Anda di halaman 1dari 15

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN AL-FĀRRĀBĪ

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Filsafat


Prodi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik
UIN Alauddin Makassar

Oleh:
MUHAMMAD IQBAL (30700120026)
ANUGRAH (30700120047)
SUCI AMALIYAH (30700120074)

FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Amerupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan.


Pendidikan juga menempati posisi yang sangat dominan dalam aktivitas manusia.
Melalui pendidikan akan muncul generasi penerus yang mampu memajukan segala
aspek kehidupan. Tanpa pendidikan akan terjadi kesenjangan, karena sumber daya
manusia yang dimiliki akan cenderung lemah terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan. Pendidikan yang baik merupakan modal utama dalam kemajuan
peradaban manusia, terutama dalam hal pengembangan nilai-nilai normatif,
sehingga pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang pintar akan tetapi juga
menciptakan manusia yang tahu akan tanggungjawabnya sebagai makhluk pribadi
dan makhluk sosial.

Bersamaan dengan perputaran dunia, modernisasi dan pengembangan ilmu


pengetahuan, generasi muda Islam kurang mengenal terhadap beberapa tokoh Islam
yang berhasil mencetak generasi berakhlak al-karimah, disiplin, terhormat, serta
bermanfaat untuk kepentingan agama, nusa, dan bangsa yang tidak kalah hebatnya
dengan tokoh pendidikan non-Muslim. Pada makalah ini akan dibahas pemikiran
tokoh Islam terkemuka yaitu Al-Fārrābī tentang pendidikan khususnya pendidikan
Islam dalam konteks dunia modern saat ini.

B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Al-Fārrābī dan apa saja karya-karyanya?
2. Bagaimana epistemologi pendidikan Al-Fārrābī dan siapakah pemikir
yang mempengaruhinya?
3. Bagaiamana relevansi pemikiran pendidikan Al-Fārrābī di era moderen?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui biografi dan karya-karya Al-Fārrābī.
2. Untuk mengetahui epistemologi pendidikan Al-Fārrābī dan pemikir
yang mempengaruhinya.
3. Untuk mengetahui relevansi pemikiran pendidikan Al-Fārrābī di era
moderen.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Fārrābī
1. Kelahiran

Nama aslinya adalah Abu Nasr Muhammad Bin Muhammd bin Lharkhan
bin Uzalagh Al-Fārrābī, lahir di kota Wesij pada tahun 259H/872 M,1 setahun
setelah wafatnya filosof Islam pertama al-Kindi. Ayahnya, Muhammad Auzlagh,
adalah seorang panglima perang Iran yang kemudian menetap di Damaskus. Ibunya
berasal dari Turki. Oleh sebab itu, ia sering disebut sebagai orang Persia atau orang
Turki.2

Sebagai pendiri sistem filosofis, ia mengabdikan dirinya untuk kontemplasi,


memisahkan diri dari dunia politik, meskipun ia menulis banyak karya politik. Dia
meninggalkan sebuah risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah
bagi dunia Barat dan Timur lama setelah kematiannya. Para sarjana setuju untuk
memuji terutama ahli logika dan pembicara terkenal pada masanya Plato dan
Aristoteles. Ia belajar logika dari John ibn Hailan di Bagdad. Al-Fārrābī
meningkatkan studi logika dengan memperluas dan menambahkan aspek kompleks
yang ditinggalkan oleh Al-Kindi3

Pada usia 75 tahun, tepatnya pada 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus,
dan berkenalan dengan saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di
Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana. Hal yang
paling menggembirakan di tempat ini adalah beetemu dengan para sastrawan,
penyair, ahli bahasa, ahli fiqh, dan kaum cendikiawan lainnya. Akhirnya pada bulan
Desember 950 M filosof muslim besar ini menghembuskan nafas terakhirnya di
Damaskus pada usia 80 tahun.

1
Ali Abdul Wahid Wafi, al-Madīnah al-Fadhīlah li al- Farabi, (Kairo: Nahdhoh Mishri,tt,)
hal. 7.
2
Sidik, Abdullah, Islam dan Filsafat, ( Jakarta: Triputra Masa, 1984) hal. 89.
3
Fakhry, Majid, , A History of Islamic Philosophy, (alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara:
1986) hal. 162.
2. Pendidikan Al-Fārrābī

Kehidupan Al Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu kehidupan pertama


sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasar adalah agama dan bahasa; dia
membaca fiqh, hadits dan menafsirkan Al-Qur'an. Ia juga belajar bahasa Arab,
Turki, dan Persia. Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan
intelektual.4 Beliau belajar di Baghdad yang saat itu menjadi pusat belajar yang
terkemuka pada abad ke-4 H/ke-10 M. Beliau menetap di kota itu selama 20 tahun
untuk belajar ilmu bahasa dan sastra arab, logika, serta filsafat. Al Farabi pernah
belajar bahasa dan sastra Arab di Baghdad kepada Abu Bakar As Saraj, dan logika
serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattius bin Yunus, seorang Kristen Nestorian yang
banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan juga belajar kepada Yuhana bin
Hailam.5

Selain mengarang, Al Farabi juga dikenal sebagai komentator buku-buku


filsafat Yunani. Pada abad pertengahan, Beliau sangat dikenal, sehingga banyak
orang-orang Yahudi yang mempelajari buku-bukunya dengan tekun dan kemudian
menyalinnya ke dalam bahasa Ibrani. Lewat bahasa ini atau juga secara langsung
dari bahasa Arab, karangan-karangan Al Farabi diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin yang kini banyak terdapat di pelbagai pustaka di Eropa. Namun, jika
dibandingkan dengan Ibnu Sina, buku-buku Al Farabi tidak tersebar secara meluas.
Hal ini kemingkinan, seperti diungkapkan oleh Ibnu Khalikan yang dikutip oleh
Ahmad Daudy, bahwa kebanyakan karangan Al Farabi tidak ditulis dalam satu
buku tertentu, tapi ditulis di kertas-kertas dan selebaran yang tercerai-berai.6

Al Farabi sangat terkesan dan hormat kepada para filsuf Yunani, terutama
Plato dan Aristoteles. Dalam kitab-kitabnya, Beliau tidak menyebutkan Aristoteles
secara langsung, akan tetapi dipanggilnya dengan gelar Mu’allim Awwal (Guru
Pertama). Karena sangat mendalam pengetahuannya tentang falsafah Aristoteles,

4
M. Amin Abdullah, “Relevansi Studi Agama-agama dalam Melenium Ketiga” dalam
Amin Abdullah dkk, Mencari Islam Studi dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara
Wacana 2000), hal. 10.
5
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf dan Ajarannya)…, hal. 81
6
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 27.
terutama komentar dan ulasan terhadap berbagai karangannya serta dipandang
dapat mengungguli gurunya sendiri (Yunus), maka Al Farabi memperoleh gelar
Mu’allim Tsani (Guru Kedua). Hal tersebut seolah-olah memberikan pengetahuan
bahwa tugas Aristoteles dalam ‘mengajarkan’ falsafah telah selesai, dan selanjutnya
tugas tersebut diteruskan oleh Al Farabi, sehingga Beliau diberi gelar tersebut. 7

Al-Fārrābī yang dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian


dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan
menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang
sesudahnya seperti Ibnu Sina (370H/980 M-428/1037 M) dan Ibnu Rusyd
(520H/1126 M-595 H/1198 M) bayak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.

3. Karya-karyanya

Al-Fārrābī meninggalkan sejumlah besar tulisan penting, tetapi tidak


sebanyak Al-Kindi atau Al-Razi. Menurut Qifti atau Ibn Abi Usaibiah, ada sekitar
70 karya tulis, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok: kelompok yang berkaitan
dengan logika dan kelompok yang berkaitan dengan cabang ilmu dan falsafat,
seperti fisika, matematika, metafisika, etika, dan politik.

Banyak karyanya telah hilang atau tidak ditemukan. Karya-karyanya yang


telah ditemukan, sebagian diterbitkan, sebagian masih dalam bentuk manuskrip.
Diantara karya-karyanya adalah:8

a. Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah (menurut penduduk ibukota)


b. Kitab Ihsa al-Ulum (tentang seluk beluk ilmu)
c. Risalah fi al-Aql (tentang akal)
d. Risalah fi Isbat al-Mufariqar (tentang bentuk-bentuk spiritual)
e. Tahsil as-Sa'adah (tentang upaya mewujudkan kebahagiaan)
f. Masail Falsafiyyah dan Ajwibah 'anha (tentang filsafat dan jawabannya)
g. AlIbaanah' dan Gard Aristutalis (tentang pemikiran Aristoteles)

7
Hasan Hanafi, Al-Fārrābī Syarih Aristo, dalam Abu Nashr Al-Fārrābī: Fi Dzikra Alfiah
li Wafatih, (Kairo: al-Hai‟ah al-Mashriyah al-Ammah, 1983), hal. 69.
8
Andri Ardiansyah, , Pemikiran Filsafat Al-Fārrābī dan Ibnu Sina, Jurnal Pemikiran
Keislaman dan Kemanusiaan, Vol. 4, No.1, (2020), hal. 179
h. Kitaab Bayn Platon dan Aristu aw al-Jam 'Ban Ra'yayn al-Hakimayn
(tentang kesepakatan antara pandangan Plato dan Aristoteles), dll.

Melalui karya-karyanya, Al-Fārrābī memperkenalkan dirinya sebagai


muslim yang patuh pada agama, penerus dari Plato dalam bidang moralitas dan
politik, penerus Aristoteles dalam bidang logika dan fisika, dan penerus Plotinus
dalam bidang metafisika. Dari sumber-sumber yang berbeda ini dia mengumpulkan
prinsip-prinsip yang dia yakini cocok sehingga sistem filosofis yang lengkap dapat
dibangun.

B. Epistemologi Pendidikan Al-Fārrābī

Epistemologi (teori pengetahuan) merupakan cabang filsafat yang


berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar-dasarnya, serta
pertanggung jawaban atas pengetahuan ysng dimiliki. Sedangkan epistemologi
pendidikan Islam adalah suatu upaya, cara, atau langkah-langkah untuk
mendapatkan pengetahuan pendidikan yang berdasarkan Al-qur’an dan sunnah.

1. Pemikir Yang Mempengaruhi

Selain dari pendidikan dan bakat yang dilalui dan dimilikinya, lingkungan
juga turut menentukan jalan fikirannya. Dewasa itu filsafat sudah berkembang
sedemikian rupa, kajian-kajian ilmiah sudah demikian maju, lebih-lebih dengan
adanya batul hikmah. Kemajuan dan kebebasan berfikir dalam dunia islam ketika
itu membenarkan dampak positif kepada Al-Fārrābī untuk tempil sebagai filosof
yang menguasai berbagai cabang ilmu seperti: ilmu alam, matematika, astronomi
dan lain-lain.

Analisa-analisa tentang filsafat Yunani yang diterimanya dari guru-gurunya


atau yang dibacanya dari risalah-risalah Al-Kindi dan buku-buku filsafat yang
sudah banyak diterjemahkan orang ke dalam bahasa Arab sungguh mempengaruhi
pemikiran Al-Fārrābī. Diantara aliran filsafat Yunani yang mempengaruhinya ialah
filsafat Plato, Aristoteles, dan Neoplatonisme. Misalnya: tentang teori Negara
utama ia dipengaruhi filsafat Plato, dalam soal metafisika ia dipengaruhi oleh
Aristoteles dan mengenai Emanasi ia dipengaruhi oleh Platinus.
Selain itu ia sebagai seorang muslim yang telah mempelajari pelajaran
agama dengan baik ia pun mendapat pengaruh dari ajaran tersebut. Disini Al-
Fārrābī juga menyesuaikan filsafatnya dengan ajaran islam, seperti: filsafatnya
tentang kenabian ia mengakui adanya nabi, dan nabi itu lebih tinggi dari filosof.
Dimana maksudnya nabi mempunyai mukzijat sedangkan filosof hanya
menggunakan akal pikiran untuk berfilsafat. Dengan demikian dasar pemikiran
filsafat yang digunakan Al-Fārrābī yaitu memadukan ajaran filsafat dengan ajaran
agama.9

2. Epistomologi Pendidikan Al-Fārrābī

Pemikiran Al-Fārrābī mengenai pendidikan berbanding lurus dengan


pemikirannya mengenai keselarasan antara filsafat dan agama. Pemaparan Al-
Fārrābī mengenai Pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung selalu
mengaitkan antara pendayagunaan akal yang mewakili filsafat dan keimanan atau
moralitas yang mewakili agama.10

1. Tujuan Pendidikan

Menurut Al-Fārrābī, pendidikan adalah sarana untuk memperoleh


serangkaian nilai-nilai, pengetahuan, serta keterampilan dalam periode dan budaya
tertentu. Tujuan akhir pendidikan adalah untuk membimbing individu agar
mencapai kesempurnaan. Menurut Al-Fārrābī, kesempurnaan manusia diukur dari
pengetahuannya secara teoritis mengenai kebajikan kemudian menjalankan dalam
praktik keseharian. Ilmu tidak akan mempunyai arti apabila ilmu yang dimiliki
seorang individu tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Dengan kata lain, seorang menjadi sempurna apabila ilmu yang dimilikinya

9
Ali Yumisril. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara,
1991), hal. 42.
10
Humaedah, Mujahidin Almubarak, PEMIKIRAN AL-FĀRRĀBĪ TENTANG
PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA KONTEMPORER, jurnal Ilmiah
Mahasiswa, Vol. 10, No. 1, (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2021).
dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Tujuan dari pendidikan adalah dengan
meleburnya pengetahuan intelektual dengan perilaku yang baik.11

Jika mengacu pada kurikulum pendidikan di Indonesia, di dalam


kompetensi ini maupun kompetensi dasar setiap mata pelajaran mengandung aspek
afektif, yaitu sikap dan spiritual, aspek kognitif, yaitu pengetahuan, dan aspek
psikomotori yaitu keterampilan.

2. Kurikulum Pendidikan

Pendidikan Islam menurut Al-Fārrābī harus menekankan pada


pembentukan akhlak dan akal. Karena ilmu itu bersih dan akan diperoleh dengan
hati yang bersih pula, dan hati yang bersih dapat terjadi apabila jauh dari akhlak
tercela. Menurut Al-Fārrābī, seseorang harus mengutamakan moral dalam berpikir
dan berbuat, yaitu mengedepankan budi pekerti dengan tetap memelihara
kemanusiaan dan kesopanan. Pendayagunaan akal dalam berpikir atau memiliki
pengetahuan harus dibarengi dengan pembinaan akhlak atau moralitas.12 Dalam
pendidikan, akhlak memiliki posisi yang penting. Penguasaan dalam ilmu
pengetahuan haruslah dibarengi dengan pembentukan akhlak yang terpuji.
Kebermanfaatan ilmu tentu haruslah dihadapi dengan karakter yang mulia.

Al-Fārrābī juga mengklasifikasikan ilmu dalam satu karyanya yaitu Ihsha


al-ulum, berdasarkan tiga penglompokkan utama ilmu, diantaranya: Metafisik,
Matematik, dan Ilmu-ilmu Alam. Metafisika membahas mengenai prinsip terakhir
dari segala sesuatu atau sebab dasar dari segala realitas, yaitu yang Ilahi (Teologi).
Pada ilmu matematika, Al-Fārrābī membagi menjadi tujuh cabang, yaitu:
aritmatika, geometri, astronomi, music, optika, ilmu-ilmu tentang gaya, dan alat-
alat mekanik. Kemudian pada ilmu-ilmu alam, Al-Fārrābī membagi menjadi: a)
Minerologi, yang meliputi kimia, geologi, metalurgi. b) Botani yang berkaitan

11
Agung Setiawan, KONSEP PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI DAN AL-
FĀRRĀBĪ (Studi Komparasi Pemikiran), Jurnal: Tarbawiyah, Vol. 13, No. 1, (Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2016)
12
Muhammad Akbar Nurmuhyi, PENDIDIKAN AKAL BUDI PERSPEKTIF AL-FĀRRĀBĪ (Telaah
Filosofis atas Pemikiran Pendidikan ), Jurnal: TARBAWY, Vol. 3, No. 2, (Universitas Pendidikan
Indonesia: 2016), hal. 188
dengan seluruh spesies tumbuhan. c) Zoologi, yang berhubungan dengan berbagai
spesies binatang. Klasifikasi ilmu menjadi penting sebagai acuan dalam
penyusunan kurikulum yang ingin diajarkan kepada peserta didik.13

Landasan utama dalam kurikulum Pendidikan Islam didasarkan kepada


pembentukan akhlak yang mulia. Kurikulum pendidikan tidak hanya terpaku
kepada ilmu-ilmu agama Islam, namun juga memasukkan mata pelajaran yang
bersifat umum seperti matematika, ilmu-ilmu alam dan sebagainya. Dengan
demikian pendidikan Islam mampu mencetak masyarakat muslim yang berilmu
serta berakhlak mulia.

3. Pendidik dan peserta didik

Dalam proses pendidikan dan pengajaran perlu diperhatikan potensi-potensi


yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Al-Fārrābī menyebutkan diantaranya:14

a. Seorang yang memiliki tabiat jelek karena dalam belajar mempunyai tujuan
untuk digunakan pada hal-hal yang kurang baik. Seorang yang demikian
hendaknya dibimbing atau dididik dengan Pendidikan budi Pekerti, dan jangan
mengajarkan suatu ilmu kepada seseorang yang memiliki tujuan yang tidak baik
dengan ilmu yang akan dimilikinya.
b. Seseorang yang memiliki kecerdasan ataupun kepandaian yang kurang, proses
bimbingan dan pendidikan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kebiasaan-kebiasaan yang baik.
c. Seseorang yang memiliki budi pekerti yang baik, jangan sampai seorang
pendidik menghina terhadap ilmu yang dimiliki walau sedikit. Al-Fārrābī
berpesan, dalam usaha mendidik orang yang memiliki akhlak tercela,
hendaknya dilakukan dengan pendidikan, sedangkan seseorang yang bodoh
hendaknya diajarkan hal-hal yang praktis secara terus-menerus. Sementara

13
Ibid, hal. 190.
seseorang yang memiliki akhlak yang baik, hendaknya diajarkan tentang
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingakatannya.15

Dengan memperhatikan setiap potensi yang berbeda yang dimiliki oleh


peserta didik, setiap pendidik tentunya memiliki perlakuan yang berbeda terhadap
setiap peserta didik, dilihat dari perbedaan potensi-potensi yang dimiliki. Namun
demikian dalam setiap proses pembelajaran dan pendidikan memiliki persamaan
yang mendasar, yaitu yang pertama dilakukan dalam pendidikan adalah dengan
pembentukan akhlak yang baik. Perbedaan potensi, tabiat bawaan, ataupun tingkat
kecerdasan seorang anak menjadi pertimbangan bagi penyempaian materi
pembelajaran. Penting bagi setiap pendidik untuk mengetahui perbedaan potensi
ataupun tingkat kecerdasan siswa dalam pengajarannya. Pemahaman guru terhadap
perbedaan tersebut berimplikasi terhadap penggunaan strategi maupun metode
pembelajaran yang efektif bagi siswa.16

Meskipun kurikulum yang diberikan kepada setiap siswa seragam atau


sama, kemudian dalam prakteknya di sekolahan maupun di kelas sudah menjadi
kebijakan sekolah ataupun kreatifitas dari pendidik untuk menyampaikan materi
kepada peserta didik yang sifatnya heterogen atau berbeda-beda.

C. Relevansi Pemikiran Pendidikan Al-Fārrābī di Era Modern

Pemikiran Al-Fārrābī mengenai pendidikan memiliki relevansi dengan


pendidikan Islam di Indonesia. Pelaksanaan pendidikan di era modern sesuai
dengan pemikiran pendidikan Al-Fārrābī. Kemudian realisasi pemikiran Al-Fārrābī
mengenai pendidikan mampu menjadi alternative dalam mewujudkan pendidikan
Islam yang mampu menjawab tantangan zaman. Adapun relevansi pemikiran
pendidikan Al-Fārrābī di era modern adalah sebagai berikut:

Pertama, pemikiran pendidikan menurut Al-Fārrābī adalah pendidikan


merupakan cara seorang individu untuk memperoleh nilai-nilai, pengetahuan, dan

15
Muhammad Athiyah 'Al Abrasyi, Beberapa Pemikir Pendidikan Islam. (Titian Ilahi
Press: 1996).
16
Waris, Pemikiran Pendidikan Al-Fārrābī, Jurnal: Cendekia, Vol. 2, No.2, (2004), hal.
19.
keterampilan. Hal tersebut tentunya sejalan dengan pengertian pendidikan di era
modern, bahwa pendidikan bukan sekadar transformasi ilmu pengetahuan, namun
juga mengembangkan potensi-potensi anak, serta membentuk individu yang
berkarakter yang baik. Kemudian dalam kurikulum pendidikan di Indonesia,
peserta didik harus mencapai 4 kompetensi inti. KI 1 dan 2 mengenai afektif siswa,
yaitu sikap dan spiritual, KI 3 mengenai kognitif siswa, yaitu pengetahuan, dan KI
4 mengenai psikomotorik, yaitu mengenai keterampilan siswa. Kemudian juga bila
merujuk kepada UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pendidikan memiliki pengertian,

“… usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan


proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki spiritual keagamaa, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak, mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.”17 (UU Nomor 20 Tahun 2003.Pdf, n.d.)

Kedua, era modern berkembang teknologi informasi dan komunikasi begitu


cepat. Hal tersebut pula yang mempercepat arus globalisasi. Penyebaran informasi
dari belahan dunia manapun sangat mudah tersebar dan mudah untuk di akses.
Kebudayaan-kebudayaan asing juga sangat mudah masuk di era modern ini. Arus
globalisasi selain membawa dampak positif, tentunya juga membawa dampak
negatif yang perlu diperhatikan.

Dampak negatif dari berkembangnya arus globalisasi diantaranya adalah


merosotnya spiritual keagamaan diakibatkan oleh pengaruh dari media komunikasi
atau media sosial. Kemudian kebudayaan asing yang mudah masuk ke Indonesia
tentunya tidak semuanya sesuai dengan norma-norma yang telah berlaku dan
prinsip-prinsip agama. Maka penting bagi pendidikan Islam untuk membentengi
ataupun menjadi filer bagi segala dampak negatif dari perkembangan arus
globalisasi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam. Hal tersebut
selaras dengan pemikiran pendidikan Al-Fārrābī yang menekankan pada

17
UU Nomor 20 Tahun 2003.Pdf, n.d., hal. 1.
pembentukan akhlak atau budi pekerti yang baik. Dengan landasan akhlak yang
kuat diberikan oleh pendidikan Islam, tentunya hal tersebut dengan sendirinya akan
membentengi seseorang dari dampak-dampak negatif dari perkembangan arus
globalisasi di dunia modern.

Ketiga, kemajuan bangsa ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan


teknologi. Era globalisasi ada era kompetitif, suatu bangsa yang ingin maju
tentunya harus mengikuti perkembangan globalisasi dan meningkatkan
sumberdaya manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat Islam
melalui pendidikan Islam tentunya penting untuk meningkatkan atau
mengembangkan kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemahaman mengenai pentingya ilmu pengetahuan adalah supaya tidak terjadi
dikotomi ilmu dan menjadikan kemunduran bagi Umat Islam sendiri.

Hal tersebut sejalan dengan pengklasifikasian ilmu yang diberikan oleh Al-
Fārrābī. Ilmu menurut Al-Fārrābī tidak hanya mengenai teks keagamaan, namun
juga ilmu-ilmu yang menunjang kemasalahatan ataupun kemajuan peradaban suatu
bangsa atau masyarakat. Seperti halnya contoh pengklasifikasian yang diberikan
oleh Al-Fārrābī diantaranya adalah Matematika, Astronomi, Geografi, Ilmu tentang
Alam, dan sebagainya.
KESIMPULAN

Al-Fārrābī merupakan tokoh filusuf muslim yang menguasai berbagai


bidang ilmu pengetahuan, khususnya filsafat dan ilmu logika. Beliau menulis
banyak karya dan menjadi rujukan para sarjana Barat. Pemikiran pendidikan Al-
Fārrābī adalah menekankan pada pembentukan akhlak atau moralitas. Tujuan
pendidikan menurut Al-Fārrābī adalah proses pencapaian kesempurnaan individu.
Kesempurnaan yang dimaksud adalah diukur dari ilmu pengetahuan yang dimiliki
oleh seseorang kemudian diamalkan dalam realitas kehidupan dan berlandaskan
moralitas atau kebajikan.

Kurikulum pendidikan yang ditawarkan Al-Fārrābī dilihat dari klarifikasi


ilmu menurut beliau adalah mencakup ilmu-ilmu umum atau dengan kata lain tidak
terbatas pada ilmu-ilmu agama. Dasar dari segala ilmu yang dipelajari atau yang
dikuasai adalah akhlak atau moralitas. Seorang pendidik menurut Al-Fārrābī harus
memperhatikan setiap perbedaan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Dengan
demikian peserta didik mendapatkan perlakuan berbeda dilihat dari perbedaan
potensi atau tingkat kecerdasan peserta didik.

Relevansi pemikiran pendidikan Al-Fārrābī dengan pendidikan di era


modern adalah dari pengertian pendidikan menurut Al-Fārrābī sesuai dengan
pengertian pendidikan di era modern, yaitu pendidikan tidak hanya transfer ilmu
pengetahuan, namun juga membentuk individu yang memiliki spiritual keagamaan
yang kuat, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan peserta didik di
periode atau masyarakat tertentu. Pemikiran pendidikan Al-Fārrābī terkait
pembentukan akhlak atau budi pekerti yang menjadi dasar pendidikan Islam sangat
relevan diterapkan di era modern, untuk membentengi atau menjadi filter dampak-
dampak negatif dari arus globalisasi. Pengklasifikasian ilmu yang diberikan Al-
Fārrābī dapat diterapkan dalam kurikulum pendidikan Islam. Bahwasanya penting
bagi masyarakat muslim untuk menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
DAFTAR PUSTAKA

M. Amin, “Relevansi Studi Agama-agama dalam Melenium Ketiga” dalam Amin


Abdullah dkk, Mencari Islam Studi dengan Berbagai Pendekatan,
(Yogyakarta: Tiara Wacana 2000).
'Al Abrasyi, Muhammad Athiyah, Beberapa Pemikir Pendidikan Islam. (Titian
Ilahi Press: 1996).
Ardiansyah, Andri, , Pemikiran Filsafat Al-Fārrābī dan Ibnu Sina, Jurnal
Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, Vol. 4, No.1, (2020).
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986).
Fakhry, Majid, , A History of Islamic Philosophy, (alih bahasa R. Mulyadi
Kartanegara: 1986).
Hanafi, Hasan, Al-Fārrābī Syarih Aristo, dalam Abu Nashr Al-Fārrābī: Fi Dzikra
Alfiah li Wafatih, (Kairo: al-Hai‟ah al-Mashriyah al-Ammah, 1983).
Humaedah, Mujahidin Almubarak, Pemikiran Al-Fārrābī Tentang Pendidikan
Dan Relevansinya Dengan Dunia Kontemporer, jurnal Ilmiah Mahasiswa,
Vol. 10, No. 1, (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2021).
Nurmuhyi, Muhammad Akbar, Pendidikan Akal Budi Perspektif Al-Fārrābī
(Telaah Filosofis atas Pemikiran Pendidikan ), Jurnal: Tarbawy, Vol. 3, No.
2, (Universitas Pendidikan Indonesia: 2016).
Setiawan, Agung, Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali Dan Al-Fārrābī (Studi
Komparasi Pemikiran), Jurnal: Tarbawiyah, Vol. 13, No. 1, (Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2016)
Sidik, Abdullah, Islam dan Filsafat, ( Jakarta: Triputra Masa, 1984).
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf dan Ajarannya).
UU Nomor 20 Tahun 2003.Pdf, n.d.
Wafi, Ali Abdul Wahid, al-Madīnah al-Fadhīlah li al- Farabi, (Kairo: Nahdhoh
Mishri,tt,).
Waris, Pemikiran Pendidikan Al-Fārrābī, Jurnal: Cendekia, Vol. 2, No.2, (2004).
Yumisril, Ali. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991).

Anda mungkin juga menyukai