ال َّس َم َوا
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.
Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti
orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan
kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti
konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-
Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan
juga pengatur alam semesta. Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan
Allah sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas.
اب أَ َّن
َ َذŠ َروْ نَ ْال َعŠَوا إِ ْذ يŠŠرى الَّ ِذينَ ظَلَ ُمŠ َ Šَوْ يŠŠًَّا هَّلِل ِ ۗ َولŠ’اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ أَ ْندَادًا ي ُِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا ِ ۖ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ َش ُّد ُحًب
ِ ََّو ِمنَ الن
ِ ْالقُ َّوةَ هَّلِل ِ َج ِميعًا َوأَ َّن هَّللا َ َش ِدي ُد ْال َع َذا
ب
Artinya :
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan
dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Immaanu
‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman
merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga
dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.
“Iman dalam pengertian syar’iy adalah satu perkataan yang mencakup makna semua ketaatan
lahir dan batin” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/403].
“Iman dalam istilah syar’iy adalah pembenaran dengan hati dan perbuatan dengan anggota
tubuh” [Syarh Shahih Muslim, 1/146].
وال عمل إال بنية،أجمع أهل الفقه والحديث على أن اإليمان قول وعمل
“Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan
tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [At-Tamhiid, 9/238].
.المŠŠة اإلسŠŠو التكلّم بكلمŠŠ وه،انŠŠول اللسŠŠ وق،ادŠو االعتقŠŠ وه،ول القلبŠŠ ق: مانŠŠول قسŠŠ والق.لŠŠحقيقة اإليمان مركبة من قول وعم
وإذا زال،هŠŠان بكمالŠŠ زال اإليم،ةŠŠذه األربعŠŠإذا زالت هŠŠ ف.وارحŠŠل الجŠŠ وعم،هŠŠه وإخالصŠŠو نيتŠŠ وه، عمل القلب: والعمل قسمان
لم تنفع بقية األجزاء،تصديق القلب
“Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua : perkataan hati, yaitu
i’tiqaad; dan perkataan lisan, yaitu perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan syahadat –
Abul-Jauzaa’). Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya; dan
perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman dengan
kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tashdiiq) dalam hati, tidak akan bermanfaat
tiga hal yang lainnya” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 35].
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung arti
positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan
ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut
iman bathil.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian iman adalah pembenaran dengan segala
keyakinan tanpa keraguan sedikitpun mengenai yang datang dari Allah SWT dan rasulNya.
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah tidak lepas
dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka bergejolak hatinya untuk
segera melaksanakannya (al-Anfal: 2). Dia akan berusaha memahami ayat yang tidak dia pahami
sebelumnya.
2. Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi dengan
doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul (Ali Imran:
120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah: 52, Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan at-Taghabun:
13).
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (al-Anfal:3dan al-
Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu shalat, dia segera shalat
untuk membina kualitas imannya.
4. Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun: 4). Hal ini dilakukan
sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah merupakan upaya
pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin.
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (al-Mukminun: 3,
5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berstandar ilmu Allah, yaitu al-Qur’an
menurut Sunnah Rasulullah.
6. Memelihara amanah dan menempati janji (al-Mukminun: 6). Seorang mu’min tidak akan
berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati janji.
7. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal: 74). Berjihad di jalan Allah adalah
bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta benda yang dimiliki
maupun dengan nyawa.
8. Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap seperti itu
merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan dengan ajaran
Allah dan Sunnah Rasul.
5. Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi.
7. Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan tidak
takut kepada maut.
9. Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi. (A. Toto Suryana AF, et.al, 1996 : 69).
2. 3. Pengertian Taqwa
Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi , wiqayah, yang berarti takut, menjaga, memelihara
dan melindungi.Sesuai dengan makna etimologis tersebut, maka taqwa dapat diartikan sikap
memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama Islam secara utuh dan
konsisten ( istiqomah ).
Seorang muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya
dan menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini.Karakteristik orang – orang yang
bertaqwa, secara umum dapat dikelompokkan kedalam lima kategori atau indicator ketaqwaan.
A. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab – kitab dan para nabi. Dengan kata lain, instrument
ketaqwaan yang pertama ini dapat dikatakan dengan memelihara fitrah iman.
B. Mengeluarkan harta yang dikasihnya kepada kerabat, anak yatim, orang – orang miskin,
orang – orang yang terputus di perjalanan, orang – orang yang meminta – minta dana, orang –
orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban memerdekakan hamba
sahaya. Indikator taqwa yang kedua ini, dapat disingkat dengan mencintai sesama umat manusia
yang diwujudkan melalui kesanggupan mengorbankan harta.
C. Mendirikan solat dan menunaikan zakat, atau dengan kata lain, memelihara ibadah formal.
D. Menepati janji, yang dalam pengertian lain adalah memelihara kehormatan diri.
E. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan diwaktu perang, atau dengan kata lain memiliki
semangat perjuangan.
Keimanan dan ketakwaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Orang yang
bertakwa adalah orang yang beriman yaitu yang berpandangan dan bersikap hidup dengan ajaran
Allah menurut Sunnah Rasul yakni orang yang melaksanakan shalat, sebagai upaya pembinaan
iman dan menafkahkan rizkinya untuk mendukung tegaknya ajaran Allah.
Iman yang benar kepada Allah dan Rasulnya akan memberikan daya rangsang atau
stimulus yang kuat untuk melakukan kebaikan kepada sesama sehingga sifat-sifat luhur dan
akhlak mulia itu pada akhirnya akan menghantarkan seseorang kepada derajat takwa. Orang
yang bertakwa adalah orang yang benar imannya dan orang yang benar-benar beriman adalah
orang yang memiliki sifat dan akhlak yang mulia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
orang yang berakhlak mulia merupakan cirri-ciri daro orang yang bertaqwa. Keimanan pada
keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua yaitu tauhid teoritis dan
tauhid praktis. Tahuid teoritis adalah tauhid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Sifat,
dan keesaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan berkaitan
dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan.
Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-
satunya Wujud Mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.
Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan dengan amal ibadah
manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah
(Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan pengartian tauhid praktis (tauhid ibadah).
Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang disembah
selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya tempat
tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengartian beriman kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa
mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan
seorang yang sudah bertauhid secara sampurna. Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan
tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis
kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid
teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan
konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan
pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian bertauhid adalah
mengesakan Tuhan dalam pengartian yakin dan percaya kepada Allah melalui fikiran,
membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan.
Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan
kalimat tauhid dalam syahadat asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan
meninggalkan segala larangan-Nya.
Alquran Surah Ad Dzariyat ayat 56, Allah menegaskan: “Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Secara konsptual, berarti
perjalanan hidup ini tidak boleh lepas dari prilaku “kehambaann”. Mungkin kesannya sederhana,
manusia tidak boleh menyimbolkan kehambaan pada hal yang ritualistik saja, sehingga kita
sudah melaksanakan semua ibadah ritual, maka tuntaslah peran kehambaan dihadapan Allah
SWT.
Garis dasar peran manusia itu terikat dengan dua dimensi, pertama menjadi Abid (hamba
yang tunduk), dan kedua menjadi khalifah (pemimpin) sesuai dengan Alquran Surah Albaqarah
ayat 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“..
sangat menarik penutup ayat ini, Allah menyebutkan hak absolut-Nya tentang hakikat
pengetahuan. Sehingga kita patut bersyukur Allah memberi jaminan akan keberhasilan kita
sebagai Khalifah.
Secara konseptual, kita harus mampu mensejalankan peran kehambaan dan ke-khalifahan
secara sinergis. Hal ini yang perlu pembalajaran kuat. Setidaknya keseriusan kita mencari
kesejahteraan di dunia ini tidak menggilas potensi kehambaan kita, sehingga pesan materialistik
tidak berbekas dalam setiap gerak, dalam banyak Ayat Alquran Allah memberi penegasan bahwa
rezki itu hak absolut-Nya (Watardzuqu man-tasyaa’u bighairi hisaab) sehingga, kita tidak boleh
berhenti memahami rezki Allah itu pada hal yang materilistik keduniaan saja. Dengan cara inilah
manusia yang tawhidi itu akan terlihat kuat karena sandarannya bukan dunia, tapi keridha-an
Allah dalam setiap langkah. Indikator ridha Allah itu terletak pada ke-istiqamahan berbuat baik,
taat dan menjauhi keingkaran. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”
Qs Ali Imran ayat 110.
Sering manusia lupa tujuan dasar kehidupannya. Sehingga perjalanan hidup disikapi
dengan sangat materialistik an sich. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa tak ada orang yang
bisa hidup nyaman kalau tak sejahtera kehidupan dunia-nya, namun bukan berarti tujuan dasar
manusia secara tawhid terabaikan.
Logika inilah yang harus kita perbaiki sehingga kesan dikotomi antara peran kehambaan
yang rituliastik itu ber-efek pada kehidupan sosial. Menerjermahkan kehambaan tidak sebatas
“masjid dan sajadah” saja, tapi menjadikan interaksi sosial sebagai sarana aplikasi-nya.
Meminjam istilah Imam Al Ghazali dalam Kitab Minhaajul ‘Abidiin, di bab pembuka bahwa
orang yang beribadah harus juga mengikut sertakan ruhaninya sehingga hubuangan ketaatan
antara jasmani dan ruhani terwujud.
Maksdunya, kita tidak akan pernah merasa kehilangan (missing) antara taat pada salat
dengan kebiasaan berbohong, marah, sombong, menghina dan sejenisnya. Bahwa sikap
kepribadian harus terbentuk ketika kita taat. Kesimpulan ini adalah energi dari Alquran Surah Al
Ankabut ayat 45: “Sesungguhnya Salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. Para
mufassir condong menggolongkan keji itu pada aspek horizontal (hubungan baik pada sesame
makhluk) dan mungkar itu pada aspek vertikal (kesengajaan ingkar pada Allah).
Keberhasilan manusia mengabdi itu akan terwujud pada totalitas ketundukan dan
pengabdiannya kepada Allah. Tidak boleh serakah dengan tujuan, melihat kasih sayang Allah
hanya pada harta keduniaan saja, sehingga semua proses dan nikmat ketaatan hilang dari semua
tujuan. Untuk sampai pada tujuan itu, pertama perlu meluruskan niat kembali, bahwa semua
aktivitas dunia kita, bekerja, belajar, berusaha tidak boleh hilang dari harap yang tinggi kepada
Allah, bukan hanya pada harap tentang hasil yang banyak, tapi juga harap pada perlindungan
Allah Swt. Rezki itu bukan hanya ketika dapat uang banyak, tapi selamat sampai tujuan pun
rezki yang mahal harganya.
Kedua, mari belajar membenci ingkar kepada Allah. Filosofinya bukan hanya
menghindari, karena menghindar belum tentu benci, tapi membencilah, minta agar Allah beri
kekuatan untuk membenci dosa, karena orang yang membenci dosa harusnya istiqomah pada
kebaikan dan “jijik” pada dosa. Output-nya adalah keteladanan. Karena kita butuh orang baik
dan diteladani.
Ketiga, kita harus mampu meng-upgrade orientasi keduniaan. Berupaya sekuat tenaga
bahwa sebesar apapun kebutuhan pada harta dunia, tapi potensi ketundukan tidak boleh lepas,
bukan hanya mencari rezki yang banyak, tapi juga harus yang halal, yang manfaat dan berharap
keberkahan. Tidak hanya fokus pada usaha dunianya, tapi juga tak boleh melepas rezki
kebersamaan pada keluarga, jiran dan saudara. Sehingga semua menjadi rezki, bukan hanya yang
banyak tapi juga yang ada di sekeliling kita.
Keempat, share dunia berbasis akhirat. Usahamu adalah doa, dan doamu adalah usaha.
Jadi semua pekerjaan bertenaga. Tenaganya bukan hanya di bumi, tapi juga di langit.
Meleburkan hasil bukan hanya pada angka, tapi sudah mengikut sertakan keridhaan Allah, rasa
nikmat, sukarela, sukacita dan optimisme. Kegelisahan itu bukan hanya pada kurangnya jumlah,
tapi gelisah karena sudah mulai sedikitnya taat dan pengabdian. Khawatir itu bukan hanya pada
tidak kabulnya doa, tapi khawatir kalau kehilangan percaya pada kekuatan doa.
Keenam, geser makna hasil itu pada ketaatan. Kalau kita bahagia mendapat uang banyak,
maka tak sempurna kebahagiaan itu kalau ada salat yang tinggal, ada kejahatan yang kita buat,
ada ketidakharmonisan yang kita sengaja. Minta kepada Allah agar dipandu pada ketaatan yang
paripurna.. ketaatan yang penuh rasa tunduk, ketaatan yang memberi hikmah dalam setiap
keadaan sehingga muncul energi baru, bahwa berhasil itu bertemunya hajat dunia dengan taat
kepada Allah Swt.
Ketujuh, tawakkallah, bukan pasrah. Orang pasrah cenderung berhenti berharap pada
Allah. Menghakimi nasib dan memposisikan Allah sebagai Tuhan yang “sedikit kejam”. Orang
tawakkal itu akan memindahkan perjuangan nasibnya dari bumi menuju langit. Dan atas izin
Allah, langkah tidak akan pernah berhenti di dunia sebab semua gerak akan memberi hasil. Allah
akan meluaskan cara melihat rezki bukan hanya pada jumlah, tapi kapada kekuatan menerima
keadaan.
KESIMPULAN