Anda di halaman 1dari 16

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh : OKTANIA HENDRAYANI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN D3 TLM B

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA


TAHUN AJARAN 2020/2021
A. SIAPAKAH TUHAN ITU?
Perkataan ilah yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai
untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia,
misalnya dalam surat al-Furqan ayat 43.
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagi
tuhannya ?
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusai merelakan dirinya dikuasi olehnya. Perkataan
tersebut hendaklah diartikan secara luas oleh kita. Tercakup didalmnya yang dipuja,
dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan keselamatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya
atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut :
Al-ilah ialah : yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri dihadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa’a adn betawakkal kepadanya untuk
keselamatan diri, meminta perlindungan diri padanya, dan menimbulakan
ketenangan disaat memngingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Immamuddin,
1989 : 56).
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami, bahwa tuhan itu bisa berbentuk apa
saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis,
tidak mungkin tidak bertuhan. Berdasarkan logika al-Quran manusia pasti mempunyai
sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada
hakikatnya bertuhan juga.
Dalam ajaran islam diajarkan kalimat “laa illaha illaa allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada tuhan “, kemudian baru diikuti
dengan suatu penegasan “melainkan allah”. Hal itu berati bahwa seorang muslim
harus memberishkan dari segala macam tuhan terlebih dahulu, yang ada dialam
hatinya hanya satu tuhan yang bernama allah.

B. SEJARAH PEMIKIRAN MANUSIA TENTANG TUHAN


1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud dengan konsep ketuhanan menurut pemikiran manusai adalah
konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melaului pengamatan lahiriah
maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin.
Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang
menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Proses perkembanga pemikiran tentang tuhan menurut
teori evolusionisme adalah sebagai berikut :
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula seuatu yang berpengaruh
tersebut ditunjukkan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia,
ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif.Kekuatan yang
ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia),
tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat
atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang
misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan
pengaruhnya.
b. Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai
adanya peran roh dalam  hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif
sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang
selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-
kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan
ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus
menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah
satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang
lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai
dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang
membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.
Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin
mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat
menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut
dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat
Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga
paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh


Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan
bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-
orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-
sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud
yang lain.

       Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa
Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah
berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).

2. Pemikiran Umat Islam

Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang
berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah
yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat
Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup
menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah
oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah).
Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat
Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu
Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya
digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

Embrio ketegangan politik  sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok
orang Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali),
dan kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap
khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan
melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa
khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul
Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah
terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi
Thalib.  Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus
dibalas dengan  darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan
Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk
menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian
damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan
strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat
Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah,
sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa
resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan
pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu :
kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun
tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan
kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan
demikian umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok
Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-


segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan
kelompok lainnya. Menurut Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai
baik pihak Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan
kafir karena menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak
bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum
berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya,
berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ ِ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ فَأُولَئ‬


َ‫ك هُ ُم ْال َكافِرُون‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang


diturunkan Allah (Al-Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain
membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik
(pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan
Al-Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat
tentang orang  yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa
mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir. Para pelaku
politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka
dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin
beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang
mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan
bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan
perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau
mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.
Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan
tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha
mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir
melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut
memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa
besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil
membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah
ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang 
yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-
Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry
mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok
kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok
MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep


yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik
pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus).
Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang
yang baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan
kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal
manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam
kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

 
Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki
kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia
mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya
mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki.
Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang
menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia.
Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-
Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah. Subjektif
(hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon,
binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

ِ ‫اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ أَ ْندَادًا يُ ِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا‬


ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬

 Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai


tandingan terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu
sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-
ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu
Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar
15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah.
(Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai
di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya
Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari
kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi
Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan
konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep
ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka
yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam
Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

َ‫س َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ َّن هَّللا ُ فَأَنَّى ي ُْؤفَ ُكون‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
َ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّش ْم‬ َ َ‫َولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َم َوا‬

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan


bumi, dan menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan
menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti
orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan
kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu
inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah
yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta,
melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana


dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai
jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika
Allah yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah
disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai
Uswah hasanah.

C. PEMIKIRAN TUHAN MENURUT AGAMA-AGAMA WAHYU


Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan
pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan
merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal
dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional,
tidak akan benar.

Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:

1. QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah


satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu
agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada
Allah dan Allah akan menghakimi mereka.

Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan konsep tentang  ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang
dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.

Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama


adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran
aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.

2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah


Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan)
Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah
neraka.

3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah
Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah
nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika
nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim
musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain
dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19.
Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan
kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain
surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana
dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.

Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut informasi al-


Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan
“Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu
yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul
Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa,
yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-
bagian.

Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan
yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa
Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan
ucapannya.

Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk
bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain
Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.

D. PEMBUKTIAN WUJUD ADANYA TUHAN

Allah sebagai wujud yang tidak terbatas, maka hakikat dirinya tidak akan
pernah dicapai, namun pemahaman tentang-Nya dapat dijangkau sehingga kita
mengenal-Nya dengan pengenalan yang secara umum dapat diperoleh, malalui jejak
dan tanda-tanda yang tak terhingga. Imam `Ali as dalam hal ini menjelaskan bahwa:
“Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara menjangkau sifat-sifat-Nya, tapi pada
saat yang sama tidak menghalangi akal untuk mengetahui-Nya.”
Selain itu, jika kita menyelami diri kita sendiri, maka secara fitrah manusia
memiliki rasa berketuhanan. Fitrah ini tidak dapat dihilangkan, hanya saja dapat
ditekan dan disembunyikan, dengan berbagai tekanan kebudayaan, ilmu dan lainnya,
sehingga terkadang muncul pada saat-saat tertentu seperti pada saat tertimpa musibah
atau dalam kesulitan yang benar-benar tidak mampu ia mengatasinya. Pada kondisi
ini, kita secara fitriah mengharapkan adanya sosok lain yang memiliki kemampuan
lebih dari kita untuk datang dan memberikan pertolongan kepada kita.
a. Dalil Fitrah
Yaitu perasaan alami yang tajam pada manusia bahwa ada dzat yang maujud,
yang tidak terbatas dan tidak berkesudahan, yang mengawasi segala sesuatu,
mengurus dan mengatur segala yang ada di alam semesta, yang diharapkan kasih
sayang-Nya dan ditakuti kemurkaan-Nya. Hal ini digambarkan oleh Allah SWT
dalam QS. 10:22.
b. Dalil Akal
Yaitu dengan tafakkur dan perenungan terhadap alam semesta yang
merupakan manifestasi dari eksistensi Allah SWT. Orang yang memikirkan dan
merenungkan alam semesta akan menemukan empat unsur alam semesta :
1. Ciptaan-Nya
Bila kita perhatikan makhluk yang hidup di muka bumi, kita akan menemukan
berbagai jenis dan bentuk, berbagai macam cara hidup dan cara berkembang biak
(QS. 35:28). Semua itu menunjukkan adanya zat yang menciptakan, membentuk,
menentukan rizki dan meniupkan ruh kehidupan (QS. 29:19,20). Bagaimanapun
pintarnya manusia, tentu ia tidak akan dapat membuat makhluk yang hidup dari
sesuatu yang belum ada. Allah SWT menantang manusia untuk membuat seekor lalat
jika mereka mampu (QS. 22:73). Nyatalah bahwa tiada yang dapat menciptakan alam
semesta ini kecuali Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Hidup.
2. Kesempurnaan
Kalau kita perhatikan, akan terlihat bahwa alam ini sangat tersusun rapi,
diciptakan dalam kondisi yang sangat sempurna tanpa cacat.Hal ini menunjukkan
adanya kehendak agung yang bersumber dari Sang Pencipta. Sebagai contoh,
seandainya matahari memberikan panasnya pada bumi hanya setengah dari panasnya
sekarang, pastilah manusia akan membeku kedinginan. Dan seandainya malam lebih
panjang sepuluh kali lipat dari malam yang normal tentulah matahari pada musim
panas akan membakar seluruh tanaman di siang hari dan di malam hari seluruh
tumbuhan membeku. Firman Allah:
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian
pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak
menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS.
67:3,4)
3. Perbandingan Ukuran Yang Tepat Dan Akurat (QS. 25:2)
Alam ini diciptakan dalam perbandingan ukuran, susunan, timbangan dan
perhitungan yang tepat dan sangat akurat. Bila tidak, maka tidak akan mungkin para
ilmuwan berhasil menyusun rumus-rumus matematika, fisika, kimia bahkan biologi.
4. Hidayah (Tuntunan dan Bimbingan) (QS. 20:50)
Allah memberikan hidayah (tuntunan dan petunjuk) kepada makhluk-Nya
untuk dapat menjalankan hidupnya dengan mudah, sesuai dengan karakteristiknya
masing-masing. Pada manusia sering disebut sebagai ilham dan pada hewan disebut
insting/naluri.
Eksistensi Allah terlihat dalam banyak sekali fenomena-fenomena kehidupan.
Barangsiapa yang membaca alam yang maha luas ini dan memperhatikan penciptaan
langit dan bumi serta dirinya sendiri, pasti ia akan menemukan bukti-bukti yang jelas
tentang adanya Allah SWT. Firman Allah :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-
Quran itu adalah benar.” (QS.41:53)
a. Dalil Akhlaq
Secara fitrah manusia memiliki moral (akhlaq). Dengan adanya moral (akhlaq)
inilah, ia secar naluriah mau tunduk dan menerima kebenaran agar hidupnya lurus dan
urusannya berjalan teratur dan baik. Zat yang dapat menanamkan akhlaq dalam jiwa
manusia adalah Allah, sumber dari segala sumber kebaikan, cinta dan keindahan.
Keberadaan ‘moral’ yang mendominasi jiwa manusia merupakan bukti eksistensi
Allah. (QS. 91:7-8)
b. Dalil Wahyu
Para rasul diutus ke berbagai umat yang berbeda pada zaman yang berbeda.
Semua rasul menjalankan misi dari langit dengan perantaraan wahtu. Dengan
membawa bukti yang nyata (kitab/wahyu dan mukzijat) mengajak umatnya agar
beriman kepada Allah, mengesakan-Nya dan menjalin hubungan baik dengan-Nya,
serta memberi peringatan akan akibat buruk dari syirik/berpaling dari-Nya (QS.6:91).
Siapa yang mengutus mereka dengan tugas yang persis sama? Siapa yang
memberikan kekuatan, mendukung dan mempersenjatai mereka dengan mukzijat?
Tentu suatu zat yang eksis (maujud), Yang Maha Kuat dan Perkasa, yaitu Allah.
Keberadaan para rasul ini merupakan bukti eksistensi Allah.
c. Dalil Sejarah
Semua umat manusia di berbagai budaya, suku, bangsa dan zaman, percaya
akan adanya Tuhan yang patut disembah dan diagungkan. Semuanya telah mengenal
iman kepada Allah menurut cara masing-masing. Konsensus sejarah ini merupakan
bukti yang memperkuat eksistensi Allah. (QS.47:10; perkataan ahli sejarah Yunani
kuno bernama Plutarch).
Terdapat beberapa cara mengenal Tuhan menurut ajaran selain Islam,
diantaranya yaitu dengan hanya mengandalkan panca indera dan sedikit akal,
sehingga timbul perkiraan-perkiraan yang membentuk filsafat-filsafat atau pemikiran
tentang ketuhanan. Filsafat dan pemikiran tersebut justru mendatangkan keguncangan
dan kebingungan dalam jiwa. Sehingga hanya menanamkan keraguan dan kesangsian
terhadap keberadaan Allah.
Adapun jalan yang ditempuh Islam untuk mengenal Allah ialah dengan
menggunakan keimanan dan dilengkapi dengan akal. Kedua potensi tersebut
dioptimalkan dengan proses tafakkur dan tadabbur. Tafakkur artinya memikirkan
ciptaan atau tanda-tanda kebesaran Allah (ayat kauniyah). Tadabbur berarti
merenungkan ayat-ayat Allah yang tertulis dalam al-Qur’an (ayat qauliyah). Sehingga
timbul keyakinan di dalam hati tentang keberadaan dan kekuasaan Allah (QS.3:190-
191; 12:105; 10:101).
PENUTUP

Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah:
1. Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti
dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim
harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam
hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.
2. Kemudian yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah
konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah
maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin
3. Allah sebagai wujud yang tidak terbatas, maka hakikat dirinya tidak akan pernah
dicapai, namun pemahaman tentang-Nya dapat dijangkau sehingga kita mengenal-
Nya dengan pengenalan yang secara umum dapat diperoleh, malalui jejak dan tanda-
tanda yang tak terhingga
DAFTAR PUSTAKA

1. Syafaat, Drs. H.M, Islam Agamaku, (Jakarta: Widjaya Jakarta, 1974).


2. http://www.academia.edu/4950245/MAKALAH_KONSEP_KETUHANAN_DL
M_ISLAM.
3. http://nuristiar.blogspot.in/2013/10/makalah-pai-konsep-ketuhanan-dalam-
islam.html

Anda mungkin juga menyukai