Anda di halaman 1dari 19

TASAWUF NUSANTARA

“Syekh Burhanudin Ulakan”

Disusun oleh kelompok 10


Syafri al-kautsar (1920302011)
Dian Baharuddin Rasyid (1920302017)

Dosen Pengampu : Dr. IDRUS AL-KAF, M.A.

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM PRODI AQIDAH DAN


FILSAFAT ISLAM UIN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020/21
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, hidayah, taufiq,
serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam semoga tetap
tercurahkan ke hadirat Rasulullah saw. Yang membimbing kita menuju jalan yang diridhoi
oleh-Nya.
Terima kasih kepada dosen pengampu yaitu Bapak Dr. Idrus Al-Kaf, M.A. selaku
pembimbing Mata Kuliah TASAWUF NUSANTARA yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah yang berjudul “Syekh Burhanudin Ulakan” ini. Dalam pembuatan
makalah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita, dan penulis mengharapkan masukan, kritik
dan saran dari para pembaca. Karena penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.

Palembang, 31 mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................1

C. Tujuan Masalah...................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2

1. Biografi Syekh Abdurrauf As-Singkili...............................................................2

2. Ajaran dan Corak Pemikiran Syekh Abdurrauf As-Singkili...............................7

3. Karya-Karya Syekh Abdurrauf As-Singkili........................................................9

BAB III PENUTUP.......................................................................................................14

Kesimpulan.....................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

ii
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Burhanuddin Ulakan Pariaman atau dikenal dengan sebutan Syekh Burhanuddin Ulakan
(lahir tahun 1646 di Sintuk, Sintuk Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman – meninggal
20 Juni 1704 pada umur 58 tahun) adalah ulama yang berpengaruh di daerah Minangkabau
sekaligus ulama yang menyebarkan Islam di Kerajaan Pagaruyung. Selain itu ia terkenal
sebagai pahlawan pergerakan Islam melawan penjajahan VOC. Ia juga dikenal sebagai ulama
sufi pengamal (Mursyid) Tarekat Shatariyah di daerah Minangkabau, Sumatra Barat.[
Syeikh Burhanuddin lahir dengan nama Pono. Ia lahir di Ulakan (Pariaman), sebuah
kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman. Masa kecilnya belum banyak mengenal ajaran
Islam, dikarenakan orang tua serta lingkungan masyarakatnya belum banyak mengenal ajaran
tersebut. Ketika kecil, ia dan ayahnya masih memeluk agama Budha. Namun kemudian, atas
ajakan dan dakwah seorang pedagang Gujarat yang saat itu menyebarkan agama Islam di
Pekan Batang Bengkawas (sekarang Pekan Tuo), Syeikh Burhanuddin dan ayahnya
kemudian meninggalkan agama Budha dan masuk agama Islam.
Menginjak usia dewasa, Syeikh Burhanuddin mulai merantau dan meninggalkan tempat
orang tuanya.Syekh Burhanuddin pernah belajar di Aceh dan berguru kepada Syekh Abdur
Rauf as-Singkili, seorang Mufti Kerajaan Aceh yang berpegaruh, yang pernah menjadi murid
dan penganut setia ajaran Syekh Ahmad al-Qusyasyi dari Madinah.Oleh Syekh Ahmad
keduanya diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing.
Selama sepuluh tahun, Syeikh Burhanuddin banyak belajar ilmu-ilmu keislaman maupun
tarekat dari gurunya, Syekh Abdur Rauf as-Singkili. Ia mempelajari ilmu-ilmu Bahasa Arab,
tafsir, hadis, fikih, tauhid, akhlak, tasawuf, aqidah, syari’ah dan masalah-masalah yang
menyangkut tarekat, hakikat dan makrifat.
B. Rumusan masalah

1. Bagaimana pengambaran riwayat hidup Syekh Burhanudin Ulakan


2. Apa aliran tasawuf Syekh Burhanudin Ulakan
3. Bagaimana perkembangan tasawuf di tanah minang

C. Tujuan

1. Agar mengetahui sejarah hidup seorang Syekh Burhanudin Ulakan


2. Mengenal aliran tasawuf yang di milikinya
3. Melihat perkembangan aliran tasawuf yang berada di tanah minang

1
PEMBAHASAN

1. BIOGRAFI SYEKH BURHANUDDIN


Saat Islam datang ke Indonesia sufisme sedang mengalami masa kejayaannnya. Akibatnya,
Islam yang kemudian datang ke Indonesia tidak lepas dari pengaruhnya. Hal ini terbukti dari
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia yang lekat dengan warna sufisme. Wacana
pemikiran tasawuf di kalangan ulama Nusantara seperti Hamzah al-Fansuri, Syam al-Dīn al-
Sumatrani, Nur al-Dīn al-Raniri, Abdurrauf, Muhammad Yusuf al-Makassari, Hamzah al-
Fansuri dan Syam al-Dīn al-Sumatrani adalah dua tokoh yang banyak melahirkan karya besar
dalam bentuk esai dan puisi dengan corak pemikiranWahdahal-Wujūd.Sedangkan tiga ulama
terakhir cenderung kepada pemikiran yang mengharmonisasikan antara syari‘ah dan
tasawuf.Polemik tasawuf heterodok(wujūdiah) dengan paham ortodoks yang berkembang di
Acehabad ke-16 dan 17 Masehi, dapat dimenangkan oleh ulama ortodoksSyekh
Abdurraufyang lebih terkenal sebagai Tuanku Syiah Kuala.Sejarah Pengembangan Islam di
Minangkabau punya relevansi yang kuat dengan Abdurrauf khususnya dengan murid-
muridnya. Yang paling terkenal di antara para murid Abdurraufdi Sumatera adalah
Burhanuddin, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Ulakan adalah sebuah desa di
pantai wilayah Minangkabau (kini Sumatera Barat). Riwayatlokal mengenai perkembangan
Islam di Minangkabau menyatakan Burhanuddin belajar dengan Abdurraufselama beberapa
tahun sebelum kembali ke tempat kelahirannya. Burhanuddin tentu saja, bukan ulama
pertama yang memperkenalkan Islam ke wilayah Minangkabau, tetapi tak diragukan lagi ia
memainkan peran menentukan dalam menguatkan Islamisasi di kalangan penduduk setempat.
Peran Syekh Burhanuddin dalam pengembangan Islam di Minangkabau diawali dari
usahanya mendirikan surau (pesantren) sebagai pusat penyiaran Islam, pengkajian al-Qur‘an
dan pusat pengembangan tarekat.
A.Latar Belakang
Kehidupan Syekh BurhanuddinSebelum mengurai riwayat Syekh Burhanuddin, dapat kita
meninjau keadaan alam Minangkabau sebelum datang Syekh Burhanuddin, apakah agama
yang dianut oleh penduduk waktu itu. Agama penduduk Minangkabau sebelum datang
agama Islam adalah agama Buddha dan Hindu. Kerajaan Islam yang mulanya di Indonesia
adalah Samudera Pasai di Aceh sekitar abad ke 13. Pada saat itu kerajaan Pasai saudagar-
saudagar Islam Aceh telah sampai di pesisir barat pulau Sumatera. Waktu itu Adityawarman
menjadi Yang Dipertuan di Minangkabau. Agama Budha dan Hindu menjadi anutan raja dan
masyarakat Minangkabau waktu itu. Sehingga membendung akan kedatangan Islam pada
waktu itu. Sebaliknya Aceh beruasaha meluaskan kekuasaannya di pantai barat pulau
Sumatera.Tiku dan Pariaman adalah dua pelabuhan dagang terpenting di bawah Aceh
mengawasi perdagangan lada dalam usaha menunjang dominasi politiknya di kawasan ini.

2
Pariaman dijadikan pusat perdagangan pesisir barat pulau Sumatera. Dengan munculnya
pelabuhan itu arus perdagangan daerah pesisir semakin menjadi ramai.

Melalui hubungan dagang inilah daerah ini akhirnya berkenalan dengan agama Islam.
Disamping berdagang mencari untung, mereka berdakwah memenuhi tuntutan agama Islam,
seiring dengan itu ikut pula para Mubaligh sebagai Da‘i. 1Pada abad ke13 penyebaran Islam
sebagian berlangsung melalui ajaran tasawuf yang berasal dari Pasai, karena ajaran tasawuf
lebih diterima oleh masyarakat kita sebelumnya telah mempunyai dasar-dasar ajaran ke-
Tuhanan. Pada tahun 850 Hijriah datanglah seseorang yang berasal dari Arab yang bernama
Saidi Abdullah ke daerah Lubuk Begalung. Beliau menyebarkan agama Islam di daerah
tersebut. Lalu beliau mengajak masyarakat Lubuk Begalung dan Pauh untuk memeluk agama
Islam. Namun tak lama beliau meninggal dunia. Namun disayangkan belum sempurnanya
agama Islam yang dianut masyarakat Lubuk Begalung dan Pauh, mereka kembali menganut
agama Buddha dan Hindu.
B.Pendidikan Syekh Burhanuddin
Syekh Burhanuddin dalam menuntut ilmu diawali dengan perkenalannya dengan seorang
sahabat sesama pengembala di Tapakis yang berasal dari Ulakanyang bernama Idris
Majolelo. Kediaman Idris di Tanjung Medan. Idris terlebih dahulu belajar dengan Syekh
Abdullah Arif atau Syekh Madinah. Lalu Idris mengajak Syekh Burhanuddin (Pono)
berkenalan dengan Agama Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat Syahadat di
hadapan Syekh Abdul Arif.36Selama menuntut ilmu agama dengan Syekh Madinah,Syekh
Burhanuddin (Pono) termasuk murid yang cerdas, patuh terhadap guru, rajin dan ilmu yang
diajarkannya mudah diterima dan diamalkannya. Oleh karena itu Syekh Madinah sangat
sayang kepadanya. Kemudian Syekh Burhanuddin (Pono) digelari oleh gurunya dengan
Pakih Sempurna, sebab diantara muridnya yang lain hanya Ponolah yang terang hatinya dan
sempurna ingatannya.2Belajar dengan Syekh Madinah, Pono hanya tiga tahun dikarenakan
gurunya tersebut meninggal dunia. Alangkah sedihnya Pono karena secara tak diduga sama
sekali guru yang dihormatinya dan disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk menggali
sebanyak mungkin ilmu gurunya itu menjadi gagal. Dengan perasaan hati hiba dan putus
harapan, Pono kembali ke kampung orangtuanya Sintuk. Beliau sering termenung dan terharu
atas kepergian Syekh Madinah (Syekh Abdul Arif).Sebelum meninggal Syekh Madinah
berpesan kepada Syekh Burhanuddin (Pono) untuk melanjutkan pendidikannya kepada salah
satu sahabatnya waktu di Madinah yaitu Syekh Abdurraufyang sudah menjadi ulama terkenal
di wilayah Aceh.Di kampungnya Sintuk, Pono secara sembunyi-sembunyi mengajarkan serta
meyakinkan ke teman-teman terdekatnya akan hakikat kebenaran ajaran Islam. Pono lalu
menyampaikan pula ajarannya itu kepada orang tuanya. Pada akhirnya ajaran Islam lambat
laun meresap di hati sebagian kecil masyarakat Sintuk.Dakwah dari Syekh Burhanuddin
(Pono) tidak berlangsung lama. Dari pemuka adat dan penghulu suku menasehati Pono agar

1
Boestami, Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan(Padang: Proyek
Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat, 1981), h. 10
2
Boestami, Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan(Padang: Proyek
Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumatera Barat, 1981), h.12.

3
meninggalkan kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannya. Akibatnya
masyarakat yang tidak suka dengan kegiatan dakwahnya Pono, menganiaya ternak ayahnya
dan mengancam akan di usir dari kampungnya. Sampai musyawarah Nagari memutuskan
akan membunuh Pono bila tidak menghentikan kegiatan dakwahnya. Pada saat itu Pono
teringat akan pesan gurunya Syekh Abdul Arif untuk belajar menuntut ilmu Agama ke Aceh
kepada Ulama Aceh Syekh Abdurrauf. Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas
kepergian Pono. Pono melanjutkan pelajaran ke Aceh pada Syekh Abdurrauf pada tahun
1073 Hijriah/1662 Masehi yang saat itu sedang menjadi ulama dan mufti pada Kerajaan
Aceh. Selama di perjalanan menuju Aceh, Pono bertemu dengan 4 orang pemuda yang
sebaya dengannya. Lalu mereka berkenala dan ternyata mempunyai niat yang sama dengan
Pono ingin menuntut ilmu agama di Aceh kepada Syekh Abdurrauf. Mereka adalah Datuk
Maruhun dari Padang Ganting Batusangkar, Tarapang fari Kubung Tigo Baleh Solok,
Muhammad Nasir dari Koto Tangah Padang dan Buyung Mudo dari Bayang Tarusan.Ketika
sampai di Aceh (Singkil), mereka menjumpai Syekh Abdurrauf dan menyampaikan niatan
untuk menuntut ilmu agama. Syekh Abdurrauf langsung menerima dan mengabulkan
permohonan calon muridnya ini.Abdurrauf al-Singkili merupakan seorang ulama besar dan
juga termasuk ke dalam salah satu dari seratus tokoh Islam yang paling berpengaruh di
Indonesia. Beliau merupakan keturunan Arab. Dan beliau merupakan tokoh tasawuf dari
Aceh yang pertama sekali mengembankan paham tarekat Syattariyah di Indonesia.
C.Silsilah Syekh Burhanuddin dan Guru-gurunya
Silsilah tarekat adalahNisbah, hubungan guru terdahulu sambung-menyambung antara satu
sama lain sampai kepada Nabi. Hal ini harus ada sebab bimbingan keruhanian yang diambil
dari guru-guru itu harus benar-benar berasal dari Nabi. Kalau tidak demikian halnya berarti
tarekat itu terputus dan palsu, bukan warisan dari Nabi.3Sebagaimana tarekat pada umumnya,
tarekat Syattariyah memiliki silsilah para wasithah-nya yang bersambungan sampai kepada
Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat Syattariyah ini meyakini bahwa Nabi Muhammad
SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam
melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikῑr, tugas danfungsi kerasulannya.Kemudian Ali
menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikῑrkepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian
seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas
garis keturunan, tetapi lebih didasarkanpada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang
isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithahjauh sebelum melakukan pelimpahan,
sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw. sebelum melimpahkan kepada Ali bin
Abi Thalib.
D.Karya-karya Syekh Burhanuddin
Sistem dan pola pemikiran Syekh Burhanuddin tidak dapat ditunjukkan secara konkrit,
karena tulisannya yang dapat dijadikan acuan tidak ditemukan. Meskipun ada dua manuskrip
yang oleh pengikutnya dikaitkan dengan Syekh Burhanuddin dan disebut sebagai karya
Syekh Burhanuddin, tetapi manuskrip ini hanyalah merupakan mukhtasar(ringkasan) dari

3
Sri Mulyani, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia(Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2006), h. 9-10.

4
beberapa kitab tasawuf yang disebut pada penutup manuskrip itu. 4Pertama, manuskrip yang
ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan dengan
Kitab Tahqîq(Kitab Hakikat).
Kitab aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuning, khalifah
yang ke-42 bertempat di Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan. Kitab yang
ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan tinta kanji dan kertas lama
berwarna kuning lebih tebal dari kertas biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta,
dan kertas yang dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4
abad (zamannya Syekh Burhanuddin).Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kitab
Tahqîqtersebut tidak bisa dilihat oleh sembarang orang dan juga tidak boleh dibawa keluar
dari Surau, karena hal itu merupakan amanah, demikianlah seperti dikemukakan oleh
khalifah yang memegang kitab ini. Pada bagian pendahuluan kitab Tahqîqpenulis dengan
jelas menyatakan bahwa kitab ini (Mukhtasar)diringkaskan dari 20 (dua puluh) kitab tasawuf
yang populer dan dipakai luas di lingkungan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah.Kemudian
kitab-kitab sumber tersebut oleh penulis dituliskan nama-namanya saja, seperti: Kitāb Tuhfah
al-Mursalah ilā rūhin Nabī, Kitāb al-Ma`lūmāt, Kitāb al-Jawāhir al-Haqāiq, Kitāb al-
Mulahzhah, Kitāb Khātimah, Kitāb Fath al-Rahmān, Kitāb Maj al-Bahraiin, Kitāb Mi`dān al-
Asrār, Kitāb Fusūs al-Ma`rifah, Kitāb Bayān al-Allāh, Bahr al-Lahūt, Asrār al-Shalāh, Kitāb
al-Wahdah, Kitāb Futūhat, Kitāb Syarh al-Hikām, Kitāb al-Asrār al-Insān, Kitāb al-Anwār al-
Haqāiq, Kitāb al-Baitīn, Kitāb Tanbīh al-Masyi‟ dan Kitāb Adab „Asyik wa Khalwat.5
Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab melayu terdiri dari lima
kitabyang juga tidak dicantumkan nama penulisnya. Kitab ini lebih sedikit maju karena
dicantumkan masa penulisannya. Pada bahagian akhirnya tertulis, ̳ ̳Alhamdulilah‖ tamatlah
kitab ini ditulis pada hari Selasa bertepatan dengan tahun 1223 Hijriah Nabi Muhamad SAW
bersamaan dengan 1788 Masehi.‘‘Buku ini dapat dipinjamkan dan diperlihatkan kepada
pihak lain tanpa harus melalui tata cara ibadah zikir seperti buku Tahqīqyang dipegang
Syahril Lutan Tuanku Kuning tersebut di atas. Buku ini oleh khalifah yang lain termasuk oleh
Tuanku Kuning Syahril Luthan dikatakan ditulis oleh Syekh Abdurrahman khalifah Syekh
Burhanuddin ketiga dan buku itu tidak lengkap dan bukan buku asli dari Syekh
Burhanuddin.Tuanku Ali Bakri yang memegang buku kedua saat ini menceritakan bahwa
buku ini diperoleh dari gurunya Tuanku Karimun Ulakan. Pada saat gurunya akan meninggal
ia berwasiat agar buku ini harus dipegang oleh orang yang tahu dengan kitab, maka Ali Bakri
kemudian ditunjuk karena dialah murid sekaligus kemenakannya yang relatif bisa membaca
kitab. Jadi buku tersebut juga amanat yang mesti dijaga dan rasanya sulit untuk diserahkan
kepada pihak lain.Buku ini terdiri dari lima kitab yang digabung dalam satu buku yang cukup
tebal dengan jumlah 315 halaman, diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan tulisan
dalam bentuk esei panjang. Tiga dari kitab itu ditulis dengan menggunakan bahasa Arab
murni dan dua yang lain ditulis dengan huruf Arab Melayu. Kitab pertama ditulis dengan
bahasa Arab berisikan ringkasan dari Kitab Tanbīhal-Mashī, buah karya Syekh Abdurrauf
Singkili ini dicantumkan secara jelas Empat kitab sesudahnya tidak diterangkan dari kitab apa
4
Wawancara dengan Tuanku Hasan Basry, Tokoh Agama/Syekh Mesjid Syekh Burhanuddin, wawancara di
Medan tanggal 16 April 2016 pukul 13.00 WIB
5
Dokumen/artikel dari Tuanku Hasan Basry tanggal 16 April 2016 pukul 13.00 WIB.

5
diringkas dan siapa pengarangnya pun tidak dinukilkan. Dari isinya dapat ditangkap isyarat
bahwa kitab ini jelas memilikihubungan yang erat dengan kajian tasawuf, khususnya tarekat
Syattariyah. Misalnya pada kitab ketiga ada ungkapan yang menjelaskan hubungan murid
dengan guru. Hubungan murid dengan guru itu laksana mayat di tangan orang yang
memandikannya. Murid harus patuh terhadap semua perintah guru, kepatuhan murid pada
guru itu haruslah ikhlas.6

2. TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN (TAREKAT SYATTARIYAH)


Peralihan tasawuf yang bersifat personal kepada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas
dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. semakin luas pengaruh tasawuf,
semakin banyak pula orang yang berhasrat mempelajarinya. Untuk itu, mereka menemui
orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam pengamalan tasawuf
yang dapat menuntun mereka, sebab belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang
disusun berdasatrkan pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal merupakan suatau
keharusan bagi mereka. Seorang guru tasawuf biasanya memang memformulasikan suatu
sistem pengajaran tasawufberdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang
kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang
lain.Harun Nasution menyatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang
sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf berkembang di dunia Islam, tetapi perkembangannya
melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar. Mereka mendirikan
organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. 7Tarekat merupakan
bagian dari ilmu tasawuf. Namun tak semua orang yang mempelajari tasawuf terlebih lagi
belum mengenal tasawuf akan faham sepenuhnya tentang tarekat. Banyak orang yang
memandang tarekat secara sekilas akan menganggapnya sebagai ajaran yang diadakan di luar
Islam (bid‘ah), padahal tarekat itu sendiri merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan
syari‘at Islam yang sah.
A.Sejarah Tarekat Syattariyah
Pada awalnya,tarekat itu merupakan bentuk praktik ibadah yang diajarkan secara khusus
kepada orang tertentu. Misalnya, Rasulullah mengajarkan wirid atau zikir yang perlu
diamalkan oleh Ali ibn Abi Thalib. Atau, Nabi saw. memerintahkan kepada sahabat A untuk
banyak mengulang-ulang kalimat tahlil dan tahmid. Pada sahabat B, Muhammad
memerintahkan untuk banyak membaca ayat tertentu dari surat dalam Alquran. Ajaran-ajaran
khusus Rasulullah itu disampaikan sesuai dengan kebutuhan penerimanya, terutama berkaitan
dengan faktor psikologis.8Tujuan utama pendirian berbagai tarekat oleh para sufi adalah
untuk membina dan mengarahkan seseorang agar bisa merasakan hakikat Tuhannya dalam
kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna. Dalam kegiatan
semacam ini, biasanya seorangsalik(penempuh dan pencari hakikat ketuhanan) akan
diarahkan oleh tradisi-tradisi ritual khas yang terdapat dalam tarekat yang bersangkutan
6
Wawancara dengan Tuanku HasanBasry, Tokoh Agama/Syekh Mesjid Syekh Burhanuddin, wawancara di
Medan tanggal 16 April 2016 pukul 13.00 WIB
7
Harun Nasution, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam(Jakarta: Ditb.baga Depag RI, 1986), h. 24.
8
Abu Bakar Atjeh,Pengantar Ilmu Tarekat(Sala: Ramadhani, 1985), h. 67.

6
sebagai upaya pengembangan untuk bisa menyampaikan mereka ke wilayah hakikat atau
makrifat kepada Allah„Azza wa Jallā.
Setiap tarekat memiliki perbedaan dalam menentukan metode dan prinsip-prinsip
pembinaannya. meski demikian, tujuan utama setiap tarekat tetaplah sama, yakni
mengharapkan Hakikat Yang Mutlak, Allah„Azza wa Jallā.Secara umum, tujuan utama setiap
tarekat adalah penekanan pada kehidupan akhirat, yang merupakan titik akhir tujuan
kehidupan manusia beragama. Sehingga, setiap aktivitas atau amal perbuatan selalu
diperhitungkan, apakah dapat diterima atau tidak oleh Tuhan. Karena itu, Muhammad Amin
al-Kurdi menekankan pentingnya seseorang masuk ke dalam tarekat, agar bisa memperoleh
kesempurnaan dalam beribadah kepada Tuhannya. Menurutnya, minimal ada tiga tujuan bagi
seseorang yang memasuki dunia tarekat untuk menyempurnakan ibadah.Pertama, supaya
terbuka‖terhadap sesuatu yang diimaninya, yakni Dzat Allah SWT, baik mengenai sifat-sifat,
keagungan maupun kesempurnaan-Nya, sehingga ia dapat mendekatkan diri kepada-Nya
secara lebih dekat lagi, serta untuk mencapai hakikat dan kesempurnaan kenabian dan para
sahabatnya.Kedua, untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat dan akhlak yang keji, kemudian
menghiasinya dengan akhlak yang terpuji dan sifat-sifat yang diridhai (Allah) dan berpegang
pada para pendahulu (shālihīn) yangtelah memiliki sifat-sifat itu.Ketiga, untuk
menyempurnakan amal-amal syariat, yakni memudahkan beramal shalihdan berbuat
kebajikan tanpa menemukan kesulitan dan kesusahan dalam melaksanakannya.Secara
kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenaldalam Islam hingga abad ke-8 Hijriah atau
abad ke-14 Masehi. artinya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, dapat dianggap
sebagai hal yang baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk
pada masa nabi. Tidak heran jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu
dinisbahkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad
jauh setelah masa nabi.9Demikian halnya dengan Tarekat Syattariyah, nama Syattariyah
dinisbahkan kepada Syaikh A ̳ bd Allah al-Syaththari (w. 890 H/1485 M), seorang ulama yang
masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi
(w. 539-632 H/1145-1234 M), ulama yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah.10
B.PemikiranTasawuf Syekh Burhanuddin
Pola pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin seperti yang tertuang dalam naskah-
naskahnya, secara umum masih mengikuti pola pemikiran yang dibawa oleh guru
sebelumnya Ahmad al-Qushashi maupun guru dari Syekh Burhanuddin sendiri Syekh
Abdurrauf. Adapun Pemikiran Tasawuf dari Syekh Burhanuddin adalah tiga pilar utama yang
merupakan rekonsiliasi syari‘ah dan tasawuf yang dikembangkan oleh gurunya Syekh
Abdurrauf. Tiga pilar utama itu adalah masalah Ketuhanan dan hubungannya dengan alam,
Insan Kamil dan jalan menuju Tuhan (Tarekat).
1.Ketuhanan dan hubungannya dengan alam

9
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII(Bandung: Penerbit
Mizan, 1994), h. 109
10
ri Mulyani, Tarekat-tarekat Muktabarah diIndonesia(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004), h. 153

7
Dalam memahami hakekat keberadaan Tuhan, Syekh Burhanuddin, menganut paham bahwa
satu-satunya wujud hakiki adanya Allah. Alam ciptaan-Nya adalahwujud bayangannya yakni
bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dari wujud bayangan
(alam) namun terdapat kesamaan antara kedua wujud tersebut. Tuhan melakukan
Tajallī(penampakan diri dalam bentuk alam).
Sifat-sifat Tuhan secara tidak lansung tampak padamanusia. Syekh Burhanuddin
mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya adalah bukti
keberadaan Tuhan dan kekuasaanNya.Pada alam yang tampak realitas ini Tuhan
menampakkan diri-Nya (Tajallī) secara tidak lansung. Pada manusia, sifat-sifat Tuhan secara
lansung menampakkan diri begitu sempurna, dan relatif yang paling sempurna (Insan Kamil).
Sedangkan bagaimana hubungan Tuhan dengan alam adalah ketransedennya Syekh
Burhanuddin menjelaskan, Sebelum Tuhan menciptakanalam raya (al-„Alām). Dia selalu
memikirkan tentang dirinya. Yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad dari Nur
Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (al-Ayan ast-Tsābitāh), yaitu potensi dari
semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (al-„Ayān Khārijiyyah) yaitu
ciptaan dalam bentuk konkritnya.11Dalam naskah Syattariyah juga ditulis Syekh Abdurrauf
dijelaskan bahwa Hubungan antara Tuhan dan alam menurut pandangan Syattariyah
dijelaskan sebagai berikut: pada mulanya alam ini diciptakan oleh Allah dari Nur
Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah
yang diberi nama al-Ayān ast-Tsābitāh. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah.
Sesudah al-Ayan ast-Tsābitāhini menjelma pada al-Ayān Kharijiyyah(kenyataan Tuhan yang
berada di luar), maka al-Ayān Khārijiyyahitu merupakan bayang-bayang bagi yang memiliki
bayang-bayang dan ia tiada lain dari pada-Nya.Syekh Burhanudiin juga menyimpulkan
meskipun al-Ayan Khārijiyyahmerupakan emanasi wujud mutlak, mereka adalah berbeda
dari Tuhan itu sendiri. Hubungan keduanya seperti tangan dan bayangan. Meskipun tangan
tidak dapat dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama.
Sedangkan untuk mendapatkan hubungan langsung dengan Tuhan, orang mesti melalui
Kasyf. Akal manusia tidak mungkin bisa memahami Tuhan. Kasyf adalah satu-satunya pintu
yang bisa dicapai dengan memurnikan tauhid melalui pengajian Tarekat Syattariyah dan
mengamalkan zikir serta ibadah dengan kaifiyat sendiri.Hal di atas dapat dijelaskan dengan
mengambil beberapa contoh antara lain pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada
cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian
sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan
beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu
semua tampak sebagai pantulan dari scorang saja. Perumpamaan kedua, mengenai hubungan
antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan tetapi ia
tangan itu juga. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Ahmad yang memiliki ilmu
mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap
(tsabit) pada ilmunya.
2.Insan Kamil adalah sosok manusia ideal

11
Dokumen Tuanku Hasan Basry, Tokoh Agama/Syekh Mesjid Syekh Burhanuddin, tanggal 16 April 2016 pukul
13.00 WIB.

8
Dalam wacana tasawuf konsep Insan Kamil lebih mengacu kepada hakikat makhluk dan
hubungannya dengan Tuhan. Menurut Syekh Burhanuddin paham Insan Kamil yaitu apabila
hati bersih dari noda dosa hawa nafsu, maka ia akan memantulkan cahaya hakikat yang
terlukis pada hati itu. Insan Kamil itu adalah orang yang dapat mengawasi hatinya dari segala
bentuk kemaksiatan. Hal ini serupa dengan pemahaman dari Syekh Abdurrauf. Pembahasan
tentang Insan Kamil meliputi masalah:
1.Masalah Hati
2.Kejadian manusia yangdikenal dengan al-Ayan Kharijiyyah(konsep tubuh lahir) dan al-
Ayan ast-Tsābitāh(konsep tubuh batin)
3.Akhlak Takhallīdan Tajallī.12

3.Jalan kepada Tuhan


Kecendrungan rekonsiliasi syariat dan tasawuf dalam pemikiran Syekh Burhanuddin sangat
sama sekali ketika ia menjelaskan pemanduan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat
martabat, yaitu Tauhīd al-Uluhiyyah, Tauhid al-Sifāt, Tauhīd al-Dzātdan Tauhīdul al-Afa‟āl.
Semua martabat itu termaktub dalam kalimat Lā ilāha illā Allāh, Begitu halnya dengan zikir.
Zikir diperlukan sebagai jalan untuk menuntun intuisi (Kasyf) guna bertemu dengan Tuhan.
Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawāt al-ikhtiyārī(kematian sukarela) atau
disebut juga kematian ideasional. Makrifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh
menafikan jalan syari‘at.

3. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN DI


KALANGAN MASYARAKAT MINANG KOTA MEDAN
Tasawuf pada awalnya merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna ajaran-
ajaran Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi‟in, kecenderungan pandangan orang terhadap
ajaran Islam secara lebih analitis sudah muncul. Ajaran Islam dipandang dari dua aspek, yaitu
aspek lahiriah dan aspek batiniah. Pendalaman dan pengamalan aspek spiritual yang
dimaksud untuk membersihkan jiwa, mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun
tentu saja tanpa mengabaikan aspek lahiriah. Aspek spiritual ini memberikan sebuahnuansa
yang berbeda karena memiliki orientasi lebih dalam terutama cara hidup yang lebih
mengutamakan rasa, keagungan Tuhan serta kebebasan dari egoisme.Pada abad 1 dan 2
Hijriah, Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan fase yang
mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriah. Dalam Islam,
asketisismemempunyai pengertian khusus. Asketisisme bukanlah kependetaan atau
terputusnya kehidupan duniawi, melainkan hikmah pemahaman yang membuat para
penganutnya mempunyai pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka
tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan

12
DokumenTuanku Hasan Basry, Tokoh Agama/Syekh Mesjid Syekh Burhanuddin, tanggal 16 April 2016 pukul
13.00 WIB.

9
kalbu mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. 13Pada abad 3 dan 4
Hijriah, Walaupun sulit menentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara gerakan
asketisisme dan tasawuf dalam Islam, namun pada permulaan abad ketiga Hijriah sudah
terlihat adanya peralihan dari asketisisme menuju tasawuf. Para asketis pada masa ketiga
Hijriah tidak lagi dikenal dengan gelar tersebut, tapi mereka lebih dikenal dengan sebutan
sufi. Istilah-istilah lain yang sebelumnya lebih populer, seperti zuhhāddannussāk,secara
perlahan-lahan digantikan oleh istilah sufi yang menjadi sangat terkenal.Pada abad 5 Hijriah,
Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada abad kelima Hijriyah.
Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis, yang cenderung dengan ungkapan-
ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan fana, mulai tenggelam dan kelak akan muncul
kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam
Hijriyah dan setelahnya. Dan perkembangan abad ke-7 H dan sesudahnya. Periode inilah kata
tarekatpada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufiyang bergabung dengan
seorang guru (Syekh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani.14
A. Pemikiran Tasawuf Syekh Burhanuddin Yang Berkembang Di Kalangan
Masyarakat Minang
Kota MedanMasyarakat Minang yang penganut paham dari Syekh Burhanuddin di Medan
sebahagian besar mengikuti pengamalan ajaran dari Syekh Burhanuddin. Bentuk pengamalan
yang selalu dilakukan oleh masyarakat Minang adalah bentuk praktek keagamaan yang
mengacu kepada perbuatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Ada fenomena unik
yang muncul di kalangan penganut tarekat Syattariyah di Sumatera Barat adalah penolakan
mereka terhadap doktrin Wahdat al-Wujūd. Disebut unik karena tokoh-tokoh penting tarekat
ini, baik yang berada di Haramayn, terutama Ahmad al-Qushashi dan Ibrahim al-Kurani,
maupun ulama Melayu-Indonesia sendiri di wilayah lainnya seperti Sunda dan Jawa, seperti
Abdurrauf bin Ali al-Jawi dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, dalam karya-karya atau
naskah yang dinisbatkan kepadanya tidak menunjukan penolakan terhadap doktrin tersebut,
melainkan melakukan reinterprestasi dengan mengemukakan penjelasaan yang relatif dapat
diterima oleh ulama fikih sekalipun.Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia sendiri,
perdebatan atas doktrin Wahdat al-Wujūdtersebut seperti telah disinggung pada bab
sebelumnya pernah terjadi di Aceh, khususnya pada masa pemerintah Sultan Iskandar Sani
(1047-1051 H/ 1637-1641 M). Perdebatan tersebut terjadi antara seorang ulama Sufi besar
penganut tarekat Rifa‘iyyah, Nuruddin al-Raniri (w. 1666), dengan para penganut ajaran
wujūdiyyah Hamzah Fansuri dan Shamsuddi al-Sumatra‘i. sebagai seorang ulama ortodoks
yang lebih mementingkan pengamalan syariat, al-Raniri mengelurakan fatwa bahwa doktrin
wujūdiyyah bersifat heterdoks, menyimpang dari akidah Islam, sehingga mereka yang tidak
mau bertobat dan menolak menanggalkan paham tersebut, dapat dianggap kafir, dan dijatuhi
hukuman mati.15
Dengan demikian, al-Kurani, sebagai salah seorang yang sangat mempengaruhi pemkiran
Abdurruaf bin Ali al-Jawi, sama sekali tidak menolak secara mutlak ajaran Wahdat al-

13
Fazlur Rahman,IslamCet. Ke-3 (Bandung: Pustaka, 1997), h.190.
14
azlur Rahman,IslamCet. Ke-3 (Bandung: Pustaka, 1997), h.190.
15
Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau(Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 122.

10
Wujūdmelainkan memberikan reinterprestasi atasnya. Demikian halnya yang dilakukan oleh
Abdurrauf. Sebagai khalifah yang bertanggung jawab atas penyebaran aharan dan doktrin
tarekat Syattariyah di dunia Melayu-Indonesia, ia juga melanjutkan apa yang telah dilakukan
oleh gurunya, al-Kurani, dengan menulis berbagai karangan, baik dalam bahasa Arab maupun
Melayu, untuk menjelaskan doktri Wahdat al-Wujūd tersebut.Masyarakat Minang yang
mengikuti ajaran dari Tarekat Syattariyah/paham Syekh Burhanuddin sama sekali tidak
mengikuti ajaran Minagkabau terdahulu yang menyebabkan kebingungan di kalangan
masyarakat Minangkabau.
Corak Islam yang menimbulkan kebingungan masyarakat Minang bersumber dari paham
Wahabi yang berkembang juga di kalangan masyarakat Minang.Ajaran Wahabi yang
berkembang pada saat itu diantaranya:
1.Perayaan Maulid Nabi adalah bid‘ah
2.Berzikir kalimat Lā ilāha illā Allāhbersama-sama setelah salat wajib adalah bid‘ah
3.Dilarang merokok, karena tembakau itu berasal dari kencing syaitan
4.Ziarah kubur merupakan perbuatan syirik
5.Dilarang mendirikan gubah (bangunan) di atas kuburan
6.Bertawasul dalam berdoa adalah perbuatan musyrik
7.Membaca Usallīdalam niat salat adalah bid‘ah
8.Membaca Qunut dalam salat subuh adalah bid‘ah
9.Dilarang keras mengajarkan dan mempelajari tarekat
10.Talak tiga sekaligus hukumnya hanya jatuh satu
11.Orang yang sedang berjunub boleh mengerjakan salat malam dengan tidak mandi terlebih
dahulu
12.Al-Qur‘an itu bersifat baru bukan qadim
13.Alam itu bersifat qadim bukan baru
14.Menghadirkan pahala kepada orang yang sudah meninggal tidak akan sampai
15.Salat tarawih yang diajarkan Nabi adalah dalapan rakaat dengan witir 3 rakaat
16.Menyentuh Al-Qur‘an boleh tanpa berwudhu
17.Benda yang dijilat anjing bukan najis, jadicukup dibasuh biasa saja
18.Tidak perlu mengganti salat wajib yang tertinggal
19.Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak membatalkan wudhu
20.Azan pertama dalam salat Jumat hukumya bid‘ah
21.Salat sunat sebelum salat jumat hukumya bid‘ah
11
22.Membaca Sayyidināketika menyebut Nabi Muhammad adalah bid‘ah
23.Membaca talqin untuk mayat adalah perbuatan yang sia-sia
24.Membaca kalimat wa bihamdihīdalam rukuk dan sujud adalah bid‘ah
25.Ziarah ke makam Nabi hukumnya haram
26.Dan lain-lain.16
Pemahaman yang di atas ini, bertolak belakang dengan pemahaman dari ajaran tarekat
Syattariyah. Hal ini lah menjadikan masyarakat Minang menolak pemahaman dari Wahabi
tersebut. Karena mazhab yang dianut dari tarekat Syattariyah ini adalah mazhab Syafi‘i yang
seluruh kegiatan keagamaannya bersifat Amali.Corak keberagamaan yang dianut tarekat
Syattariyah didefenisikan melalui berbagai ritual dan paham keagamaan sebagai berikut:
1.Melafazkan usallīdalam niat salat
2.Wajib membaca basmallah dalam surat al-Fātihah
3.Membaca doa qunut seraya mengangkat tangan pada salat subuh
4.Menentukan awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri melalui rukyat
5.Melaksanakan salat Tarawih sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat di bulan Ramadhan
6.Mentalkinkan mayat
7.Sunat menghadiahkan pahala bacaan bagi orang yang telah mati
8.Merayakan Maulid Nabi Muhammad pada bulan Rabiul Awwal dengan membaca barjanzi
9.Sunat menambahkan sayyidināsebelum menyebut nama Nabi Muhammad
10.Memperingati kematian mayat (tahlil) hingga hari ketiga, ketujuh dan seterusnya.
11.Dan lain-lain.17
Proses pencapaian hakikat yang telah diajarkan guru menuntut penghormatan kepada
guru, sehingga setelah meninggal jasa guru perlu diingat dalam bentuk ziarah ke makamnya.
Dalam pikiran si murid, ulama dan guru tarekat dianggap mempunyai kelebihan yang luar
biasa hingga dianggap keramat.Tanah dan tempat-tempat yang pernah dipakai oleh ulama
tersebut perlu dihormat dan dikunjungi. Banyak di antara murid-murid Syekh Burhanuddin
yang mengembangkan ajaran tarekat ini di Minangkabau. Salah seorang murid yang terkenal
ialah Tuanku Mansiang di Paninjauan.Setelah Syekh Burhanuddin wafat, banyak pula orang
yang berguru kepada Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepatberubah sesuai
dengan perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini
mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya masing-
masing.Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan masyarakat Minang di Medan
berpaham Syekh Burhanuddin di temukan beberapa pemahaman keagamaan dan ibadah-

16
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau(Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 83.
17
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau(Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 126.

12
ibadah yang dihubungkan dengan Syekh Burhanuddin. Pemahaman dan pengalaman ibadah-
ibadah itu seakan-akan sudah menjadi hak patenmereka dan dilaksanakan serta diwariskan
secara turun temurun melalui guru-gurunya.
Bahkan untuk menjadi labai, Tuangku, Khatib atau Imam mesjid Syekh Burhanuddin di
Medan harus mendapat legalitas dan pengakuan serta baiat dari ulama-ulama Ulakan
Pariaman. Tidak akan diakui seseorang menjadi labai, imam atau khatib sebelum mereka
memperoleh persetujuan dari Ulakan.Berdasarkan pengamatan penulis, ibadah dan
pemahaman mereka itu sulit ditentukan sumber-sumbernya yang orisinil dari Al-Qur‘an dan
Hadis. Bagi orang yang belum mengenal lebih dekat bagaimana corak pemahaman
keagamaan masyarakat Minang yang mengakui ajaran Syekh Burhanuddin di Medan, akan
mengatakan bahwa pemahaman dan tradisi keagamaan golongan tradisional itu sudah tidak
Islam lagi. Banyak diantara murid-murid Syekh Burhanuddin yang mengembangkan ajaran
tarekat ini di Minangkabau. Salah seorang murid beliau yang terkenal adalah Tuanku
Mangansiang di Paninjauan.
Setelah Syekh Burhanuddin wafat, banyak pula orang-orang yang berguru kepada Tuanku
Mangansiang ini. Disinilah ini ajaranbersafar ke UlakanPariaman.Bahkan Hamka pernah
menyebutkan bahwa praktek keagamaan di Ulakan yang diikuti oleh masyarakat Minang
yang sampai di perantauan baru muncul beberapa tahun setelah wafatnya Syekh Burhanuddin
yang ditandai dengan peringatan Syafar (peringatan darikematiannya). Pendapat yang sama
juga diucapkan oleh kalangan moderen lainnya terutama dari kalangan paham
Muhammadiyah yang mereka sebut kaum mudo. Kritik yang lebih keras lagi ada yang
berpendapat bahwa di dalam bersyafar, pengikut Syekh Burhanuddin melakukan berbagai
praktik yang mengandung kesyirikan dan melakukan bermacam-macam ritual ibadah yang
tidak ditentukan dasarnya dalam nash agama Islam.Namu demikian, masyarakat Minang
perantauan yang dikatakan kaum tuomasih mengikuti kegiatan Basafar. Basafarini
dilaksanakan setiap tanggal 10 Safar untuk mengingat hari wafatnya dari Syekh
Burhanuddin.18

PENUTUP

18
Wawancara dengan jamaah Sattariyah ibu maya di Mesjid Syekh Burhanuddin Jalan Rawa II Gang Langgar
pada hari Minggu tanggal 14 April 2016 pukul 17.00 WIB

13
A.Kesimpulan
Pemikiran seseorang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial lingkungan maupun tokoh yang
mempengaruhi pemikirannya. Seperti Syekh Burhanuddin, pemikiran tasawufnya
dipengaruhi pola pemikiran yang dibawa oleh guru sebelumnya Ahmad al-Qushashi maupun
guru dari Syekh Burhanuddin sendiri Syekh Abdurrauf. Adapun Pemikiran Tasawuf dari
Syekh Burhanuddin adalah tiga pilar utama yang merupakan rekonsiliasi syari‘ah dan
tasawuf yang dikembangkan oleh gurunya Syekh Abdurrauf. Tiga pilar utama itu adalah
masalah Ketuhanan dan hubungannya dengan alam, Insan Kamil dan jalan menuju Tuhan
(Tarekat).
Pemikiran Syekh Burhanuddin merupakan pengembang pemikiran dari Syekh Abdurrauf
Aceh yang juga merupakan tokoh penghubung antara paham Wujūdiyah Mulhīd, yang
diwakili oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, dan faham Syuhudiyah yang
diwakili oleh Nuruddin ar-Raniri. Pemikiran tersebut merupakan sintesa dari mistiko-
filosofisIbnu Arabi dan al-Ghazali yang memusatkan perhatian pada upaya pencapaian
ma‘rifah mengenai Allah secara lansung tanpa hijab melalui pensucian hati dan penghayatan
makna ibadah. Mistiko-filosofisadalah perpaduan konsep tasawuf falsafi dan tasawuf
amali.Sejauh ini perkembangan pemikiran tasawuf Syekh Burhanuddin di bawa oleh para
murid-muridnya sampai ke kota Medan. Perkembangan ajaran Syekh Burhanuddin ke kota
Medan tidak dapat dipisahkan dari latar belakang kebiasaan hidup orang Minang yang suka
pergi merantau. Merantau bagiorang Minang adalah bagian yang tidak terpisahkan. Merantau
memiliki makna yang signifikan bagi putra Minangkabau dalam proses pematangan konsep
diri maupun pematangan ekonomi.
Orang Minangkabau tidak akan menjadi besar sebelum ia merantauMasyarakat Minang kota
Medan. Pada umumnya perkembangan ajaran Syekh Burhanuddin di Medan banyak dibawa
oleh masyarakat Minang pertama yang berasal dari daerah Ulakan Tanjung Medan, Sungai
Garingging, Tiku, VII Koto, Sungai Sariak, Sungai Limau, Sunur, Toboh, Manggopoh,Pauh
Kambar, Tapakih Katapiang, Sungai Sirah, dan sekitarnya yang memang diketahui adalah
basis dan pusat ajaran Syekh Burhanuddin di Sumatera Barat. Tidak jahuh berbeda dengan
praktek ajaran Syekh Burhanuddin di Ulakan, dimana para perantau yang berasal dari Padang
Pariaman akan mengembangkan sistem kebersamaan sebagaimana yang dikembangkan di
surau-surau di komplek ajaran Syekh Burhanuddin. Dalam perkembangan pemikiran Syekh
Burhanuddin d kota Medan yang pada awalnya melalui para Labai dan Tuangku dari Ulakan,
selanjutnya karena komunitas masyarakat Minang sudah mulai bertambah banyak dan
menyebar di beberapa kecamatan di kota Medan, maka dalam beberapa aktivitas keagaman
sangat dibutuhkan keberadaan para labai yang menjadi pemimpin keagamaan. Jadi labai-labai
yang memang di utus ke Medanlah yang mengembangkan pemikiran maupun ajaran dari
tarekat Syattariyah hingga sekarang yang dilakukan oleh Tuanku Hasan Basry di
Medan.Salah satu pemikiran Syekh Burhanuddin yang masih dipahami para jamaahnya untuk
bisalebih dekat lagi kepada Allah adalah menjadi Insan Kamil. Tahapan-tahapan yang dilalui
untuk bisa menjadi Insan Kamil adalah melalui 3 pendekatan yaitu: Takhallī, Tahallī,
Tajallī.Pendekatan ini dilakukan dengan selalu berdzikir disetiap kegiatan ibadah dan
mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari. Menurut para jamaahnya, ajaran

14
Syattariyah yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin merupakan ajaran yang selalu menekankan
pada upaya pencapaian ma‘rifah mengenai Allah secara langsung tanpa hijab melalui
pensucian hati dan penghayatan makna ibadah.Sampai sekarang ajaran Syekh Burhanuddin
yang dibawa muridnya ke Medan masih diikuti oleh masyarakat Minang di kota Medan.
Bentuk pengamalan yang selalu dilakukan oleh masyarakat Minang adalah bentuk praktek
keagamaan yang mengacu kepada perbuatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.
Jamaah tarekat Syattariyah mengatakan bahwa ajaran dari tarekat Syattariyah adalah ajaran
yang fleksibel dalam menyikapi dinamika keberagamaan umat serta menyikapi tradisi budaya
lokal. Ajaran Sattariyah sangat berpengaruh terhadaptradisi-tradisi dari budaya Minang.
Istilah orang Minang Adaik Basandiang jo Syarak, Syarak Basandiang jo Kitabullah‖.
Sehingga mereka tidak perlu meninggalkan tradisi budaya Minangkabau untuk menjalakan
syariat. Sesuai dengan konsep yang dibangun oleh Syekh Burhanuddin yang membuat ajaran
tasawuf sejalan dengan syariat (Tasawuf Amali). Segala bentuk praktek keagamaannya
adalah praktik dari kegiatan tasawuf Amali. Tasawuf amali adalah tasawuf yang
penekanannya pada amaliah berupa wirid dan amaliah lainnya. Tasawuf amali atau hadah,
menghapuskan sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total
dari segenap esensi diri hanya kepada Alla SWT. Di dalamnya terdapat kaedah-kaedah suluk
(perjalanan tarbiyah ruhaniyah), macam-macam etika (adab) secara terperinci, seperti
hubungan antara murid dengan Syekh, Uzlah dengan Khalwah, tidak banyak makan,
mengoptimalkan waktu malam, diam, memperbanyak zikir, dan semua yang berkaitan
dengan kaedah-kedah suluk dan adab.
Pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran Syekh Burhanuddin oleh masyarakat Minang di
Medan memang tidak sepenuhnya dipahami oleh jamaahnya, hal itu dikarenakan
implementasi dari pemikiran Syekh Burhanuddin hanya sampai ke para Labainya saja.
Namun kepada jamaahnya hanya diberi pemahaman akan ibadah/amal yang membuat mereka
menjadi manusia yang lebih baik lagi dan melalui amalan-amalan menurut mereka sudah bisa
mendekatkan diri kepada Tuhan, salah satunya adalah selalu berzikir kepada Allah.Kegiatan
berzikir oleh masyarakat Minang selalu dilakukan disetiap kegiatan keagamaan, di antaranya:
Salat Jumat. Biasanya setelah salat Jumat dilanjutkan dengan zikir-zikir dengan suara yang
keras kemudian Khatib memimpin doa, Maulid Nabi. Ketika kegiatan Maulid juga dilakukan
zikir dari pagi sampai sore, Salat 40 hari berturut-turut. Kegiatan ini dilakukan di dalam
Mesjid Syekh Burhanuddin selama 40 hari untuk melaksanakan salat 5 waktu berjamaah,
membaca Al-Qur‘an serta berzikir setelah salat.

DAFTAR PUSTAKA

15
Boestami, Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin
Ulakan(Padang: Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Sumatera Barat, 1981), h. 10
Boestami, Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin
Ulakan(Padang: Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Sumatera Barat, 1981), h.12.
Sri Mulyani, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia(Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), h. 9-10.
Wawancara dengan Tuanku Hasan Basry, Tokoh Agama/Syekh Mesjid Syekh Burhanuddin,
wawancara di Medan tanggal 16 April 2016 pukul 13.00 WIB
Dokumen/artikel dari Tuanku Hasan Basry tanggal 16 April 2016 pukul 13.00 WIB.
Wawancara dengan Tuanku HasanBasry, Tokoh Agama/Syekh Mesjid Syekh Burhanuddin,
wawancara di Medan tanggal 16 April 2016 pukul 13.00 WIB
Harun Nasution, Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam(Jakarta: Ditb.baga Depag RI,
1986), h. 24.
Abu Bakar Atjeh,Pengantar Ilmu Tarekat(Sala: Ramadhani, 1985), h. 67.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-
XVIII(Bandung: Penerbit Mizan, 1994), h. 109
ri Mulyani, Tarekat-tarekat Muktabarah diIndonesia(Jakarta: Kencana Prenada Media,
2004), h. 153
DokumenTuanku Hasan Basry, Tokoh Agama/Syekh Mesjid Syekh Burhanuddin, tanggal 16
April 2016 pukul 13.00 WIB.
Fazlur Rahman,IslamCet. Ke-3 (Bandung: Pustaka, 1997), h.190.
azlur Rahman,IslamCet. Ke-3 (Bandung: Pustaka, 1997), h.190.
Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau(Jakarta: Prenada Media Group,
2008), h. 122.
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau(Jakarta: Prenada Media Group,
2008), h. 83.
Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau(Jakarta: Prenada Media Group,
2008), h. 126.
Wawancara dengan jamaah Sattariyah ibu maya di Mesjid Syekh Burhanuddin Jalan Rawa II
Gang Langgar pada hari Minggu tanggal 14 April 2016 pukul 17.00 WIB

16

Anda mungkin juga menyukai