Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang
sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,
khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun,
Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu
organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para
filosof.
Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia, Ikhwan alShafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi
ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh
persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman
seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti

mencintai dirinya sendiri.1 Hal ini berdasarkan sebuah hadis: (


) . Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama
anggota mereka memang merahasiakan diri.2. Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan
al-Shafa dalam merekut anggota baru dilakukan lewat hubungan perorangan dan
dilakukan oleh orang-orang yang terpercaya.3
1.2. Rumusan Masalah:
1. Bagaimana sejarah tentang Al-Farabi?
2. Apa pemikiran-pemikiran Al-Farabi?
3. Apa analisa tentang Al-Farabi?
4. Bagaimana sejarah tentang Ikhwanu Shafa?
5. Apa pemikiran-pemikiran Ikhwanu Shafa?
6. Apa analisa tentang Ikhwanu Shafa?

1 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam (Jakarta : Bulan


Bintang,1984), hal. 30
2 C. A Qadir, Philosophy and Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia
Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991), hal. 84
3 Mehdi Hairi Yazdi, ThePrinciples of Epistemology in Islamic Philosophy, Knowledge
by Presence, terj. Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemology dalam
Filsafat Islam (Bandung : Mizan, 1994), hal. 29
1

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Biografi Al-Farabi
Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di
Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.6 Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam
lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.7 Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya
Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan
menetap di Damsyik dan Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa
disebut orang Persia atau orang Turki.4
Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk
berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya
politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi
acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnya AlFarabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam.5 Pemerintah
pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah
pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi.
Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih
kekuasaan.6 Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan
kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia tidak
aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan
menulis buku politik untuk memperbarui tatanegara. Pembaruan itu menurutnya
hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi filsafat. Walaupun alFarabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih
terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.
Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama
sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada
masanya. Ia belajar logika keadaan Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia
memperbaiki studi logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang
4 Nadim al-Jisr, Qissatul Iman alih bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan (Jakarta :
Bulan Bintang, 1966), Jilid I, hal. 56
5 Mulyadi Kartanegara,Mozaik Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago
(Jakarta : Paramadina, 2000), hal. 33
6 Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002), hlm. 32
2

telah ditinggalkan al-Kindi. Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu
pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya
ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al-Quran. Ia
juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.
Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan intelektual.
Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke-4/10.Di sana ia
bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan
penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling
terkemuka adalah Pemikiran Metafisika. Abu Bisyr Matta ibn Yunus. Untuk
beberapa lama ia belajar dengannya. Baghdad merupakan kota yang pertama kali
dikunjunginya.
Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah ke Damaskus.
Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani.
Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo
dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana. Kota kesayangannya
adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan
tetapi di sebuah kebun yang terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia
kebanyakan mendapat ilham menulis buku-buku filsafat.7
2.1. Pemikiran Tentang Metafisika
Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :
1. Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.
2.

Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan


bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak
dalam studi tentang suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada
yang dapat dibayangkan, yang merupakan prinsip terakhir dari segala
sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi.

3.

Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang


mendasari ilmu-ilmu khusus.
Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi

subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi
dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik mengacu
7 Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, (Bandung: Rosdakarya,
1988), hlm.133
3

kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada
Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.8 Dalam kajian metafisika salah
satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid
merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk,
diciptakan (hadis).
Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan
diskusi yang mendalam. Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja
menimbulkan berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ulama merespons
dengan ilmu mereka masing-masing. Filsafat dan ilmu pengetahuan timbul
sebagai produk pemikiran manusia. Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada
manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam
kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting. Sementara di
dalam Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi. Akal mempunyai
kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis. Ayat yang pertama turun
memerintahkan umat untuk membaca yang berarti berpikir.
Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan demikian
menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak segan-segan
mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang mereka
jumpai di daerah-daerah Bizantium dan Persia yang jatuh ke bawah kekuasaan
Islam.9 Seperti yang sudah disinggung di depan ini sejalan dengan kedudukan
tinggi dari akal yang terdapat dalam peradaban Yunani yang dibawa Alexander
Yang Agung ke Timur Tengah pada abad ke-IV SM. Karena itu ada mindset yang
sama.
2.2. Filsafat ke-Nabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada
agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama
Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi
kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh
manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah
yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al8 A. Mustofa., Filsafat Islam , hlm.160
9 Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam Cet. Ke IX, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), hal. 27-28
4

Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan
oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar
dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
* *
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang
mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai
kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal faal. Sebab lahirnya filsafat keNabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara
filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi
yang membuat karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada
nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah:
pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah
mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui
Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan
buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya. Kedua, ajaran agama meracuni
prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di Kabah, dan sai di bukit
Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya. Ketiga, mukjizat hanya semacam
cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat
menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah
membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud
tidak. Keempat, al-Quran bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar
biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Quran, karena
mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah
yang paling Fasahah dikalangan orang Arab. Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu
Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku
filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan
menurutnya.
Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat
bertentangan dengan al-Quran Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran

Islam, al-Quran adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang
benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman
hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam
secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran
dalam kehidupan. Dalam al-Quran ada dijelaskan:

*
Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada
mereka. (Q.S. al-Baqarah: 2-3)
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi,
maka dari itu ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya
imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Faal dapat menerima
visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah
limpahan dari Allah melalui Akal Faal (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan
al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah
melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga
sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.10
Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada
kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan
pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa
mempelajari Wahyu (al-Quran) ia akan tersesat, karena antara keduanya samasama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Faal (Jibril). Begitu pula
mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat
merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan
mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.
Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi
untuk berhubungan dengan Akal Faal, baik kondisinya dalam keadaan terjaga
maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu
bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah cerita dan
kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu berisikan firman-firman Allah,
10 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesi, 1983),
hlm.17
6

datangnya langsung dari Allah, melalui perantara Jibril, dan melalui tabir mimpi.
Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Ada
sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka
mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Faal, tetapi terkadang mereka
mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi lebih ke
bawah yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali
sehingga tidak bisa berhubungan dengan Akal Faal, baik waktu tidur ataupun
terbangun.
Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang
telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan
kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang
akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya
dapat berhubungan dengan Akal Faal yang menjadi sumber syariat dan aturan
yang diperlukan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof
adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Faal melalui imajinasinya,
sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.11
Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang dikemukakan A.
Hanafi, yang termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori al-Farabi
telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh
melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya. Akan
tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan
tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu Akal Faal, dan nilai keluarnya juga
sama, maka tentang cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan
perkataan lain, nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya,
melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan;
seorang Nabi dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada
kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima
perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui
imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar.
Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Faal
melalui pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu
11 A. Mustofa., Filsafat Islam , hlm.143
7

pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa
dicari (muktasab), sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat
(keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai
seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang
memungkinkan dapat berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih
sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Akan
tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak mudah
diperoleh, sebab setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai
filsafat yang sebenarnya hanyalah sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa
seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu.
Boleh jadi menurut pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah
(mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak
jelas-jelas mengatakan demikian.
Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut
di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran
psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana
Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa
kadang terdengar oleh Nabi seperti bunyi lonceng.
Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian ia hubungkan
dengan persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia membuat sebuah
kesimpulan bahwa Nabi adalah seorang yang mempunyai pribadi shaleh dan
mempunyai jiwa untuk memimpin sebuah negeri.
2.4.Filsafat Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia
juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan
dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan
para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka
para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu
disentuh dengan nilai-nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah
kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi, al- Farabi berpendapat
bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan

alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi
segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain.
Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan
hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak
saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di
akhirat nanti.12 Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai
seorang muslim di masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan
masyarakat, yakni:
i. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah
masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara unsur-unsurnya.
Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan
individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu
lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya.13 Selanjutnya, masyarakat yang
sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat
sempurna besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan
saling membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsabangsa), kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas
suatu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara
nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas
para penghuni satu kota (negara kota).14
ii. Masyarakat Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami laisa Kamilah). Masyarakat
yang tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil
seperti masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung,
lorong/dusun, dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih
jauh dari ketidak sempurnaan adalah keluarga.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama,
yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami al-Hikmah), yang mana jumlah
12 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Cet. V,
(Jakarta: UI Perss, 1993), hal. 51
13 Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1988) , hal.138
14 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran,... , hlm. 5152
9

keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu


anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka
tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat
Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan
fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan
sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang
sesuai dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama dalam filsafat politik
atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa
dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara
dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala
Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia.
Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani,
kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad
yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan
penyampai Wahyu.15
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan
kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat
seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat
kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan
tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah
jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada
sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah
peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk
kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.16
yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di
Negara itu. Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negera
yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini, alFarabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi
menjadi lima macam: pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera yang
penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum,
pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu
15 Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, (Kairo: Maktabat Mathabaat Muhammad
Ali, t.t), hlm.
16 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam , hlm. 93
10

Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga,


Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya
mementingkan kehormatan saja. Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa
Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan
berfoya-foya. Keempat, Negeri Anarkis (jamiiah), yaitu Negara yang setiap
penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing.[26]
2.5Analisis Tentang Al-Farabi
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof
Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia
mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh
filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan
keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras untuk
itu.
Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim
belakangan seperti al-Ghazali. terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi
masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika,
metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi
terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof Islam.
2.6. Latar Belakang Ikwanu Shafa
Ikhwan Al-Shafa adalah nama sekelompok pemikir islam yang bergerak
secara rahasia dari sekte syiah ismailiyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 m) di
basrah. Kerahasiaan kelompok ini yang juga menamakan dirinya khulan al-wafa,
ahl al-adl, dan abna al-hamd boleh jadi karena tendensi politik, dan baru
terungkap setelah berkuasanya dinasti buaihi di bagdad pada tahun 983 m. Ada
kemungkinan kerahasiaan organisasi ini di pengaruhi oleh paham takiyah, karena
basis kegiatannya berada ditengah masyarakat mayoritas sunni. Boleh jadi juga
kerahasiaan ini karena mereka mendukung pemikiran mutazilah yang telah
dihapus oleh khalifah abbasiyah al-mutawakkil, sebagai mazhab negara.
Tujuan filsafat dalam pengajaran mereka adalah upaya menyerupai Tuhan
(at-tasyabuh billah) sejauh kemampuan manusia. Untuk mencapai tujuan itu,
manusia haruslah berijtihad (berupaya sunguh-sungguh) menjauhkan diri mereka:

11

dari berkata bohong dan meyakini kaidah bathil, dari pengetahuan yang keliru dan
akhlak yang rendah, serta dari berbuat jahat dan melakukan pekerjaan secara tak
sempurna. Aktivitas filsafat dikatakan sebagai upaya menyerupai Tuhan karena
Tuhan tidaklah mengatakan kecuali yang benar dan tidak melakukan kecuali
kebaikan. Dalam penilaian mereka, syariat (agama) telah dikotori oleh
kebodohan dan kesesatan manusia dalam memahaminya, dan menurut mereka
tidak ada jalan untuk membersihkannya kecuali dengan filsafat, karena filsafat
mengandung hikmat dan kemaslahatan; bila ditata, filsafat yunani dengan agama
islam niscaya dihasilkan kesempurnaan. Pusat organisasi juga menurunkan
instruksi agar anggota-anggota yang berada didaerah mengadakan pertemuan
berkala dalam jadwal tertentu guna mendiskusikan ilmu pengetahuan dan
kepentingan anggota. Di dalam risalah mereka juz ke IV halaman 105 tertulis,
sepantasnya bagi saudara-saudara kita, yang semoga mereka dikuatkan Allah
dimana saja mereka berada, agar mengadakan majelis khusus yang tidak boleh
dihadiri oleh selain anggota dalam waktu yang dijadwalkan untuk mendiskusikan
ilmu pengetahuan dan membicarakan rahasia-rahasia ikhwan.
2.6. Pemikiran Ikwanu Shafa
1.

Talfiq
Ikhwan al-safa berusaha memadukan atau rekonsiliasi (talfiq) agama

dengan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari
ungkapan mereka bahwa syariat telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan
dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan membersihkannya adalah filsafat.
Kemudian mereka mengklaim bahwa apabila dipertemukan antara filsafat yunani
dan syariat arab, maka akan menghasilkan kesempurnaan.
Tampaknya ikhwan as-safa menempatkan filsafat diatas agama. Mereka
mengharuskan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu.
Kesimpulan ini didukung dengan pendapat mereka dalam bidang agama. Menurut
mereka ungkapan al-quran yang berkonotasi inderawi dimaksudkan agar cocok
dengan tingkatan nalar orang arab badui yang berkebudayaan dan bersahaja.
Sedangkan yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mereka haruskan
memakai tawil untuk melepaskan diri dari pengertian lafzi dan indrawi. Untuk
itulah ikhwan as-safa berusaha dengan gigih memadukan filsafat dengan agama

12

dengan menurunkan metafisika dan ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif


murni yang tidak dapat dijangkau secara aktif dan praktis.
Sebenarnya pendapat mereka untuk mempergunakan tawil dalam
memahami ayat-ayat mutasabihat merupakan pendapat yang sama dikalangan
para filusuf. Menurut filusuf, agama adalah tempat melambangkan secara
inderawi, agar mudah dipahami oleh kaum awam yang merupakan bagian terbesar
umat manusia. Jika tidak demikian, tentu banyak ajaran agama yang mereka tolak
karena mereka tidak memahami isinya.sebaliknya, kaum filusuf harus mengambil
makna metaforis terhadap teks al-quran yang bernada antromorfosisme. Jika
tidak, tentu banyak pula ajaran agama yang mereka tolak karena tidak masuk
akal. Dengan cara seperti ini para filsuf menempatkan nabi sebagai pendusta
untuk kepentingan manusia.
Disamping itu ikhwan as-safa juga memadukan antara agama-agama yang
berkembang pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti islam, keristen,
majusi,yahudi dan lain-lain. Menurut mereka tujuan agama adalah sama, yaitu
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan perbedaan-perbedaan
keagamaan bersumber dari faktor-faktor yang kebetulan, seperti ras, tempat
tinggal, atau keadaan zaman dan dalam beberapa kasus juga faktor temperamen
dan susunan personal.
2.7. Jiwa
Tentang jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam
perkembangan jiwa manusia banyak dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya.
Agar potensi jiwa itu tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu
oleh akal. Jiwa anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan
belum ada coretan. Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya
tanggapan imajinasi (al-quwwah al-mutakayyilah), dari sini meningkat kepada
daya berfikir (al-quwwah mutafakkirah) yang terdapat pada otak bagian tengah,
pada tingkat ini manusia mampu membedakan antara benar dan salah, antara baik
dan buruk.
Setelah itu disuruhlah ke daya ingat (al-quwwah al-hafizhah) yang
terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah mampu
menyimpulkan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh daya berfikir. Tingkatan

13

terakhir adalah daya berbicara (al-quwwah al-nathiqah) yaitu kemampuan


pengungkapan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada
pendengar atau menuangkan lewat bahasa tulisan kepada pembaca.
Manusia memiliki 5 kekuatan jiwa sebagaimana ia mempunyai 5 kekuatan
raga, yaitu:
a. Daya imajinasi (al quwwa al-mukhayyalat) letaknya dibagian muka.
b. Daya fikir, letaknya ditengah-tengah otak.
c. Daya simpan, letaknya dibagian belakang otak
d. Daya ingat,
e. Daya tutur
Kelima daya inilah yang melakukan aktivitasnya didalam raga manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
2.8. Moral
Adapun tentang moral, ikhwan al-safa bersifat rasionalistis. Untuk itu
suatu tindakan harus berlangsung bebas. Dalam mencapai moral dimaksud,
seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi. Harus
memupuki rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase, Percaya tanpa usaha,
mengetahui tanpa berbuat atau sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan
kehalusan kasih sayang, keadilan, rasa syukur, mengutamakan kebijakan, gemar
berkorban untuk orang lain, kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi.
Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman, dan kepalsuan
harus dikritis habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan yang membara
sesama manusia, dan kemarahan terhadap alam, binatang liar sekalipun.
29. Analisis
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam rahasia yang telah berhasil
menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail
Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran
mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Ikhwan al-Shafa
telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan
Tafsir Al-Quran Esotoris.
Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa, memiliki konsep bahwa pendidikan
itu bukan sekedar upaya transfer suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang

14

lain tetapi lebih merupakan aktivitas moral yang dengannya seseorang


mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi, yang dalam istilah mereka
disebut derajat malaikat al-muqarrabin. Aktivitas pendidikan ini bukan hanya
berupa bimbingan dan pengajaran tetapi juga pengaruh, yang dapat terjadi sejak
seorang anak masih dalam kandungan (embrio). Sehingga sejak inilah aktivitas
pendidikan sudah dimulai.
Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa semua pengetahuan berpangkal pada
cerapan indrawiah (empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok
yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang.
Argumentasi mereka, bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra,
tidak bisa diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak
bisa dirasiokan. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari 1).
a. kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an;
b. kitab-kitab yang disusun oleh para hukama dan para filosof, seperti
matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat;
c. alam;
d. perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya.
Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat
manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih
ridha Allah SWT.

BAB III
PENUTUP

15

3.1. Kesimpulan
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di
dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia
mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik.
Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi,
pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang
sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat
memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam rahasia yang telah berhasil
menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail
Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran
mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Ikhwan al-Shafa
telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan
Tafsir Al-Quran Esotoris.

DAFTAR PUSTAKA

16

Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1995.
Adenan, Filsafat Islam Klasik, Renaisance dan Modern, Medan: Duta
Azhar, 2007.
Ahmad, Zainal Abidin, Negara Utama (Madinatul Fadilah) (Jakarta:
PT.Kinta, 196
Asy-Syarafa, Ismail, ensklopedi filsafat, Jakarta: penerbit Khalifa, cet. ke1, 2005.
Bagus, Lorens, Metafisika, Jakarta: Gramedia, 1991.
Bakker, JMW, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Bakar, Osman, Tauhid and Science : Essasy on the History and Philosopy
of Islamic Sciencealih bahasa Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains-esai tentang
Sejarah dan Filsafat Sains Islam, Jakarta: Pustaka Hidayat,1994.
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philsopy alih bahasa, R. Mulyadi
Kartanegara Sejarah Filsafat Islam, Jakarta : Pustaka Jaya, 1987.
Hasyim, Syah Nasution, filsafat islam, Jakarta: gaya media pertama, cet.
ke-3, 2002.
H. A. Mustafa, Filsafat islam, Bandung: pustaka setia, cet. ke-1, 2004.
Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam Sejarah dan Perkembangannya
dalam Dunia Internasional, Jakarta: Bulan Bintang, 1964.

17

Anda mungkin juga menyukai