Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ILMU KALAM

“PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN SIFAT-SIFAT TUHAN”


(Aliran Khawarij, Aliran Murji’ah, Aliran Mu’tazilah, Aliran Asy’ariah, Aliran
Maturidiyah)

Di Susun Oleh :

NAMA : ADI SEPRIANSYAH


NIM : 201419044
NO HP : 085348493782
DOSEN : Bpk. SANTOSA, S.Th.I, M.Hum

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RAHMANIYAH


(STAIR)
KAMPUS E BAYUNG LENCIR
TAHUN 2020/2021
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran kalam adalah masalah sifat-
sifat Tuhan. Tarik menarik di antara aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini
tampaknya dipicu oleh truth claim  yang dibangun atas kerangka berfikir masing-masing.
Perdebatan antar aliran kalam tentang sifat-sifat Tuhan tidak terbatas pada persoalan apakah
Tuhan memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Allah,
seperti antropomorphisme,  melihat Tuhan dan esensi Al-Qur’an.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana sifat-sifat Tuhan menurut aliran:

1. Khawarij

2. Murji’ah

3. Mu’tazilah?

4. Asy’ariyah?

5. Maturidiyah?

3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami menulis makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan
kita seputar aliran kalam,  selain itu juga untuk memenuhi tugas mata kuliahIlmu Kalam.

PEMBAHASAN
1. Aliran Khawarij

Istilah Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan
kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Alasan mereka keluar, karena tidak setuju
terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbirtrase sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan.

Khawarij merupakan aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Asy-
Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang
hak dan telah disepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin,
maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.

Demikian pula, kaum khawarij dikenal sebagai sekelompok orang yang melakukan
pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh rakyat (ummat). Oleh karena itu,
istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang para imam, baik pada
masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, dalam tulisan ini nama
Khawarij khusus diberikan kepada sekelompok orang yang telah memisahkan diri dari
barisan Ali.

Pengikut Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya
di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersipat sederhana, baik dalam cara
hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras hati, berani, bersikap
merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan cenderung radikal. Karena watak keras
yang dimiliki oleh mereka itulah, maka dalam berfikir dan memahami agama mereka pun
berpandangan sangat keras.

Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih
menjadi gerakan teologis. Perubahan ini terutama setelah mereka merujuk beberapa ayat
Alquran untuk menunjukkan, bahwa gerakan mereka adalah gerakan agama. dan secara
terorganisir terbentuk bersamaan dengan terpilihnya pemimpin pertama, Abdullah bin Wahab
Al-Rasyibi, yang ditetapkan pada tahun 37 H. (658 M). Karena pertimbangan-pertimbangan
politis, Fazlur Rahman memandang bahwa Khawarij “tidak memiliki implikasi doktrinal
yang menye-leweng, tetapi hanya seorang atau sekelompok pemberontak atau aktifis
revolusi”.
2. Aliran Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan. dan Pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni
memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat
Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang
yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu Murji’ah, artinya orang yang menunda
penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing, ke hari kiamat kelak.[1]

Bagi kaum Murji’ah, orang yang melakukan dosa besar adalah tetap mukmin, soal dosa
besar yang dilakukannya merupakan hak Tuhan untuk menentukannya di hari
kemudian. Alasan mereka adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar itu masih tetap
mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan (Rasul) Allah, atau dengan
kata lain masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar iman.
Selanjutnya, kaum Muhajirin memberikan harapan bagi orang Islam yang melakukan dosa
besar, dengan mengatakan bahwa mereka tidak kekal di dalam neraka aliran Murji’ah
menganggap iman lebih utama dari amal perbuatan

Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah diantaranya :
[2]
1. Teori yang mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murji’ah,
muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh Al-Hasan bin
Muhammad A1-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini,
menceritakan hahwa 20 tahun setelah kematian Muawivah. pada tahun 680, dunia
Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa faham Syi’ah ke Kufah
dari tahun 685-687; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di Mekah hingga yang
berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul
gagasan irja atau penangguhan (postponenment). Gagasan ini pertama kali digunakan
sekitar tahun 695, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah
st=”on”Surat pendeknya. Dalam Surat itu, Al-Hasan menunjukkan sikap politiknya
dengan mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan
keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan
Usman, Ali, dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke Mekah).” Dengan sikap politik
ini. Al-Hasan mencoba mengulangi perpecahan umat Islam. la kemudian mengelak
berdampingan dengan kelompok syiah revolusioner yang terlampau menggunkan Ali
dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui
ke khalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan dari sipendosa
Usman.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah,
dilakukanlah tahkim (arbitrasi) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah.
Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu. yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra
yang    akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang
bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Quran dalam pengertian, tidak bertahkim
berdasarkan hokum Allah. Oleh karena itu, rnereka berpendapat bahwa melakukan
tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa
besar seperti zina, riba membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua,
serta memfitnah wnita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang
keudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin,
tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan
mengampuninya atau lidak

3. Aliran Mu’tazilah
Untuk mengetahui lebih jelas pandangan Mu’tazilah tentang sifat-sifat Allah, berikut ini
akan dikemukakan pandangan tokoh-tokoh Mu’tazilah diantaranya An-Nazhzham dan Abu
Hudzail. An-Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan
sifat-sifat dzat Allah yang lain. Allah dalam pendapatnya, senantiasa tahu hidup, kuasa,
mendengar, melihat, dan qadim dengan diri-Nya sendiri, bukan dengan pengetahuan,
kekuasaan, perikehidupan, pendengaran, penglihatan, dan keqadiman. Demikian pula sifat-
sifat Allah yang lain.

An-Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang tahu,
berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-
Nya(bukan sifat-Nya). Dinafikan pula dari-Nya kebodohan, kelemahan, kematian, tuli, dan
buta. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lain. Ia ditanya,”Mengapa Anda menyebut nama
yang beragam untuk dzat Allah, “Yang” Tahu, “Yang” berkuasa, “Yang” Hidup, dan lain-
lain. Mengapa Anda tidak menyebut dzat saja? Mengapa pula Anda menolak pemaknaan
”Yang” tahu  dengan pemaknaan “Yang” Berkuasa dan “Yang “ hidup?” Ia menjawab,
karena beragam lawan sifat-sifat itu yang harus dinafikkan dari-Nya, seperti bodoh, lemah,
dan mati.” Namun, Ia tidak menjawab pertanyaan yang terakhir.

Sementara itu, dalam pandangan Abu Hudzail, esensi pengetahuan Allah adalah Allah
sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-
Nya yang lain. Ia berkata, ”Kalau Aku menyatakan Allah ‘Bersifat’ tahu, artinya Akupun
menyatakan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah dzat-Nya
sendiri. Dengan begitu, aku tegas-tegas menolak anggapan bahwa Allah itu bodoh terhadap
sesuatu yang sudah atau akan terjadi. Kalau kenyataan bahwa Allah “Bersifat” kuasa, itu
artinya akupun menyatakan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan, dan kekuasaan itu adalah
dzat Allah sendiri. Dengan demikian, aku menolak tegas-tegas anggapan bahwa Allah itu
lemahterhadap sesuatu yang sudah atau akan terjadi.” Demikian pula menurut Abu Hudzail,
“sifat-sifat” dzat Allah yang lain.

Ketika Abu Hudzail ditanya, “Kami mendengar bahwa pengetahuan Allah adalah Allah
sendiri, apakah Anda juga berpendapat bahwa pengetahuan Allah adalah kekuasaan-Nya?” Ia
menolaknya. Ketika ditanya lagi, “Bukan kekuasaan-Nya?” Ia pun menolaknya. Atas
jawaban Abu Hudzail yang kontradiktif ini, lawan-lawannya sering mengibaratkan pendapat
Abu Hudzail tentang persoalan ini dengan ucapan: “Sesungguhnya pengetahuan Allah
bukanlah Allah sendiri, tetapi bukan pula yang lain”.
Ketika dikatakan kepadanya, “Anda mengatakan bahwa pengetahuan Allah pada esensinya
adalah Allah sendiri maka Anda pun harus mengatakan bahwa Allah adalah pengetahuan.”
ternyata Ia tidak mau mengatakan bahwa pengetahuan Allah adalah Allah sendiri.

Meski terdapat perbedaan faham antara pemuka Mu’tazilah, namun mereka sepakat
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.

Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala
karenapertama, Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak apat dilihat dan kedua,  bila
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, itu berarti, Tuhan dapat dilihat sekarang di dunia ini,
sedangkan kenyataannya tidak seorangpun yang dapat melihat Tuhan di alam ini.

4. Aliran Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al- Asy’ari, tidak
dapat diingkari bahwa tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Ia juga
mengatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya disamping
mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Allah
memiliki sifat-sifat, dan bahwa sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh
diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis. Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat
bahwa sifat-sifat Allah itu unik karenanya tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia.

Aliran Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil
kepada akal juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani
dipandang sama dengan sifat jasmani manusia. Namun, ayat-ayat Al-Qur’an kendatipun
menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus
diterima sebagaimana makna harfiahnya. Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai
wajah, mata, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun, semua itu dikatakan la
yukayyaf wa la yuhadd  (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya). Aliran Asy’ariyah
juga mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala. Asy’ari
menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang mempunyai wujud.
Karena Tuhan mempunyai wujud, Ia dapat dilihat. Lebih jauh dikatakan bahwa Tuhan
melihat apa yang ada.
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan.
Asy’ari berpegang teguh pada pernyataan bahwa Al-Qur’an itu bukan mahluk sebab segala
sesuatu tercipta, setelah berfirman Kum  (jadilah), maka segala sesuatu pun terjadi.

5. Aliran Maturidiyah
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Al-
maturidi dan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti
sama, bashar dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-maturidi tentang sifat Tuhan
berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan
dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak
dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari esensi-Nya.

Tampaknya faham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung memiliki kesamaan
dengan faham Mu’tazilah. Perbedaannya, Al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan,
sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Meski terdapat perbedaan faham antara pemuka Mu’tazilah, namun mereka sepakat
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak dapat dilihat
dengan mata kepala karena pertama, Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak apat
dilihat dan kedua,  bila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, itu berarti, Tuhan dapat
dilihat sekarang di dunia ini, sedangkan kenyataannya tidak seorangpun yang dapat melihat
Tuhan di alam ini.
Aliran Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil
kepada akal berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat, namun mereka menolak faham Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat jasmani
manusia. kendatipun ayat-ayat Al-Qur’an menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiahnya. Tuhan
dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai wajah, mata, tangan serta bersemayam di
singgasana. Namun, semua itu dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd  (tanpa diketahui
bagaimana cara dan batasnya).
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Al-
Maturidi dan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti
sama, bashar dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian Al-maturidi tentang sifat Tuhan
berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan
dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak
dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari esensi-Nya.

Sebagian besar tokoh Syi’ah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu.


Mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim.  Sebagian besar dari
mereka berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati Tuhan dengan bada  (perubahan). Mereka beranggapan
bahwa Tuhan mengalami banyak perubahan. Perubahan ini bukan berarti naskh,  tetapi dalam
arti bahwa pada waktu yang pertama Ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang
kedua.
2. Kritik dan Saran
Karena keterbatasan ilmu, hingga makalah ini tidaklah sempurna, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar pada penulisan
makalah-makalah kami yang selanjutnya dapat lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995) h.109-110
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan terjemahannya
Harun Nasution, Islam: di tinjau dari berbagai aspeknya (Jakarta : UI Pres, 1986)
——————, Teologi Islam : aliran-aliran, sejarah analisa perbandingannya (Jakarta : UI
Press, 1986)
Nadvi, Muzaffaruddin, Pemikiran Muslim dan Sumbernya, (Pustaka : Jakarta, 1984)
Syahrastani, Muhammad ibn Abd. Karim, Milal wan Nihal, Ed. Muhammad Ibn al Fath Allah
Al Bardan, Kairo:1951)
www. wisdoms4all.com/ind.
Zahrah, Abu Imam Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Terj. Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta : Logos, 1996 )

Anda mungkin juga menyukai