Anda di halaman 1dari 14

B. Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk menyatakan
berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat al-Furqan ayat 43.

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya ?

Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:

Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain
aku’.

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai
benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang
dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini),dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme
tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika
al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa,
sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di
hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari
padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M.
Imaduddin, 1989: 56).

Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa saja,
yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak
ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang
dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun
Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai
dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu penegasan
“melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari segala macam
Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.

C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan
atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu
teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian
dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan
pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:

a. Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda.
Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang
berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak
dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang
misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b. Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh
dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif,
roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh
dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta
mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut
kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus
menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha
untuk memenuhi kebutuhan roh.

c. Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu
banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa.
Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin
dan lain sebagainya.

d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu
dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya
mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah)
bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat
Nasional).

e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme


hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme
ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller
dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme
dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang
Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud
yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme


menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang
evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan
bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan
tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul
kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran
wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).

2. Pemikiran Umat Islam

Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok berpegang
teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlah
yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu
faham yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah
ketuhanan di kalangan umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam,
yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh
penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah
dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad
meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai
pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan segitiga
antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang fanatik dengan
garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok mayoritas yang mendukung
kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak
muncul, karena sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan
melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi terbuka.
Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman menjadi
penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi
ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak
pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk
slogan bahwa darah harus dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah
kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk
menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya
bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan
pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak
Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai
penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya,
di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada
Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah.
Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan
KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1)
Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-segan


menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya. Menurut
Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali
dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang pemerintah, sedangkan pihak
Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan
hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan
Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ‫َّللاُ فَأُولَئِكَ ُه ُم ْالكَاف ُِرون‬


‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أ َ ْنزَ َل ه‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran), maka
mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain membuat
pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul
pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang diajukan
berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang yang berbuat dosa besar. Sebagian
pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir.
Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka
dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman
itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah.
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud
dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan
mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang dosa besar
tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban, bahwa
pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry
sebagai pembina pengajian tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya
bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik.
Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah ketimbang
orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang yang sependapat
dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap
bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan
diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok
MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang diajukan
golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu, yaitu Sunni.
Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima azas
(ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban. Tuhan
wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan wajib
memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-pandangan
kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan
ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat (sifat 20,
sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat
dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan
sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari
faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi penggerak
atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di sebut
abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada dua kemungkinan,
yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti
: patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

‫ب ه‬
ِ‫َّللا‬ ِ ‫َّللاِ أ َ ْندَادًا يُحِ بُّونَ ُه ْم َك ُح‬
‫ُون ه‬ِ ‫اس َم ْن َيتهخِ ذُ مِ ْن د‬
ِ ‫َومِ نَ النه‬

Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah.
Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid (monoteisme).
Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik
dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi
Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-
kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim
dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah,
kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul
pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul
karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari
kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep
ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran surat
Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

‫س َو ْالقَ َم َر لَ َيقُولُ هن ه‬
َ‫َّللا ُ فَأَنهى يُؤْ فَ ُكون‬ ‫س هخ َر ال ه‬
َ ‫ش ْم‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َ ‫ض َو‬ ‫سأ َ ْلت َ ُه ْم َم ْن َخلَقَ ال ه‬
ِ ‫س َم َوا‬ َ ‫َولَئ ِْن‬
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan menundukkan
matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang itu beriman
dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah
memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan
bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang
dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam kesadaran
manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta
Rasullullah sebagai Uswah hasanah.
A. Pembuktian wujud tuhan
 Keberadaan Alam semesta, sebagai bukti adanya Tuhan
Ismail Raj’I Al-Faruqi mengatakan prinsip dasar dalam Teologi Islam, yaitu Khalik dan makhluk.
Khalik adalah pencipta, yakni Allah swt, hanya Dialah Tuhan yang kekal, abadi, dan transeden. Tidak
selamanya mutlak Esa dan tidak bersekutu. Sedangkan makhluk adalah yang diciptakan, berdimensi
ruang dan waktu, yaitu dunia, benda, tanaman, hewan, manusia, jin, malaikat langit dan bumi, surga
dan neraka.
Adanya alam semesta organisasinya yang menakjubkan bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa
rahasia-rahasianya yang unik, semuanya memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang
telah menciptakannya.
Setiap manusia normal akan percaya bahwa dirinya ada dan percaya pula bahwa alam ini juga ada.
Jika kita percaya tentang eksistensinya alam, secara logika kita harus percaya tentang adanya penciptaan
alam semesta. Pernyataan yang mengatakan “Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya khalik,
adalah suatu pernyataan yang tidak benar”.
Kita belum pernah mengetahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala
sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penciptanya, dan pencipta itu tiada lain adalah Tuhan. Dan
Tuhan yang kita yakini sebagai pencipta alam semesta dan seluruh isinya ini adalah Allah Swt.
 Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Ada pendapat dikalangan ilmuwan bahwa alam ini azali. Dalam pengertian lain alam ini
mencpitakan dirinya sendiri. Ini jelas tidak mungkin, karena bertentangan dengan hukum kedua
termodinamika. Hukum ini dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan
energi panas yang membuktikan bahwa adanya alam ini mungkin azali.
Hukum tersebut menerangkan energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak
panas, sedangkan kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan
yang tidak panas berubah menjadi panas. Perubahan energi yang ada dengan energi yang tidak ada.
Dengan bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika terus berlangsung, serta
kehidupan tetap berjalan. Hal ini membuktikan secara pasti bahwa alam bukanlah bersifat azali. Jika
alam ini azali sejak dahulu alam sudah kehilangan energi dan sesuai hukum tersebut tentu tidak akan
ada lagi kehidupan di alam ini.
 Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Astronomi menjelaskan bahwa jumlah bintang di langit saperti banyaknya butiran pasir yang ada di
pantai seluruh dunia. Benda ala yang dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dengan bumi
sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi, dan menyelesaikan setiap edaranya selama 20
hari sekali.
Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar dari porosnya dengan
kecepatan 1000 mil perjam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun
sekali. Dan sembilan planet tata surya termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan
yang luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama dengan planet-planet dan
asteroid-asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.00 mil perjam. Disamping itu masih
ada ribuan sistem selain sistem tata surya kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy
sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy sistem matahari kita,
beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang teliti. Berkesimpulan bahwa
mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya. Bahkan akan menyimpulkan, bahwa dibalik semuanya
itu pasti ada kekuatan yang maha besar yang membuat dan mengendalikan semuanya itu, kekuatan
maha besar itu adalah Tuhan.
 Argumentasi Qur’ani
Allah Swt. berfirman, termaktub dalam surat Al-Fatihah ayat 2 yang terjemahya “Seluruh puja dan puji
hanalah milik Allah Swt, Rabb alam semesta”.
Lafadz Rabb dalam ayat tersebut, artinya Tuhan yang dimaksud adalah Allah Swt. Allah Swt sebagai
“Rabb” maknanya dijelaskan dalam surat Al-A’la ayat 2-3, yang terjemahannya “Allah yang
menciptakan dan menyempurnakan, yang menentukan ukuran-ukuran ciptaannya dan memberi
petunjuk”. Dari ayat tersebut jelaslah bahwa Allah Swt yang menciptakan ciptaannya, yaitu alam
semesta, menyempurnakan, menentukan aturan-aturan dan memberi petunjukterhadap ciptaannya. Jadi,
adanya alam semesta dan seisinya tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, ada yang menciptakan
dan mengatur yaitu Allah Swt.
Didalam surat Al-A’raf ayat 54, termaktub yang “Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam hari”. Lafadz Ayyam adalah jamak dari yaum yang berarti periode. Jadi, sittati
ayyam berarti enam periode dan tentunya membutuhkan proses waktu yang sangat panjang.
Dalam menciptakan sesuatu memang Allah tinggal berfirman Kun Fayakun yang artinya jadilah maka
jadi. Akan tetapi, dimensi manusia dengan Allah berbeda sampai kepada manusia membutuhkan waktu
enam periode. Hal ini agar manusia dapat meneliti dan mengkaji dengan metode ilmiahnya sehingga
muncul atau lahir berbagai macam ilmu pengetahuan.

Pengertian Manusia Dalam Agama Islam


Konsep manusia dalam AI-Qur'an dipahami dengan memperhatikan kata-kata yang saling
menunjuk pada makna manusia yaitu kata basyar, insan, dan al-nas.
Basyar
Disebutkan dalam Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, bahwa istilah ini berasal dari kata dasar basyarah,
artinya bagian permukaan kulit, sedangkan adamah adalah bagian dalamnya. Manusia disebut dengan
basyar karena kulit mereka lebih banyak terlihat di permukaan tubuhnya dibanding rambut, berbeda
dengan hewan yang umumnya lebih banyak ditutupi bulu, rambut, dan wool. Dari kata dasar yang
bermakna “kulit” ini pula muncul istilah mubasyarah, artinya persentuhan kulit dengan kulit secara
langsung, dan bangsa Arab memakainya sebagai kiasan dari hubungan suami istri. Kabar gembira
juga disebut dengan bisyarah dan busyra, karena ketika seseorang bergembira maka darah menyebar
ke seluruh kulitnya sehingga tampak nyata perubahannya, terutama pada wajah.
Dengan demikian, ketika manusia disebut basyar dalam bahasa Arab, yang dimaksud adalah kegiatan
fisik yaitu seperti makan,minum, berjalan di pasar, beranak-pinak, berubah dari kecil menjadi dewasa,
dan akhirnya mati. Basyar adalah manusia secara biologis dan fisiologis sebagai materi dialam raya.
Konsep basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya
dari tanah liat atau lempung kering, serta manusia yang membutuhkan makan dan minum. Basyar
adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang statis seperti hewan.

Insan
Dalam Al-Qur’an, kata insan selalu bermakna kenaikan menuju tingkatan yang membuatnya cakap
menjadi khalifah di muka bumi, serta sanggup memikul konsekuensi taklif dan amanah kemanusiaan.
Sebab, ia telah diistimewakan dengan ilmu, bayan, akal, dan tamyiz (kemampuan memilah).
Kenyataan ini disertai dengan aneka rintangan yang pasti menghadangnya berupa ujian baik maupun
buruk, fitnah lalai karena merasa kuat dan mampu, ditambah perasaan sebagai makhluk yang
menempati posisi tertinggi di alam
semesta sehingga bisa menyeretnya menuju kesombongan dan ujub. Perasaan inilah yang seringkali
menjerumuskan manusia (insan) dan membuatnya lupa bahwa ia pada dasarnya makhluk lemah, yang
sedang menempuh kehidupan dunia dari alam tak dikenal menuju alam gaib.
Dengan kata lain, ketika disebut sebagai insan, maka yang dimaksud adalah kualitas-kualitas spesifik
dan istimewa dalam diri manusia yang membuatnya layak menerima kekhilafahan, taklif, dan
dilebihkan diatas malaikat.
Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang
berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah. Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus
bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Naas
Penggunaan kata An Nas dalam Al Quran dihubungkan dengan fungsi manusiasebagai makhluk
sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari laki-
laki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku bangsa untuk saling mengenal, tersurat
dalam Firman Allah surat Al-Hujurat/49:13.
Sejalan dengan konteks kehidupan sosial, maka peran manusia
dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Masyarakat dalam
ruang lingkup yang paling sederhana yaitu, keluarga, masyarakat, bangsa, hingga antar bangsa. Yang
dalam aplikasinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Dengan demikian, Al-Qur'an memandang manusia sebagai makhluk
biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah SWT, sama dengan
makhluk lain. Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan llahi atau ruh Allah,
memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menantang takdir Allah.

C. Tujuan Penciptaan Manusia


Tujuan penciptaan manusia adalah untuk penyembahan Allah. Pengertian penyembahan kepada Allah
tidak boleh diartikan secara sempit, dengan hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin salam
solat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia pada hukum Allah dalam menjalankan
kehidupan di muka bumi, baik ibadah ritual yang menyangkut hubungan vertical (manusia dengan
Tuhan) maupun ibadah sosial yang menyangkut horizontal ( manusia dengan alam semesta dan
manusia).
Allah menciptakan manusia untuk mengenal-Nya. Jika kita mengenal Allah kita akan ikhas beribadah
kepada-Nya, karena Allah tidak membutuhkan sedikitpun pada manusia termasuk pada ritual-ritual
penyembahannya. Dalam hal ini Allah berfirman:
1. QS. Az-Zariyat ayat 56-58
﴾٥٧﴿ ‫ون‬ ْ ‫ق َو َما أ ُ ِريدُ أَن ي‬
ِ ‫ُط ِع ُم‬ ٍ ‫﴾ َما أ ُ ِريدُ مِ ْن ُهم ِمن ِر ْز‬٥٦﴿ ‫ُون‬ َ ‫﴾ َو َما َخ َل ْقتُ ْال ِج هن َوا ِال‬٥٨﴿ ُ‫اق ذُو ْالقُ هوةِ ْال َمتِين‬
ِ ‫نس إِال ِليَ ْعبُد‬ ُ ‫الر هز‬ ‫إِ هن ه‬
‫َّللاَ ه َُو ه‬
Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyambah-Ku.
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah maha pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan
lagi sangat kokoh”.
2. QS. Al-an’am ayat 162
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
3. QS. Al-Bayinnah ayat 5
“Dan mereka telah di perintahkan kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat
dan menunaikan zakat dan dengan dekimikian itulah agama yang lurus”
Penyembahan yang sempurna dari seseorang manusia akan menjadikan dirinya sebagai khalifah
Allah di muka bumi dalam mengelola kehidupan alam semesta. Keseimbangan alam dapat terjaga
dengan hukum-hukum alam yang kokoh. Keseimbangan pada kehidupan manusia tidak sekedar akan
menghancurkan bagian-bagian alam semesta yang lain, inilah tujuan penciptaan manusia di tengah-
tengah alam.
D. Fungsi dan Peranan Manusia
Fungsi dan peranan manusia berpedoman kepada QS Al Baqarah ayat 30-36, maka peran yang
dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran Allah dan sekaligus pelopor dalam membudayakan ajaran
Allah. Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor pembudayaan ajaran Allah,
seseorang dituntut memulai dari diri dan keluarganya, baru setelah itu kepada orang lain.
Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah,
diantaranya adalah :
1. Belajar
Belajar yang dinyatakan pada ayat pertama surat al Alaq adalah mempelajari ilmu Allah yaitu Al
Qur’an.
2. Mengajarkan ilmu
Khalifah yang telah diajarkan ilmu Allah maka wajib untuk mengajarkannya kepada
manusia lain.Yang dimaksud dengan ilmu Allah adalah Al Quran. Allah berfirman dalam QS Al-
Baqarah ayat 31-39
3. Membudayakan ilmu
4. Ilmu yang telah diketahui bukan hanya untuk disampaikan kepada orang lain melainkan
dipergunakan untuk dirinya sendiri dahulu agar membudaya. Seperti apa yang telah dicontohkan oleh
Nabi SAW yang tercantum dalam QS Al-Mukmin ayat 35.
Di dalam Al Qur’an disebutkan fungsi dan peranan yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu :
1. Menjadi abdi Allah. Secara sederhana hal ini berarti hanya bersedia mengabdi kepada Allah dan
tidak mau mengabdi kepada selain Allah termasuk tidak mengabdi kepada nafsu dan syahwat. Yang
dimaksud dengan abdi adalah makhluk yang mau melaksanakan apapun perintah Allah meski terdapat
resiko besar di dalam perintah Allah. Abdi juga tidak akan pernah membangkang terhadap Allah. Hal
ini tercantum dalam QS Az Dzariyat : 56“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembahKu”
2. Menjadi saksi Allah. Sebelum lahir ke dunia ini, manusia bersaksi kepada Allah bahwa hanya
Dialah Tuhannya.Yang demikian dilakukan agar mereka tidak ingkar di hari akhir nanti. Sehingga
manusia sesuai fitrahnya adalah beriman kepada Allah tapi orang tuanya yang menjadikan manusia
sebagai Nasrani atau beragama selain Islam. Hal ini tercantum dalam QS Al A’raf : 17
3. “Dan (ingatlah), keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab:”Betul
(Engkau Tuhan Kami),kami menjadi saksi”.(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini(keesaan Tuhan)”
4. Manusia sebagai khalifah
Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat yang harus di pertanggung jawabkan di hadapan-
Nya.Tugas hidup yang di pikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas
kepemimpinan; wakil Allah di muka bumi untuk mengelola dan memelihara alam.Khalifah berarti
wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah, berarti manusia
memperoleh mandate Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi.Kekuasaan yang di
berikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya m,engolah dan
mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan
yang di tetapkan oleh Allah.
Agar manusia bisa menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah telah mengajarkan kepadanya
kebenaran dalam segala ciptaan-Nya dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-
hukum yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia bisa menyusun konsep-konsep serta melakukan
rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.
Dua peran yang di pegang manusia di muka bumi. Sebagai khalifah dan ‘abd merupakan perpaduan
tugas dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup, yang sarat dengan kreatifitas dan
amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu hidup seorang muslim akan
di penuhi dengan amaliah, kerja keras yang tiada henti, sebab bekerja bagi seorang muslim adalah
membentuk satu amal shaleh. Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan sebagai
makhluk Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan melainkan suatu kesatuan yang padu dan tidak
terpisahkan. Kekhalifaan adalah ralisasi dari pengabdiannya kepada Allah yang
menciptakannya.Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang
menyebabkan derajat manusia meluncur jatuh ke tingkat yang paling rendah. Dengan demikian,
manusia sebagai khalifah Allah merupakan satu kesatuan yang menyampurnakan nilai kemanusiaan
yang memiliki kebebasan berkreasi dan sekaligus menghadapkannya pada tuntutan kodrat yang
menempatkan posisinya pada keterbatasan.
Berikut adalah sumber-sumber hukum Islam

1.Alquran
Alquran adalah sumber utama hukum Islam. Alquran adalah kumpulan wahyu Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW sehingga tidak ada keraguan padanya. Alquran memiliki sekitar 500 ayat
yang bersifat hukum. 500 ayat tersebut dikelompokkan dalam empat kelompok:

a.Perintah-perintah singkat
bersifat umum tanpa disertai aturan terperinci tentang bagaiman pelaksanaan perintah itu. Contoh:
shalat, puasa, dan zakat.
b.Perintah-perintah singkat dan terperinci
Firman Allah SWT yang disertai sedikit penjelasan. Penjelasan lebih lanjut terdapat dalam hadis.
Contoh: aturan tentang hubungan antara kaum muslim dengan kaum non-muslim
c.Perintah-perintah terperinci
Firman Allah SWT dengan perincian lengkap sehingga tidak perlu penjelasan lebih jauh. Contoh:
aturan tentang waris
d.Prinsip-prinsip pedoman pokok
Prinsip ini tidak disertai dengan penjelasan mengenai cara perberlakuannya sehingga harus ditentukan
melalui ijtihad di setiap masa.

2.Hadis dan Sunah


Hadis adalah ucapan yang berhubungan dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Sunah adalah
keseluruhan praktik kehidupan yang dijalani oleh Nabi Muhammad SAW. Jenis sunnah: sunnah
qawliyah (ucapan), sunnah fi’liyyah (perbuatan), dan sunnah taqririyyah (persetujuan)

3.Ijmak (konsensus)
Aturan Islam mengacu pada Alquran. Apabila tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam Alquran maka
umat Islam melanjutkan acuan pada hadis dan sunah. Apabila tidak ada penjelasan lebih lanjut di
hadis dan sunah, maka para ulama mengadakan konsensus atau ijmak. Ijmak adalah keputusan yang
diambil melalui jalan ijtihad. Perlu dicatat bahwa Ijmak tidak berlaku untuk masalah akidah atau
ibadah utama.

4.Qiyas (Deduksi Analogis)


Qiyas adalah penerapan aturan yang sudah ditetapkan oleh Alquran, sunah, atau ijmak terhadap kasus
baru. Konsepnya adalah memperbandingkan dua hal dan menilai salah satu hal dari sudut pandang hal
lainnya. Qiyas hanya bisa digunakan untuk menemukan hukum suatu masalah hanya jika jawabannya
tidak ada dalam Alquran, hadis, atau ijmak. Contohnya adalah pengharaman narkoba dengan alasan
hukum yang sama dengan pengharaman alkohol yaitu keduanya merusak pikiran

5.Mahzab-Mahzab Hukum
Terdapat empat mahzab yang diakui oleh Suni. Keempat mahzab tersebut memiliki teori dan praktik
hukum yang berbeda-beda meskipun masing-masing saling mengakui legitimasinya.
a)Hanafi (rasionalis)
Diikuti oleh mayoritas muslim Suni di Lebanon, Irak, Syria, Turki, Afghanistan, Pakistan,
Bangladesh, dan di beberapa kawasan India
b)Maliki (tradisionalis)
Diikuti oleh bangsa Moor yang saat ini banyak terdapat di Afrika
c)Hanbali (fundamentalis)
Mahzab ini berkuasa di Arab Saudi
d)Syafi’i (moderat)
Mahzab ini tersebar luas di Asia Tengga

3.1 Makna Iman

Iman = Aqidah yaitu kepercayaan dasar sebagai titik tolak permulaan (pondasi) seorang muslim.

3.1.1 Pondasi (Rukun Iman)


Adapun dalil-dalil dari rukun Iman ini, berdasarkan al-Qur‟an dan al-Hadist. Dalam rukun Iman ini,
berupa hal-hal apa saja yang wajib diimani oleh seorang Muslim.
1) Al-Hadist

“Iman adalah engkau percaya (membenarkan dan mengakui) kepada Allah Swt dan malaikat-Nya dan
dengan menjumpai-Nya, rasul-rasul-Nya, dan engkau percaya dengan Hari Berbangkit” (H.R.
Bukhari dan Muslim).
2) Al-Qur’an

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah Swt dan rasul-Nya dan kepada
kitab yang diturunkan kepada rasul-Nya, serta kitab Allah Swt diturunkan sebelumnya. Barang siapa
beriman kepada Allah Swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari
Kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (Surat an-Nisa: 136).
3.1.2 Inti Aqidah

Percaya dan pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah Swt. (tauhid), yang merupakan landasan keimanan
terhadap keimanan lainnya, seperti keimanan terhadap malaikat, rasul, kitab, hari akhir dan qadha
qadar.
3.1.3 Pendekatan Iman
1) Dalil Naqli (al-Qur‟an dan al-Hadist)
2) Dalil Aqli (Hukum Akal)
3.1.4 Pengertian Kufur

Kufur bermakna ingkar, artinya tidak beriman kepada pondasi-pondasi Iman. Adapun macam-macam
kufur, meliputi:
1) Kufur Besar

Kufur model ini, dapat mengeluarkan seseorang dari Agama Islam. Kufur yang yang termasuk
golongan ini, antara lain:
a. Mendustakan kebenaran Allah Swt (al-Ankabut: 68).
b. Tidak tunduk dan congkak terhadap Allah Swt (al-Baqarah: 34).
c. Meragukan Allah Swt (al-Kahfi: 35-38).
d. Berpaling dari seruan Allah Swt (al-Ahqaf: 3).
e. Menampakkan keimanan, sembunyikan kejahatan (al-Munafiqun: 3).
12
2) Kufur Kecil

Kufur model ini, tidak dapat mengeluarkan seseorang dari Agama Islam. Kufur ini meliputi:
a. Kufur Amali, yaitu dosa-dosa yang disebutkan dalam al-Qur‟an dan al-Hadist.
b. Kufur Nikmat (al-Nahl: 85).
3.2 Makna Islam
Islam yaitu menyerahkan diri kepada Allah Swt atau mendapatkan keselamatan dari Allah Swt.
3.3.1 Pondasi (Rukun Islam)

Rukun Islam berarti bagian-bagian daripada suatu kebulatan Islam. Pelaksanaan rukun Islam
merupakan suatu pelaksanaan ibadah yang menghubungkan seorang Muslim dengan Allah Swt
(Ibadah Mahdah).
(1) Mengucapkan dua kalimat syahadat
Syahadat Ilahiah (al-Ikhlas: 1-4)
Syahadat Kerasulan (al-Fath: 29)

(2) Menegakkan shalat 5 waktu, yaitu Shubuh, Dzuhur atau Jum‟at, Ashar, Maghrib dan Isya‟ (al-
Baqarah: 43). Hikmahnya adalah :
Memberikan ketenangan bathin (ar-Ra‟d: 28).
Adanya pembentukan kepribadian.
Membentengi dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar (al-Ankabut: 45).
Mengurangi dan menghilangkan kesusahan dan kegelisahan (al-Ma‟arij: 19-22).

(3) Mengeluarkan zakat (al-Baqarah: 43, 267), yaitu pemberian yang wajib diberikan oleh muzakki
(orang yang sudah diberi beban mengeluarkan zakat) dari harta tertentu menurut sifat-sifat dan ukuran
tertentu, kepada golongan tertentu atau mustahiq (fakir, miskin, „amil, muallaf, gharim, dan ibnu sabil
(at-Taubah: 60). Adapun hikmahnya adalah :
Sebagai sarana pembelajaran manajemen hati (at-Taubah: 103).
Untuk pemerataan pendapatan (al-Ma‟arij: 24-25).
Harta yang dizakati akan tumbuh, berkembang, dan berkah (al-Baqarah: 22).
Menumbuhkan rasa solidaritas antar sesama manusia (al-Maidah: 2).

(4) Melaksanakan Puasa Ramadhan. Puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu perbuatan yang
diinginkan. Sedangkan yang dimaksud puasa Ramadhan adalah menahan diri dari makan, minum, dan
berhubungan suami-istri yang dimulai terbit fajar sampai dengan terbenamnya matahari dengan niat
menjalankan perintah Allah Swt. dengan beberapa syarat, didalam bulan Ramadhan. Adapun
hikmahnya adalah :
Sebagai sarana pembelajaran manajemen hati, yaitu belajar mengendalikan keinginan yang dilarang
dan dihalalkan Allah Swt. (al-Fajr: 27-30).
Sebagai sarana belajar untuk berhemat, tidak tamak dan rakus, serta hal-hal yang mubazir atau
kurang memberikan manfaat (al-Isra‟: 26-27).
Memelihara kesehatan.
Memperkuat rasa keimanan.
Menghapus dosa-dosa.

(5) Menunaikan ibadah Haji bagi yang mampu. Ibahdah Haji mengandung arti menyengaja
berkunjung ke rumah Allah Swt. (baitullah) untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan syarat-
syarat tertentu (al-Imran: 97).

3.3 Makna Ihsan

Ihsan yaitu berbuat kebaikan atau berbuat baik (an-Nahl: 90; ar-Rahman: 60). Bedanya dengan akhlah
adalah ihsan mengandung hal yang sifatnya baik atau positif, sedangkan akhlak dapat bersifat baik
maupun buruk.

3.3.1 Macam Ihsan/Akhlak


(1) Akhlak kepada Khalik (Allah Swat.)
(2) Akhlak kepada Makhluk, yang terdiri dari:
b. Akhlak kepada manusia:
Akhlak kepada Rasulullah Saw.
Akhlak kepada orang tua
Akhlak kepada saudara
Akhlak kepada tetangga
Akhlak kepada masyarakat
c. Akhlak kepada makhluk selain manusia (hewan, tumbuhan, jin, dan malaikat.

Anda mungkin juga menyukai