Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Dalam Mata Kuliah Tafsir Tarbawi dan Akhlak
Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Alauddin Makassar
Oleh:
YAMIN
NIM: 30700120033
ANUGRAH
NIM: 30700120047
Semoga Makalah ini dapat menambah wawasan bagi siapapun yang membacanya
terutama kami sebagai penulis. Terima kasih atas perhatiannya, mohon maaf jika ada
kekurangan dalam penulisan, sebab kami hanyalah insan manusia yang tidak luput dari
kekurangan atau kesalahan.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................
A. Aqiqah.....................................................................................................................
B. Qurban.....................................................................................................................
C. Khitan......................................................................................................................
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aqiqah
1. Pengertian Aqiqah
Aqiqah adalah hewan sembelihan untukanak yang baru lahir. Term aqiqah berasal
dari bahasa Arab ‘al-aqiqah yang memiliki pengertian rambut yang tumbuh di atas
kepala bayi sejak dalam perut ibunya hingga tampak pada saat dilahirkan. Menurut
bahasa aqiqah berarti bulu atau.1
Rambut anak yang baru lahir. Sedangkan dalam makna istilah artinya
menyembelih hewan untuk kelahiran anak laki-laki atau anak perempuan ketika masih
berusia 7 (tujuh) hari atau 14 (empat belas) hari atau 21 (dua puluh satu) hari. Bahkan
juga dilaksananakan cukur rambut dan diberikannama kepada anak yang baru lahir.
Menurut para ulama, pengertian aqiqah secara etimologis ialah rambut kepala bayi
yang tumbuh semenjak lahirnya.2
Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Tuhfatul Maudud hal. 25-26, mengatakan
bahwa: Imam Jauhari berkata: Aqiqah ialah menyembelih hewan pada hari ketujuh
dan mencukur rambutnya. Selanjutnya Ibnu Qayyim berkata:“Dari penjelasan ini
jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan
ini lebih utama”.3
2. Hukum Aqiqah
Hukum aqiqah yang disepakati para ulama, ialah Sunnat Muakadah, yaitu
sunnat yang diutamakan.4 Sunah Muakadah bagi mereka yang mampu, bahwa
sebagian ulama menyatakan wajib.5 Maksudnya, bagi para orang tua muslim,
khususnya bagi yang mampu, ibadah aqiqah dilakukan dalam bentuk ritual yang
benar-benar bernuansa Islami.6
1
Siti Aminah, Tradisi Penyelenggaraan Aqiqah Masyarakat Purworejo (Kajian Living Hadis), Universum Vol. 12
No. 2, Juni 2018, h. 74.
2
Seputar Aqiqah, https://aqiqahmadenah.com/pengertian-aqiqah/diakses pada 9 Juli 2021.
3
Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’I, Ahkamul Aqiqah, https://almanhaj.or. id/856-ahkamul-aqiqah.html diakses
pada 9 Juli 2021.
4
Adang M. Tsaury, Penyambutan Kelahiran Anak Dan Aqiqah, Ta’dib: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1 No. 2,
Agustus 2001, h.184.
5
Yusnidar Abdullah, Meningkatkan Hasil Belajar PAI Materi Qurban Dan Aqiqah Melalui Pembelajaran
Kooperatif Model TGT, Al - Azkiya: Jurnal Ilmiah Pendidikan MI/SD, Vol. 4 No. 2, Oktober 2019, h. 22.
6
Nasrudin, Implementasi Aqiqah Menumbuhkan Nilai-Nilai Pendidikan Islam,
http://repository.radenintan.ac.id/6011/1/Tesis%20-%20Nasruddin.pdfdiakses pada 9 Juli 2021.
Mengingat hukumnya mustahab, maka tidak akan memberatkan orang tua bagi
yang memang benar-benar tidak mampu dalam beraqiqah, karena dengan tanpa
mengaqiqahkan anak-anaknya pun mereka tentu tidak akan mendapatkan sanksi
siksaan dari Allah SWT.
Selain itu, tidak ada suatu tuntunan bagi orang yang sudah dewasa untuk
melaksanakan aqiqah atas nama diri sendiri. Diantara beberapa pendapat dari para
Tabi’ain, yaitu ‘Atha’, Al-Hasan Al-Bashir, dan Ibnu Sirin, dan juga pendapat dari
Imam Syafi’i, Imam Al-Qaffal Asy-Syasyi (Mazhab Syafi’i) dan riwayat dari Imam
Ahmad dikatakan bahwa:“Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecil, maka
boleh melakukan sendiri ketika sudah dewasa”. Mungkin mereka berpegang dengan
hadist Anas yang berbunyi: “Rasulullah mengaqiqahi diri sendiri setelah beliau
diangkat sebagai Nabi, yakni setelah turunnya surat Al-Baqarah”. (Hadits Riwayat
Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari Ibnu Qatadah dari Anas) Dari kitab
I’anathutholibin (Syarah dari kitab Fathul Mu’in 2/336 menerangkan: “Bahwa
Rasulullah SAW, melaksanakan aqiqah atas dirinya sendiri setelah beliau diangkat
menjadi Nabi”. Kalau ditinjau dari sejarah, berarti Rasulullah SAW beraqiqah pada
usia 40 tahun.
3. Syarat Aqiqah
a. Umurnya telah cukup, antara umur 6-12 bulan untuk kambing. Biasanya
ditandai dengan pupak atau tanggalnya gigi depan. Ukuran secara biologis,
binatang yang telah untuk dipotong atau terpenuhinya syarat aqiqah adalah
telah dewasa kelaminnya. Maksudnya, bahwa organ dan sistem reproduksi
hewan tersebut telah sempurna dan siap;
b. Jenis kelamin hewan aqiqah bole berkelamin jantan yang sudah bertanduk
atau betina (tidak dalam keadaan mengandung ataupun menyusui);
c. Sehat, (misalnya kudisan, maupun penyakit dalam yang berbahaya);
d. Tidak boleh kurus kering dan tidak cacat mutlak. Hewan kondisinya tidak
pincang, bagian tubuh sempurna, telinganya tidak tuli ataupun hilang daun
telinganya, baik sebelah ataupun semuanya, ekor atau tanduknya utuh tidak
putus lebih dari sepertiganya, tidak ompong semua giginya, dan
kambingnya tidak gila ataupun stres saat disembelih.
Qurban
1. Pengertian Qurban
2. Hukum Qurban
Perintah ibadah qurban ini bukan saja disyari'atkan kepada urnat Islam era dan
pasca Muhammad saw, tetapi juga kepada umat Islam pengikut Rasul-rasul sebelum
Muhammad, sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Hajj ayat 34, yang artinya:
“Dan bagi tiat-tiap umat telah kami syari'atkan penyembelihan qurban, supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah
kepada mereka. Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa karena itu berserah
dirilah kamu kepada-Nya, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
tunduk patuh kepada Allah”(Q.S. 22:34).
Dari hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah menerangkan, dari Abu Hurairah,
Rasulullah ﷺbersabda: “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak
berqurban, maka janganlah ia mengahmpiri tempat shalat kami”. Dengan
berdasarkan ayat al-Qur' an dan hadits sebagai perintah berkurban, Imam Abu
Hanifah, Al-Laits, Al-Auzai dan sebagian dari pengikut Imam Malik berpendapat,
bahwa hukum berqurban itu adalah wajib. Sedangkan Imam Syafe'i, Abu Yusuf,
Ishak, Abu Tsaur dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa, qurban itu hukumnya sunnah
bagi orang yang berada (Darwono, 1995:4).
3. Sejarah Qurban
Berbicara tentang riwayat qurbantidak terlepas dari dua anak Adam yaitu Qabil
dan Habil, oleh karena itu riwayat qurban ini sudah dipersembahkan sejak generasi
pertama umat manusia,dan pertama kalinya terjadi ketika penentuan siapa yang berhak
menjadi calon istrinya, mempersunting lqlima antara dua insan, yaitu Qabil dan Habil.
Dan ini mengakibatkan pertumpahan darah, bahkan sampai terjadi kematian. Seperti
7
Mulyana Abdullah, “Qurban: Wujud Kedekatan Hamba dengan Tuhannya”, Jurnal Pendidikan Agama Islam-
Ta'lim14 No.1 (2016) h.109
yang dikemukakan oleh Fachruddin HS (1992:23) keduanya sama-sama berqurban
yang satu diterima kurbannya dan yang satu lagi tidak diterima, karena itu yang tidak
diterima kurbannya hendak membunuh saudaranya dan sampai dibunuhnya.
Temyata penentuan siapa yang menjadi isteri lqlima, Adam berupaya, anaknya
ini supaya berqurban, yang diterima kurbannya itulah yang berhak menjadi
pendampingnya. Habil mengorbankan seekor kambing yang gemuk, karena ia seorang
pengembala. Qabil mengorbankan segenggam hasil panennya yang paling jelek,
karena dia seorang petani. Kemudian ditaruhlah kedua kurban itu, kambingnya Habil
dan gandumnya Qabil di atas sebuah bukit. Lalu pergilah keduanya menyaksikan dari
jauh apa yang akan terjadi atas dua macam qorban itu. Ternyata binatang qurban Rabil
itu musnah termakan api. Sedangkan karung gandum Qabil tidak tersentuh sedikitpun
oleh api dan tetap utuh (Darwono, 1995:6).
Kisah pengorbanan kedua anak Adam ini terlukis secara jelas dalam al-Qur'an
surat al-Maidah ayat 27 yang artinya : “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua
putra Adam (Habil dan Qahil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya
mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua
(Habil) dan tidak di1erima dari yang lain (Qabil), ia berkata (Qabil) "Aku pasti
membunuhnya” Berkata Habil; Sesungguhnya Allah hanya menerima korban dari
orang-orang yang bertaqwa”
4.
4. Khitan
1. Pengertian Khitan
"Khitan" diserap dari bahasa Arab "al-Khitan" yang merupakan bentuk masdar
dari Fi'il "Khatana" yang beramakna memotong. kata "al-khitan" dan "al-khatnu"
bermakna memotong bagian tubuh dari anggota tubuh tertentu. sedangkan secara
syariat adalah bagi laki-laki, memotong seluruh kulit yang menutup hasyafah (kepala
zakar) kelamin laki-laki sehingga terbuka, dan bagi perempuan adalah memotong atau
membuang kulit yang menutupi klitoris perepuan. khitan bagi laki-laki dalam istilah
arab disebut i'dzar, sedangkan perempuan disebut khafadh atau kifadh.8
2. Hukum Khitan
Berdasarkan sejumlah dalil al-Qur'an dan Hadis, maka ulama dari keempat
mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali memiliki pandangan yang sama
dalam satu hal bahwa khitan itu "masyru" atau disyariatkan di dalam islam, baik laki-
laki maupu perempuan, Namun, keempatnya berbebda pendapat mengenai tingkatan
hukumnya antara bersifat wajib dan sunnah. Terkait dengan hukum khitan di tataran
hukum taklifi, pandangan fukaha terbagi dua. sebgaian ulama mengaggapnya wajib,
dan sebgaian lagi menilainya sunnah. Bahkan dalam hukum khitan bagi perempuan,
ada ulama bersikap netral dan menggapnya hanya makrumah (kemuliaan) saja.9
8
M. Asrorum Ni’am Sholeh dan Lia Zahiroh, Hukum dan Panduan Khitan Laki-laki dan Perempuan (Tt : Penerbit
Erlangga, 2017), h. 5
9
M. Asrorum Ni’am Sholeh dan Lia Zahiroh, Hukum dan Panduan Khitan Laki-laki dan Perempuan (Tt : Penerbit
Erlangga, 2017), h.13