Anda di halaman 1dari 23

Pemikiran filsafat masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai kaum Muslimin pada abad ke-8

Masehi atau abad ke-2 Hijriah di Suriah, Mesopotamia, Persia, dan Mesir. Dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve dijelaskan bahwa kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah-daerah itu melalui ekspansi Alexander Agung, penguasa Macedonia (336323 SM), setelah mengalahkan Darius pada abad ke-4 SM di kawasan Arbela (sebelah timur Tigris). Alexander Agung datang dengan tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya, ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini telah memunculkan pusatpusat kebudayaan Yunani di wilayah Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antiokia di Suriah, Jundisyapur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia. Pada masa Dinasti Umayyah, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu nampak karena ketika itu perhatian penguasa Umayyah lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab. Pengaruh kebudayaan Yunani baru nampak pada masa Dinasti Abbasiyah karena orang-orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan pusat. Para Khalifah Abbasiyah pada mulanya hanya tertarik pada ilmu kedokteran Yunani berikut dengan sistem pengobatannya. Tetapi kemudian mereka juga tertarik pada filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Perhatian pada filsafat meningkat pada zaman Khalifah Al-Makun (198-218 H/813-833 M). Penerjemahan Naskah Kelahiran ilmu filsafat Islam tidak terlepas dari adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Islam. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban disebutkan bahwa usaha penerjemahan ini tidak hanya dilakukan terhadap naskah-naskah berbahasa Yunani saja, tetapi juga naskah-naskah dari bebagai bahasa, seperti bahasa Siryani, Persia, dan India. Usaha penerjemahan tersebut berlangsung selama tidak kurang dari satu setengah abad di zaman klasik Islam (abad ke-1 hingga abad ke-7 H). Dan berlangsung secara besar-besaran di Baghdad sejak masa pemerintahan Al-Mansur (137-159 H/754-775 M), serta mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Makmun. Bahkan di masa Harun Ar-Rasyid, utusan khusus dikirim ke Kerajaan Romawi untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Usaha ini telah menghasilkan tersedianya buku-buku berbahasa Arab dalam jumlah banyak di perpustakaan-perpustakaan, baik yang dibangun para penguasa Muslim maupun yang dibangun para hartawan. Ketersediaan buku-buku terjemahan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan Muslim untuk berkenalan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Majusi pada masa-masa sebelum munculnya Islam.

Kegiatan penerjemahan dalam perkembangan berikutnya, telah memunculkan tiga kelompok ahli ilmu pengetahuan. Pertama, mereka yang memusatkan perhatian pada cabang-cabang ilmu pengetahuan saja. Kelompok pertama ini disebut para ilmuwan. Kedua, mereka yang selain mengkaji dan mengembangkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, juga memusatkan perhatian pada bidang filsafat. Kelompok kedua dinamakan para filsuf. Ketiga, yakni mereka yang berupaya menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat untuk keperluan berteologi. Kelompok yang terakhir ini disebut para teolog. Ilmu filsafat dalam Islam pertama kali muncul dan berkembang di wilayah-wilayah Islam belahan timur, terutama di Baghdad. Baru tiga abad kemudian, ilmu filsafat ini berkembang luas di dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba (Spanyol). Keterlambatan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa buku-buku yang dihasilkan di dunia Islam belahan timur baru masuk secara besar-besaran ke dunia Islam belahan barat sejak paruh kedua abad ke-4 H, dengan dorongan dan bantuan dari pihak penguasa, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Hakam II (350-366 H/937-953 M) di Andalusia. Berkembangnya ilmu filsafat di dunia Islam ini pada akhirnya telah melahirkan sejumlah filsuf terkenal dari kalangan Muslim. Mereka antara lain Al-Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd. Dengan memanfaatkan materi filsafat dari para filsuf Yunani, seperti Plato, Aristoteles, Pitagoras, Demokritos dan Plotinus, serta berpegang teguh pada ajaran Alquran dan hadits Nabi SAW, para filsuf Muslim membangun satu corak filsafat baru yang kini dikenal sebagai filsafat Islam. Dan karena dihasilkan dalam zaman klasik Islam, maka filsafat mereka sering disebut dengan filsafat klasik Islam. Mualaf Steven: Bermula dari Filsafat Islam Pria Tionghoa ini tak menyangka kebenciannya pada Muslim berbuah rengkuhan Islam. Di matanya kala itu, Muslim tak lebih dari sebuah golongan yang memberinya dan keluarganya sebuah pengalaman pahit. Steven marah dan bertekad membalasnya. Ia mempelajari filsafat Islam, memahami seluk beluk agama itu, dan mendebat siapa pun yang berstatus Muslim. Hingga akhirnya, Steven menemukan kebenaran dari semua yang telah dipelajarinya. Steven berislam 11 tahun lalu, saat usianya baru 19 tahun. Kebenaran Islam yang membawanya pada agama Allah, bukan kekaguman pada apa pun atau siapa pun. Aku belajar (Islam), bukan terinspirasi apa pun, katanya. Bahkan, ia mengaku benci pada orang Islam kala itu. Kerusuhan 1998 dipandangnya sebagai wujud pencitraan wajah Muslim yang merupakan penduduk mayoritas Indonesia. Itu pengalaman pahit bagi warga Tionghoa. Pada masa itu, aku kehilangan beberapa sanak keluarga yang tewas karena dibantai.

Beberapa tahun sebelum krisis nasional itu, saat Steven duduk di bangku sekolah dasar, orang tuanya mengirimnya ke asrama Katolik atas wasiat almarhum neneknya. Beranjak remaja, ia mengikuti seminari untuk memperdalam ajaran Katolik. Di sana, filsafat Islam menjadi salah satu bidang ilmu yang didalami. Pasca peristiwa 1998 yang traumatis itu, Steven mempertekun pendalamannya tentang Filsafat Islam untuk membayar kemarahannya. Aku jelas tak mungkin membalas kekerasan itu dengan perang fisik, apalagi dengan membunuh. Karena itu, aku bertekad membalasnya dengan menghajar akidah mereka, geramnya. Begitulah, Steven belajar Islam untuk membalas dendam. Berkat pendalamannya itu, ia selalu siap dan percaya diri untuk berdebat dengan setiap Muslim yang ditemuinya. Satu lagi kelemahan Muslim kutemukan pada masa itu, saat sebagian besar mereka tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang agama mereka sendiri, ujarnya prihatin. Steven terus membekali diri. Ia terus belajar, hingga akhirnya tahu bahwa ajaran Islam benar. Kebencian pada Muslim yang pernah dirasakannya tak menghalangi hatinya untuk menerima kebenaran Islam. Semua yang diajarkan Islam benar. Melihat para Muslim yang berperangai tidak baik, aku melihatnya sebagai kesalahan yang bersumber dari diri mereka. Mereka tidak berperilaku sesuai ajaran Islam, ujarnya. BAB I PENDAHULUAN Banyak mahasiswa mengira filsafat banyak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits. Ini merupakan dampak dari asumsi Barat yang cenderung tidak setuju dengan Islam. Padahal kenyataannya, pembahasan filsafat justru berkaitan dengan masalah yang tidak ditemukan penegasannya dalam Al-Quran dan Hadits (zanny al-dalalah) seperti halnya hasil ijtihad para filosof. Filsafat Islam adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hekekat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi kepada Al-Quran, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah. Jadi ciri utama filsafat Islam adalah berfikir tentang segala sesuatu, dapat berfikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu, selalu bertanya dan saling menghargai pendapat orang lain. Filsafat adalah induknya segala ilmu. Sebagai induk segala ilmu, maka filsafat mempengaruhi ilmuilmu lainnya, seperti ilmu fiqih, ilmu kalam, tafsir dan sebagainya. Berbicara mengenai hukum fiqih, maka fiqih sendiri bengandung arti mengerti dan memahami. Untuk memahami diperlukan pikiran dan penggunaan akal. Selain itu fiqih juga memakai ijtihad yang pada intinya adalah pemakaian akal untuk dalil-dalil yang bersifat dzonny dan terhadap kasus-kasus hukum yang tidak jelas atau sama sekali tidak ada dasarnya baik dalam Al Quran maupun Hadits.

Demikian juga untuk menafsirkan Al Quran, menjelaskan hubungan manusia dengan Allah dalam ilmu Tasawuf, menjelaskan kandungan Hadits, banyak sekali digunakan pemikiran. Dengan demikian filsafat sangat besar pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Filsafat

Filsafat berasal dari kata majemuk dalam bahasa yunani philosophia/philosophos yang berasal dari dua kata yaitu philos yang berarti cinta (loving) dan sophia/sophos yang berarti pengetahuan atau kebjaksanaan (wisdom). Jadi, filsafat berarti cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan. Cinta disini berarti ingin mencapai atau mendalami sesuatu hal yang diinginkan.[1] Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan disebut philosophos atau dalam bahasa Arab failasuf (filsuf). Pencinta pengetahuan atau kebijaksanaan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau orang mengabdikan hidupnya kepada pengetahuan. Adapun kata filosof itu sendiri pertama kali dikenal pada masa Pythagoras, kemudian mulai populer pada masa Socrates dan Plato. Namun di buku Hasyimsyah Nasution, kata philosophia bertahan mulai Plato sampai Aristoteles. Kata majemuk dalam bahasa yunani tersebut dibawa oleh orang arab dan disubtitusi dengan kata falsafa yang mengikuti wazan falala dalam bahasa arab. Kemudian ditarik ke Kamus besar bahasa Indonesia (1989) dengan kata filsafat yang artinya pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi tentang hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya, ini berarti filsafat berisi tentang dasar dari segala dasar dalam menyelidiki sesuatu tanpa batas sampai ke akar-akarnya. Contohnya ketika ingin mengetahui tentang api, hakikat api, dan asal api.[2] Dalam bukunya filsafat islam, Sirajuddin Zar mengatakan bahwa filsafat adalah hasil proses berpikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, universal, dan radikal. Adapun objek pembahasaanya ada tiga hal yaitu pertama, al-wujud (ontologi) yang menjawab pertanyaan what (apa). Kedua, al-marifat (epistemologi) yang menjawab pertanyaan how. Dan ketiga, al -qayyim (aksiologi) yang menjawab pertanyaan what for.[3] Sedangkan di buku filsafat Islam Hasyimsyah Nasution menjelaskan bahwa pada masa Heroklaitos (540-480 SM) kata filsafat dipakai untuk menerangkan bahwa hanya Tuhanlah pemilik hikmah. Dan manusia hanya bertugas mencari hikmah tersebut. Lalu pada masa Socrates (470-399 SM), filsafat adalah pengetahuan sejati. Ini adalah usaha untuk menentang kaum sophis yang menamakan dirinya para bijaksana karena ia sadar bukan orang yang sudah bijaksana (sophos), tetapi hanya mencintai kebijaksanaan dan berusaha mencarinya.[4] Di sini, filsafat merupakan gabungan dari dua kata yaitu fil (barat) dan safat (arab). Kemudian diartikan sebagai hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.

Dalam buku sejarah filsafat Islam Majid Fakhri, kata falsafah sepadan dengan hikmah illahiyyah atau teosofi. Dan kata hikmah itu sendiri tercantum dalam Al-Quran lebih dari 20 kali. Hal ini memang dapat dibenarkan karena filsafat Islam berlandaskan pada prinsip keesaan Tuhan atau tauhid.[5] Lalu dalam buku lain, Seyyed Hossain Nasr secara singkat berhasil mengumpulkan definisi filsafat yang diambil dari Yunani dan lazim bagi kalangan filosof Islam sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada qua maujud-maujud (assya al maujudah bi ma hiya maujudah). Filsafat adalah pengetahuan tentang yang ilahiyah dan insaniyah. Filsafat mencari perlindungan dalam kematian, maksudnya, cinta pada kematian. Filsafat adalah (upaya) menjadi seperti Tuhan dalam kadar kemampuan manusia. Filsafat adalah seni (shinaah) tentang seni-seni dan ilmu tentang ilmu-ilmu. Filsafat adalah prasyarat bagi hikmah.[6]

2.2

Sekilas Tentang Hikmah

Barat mengatakan bahwa Filsafat Islam itu hanya mengulang apa yang telah dipahami dan ditemukan dalam filsafat Yunani, sampai abad perkembangan filsafat Islam dianggap abad kegelapan dan jarang ditelusuri. Apabila alasannya dari pengalih bahasaan dan istilah Yunani yang diserap ke dalam bahasa arab, sepertinya itu tidak cukup. Filsafat Islam tetap teguh pada wahyu Allah; Al-Quran dan hadist sebagai sumber dasarnya, perkembangan masih terus menerus sampai sekarang. Tentang istilah filsafat, sebenarnya Al-Quran sudah memiliki istilah sendiri, yaitu hikmah. Kadang hikmah diartikan sama persis dengan filsafat, namun ada juga yang menganggapnya berarti lebih dalam dan lebih mengena pada Islam. Dan kemudian hikmah diartikan juga teosofi, yaitu kebijaksanaan ilahi. Ini artinya hikmah memiliki artian lebih sempit lagi dari filsafat. Seorang ahli hikmah, hakim, bukan hanya dapat membahas konsep-konsep mental secara cerdas, tapi juga hidup sesuai kebijaksanaan yang telah ia ketahui dan dipahami. Hikmah menurut Suhrawardi identik dengan pelepasan diri dari tubuh dan pendakian ke dunia cahaya, mensyaratkan kesempurnaan daya rasional dan kesucian jiwa. Kalaupun tetap disebut filsafat, bagi Islam fisafat tidak hanya pengetahuan teoritis dan menjadi sebuah dunia intelijebel yang mencitrakan dunia intelijibel yang objektif melainkan juga keterceraian dari hawa nafsu dan kesucian jiwa dari cemaran-cemaran materilnya, begitulah kata Mulla Shadra.[7] Sekali lagi, bagi Islam filsafat sebagai realitas yang mengubah pikiran dan sekaligus jiwa, serta realitas yang pada hakikatnya tidak pernah bisa dipisahkan dari kemurnian dan kesucian spiritual jiwa tertinggi yang merupakan implikasi dari istilah hikmah dalam konteks Islam.[8] 2.3 Filsafat Islam

Secara khusus disini, filsafat Islam menurut Ibrahim Madkur adalah pemikiran yang lahir dalam dunia islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat. Menurut Ahmad Fuad Al -Ahnawy adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran islam. Dan menurut M. Athif Al-Iraqy adalah pokok atau dasar pemikiran filosof yang dikemukakan para filosof muslim.[9] Sedangkan secara umum menurut Hasyimsyah Nasution, filsafat Islam berarti hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.[10] Selain itu, bagi Haidar Bagir filsafat Islam bukanlah pengetahuan absurd, tetapi ia memiliki manfaat yang begitu besar bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Filsafat Islam dapat menjadi diagnosis atas ragam persoalan kemanusiaan. Karena hakikat dari filsafat itu adalah menjawab dan memecahkan setiap problem manusiawi yang secara kodrati pasti tidak bisa lepas dari permasalahan. 2.3.1 Karakteristik Filsafat Islam

Filsafat Islam memiliki karakteristik khusus. Antara lain yang pertama, membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat yunani dan lainnya. Dan ditambahkan dengan hasil-hasil pemikiran mereka sendiri. Setidaknya, terdapat tiga masalah yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysyaiyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah almutaaliyah). Kedua, membahas masalah yang belum pernah dibahas sebelumnya. Contoh filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat). Ketiga, ada perpaduan antara agama dan filsafat, akidah dan hikmah, wahyu dan akal. Al-Quran dan Hadist, sebagai sumber inspirasi fil safat Islam yang sakralsebagaimana yang diungkapkan oleh Hossein Nasr dapat dipahami menjadi kajian pertama yang harus diyakini dulu kebenarannya sebelum memasuki pengkajian tentang filsafat. Maksudnya, Islam melandaskan filsafatnya pada pemahaman hermeneutika terhadap teks sakral dan juga menyingkap makna batinnya serta menemukan hakikat kenabian, sehingga filsafat selalu berjalan setara dengan AlQuran dan hadist. Oleh karena itu, dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, filsafat Islam itu menuntut pada filsafat Profetik.[11] Filsafat itu memberdayakan akal dan logika, kegiatan berpikir adalah rutinitas seorang filosof. Walaupun Islam memiliki syariah yang cukup hanya untuk diikuti, namun dalam hal yang sifatnya berkaitan dengan keyakinan, keimanan, tetap harus berpikir menggunakan akal dan justru tidak boleh sekedar mengikuti (taklid buta). Sedikit pembenaran tentang pentingnya berpikir dan mempelajari filsafat dalam islam dapat ditemukan pada beberapa kutipan Al-Quran sebagai berikut: Surat Ar Rum ayat 8

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?

Surat Ali Imran ayat 190

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan malam terdapat tandatanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. Dan juga dalam surat Ar-Rum ayat 21

Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. Bila kebenaran Al-Quran sudah disepakati, yang jadi persoalan sekarang adal ah kebenaran tentang Hadist. Sampai sekarang Hadist Islam dibagi dua, yaitu Hadist Syiah dan Hadist Ahlussunnah. Yang menjadi perbedaan adalah adanya Ahlul Bayt Nabi yang diyakini oleh kaum Syiah sebagai sumber Hadist juga. Dan entah apakah ada kaitannya dengan ini, Syiah memiliki perkembangan filsafat lebih besar dibandingkan Ahlussunnah. Sempat terjadi penurunan minat terhadap filsafat pada kaum Ahlussunnah setelah terjadi pertentangan tentang filsafat yang berpuncak pada polemik antara Ibn Rusyd dan Al-Ghazali sekitar abad 12 M dan mulai kembali bangkit lagi baru abad 20 M. 2.3.2 Keraguan Barat Terhadap Filsafat Islam

Pada era tahun 70-an, para penulis Barat tentang Islam, seperti disinyalir oleh Majid Fakhri, cenderung melihat filsafat Islam sebagai mata rantai, atau, lebih tepatnya jembatan emas yang menghubungkan Eropa kuno (Yunani) dengan Eropa modern. Dengan kecenderungan, yang bisa disebut Europo-sentris ini, mereka umumnya berpendapat bahwa filsafat Islam telah berakhir dengan kematian Ibn Rusyd (w.1196). Karena lewat Ibn Rusydlah, maka pemikiran Yunani kuno telah dikembalikan atau dipulihkan ke Eropa. Dengan begitu maka berakhirlah peran filsafat Islam sebagai jembatan bagi pemikiran filsafat Eropa kuno dan Eropa modern. Demikian juga dengan mentalitas seperti itu, banyak penulis Barat yang melihat bahwa Islam tidak sungguh-sungguh memiliki filsafat, karena filsafat yang dikembangkan di dunia Islam selama ini, pada hakikatnya adalah filsafat Yunani, sedangkan Islam tidak punya filsafat sendiri.[12] Tenneman dan E Rennan memberikan beberapa alasan mengapa Islam mereka anggap tidak bisa memiliki filsafat, sebagai berikut :[13] 1. 2. Adanya kitab suci Al-Quran yang menegasikan kebebasan atau kemerdekaan Karakter bangsa Arab yang tidak mungkin berfilsafat. berpikir.

3. Bangsa Arab adalah ras Semit (al-samy), termasuk ras rendah bila dibandingkan dengan bangsa Yunani ras Aria (al-ary). Ras Semit mempunyai daya nalar yang lemah dan tidak mampu berfilsafat, yang hanya dimiliki oleh ras Aria.

Alasan-alasan yang dikemukakan diatas tidak mempunyai dasar sama sekali, bahkan mengandung kezaliman. Seperti kitab suci Al-Quran dituding menegasikan kebebasan berpikir, padahal faktualnya tidak sedikit ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan dan mendorong pemeluknya banyak berpikir dan melakukan pengamatan dan penelitian dalam berbagai bidang serta mencela orang-orang yang tidak menggunakan akalnya. Dengan demikian, tidak dapat disangsikan lagi bahwa salah satu jasa Islam ialah memobilisasi akal, pembuka, dan penggerak akal manusia dalam kehidupan jasmani dan rohani. Dalam kesejarahan usaha ini telah dimulai sejak periode Rasulullah SAW, terutama dalam menggali ketentuan hukum agama dari sumbernya. Hal ini tercermin dalam Hadist ketika sahabat Muaz bin Jabal diutus ke negeri Yaman. Dalam Hadist itu Nabi bertanya kepada Muaz apa yang akan dilakukannya di Yaman jika tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Quran dan Hadist, dan Nabi waktu itu hendak memutuskan suatu perkara. Muaz menjawab bahwa ia akan memakai akalnya. Sementara itu, alasan mereka yang mengatakan bahwa karakter bangsa Arab yang tidak mungkin berfilsafat juga perlu dipertanyakan. Jika yang mereka maksud adalah bangsa Arab sebelum Islam memang benar. Bangsa Arab sebelum Islam tidak mengenal filsafat dan juga tidak menaruh perhatian terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban seperti yang telah dicapai oleh bangsa sekitarnya, seperti Mesir, Yunani, Keldani, Persia, dan India. Agaknya hal ini disebabkan ketertawanan mereka dengan kondisinya, yakni tidak banyaknya di kalangan mereka orang yang pandai baca tulis sebagai syarat pokok untuk munculnya peradaban intelektual. Pada pihak lain mereka hidup dalam kesukuan yang terisolasi di jazirah Arab. Akan tetapi, jika yang mereka maksud adalah bangsa Arab yang telah memeluk Islam, maka pertanyaan mereka tersebut keliru. Islam telah membawa kehidupan baru bagi bangsa Arab. Dengan Islam mereka dapat membentuk suatu negara besar dan memegang tampuk ilmu pengetahuan. Dorongan ajaran Al-Quran dan Hadist serta pertemuan dengan bangsa lain yang telah mempunyai peradaban yang tinggi, telah mengubah karakter mereka dari era jahiliyah sebelumnya. Demikian pula, kelirunya alasan mereka cenderung membedakan antara tingkat pemikiran bangsa Aria dan bangsa Semit. Bangsa Aria adalah bangsa Yunani, yang menurut mereka memiliki penalaran yang tinggi, karenanya bangsa inilah yang mampu berfilsafat. Sementara bangsa Semit adalah bangsa Arab, yang menurut mereka memiliki penalaran yang rendah, sehingga bangsa ini tidak akan mampu berfilsafat atau menciptakan filsafat. Ras Semit sebelum Islam tidak berfilsafat, karena kondisinya dan bukan karena rendahnya daya intelektual mereka. Ternyata setelah mereka memeluk Islam, kondisi mereka berubah dari jahiliyah, sehingga mereka mampu menguasai dan menciptakan berbagai bidang sains dan pemikiran filsafat. Sejarah mencatat, bangsa Arab yang beragam Islam lebih dahulu menguasai sains dibandingkan dengan bangsa Eropa dan Amerika. Sebenarnya atas jasa orang Islamlah bangsa Barat mengenal filsafat Yunani dan dapat menikmati ilmu pengetahuan atau sains yang mendorong timbulnya renaissance di Eropa yang menjadi cikal bakal timbulnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Oleh karena itu, dalam tingkatan penalaran atau intelektual tidak dapat dibedakan antara bangsa di dunia ini. Akan tetapi, yang benar adalah pemegang kendali ilmu pengetahuan di dunia ini bergiliran, silih berganti dari satu bangsa ke bangsa lain. Seperti diketahui, setelah umat Islam, kendali ilmu pengetahuan dipegang oleh bangsa Barat. Melihat pada fenomenanya, bangsa Barat

sepertinya akan memasuki masa redup, maka menurut perkiraan, kendali ilmu pengetahuan akan pindah ke bangsa Jepang dan sekitarnya.[14] Bias Europosentrisme terhadap filsafat Islam ini juga telah menjelaskan kepada kita mengapa filsafat non-peripatetik, tidak pernah betul-betul menjadi perhatian mereka. Karena dari sudut pandang Europosentris, filsafat non-peripatetik tersebutyakni filsafat isyraqi dan irfani-tidak memiliki relevansi langsung dengan kepentingannya. Dengan kata lain, filsafat Islam tidak pernah betul-betul dilihat dari sudut pandang dirinya sendiri. Tetapi untunglah kita kemudian memiliki pemikir-pemikir Barat yang tersadarkan dari bias Europosentris tersebut, sehingga mereka mengkaji filsafat Islam, tidak karena yang lain, tetapi karena dirinya sendiri. Diantara tokoh yang paling menonjol adalah Henry Corbin, khususnya untuk filsafat Isyraqi, dan Louis Massignon, untuk tasawuf, khususnya al-Hallaj (w.922). Berkat jasa dari kedua sarjana tersebut, maka sedikit demi sedikit terbukalah mata Barat terhadap eksistensi filsafat Islam, yang memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan filsafat Yunani, dan patut diselidiki untuk kepentingannya sendiri. 2.3.3 Alasan Penamaan Filsafat Islam

Sebutan filsafat Islam, bukanlah sebutan yang telah disepakati oleh semua pengkaji filsafat Islam. Beberapa keberatan telah dilayangkan terhadap sebutan filsafat Islam. Ada sementara yang mengatakan bahwa filsafat dan Islam adalah dua entitas yang berbeda dan bahkan sulit untuk disatukan, sehingga nama filsafat Islam tidaklah cocok. Banyak, menurut mereka, ajaran-ajaran filsafat yang jelas-jelas bertentangan dengan agama, misalnya tentang keabadian alam. Oleh karena itu, bagi mereka mungkin sebutan yang lebih cocok adalah filsafat Muslim. Mereka adalah para filosof yang kebetulan beragama Islam, tetapi belum tentu bahwa ajaran-ajaran filosofis mereka didasarkan pada ajaran-ajaran Islam. Selain kelompok yang lebih cenderung menyebut filsafat ini dengan filsafat Muslim, ada kelompok pengkaji filsafat Islam yang menekankan aspek bahasa, dalam hal ini bahasa Arab, yang menjadi bahasa ilmiah para filosof Muslim ketika mereka menuliskan karya-karya utama mereka. Konsekuensinya adalah mereka lebih cenderung menyebut filsafat ini dengan filsafat Arab. Bahkan Majid Fakhri yang menyebut karya monumentalnya dengan Filsafat Islam (Islamic Philosophy) juga malah sepertinya menganggap nama filsafat Arab lebih tepat ketimbang filsafat Islam dan filsafat Muslim. Selain kedua nama tersebut ada juga yang mengusulkan nama lain, yaitu filsafat dalam Islam, karena inilah filsafat yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim dalam masyarakat Islam. Menurut Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Majid Fakhry Sejarah Filsafat Islam mengatakan bahwa filsafat Islam disebut Islam bukan hanya karena pemekarannya di dunia Islam dan di tangan orang-orang muslim, melainkan lebih utama karena seluruh prinsip, inspirasi, dan pokok soalnya bermuara pada sumber-sumber wahyu Islam. Bahkan filsafat Islam itu sangat mempunyai posisi keunikan sendiri. Keunikannya dalam ranah perjalanan tritunggal ruh-akal-raga mendaki puncakpuncak kesempurnaan spiritual, intelektual, dan ritual manusia. Itulah makna sejati filsafat sebagai perpaduan antara kebijakan aktif (philo atau cinta) dan kebijakan intelektual (sophos).[15]

Namun Profesor Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya Gerbang Kearifan lebih cenderung dengan sebutan filsafat Islam dengan beberapa alasan: (1) Ketika filasafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah menyusun sistem teologi, yang sangat menekankan keesaan Tuhan, dan hukum syariah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Pandangan syariah ini begitu dominan, sehingga tidak ada sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam yaitu tauhid, dan pandangan hidup syariah yang bersandar pada ajaran tauhid tersebut. Ketegangan antara al-Kindi dan Abu Masyar, yang memandang filsafat sebagai bidah, adalah bukti historis adanya dorongan Islamisasi filsafat Yunani di dunia Islam. Filsafat tidak pernah bisa betul-betul berkembang secara independen di dunia Islam, karena dominasi pandangan syariah. Oleh karena itu, ketika memperkenalkan filsafat Yunani, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam. Dengan demikian, disadari atau tidak telah terjad i pengislaman terhadap filsafat oleh para filosof Muslim. (2) Sebagai seorang pemikir, filosof Muslim adalah pemerhati filsafat asing (Yunani) yang kritis. Ketika dirasakan adanya kekurangan yang diderita filsafat Yunani, maka tanpa ragu-ragu lagi, pemikir Muslim akan mengkritik secara sangat mendasar. Sekalipun Ibn Sina (w.1037) sering digolongkan sebagai filosof Peripatetik (pengikut Aristoteles), tetapi ia tidak segan-segannya mengkritik pandangan Aristoteles, Sang Guru Pertama, dan menyempurnakannya dengan teori yang baru. Hal ini bisa dilihat dari kritik Ibn Sina terhadap argumen kosmologis Aristoteles tentang keberadaan Tuhan, yang dipandangnya tidak memadai dan digantikan dengan argumen ontologis yang lebih fundamental. Demikian juga kritik yang dilontarkan al-Ghazali terhadap filsafat pada umunya, dan Suhrawardi (w.1191) serta Ibn Taymiyyah (w.1305) terhadap logika Aristoteles adalah bukti yang nyata dari sikap kritis para filosof Muslim terhadap sistem filsafat yang datang dari luar. Akibat daya kritis yang hebat tersebut, maka filsafat Yunani mengalami transformasi radikal sehingga menciptakan filsafat yang khas, yang berbeda dari filsafat manapun, baik yang sebelumnya (filsafat Yunani), maupun sesudahnya (filsafat Barat). (3) Alasan ketiga adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat Islam akibat dari interaksi antara Islam sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya, para filosof Muslim telah mengembangkan filsafat dalam bidang-bidang tertentu yang tidak pernah dilakukan para filososf sebelumnya. Sebagai contoh kita bisa melihat dikembangkannya filsafat kenabian (nubuwwah) oleh hampir semua filosof besar dari al-Farabi hingga Mulla Shadra, yang tentunya membuat filsafat Islam semakin unik. Dari ketiga alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa memang ada sesuatu yang disebut filsafat Islam, karena filsafat Islam, yang telah berkembang dalam atmosfer keislaman yang kuat, telah melahirkan sebuah sistem filsafat yang khas, yang lain daripada yang lain, yang paling tepat kita sebut dengan filsafat Islam.[16] BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Filsafat berasal dari kata majemuk dalam bahasa yunani philosophia/philosophos yang berasal dari dua kata yaitu philos yang berarti cinta (loving) dan sophia/sophos yang berarti pengetahuan atau kebjaksanaan (wisdom). Jadi, filsafat berarti cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan. Cinta disini berarti ingin mencapai atau mendalami sesuatu hal yang diinginkan. Dalam bukunya filsafat islam, Sirajuddin Zar mengatakan bahwa filsafat adalah hasil proses berpikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, universal, dan radikal. Adapun objek pembahasaanya ada tiga hal yaitu pertama, al-wujud (ontologi) yang menjawab pertanyaan what (apa). Kedua, al-marifat (epistemologi) yang menjawab pertanyaan how. Dan ketiga, al -qayyim (aksiologi) yang menjawab pertanyaan what for. Secara khusus disini, filsafat Islam menurut Ibrahim Madkur adalah pemikiran yang lahir dalam dunia islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat. Menurut Ahmad Fuad Al-Ahnawy adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran islam. Dan menurut M. Athif Al-Iraqy adalah pokok atau dasar pemikiran filosof yang dikemukakan para filosof muslim. Sedangkan secara umum menurut Hasyimsyah Nasution, filsafat islam berarti hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Filsafat Islam memiliki karakteristik khusus. Antara lain yang pertama, membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat yunani dan lainnya. Dan ditambahkan dengan hasil-hasil pemikiran mereka sendiri. Setidaknya, terdapat tiga masalah yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysyaiyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah almutaaliyah). Kedua, membahas masalah yang belum pernah dibahas sebelumnya. Contoh filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat). Ketiga, ada perpaduan antara agama dan filsafat, akidah dan hikmah, wahyu dan akal. Orang Barat meragukan tentang keberadaan filsafat Islam dan menganggap Islam tidak bisa memiliki filsafat. Tenneman dan E Rennan memberikan beberapa alasan mengapa Islam mereka anggap tidak bisa memiliki filsafat, yaitu adanya kitab suci Al-Quran yang menegasikan kebebasan atau kemerdekaan berpikir, karakter bangsa Arab yang tidak mungkin berfilsafat, bangsa Arab adalah ras Semit (al-samy), termasuk ras rendah bila dibandingkan dengan bangsa Yunani ras Aria (al-ary). Ras Semit mempunyai daya nalar yang lemah dan tidak mampu berfilsafat, yang hanya dimiliki oleh ras Aria. Sebutan filsafat Islam, bukanlah sebutan yang telah disepakati oleh semua pengkaji filsafat Islam. Beberapa keberatan telah dilayangkan terhadap sebutan filsafat Islam. Ada yang menyebutnya dengan nama filsafat Muslim, filsafat Arab, filsafat dalam Islam, dan lain-lain. Namun, menurut Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Majid Fakhry Sejarah Filsafat Islam mengatakan bahwa filsafat Islam disebut Islam bukan hanya karena pemekarannya di dunia Islam dan di tangan orangorang muslim, melainkan lebih utama karena seluruh prinsip, inspirasi, dan pokok soalnya bermuara pada sumber-sumber wahyu Islam. Bahkan filsafat Islam itu sangat mempunyai posisi keunikan sendiri. Keunikannya dalam ranah perjalanan tritunggal ruh-akal-raga mendaki puncak-puncak

kesempurnaan spiritual, intelektual, dan ritual manusia. Itulah makna sejati filsafat sebagai perpaduan antara kebijakan aktif (philo atau cinta) dan kebijakan intelektual (sophos). 3.2 Penutup

Alhamdulillah, akhirnya makalah yang berjudul Definisi Filsafat Islam ini dapat terselesaikan juga. Semua itu tidak lepas dari izin, pertolongan, dan juga rahmat Allah Subhanahu Wataala. Dan juga berkat dukungan dan motivasi dari teman -teman yang tercinta yang telah banyak memberikan support dalam penyelesaian makalah ini. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen yang terhormat yang telah memberikan tugas ini yang insya allah dapat menjadi pelajaran bagi penulis sendiri maupun bagi yang lainnya Penyusun mengakui dan menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan yang tidak lain adalah dari keterbatasan penyusun. Untuk itu, penyusun berharap kepada para pembaca makalah ini bila di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dimohon untuk memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun sehingga dapat menjadi masukan yang berharga bagi penyusun dan menjadi lebih baik dalam menyelesaikan tugas-tugas berikutnya. SEJARAH FILSAFAT MASUK KEDUNIA ISLAM

Pengetahuan di bangun atas dasar pengenalan indrawi dan dengan adanya kekuatan rasio. Akan tetapi, kebenaran indrawi dan rasio belum menyentuh kebenaran esensi yang tetap karena fungsi esensi sesuatu dapat memegang cirri cirri subtansinya yang pokok ketika terjadi perugbahan keadaan. Dari subtansi tersebut kemudian timbul kebenaran lahiriah yang indrawi dengan rohaniah yang esensi yang di hubungkan dengan berbagai pendekatan. Jika kita melihat awan yang menebal itu pertanda akan turun hujan, dan jika ada orang yang sakit ia harus berobat. Hubungan hubungan tersebut baru bisa di ketahui setelah mengerti adanya esensi sesuatu yakni susunan dan ciri ciri yang khas . jika ia telah mengetahui esensi penyakit dan esensi obat, ia bisa mengetahui rahasia dan cara kerja obat tersebut terhadap badan yang sakit, dan mengetahui pula bahwa kedua permasalahan tersebut memiliki hubungan dan keseimbangan yang memungkinkan obat tesebut bisa menghilangkan rasa sakit dan dapat menyembuhkan si sakit tersebut atas perantara obat. Pengetahuan inilah yang menjadi empiris manusia. Akan tetapi, siapakah yang menyembuhkan orang yang sakit? Apakah benar benar obat yang membuatnya sembuh? Lalu darimana asalnya obat, dan siapa yang mula menciptakannya serta mengapa bisa menyembuhkan?. Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul, tetapi jawabannya belum di temukan. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan pertanyaan itu, kemudian lahirlah filsafat yang mencoba memikirkan secara kontemplatif tentang kebenaran hakiki dari segala sesuatu dan segala sesuatu yang benar benar hakiki.1[1]

Pertanyaan tidak terhenti di situ, bermula dari mana asal mula penyakit dan obat. Manusia pun mempertanyakan penggerak semua yang ada di ala mini? Yang tentu dialah yang menyembuhkan seluruh penyakit dan yang menjadikan sehat juga dari-Nya, demikian pula dengan obat, tentu dialah yang memilikinya. Dari semua ini kemudian banyaklah orang yunani, Persia, Romawi dan sebaginya mencari tahu. Dari kesemua itu kemudian muncullah seorang filosof dari agama islam pada abad pertengahan kemudian mencari jawaban tersebut dari filosofis terkenal Aristoteles, ia menerjemahkan dan menghayati apa yang ada pada makna dari isi buku Aristoteles. Yang kemudian hari menimbulkan perkembangan yang pesat di dunia filsafat.2[2] Filsafat Islam adalah pengetahuan tentang segala yang ada dan harus di buktikan melalui metode atau cara yang digunakan untuk menyelidiki asas dan sebab suatu benda tersebut3[3] berdasarkan pemikiran agama islam yang sesuai dengan al-quran dan al-hadits. Filsafat islam masuk dan di jumpai kaum muslimin pada abad ke-8 M/ 2 H melalui filsafat Yunani. Kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah daerah islam (Siriah, Persia, Mesopotamia dan Mesir) melalui ekspansi Alexander Agung. Alexsander datang dengan tidak menghancurkan perdaban dan kebudayaan Persia, bahkan sebaliknya ia berusaha menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Hal ini memunculkan pusat pusat kebudayaan Yunani di daerah tersebut di antaranya filsafat kemudian pada masa Dinasti Bani Umayyah filsafat mulai berpengaruh kepada kebudayaan arab. Seiring dengan zaman dan waktu, barulah pada masa Bani Abbasiyah kebudayaan Yunani berkembang semakin cepat terutama filsafat karena orang orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahannya. Dan pada zaman Al-Makmun melakukan penerjemahan naskah naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu pengetahuan ke dalam bahasa arab. Ketersediaan buku buku terjemahan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan muslim untuk berkenalan denga ilmu pengetahuan dan filsafat. Dari wilayah wilayah dari belahan timur tersebut terutama Baghdad, ilmu filsafat dalam islam mulai berkembang luas.4[4] Pada abad ke-4 H dengan dorongan dan bantuan dari pihak penguasa, terutama pada masa pemerintahan khalifah Hakam II (350-366 H/ 937-953 M) di Andalusia Spanyol, filsafat islam belahan timur baru masuk secara besar besaran ke dunia islam belahan barat tersebut (Spanyol). Berkembangnya ilmu filsafat di dunia islam ini pada akhirnya telah melahirkan sejumlah filsof terkenal dari kalangan muslim. Meraka antara lain Al-Kindi, Ar-Rozi, Al-Farabi, Ibnu maskawaih,Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd. Mereka memanfaatkan materi filsafat dari para filsuf Yunani, seperti Plato, Aritoteles, Pitagoras, Demokritos dan Plotinus, serta berpegang teguh pada ajaran Al-quran dan Al-hadits Rosulullah SAW.5[5] Al-Kindi Nama aslinya abu Yusuf bi Ishak al-kindi, ia berasal dari Kindah di Yaman tetapi lahir di kufah di tahun 796 M. orang tuanya adalah Gubernur dari Basrah. Setelah dewasa ia pergi ke

Baghdad dan mendapat lindungan dari kahlifah Al Makmun , di sana kemudian ia belajar ilmu pengetahuan dan pemikir islam. Tidak lama kemudian, Al-Kindi mengalami kemajuan pemikiran islam dan penerjemahan buku asing ke dalam bahasa arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam macam ilmu telah dikajinya terutama filsafat. Al-Kindi tidak banyak membicarakan persoalan persoalan filsafat yang rumit dan yang telah dibahas sebelumnya, tetapi ia lebih tertarik dengan definisi definisi dan penjelasan kata kata serta lebih mengutamakan ketelitian pemakaian kata kata dari pada menyalami problem problem filsafat.6[6] Bagi Al-Kindi filsafat merupakan pengetahuan tentang yang benar, di sinilah terlihat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yiang benar dan apa yang baik, filsafat itulah pula tujuannya.7[7] Tuhan dalam filsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakekat dalam arti aniah (juz`i) atau mahiah (universal). Tidak aniah karena tuhan tidak termasuk dalam benda benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah pencipta alam. Selain itu, tuhan juga tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiah, karena tuhan tidak merupaka genus atau spesies. Tuhan adalah yang benar pertama dan tunggal, hanya ialah yang satu, selain dari tuhan mengandung arti banyak. Sesuai dalam paham yang ada dalam islam, tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-kindi bukan kekal di zaman lampau tetapi mempunyai permualaan.8[8] Al-Farabi Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Al-Farabi, ia lahir di Wasij suatu desa di Farab tahun 870 M. sejak kecil, ia suka belajar dna ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Setelah dewasa ia mulai belajar filsafat dan ilmu logika ke Baghdad, dan ia pula belajar ilmu pengetahuan yang lain. Al-Farabi adalah seorang filofsof islam yang pertama dengan sepenuh arti kata. Ia telah dapat menciptakan suatu system filsafat yang lengkap dan memainkan peranan yang penting dalam dunia islam sehingga ia mendapat gelar guru kedua (al -mu`allim ats-tsani) sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar guru pertama (al -muallim al-awwal). Al-Farabi memiliki gelar tersebut karena banyak yang berguru kepadanya di antaranya Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan filosof filosof lain yang datang sesudahnya. Pada abad pertengahan, Al-Farabi menjadi sangat terkenal, sehingga orang orang Yahudi banyak yang mempelajari karangan karangannya dan di salin ke dalam bahasa ibrani. Sampai sekarang salinnan tersebut masih tersimpan di perpustakaan perpustakaan Eropa.9[9] Ibnu Sina

Nama aslinya adalah Abu Ali Husein Ibnu Abdillah Ibnu Sina, ia lahir di Afsyana suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara tahun 980 M. orang tuanya berkedudukan sebagai pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani. Semenjak kecil ia telah banyak mempelajari ilmu ilmu kedokteran, hokum, filsafat dan lain lain. Seiring dengan perkembangannya, Ibnu Sina dalam pemikiran filsafatnya, pemikiran terpenting yang di hasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa. Menurutnya, ada tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang tuhan timbul akal akal dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudna timbul langit langit.10[10] Ibnu Rusyd Ia adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad ibnu Rusyd, lahir di Codova pada tahun 520 H. ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia. Ayahnya adalahl seorang hakim, dan neneknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd al-jadd adalah kepala hakim di Cordova. Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas terhadap filsafat Aristoteles. Ia memandang Aristoteles sebagai manusia sempurna dan ahli piker terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan, ia juga berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles apabila dipahami sebaik baiknya tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang bisa di capai oleh manusia bahkan perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga tidak ada orang yang melebihinya. Dari itulah sehingga Ibnu Rusyd berusaha keras untuk menjelaskan pemikiran pemikiran Aristoteles yang masih gelap dan memperbandingkannya satu sama lain. Oleh karena itu, ia hanya bermaksud mengabidkan hidupnya untuk menjelaskan filsafat Aristoteles dan pemikiran pemikirannya yang sukar di pahami.11[11] Ibnu Rusyd menjelaskan filsafat Aristoteles neo-platonisme yang sukar dipahami tersebut. sehingga ibnu Rusyd terpengaruh dan ia mempunyai aliran filsafat sendiri. Dari alirannya filsafatnya, ibnu Rusyd mengatakan bahwa tiap muslimmesti percaya pada tiga dasar keagamaan yaitu: adanya tuhan, adanya rosul dan adanya pembangkitan. Hanya orang yang tidak pada salah satu dari ketiga dasar inilah yang boleh dicap kafir.12[12] Dengan demikian, filsafat islam berkembang melalui bangsa Yunani pada abad ke-8 M/ 2 H. Kebudayaan dan filsafat Yunani masuk ke daerah daerah islam (Siriah, Persia, Mesopotamia dan Mesir) melalui ekspansi Alexander Agung. Seiring dengan zaman dan waktu, pada masa Bani Abbasiyah kebudayaan Yunani berkembang semakin cepat terutama filsafat kerana orang orang Persia pada masa itu memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahannya. Dan pada zaman AlMakmun melakukan penerjemahan naskah naskah ilmu filsafat dan berbagai cabang ilmu

pengetahuan ke dalam bahasa arab. Ketersediaan buku buku terjemahan tersebut dimanfaatkan oleh kalangan muslim untuk berkenalan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat. Dari wilayah wilayah dari belahan timur tersebut terutama Baghdad, ilmu filsafat dalam islam mulai berkembang luas. Kemudian pada abad ke-4 H dengan dorongan dan bantuan dari pihak penguasa, terutama pada masa pemerintahan khalifah Hakam II (350-366 H/ 937-953 M) di Andalusia Spanyol, filsafat islam belahan timur baru masuk secara besar besaran ke dunia islam belahan barat tersebut (Spanyol). Berkembangnya ilmu filsafat di dunia islam ini pada akhirnya telah melahirkan sejumlah filsof terkenal dari kalangan muslim. Meraka antara lain Al-Kindi, Ar-Rozi, Al-Farabi, Ibnu maskawaih,Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd. Mereka memanfaatkan materi filsafat dari para filsuf Yunani, seperti Plato, Aritoteles, Pitagoras, Demokritos dan Plotinus, serta berpegang teguh pada ajaran Al-quran dan Al-hadits Rosulullah SAW. Dari semua pemikir islam, kebanyakan belajar dari filsafat Aristoteles, oleh karenanya banyak pemikir islam yang sepaham dengan ajaran Aristoteles dan kemudian di sandarkan pada agama islam. A. PENDAHULUAN Dalam kependidikan islam kita dianjurkan untuk mempelajari tentang filsafat. Dengan filsafat tersebut terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu filsafat dan sejarah awal dari filsafat. Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuffilsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dbahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya. Perkembangan pemikiran filsafat sepanjang sejarah memperlihatkan sesuatu kesinambungan tertentu. Karena itu mustahil mempelajari filsafat dewasa ini tanpa mengetahui perkembangan filsafat sebelumnya. Sebab, maklumlah filsafat abad kita meneruskan problematika filosofis yang diwarisi dari zaman terdahulu. Memang tidak mudah untuk menemukan jalan dalam mengemukakan suatu filsafat secara singkat dan tepat untuk mencapai tujuan yang pertama, yakni menguraikan filsafat di abad 20 dengan mempelajari aliran-aliran para filosof dalam salah satu aliran tertentu. Suatu penguraian filsafat islam dalam bentuk lain yakni mempelajari pemikiran filosofis menurut berbagai tema yang dibicarakan di dalamnya. Seperti mengkaji pemikiran sofis itu dengan memakai pedoman pembagian atas cabang-cabang filsafat ; metafisika, logika, metodologi, epistemology, antropologi, estetika, dan etika. Melalui sistem ini kita akan menyodorkan deskripsi yang bercorak sistematis. B. PENGERTIAN FILSAFAT

Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuffilsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dbahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya. Filsafat islam terdiri dari dua kata yaitu filsafat dan islam. Filsafat diartikan sebagai berfikir yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna. Bebas yang berarti tanpa halangan pikiran bekerja, karena kerja untuk berfikir ada pada otak yang tak ada seorangpun yang dapat menghalanginya. Sedangkan kata islam, secara semantic berasal dari akar kata salima yang berarti menyerah, tunduk, dan selamat. Yakni dalam arti luas islam artinya menyerahkan diri pada Allah untuk memperoleh keselamatan dan kedamaian-Nya. Jadi, filsafat islam atau Islamic philosophy, pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak islami. Namun, filsafat islam bukan berarti tentang islam, tetapi cara berfikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati. Menurut cendekiawan islam, pemakaian kata filsafat dikalangan umat islam adalah kata hikmah, yang kebanyakan orang Arab menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat failusuf atau sebaliknya. Menurut Musthofa Abdur Razik, filsafat islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri islam dan di bawah naungan Negara islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Jadi, filsafat islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu. Filsafat islam juga membahas tentang berbagai masalah dan problematika beserta pemecahannya dikemukakan sesuai dengan korelasi antara Allah dengan para makhluk-Nya yang diperdebatkan oleh para mutakalimin. Filsafat islam ini berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, antara akidah dengan hikmah, antara agama dan filsafat dan berupaya menjelaskan pada manusia bahaa wahyu tidak bertentangan dengan akal, akidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap didalam jiwa, agama jika bersaudara dengan filsafat menjadi religius. Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi kepada Al Quran, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah. Jadi ciri utama filsafat Islam adalah berfikir tentang segala sesuatu, dapat berfikir teratur, tidak cepat puas dalam penemuan sesuatu,selalu bertanya dan saling menghargai pendapt orang lain. Mengingat bahwa Islam adalah agama yang sejiwa dengan fitrah rasional manusia, maka dengan mudah diduga, bahwa islam akan dengan mudah pula tumbuh bersanding secara mesra dengan tradisi filsafat yang menyertainya. Karena itu, mewujudkan filsafat islam secara ideal

bukanlah hal yang mustahil, begitu juga pada dataran realnya, setidaknya catatan sejarah merupakan bukti paling dekat untuk membuktikan keberadaan filsafat islam yang telah tertubuhkan dalam ratusan jilid kitab dan risalah filsafat para filosof muslim. a. Hakikat Filsafat Islam Filsafat islam bukan filsafat yang dibangun dari tradisi filsafat Yunani yang bercorak rasionalistik, tetapi dibangun dari sunnah nabi dalam berfikir yang rasional transcendental. Rujukan filsafat islam bukan tradisi intelektual Yunani, tetapi rujikan filsafat islam adalah sunnah nabi dalam berfikir, yang akan menjadi tuntunan dan suri tauladan bagi kegiatan berfikir umatnya. Seperti yang tercantum dalam Q.S Al Ahzab ayat 21 yang artinya; sungguh pada diri Rosulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang berharap kehadiran Allah, dan hari kemudian serta banyak dzikir mengingat Allah. Filsafat islam mempunyai metode yang jelas, yaitu rasional transcendental dan berbasis pada Al-Quran dan akal untuk memahami realitas. Filsafat islam pada hakikatnya adalah filsafat kenabian Muhammad. Filsafat kenabian ini lahir pada periode filsafat islam, dan karenanya tidak ditemukan dalam tradisi filsafat Yunani. Konsep filsafat kenabian secara teoritis di bangun pertama kali oleh Al-Farabi, yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles sebagai guru pertama, yang kemudian dikembangkan oleh Ibnu Sina dengan teorinya mengenai aqal suci yang dimiliki Nabi, yang memungkinkan Nabi menebus dimensi ke ghoiban dan menyatu di dalamnya. b. Hubungan Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani Dalam proses sejarah masa lalu pemikiran filsafat dalam islam telah terpengaruh oleh filsafat Yunani yang membuat para filosof muslim mengambil sebagian besar pandangannya dari Aristoteles, mereka lebih mengagumi dan mengikuti aspek-aspek dari Plato. Hal ini dikarenakan kebudayaan islam menembus berbagai macam gelombang di mana ia bergumul dan berinteraksi yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Walaupun kebudayaan islam terpengaruh dengan kebudayaan Yunani, namun pemikiran para filosof berhak mengambil sebagian pandangan orang lain tetapi tidak menghalanginya untuk membawa teori-teori dan filsafatnya sendiri. Filosof-filosof islam secara umum hidup di dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof-filosof lain yang lebih menolong untuk mengenai dan mengetahui hakikat dari filsafat itu sendiri. Filsafat islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran yang menyebabkan pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Namun persoalan yang kadang-kadang dapat dibicarakan dan diselidiki oleh banyak orang yang menghasilkan bermacam-macam corak dan dapat pula mengemukakan teorinya sendiri. c. Pendekatan Filsafat Islam Terdapat berbagai pendekatan dalam filsafat islam, antara lain : 1. Pendekatan Historik Secara historic, islam lahir oleh risalah kenabian Muhammad saw. di Mekkah pada tahun 571

M yang merupakan sejarah kemanusiaan dalam kondisi krisis untuk memberikan jalan kepada manusia merancang hari depan kehidupannya yang lebih manusiawi. Seorang filosof memiliki pemikiran dengan corak dan model yang sangat terang, yakni membaca realitas dengan kesadaran ilahiyah yang dapat membukakan mata hati manusia sehingga hakikat realitas tertangkap jelas. Dengan demikian, filsafat islam basisnya bukan dan tidak lagi pada pemikiran Yunani yang rasionalistik, tetapi di bangun di atas landasan sunnah Rosulullah dalam berfikir yang bercorak rasional transndental. 2. Pendekatan Doktrinal Sesuai yang tercantum dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. dibekali dengan kitab dan hikmah. QS. Al Jumuah ayat 2 yang maksudnya yaitu kitab suci Al -Quran dan hikmah merupakan filsafat. Oleh karena itu menggambarkan pribadi Muhammad saw. dari sisi kitab dan hikmah seperti termaktub dalam QS. Al Jumuah ayat 2. Nabi Muhammad dilihat disisi kitab adalan Rosul yang dipilih untuk menerima wahyu, kitab suci. Sedangkan dilihat dari sisi hikmah ia adalah seorang filosof yang dapat menjelaskan secara akurat dan menyeluruh tentang wahyu yang diterimanya, dengan pemahaman mendalam yang dimilikinya. Dalam kaitan ini, maka sunnah Nabi dalam berfikir yaitu rasional transcendental telah dibakukan dalam hikmah dan kitab. Hikmah yang bermuara pada cara kerja rasio bebas dan mendalam, sedangkan kitab merupakan kumpulan ayat-ayat Allah menjadi basis bagi proses transendensi rasio. Dengan demikian berarti filsafat islam mempunyai titik tolak yang jelas yaitu berfikir rasional transcendental dan berbasis pada kitab dan hikmah. 3. Pendekatan Metodik Menawarkan suatu metode berfikir dalam pemikiran filsafat yang dijalankan dan dikembangkan untuk menemukan hakikat kebenaran. Dalam metode filsafat islam dibangun berdasarkan sunnah Rosul dalam berfikir, yang artinya apa yang ditempuh dalam proses berfikirnya untuk memahami, memikirkan, dan mencari solusi dari akar masalahnya. 4. Pendekatan Organik Dalam metode ini pemikiran yang rasional transcendental secara organik digerakkan oleh pikiran yang bekerja di otak, yang berada di kepala dan qalb yang bekerja di hati yang halus, yang ada di rongga dan dada. Rasio atau pikiran bekerja melalui analisis terhadap fakta, sedangkan qalb bekerja melalui penyatuan dengan realitas spiritual, untuk membawa rasio akan mentransendir realitas. Oleh karena itu, filsafat islam bertumpu pada mekanisme aqal sebagai kesatuan ornganik pikiran dan qalb tyaitu dalam kesatuan piker (rasional) dan dzikir (qalb transendensi). 5. Pendekatan Teleologik Secara teleologik, filsafat islam mempunyai tujuan dan karenanya tidaklah netral, ia menyatakan keberpihakannya pada keselamatan dan kedamaian hidup manusia. Filsafat islam bukan sekedar hasrat intelektual, untuk mencari dan memahami hakikat kebenaran sematamata, namun tak jauh lagi untuk mengubah dan bergerak (transformasi) kea rah transendensi, menyatu dan memasuki pengalaman kehadiran Allah. Dengan inilah, filsafat

dapat memberikan makna dalam keselamatan dan kedamaian, yakni pada penyatuan dan penyerahan total kepada kehadiran Allah. Filsafat islam dengan demikian menjadi filsafat yang terpanggil, hadir, dan melibatkan diri dari dalam kancah perubahan, untuk menjadi hikmah yang hadir untuk pembebasan dan peneguhan kemanusiaan, mencapai keselamatan dan kedamaian bersama, dalam pencerahan cahaya kebenaran Allah. Filsafat islam menetapkan tujuannya pada penemuan dan pencapaian nilai-nilai untuk mewujudkan keselamatan dan kedamaian kehidupan manusia. Namun, dalam penetapan filsafat islam tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip filsafat yang berusaha menemukan hakikat kebenaran dari sesuatu yang menjadi focus pemikirannya, karena kebenaran yang ditemukan dalam filsafat itu akan membawa konsekuensi pada kebenaran yang ditemukannya, meskipun tidak bersifat mutlak. d. Objek Kajian Filsafat Islam Objek pembahasan filsafat islam yaitu pengetahuan (pengenal), cara-caranya, dan syaratsyarat kebenaran atau salahnya, yang kemudian keluar ilmu logika(mantiq) yang tidak ada kemiripannya dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian kita dapat melihat pada akhlak dan apa yang harus diperbuat seseorang dalam keluarga dan masyarakatnya. Filsafat islam membahas hakikat semua yang ada sejak dari tahapan ontologism hingga menjangkau dataran yang metafisis. Selain itu, filsafat juga mengenai tentang nilai-nilai dalam dataran epistimologis, estetika, dan etika, juga membahas tema-tema fundamental dalam kehidupan manusia. Kajian filsafat islam terhadap objeknya (objek yang material), dari waktu ke waktu, mungkin tidak berubah, tetapi corak dan sifat serta dimensi yang menjadi tekanan atau focus kajiannya (objek formal) harus berubah dan menyesuaikan dengan perubahan, serta konteks kehidupan manusia, dan semangat baru yang selalu muncul dalam setiap perkembangan zaman. e. Tokoh-tokoh Filsafat Islam Terdapat tokoh-tokoh yang erdapat dalam filsafat islam, antara lain ; 1. Ibnu Sina (Avicenna) Abu Ali Husein Ibn Abdillah Ibn Sina lahir di Afsyana yang terletak di Bukhara pada tahun 340 H/980 M. Pada saat itu sedang dalam keadaan kacau, dimana khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mulanya berada di bawah kekuasaannya mulai melepaskan diri untuk berdiri sendiri. Ibnu Sina dibesarkan di daerah kelahirannya, yang telah mempelajari tentang ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan seperti; astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran, dan ilmu fisika. Dalam pemikiran terpenting yang telah dihasilkan oleh Ibnu Sina yakni filsafat tentang jiwa. Ia berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat-sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin munculnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina memiliki tiga objek pemikiran, yakni Tuhan, dirinya sebagai wajib

wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dunia islam mengenal kitab-kitab ibnu Sina bukan karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Ibnu Sina berpendapat tentang filsafat islam bahwa baginya Allah adalah sesuatu yang harus ada dengan sendirinya dan tidak ada sesuatupun yang menyekutuiNya dalam substansiNya karena Ia tidak memiliki tandingan maupun lawan genius diferensia maupun batasan. Dan Ibnu Sina wafat pada 428 H/1037 M di Hamadzan. Terdapat beberapa karya dari Ibnu Sina, antara lain ; Asy-Syifa, yang merupakan buku filsafat terbesar dan terpenting dari Ibnu Sina. An-Najat, yang merupakan keringkasan dari buku asy-syifa terbit tahun 1593. Al-Isyarat wat-Tanbihat, ini buku terakhir dan paling baik terbit tahun 1892 M. Al-Hikmah al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud judul buku dan naskah-naskahnya yang masih memuat bagian logika. Al-Qanun, buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan juga pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa abad ke-17 M. 2. Al-Farabi Al-Farabi mempunyai nama lain yakni Abu Nasr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi. Ia lahir di kota Farab pada tahun 257 H/870 M. Al-Frabi adalah seorang yang sangat faham akan filsafat islam, sebagaimana ia ahli dalam segala macam ilmu lama sebelumnya dan juga sangat senang tentang kesempurnaan agama islam. Dengan demikian Farabi menjadi seorang ahli filsafat islam terbesar. Farabi telah dianggap sebagai pembentuk filsafat islam yang pertama karena berhasil dapat menyusun dasar-dasar filsafat atau keyakinan tauhid menurut islam. Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia itu memperoleh kecerdasannya dengan menbedakan mana yang baik dan mana yang buruk, antar cantik dan lata. Dengan akal manusia akan memperoleh seni dan pengetahuan, dengan kemampuan berfikir akan mempersatukan atau memisahkan perasaan, dan hati sebagai alat pemikiran untuk memerima perasaan setelah menerima perasaan yang menghilang dari rasa.Namun Farabi wafat pada tahun 337 H/950 M di usia 80 tahun. Adapun karya-karyanya Farabi yaitu, antara lain ; Al jamiu Baina Rayai Al Hakimain Afalatoni Al Hahy wa Aristho -thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles) Tahsilu as Saadah (mencari kebahagiaan) As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan) Fususu Al Taram (hakikat kebenaran) As Syiasyah (ilmu politik) Dll. 3. Al Kindi Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Yaqub bin Ishaq Ash-Shabbah bin Imran bin Ismail bin

Al asyats bin Qays Al Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah pada tahun 185 H/801 M yang merupakan filosuf islam pertama dan di mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Mamun alMutasim. Dan beliau wafat 246H/870 M. Al Kindi meninjau filsafat islam dengan maksud mengikuti pendapat para filosof-filosof besar tentang arti kata filsafat dan dalam risalahnya yang khusus mengenai definisi filsafat yang bercorak plationisme. Ia menerangkan dengan tegas antara perbedaan jiwa dan akal, adanya perasaan dan adanya akal, yang dapat dimaksudkan bahwa pikiran itu pergi dari satu bentuk kepada bentuk yang lain. Al Kindi berupaya mempertemukan ajaran-ajaran islam dengan filsafat Yunani yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama islam yang diyakininya. Beberapa karya yang dihasilkan al Kindi kebanyakan berupa risalah-risalah, namun Al-Kindi mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu Al-Nadim buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, arithmatika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya. Dari karangan-karangannya, dapat kita ketahui bahwa Al-Kindi termasuk penganut aliran Eklektisisme; dalam metafisika dan kosmologi mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi mengambil pendapat Plato, dalam hal etika mengambil pendapat Socrates dan Plato. 4. Ibnu Rusyd (Averroes) Nama lengkapnya adalah Abu al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Dilahirkan di kota cordova pada tahun 1126 M/520 H pada masa pemerintahan Almurafiah. Ia wafat 595H/1198 M di Maroko. Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhaddap ilmu sukar dicari bandingannya karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah putus membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya. Karangannya meliputi berbagai ilmu seperti; fiqh, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. 5. Suhrawardi Al-Maqtul Suhrawardi al Maqtul adalah salah seorang generasi pertama para filosof. Nama lengkapnya yaitu Abu Al Fatuh Yahya Ibnu Amrak, dengan gelar Syihabuddin. Ia lahir di Suhraward tahun 548 H/1153 M dan meninggal tahun 587 H/1191 M. Suhrawardi al Matqul adalah tokoh sufi filosofis yang faham tentang filsafat Plationisme, Peripatetisme, Neo-Platinisme, hikmah Persia, aliran-aliran agama Sabean, dan filsafat Hermetisisme. Dalam karya-karyanya biasanya disebut filosof Hermes. Pemikiran filsafat dari Suhrawardi al Matquk dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul alMasyari. Sedangkan kitab hikmat Al-Isyarat dan Al-Muqawamat adalah dua buah karangan beliau yang lainnya. Sedangkan kitabnya yang lain berjudul Al-Tahwiyat adalah merupakan sebuah ringkasan mengenai tema-tema Peripatetik yang bertujuan untuk mempersiapkan dasar bagi penolak mereka. 6. Mulla Sadra Mulla Sadra mempunyai nama lengkap yakni Shadr Al-Din Syirazi. Dilahirkan di Syiraz tahun

979 H/1571 M, dan wafat 1050 H/1641 M. Syirazi membagi filsafat menjadi dua bagian utama, yang pertama yaitu bersifat eoritis yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebgaimana adanya, dan yang kedua yaitu bersifat praktis yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Untuk memperkuat argumentasinya, ia mengutip ayat-ayat Al-Quran, hadist-hadist Nabi, dan ucapan Imam Syiah pertama yaitu Ali. Hal menarik dalam pemikiran Syirazi adalah tentang sikapnya yang sangat hormat terhadap ibnu Sina namun darinya telah menolak dua tema utama, yaitu keabadian dunia dan kemustahilan pembangkitan jasmani. Mengenai hal tersebut ia sejalan dengan pemikiran filsafat islam Imam Al Ghazali. B. C. SIMPULAN Dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri. Filsafat islam yaitu membahas tentang berbagai masalah dan problematika beserta pemecahannya dikemukakan sesuai dengan korelasi antara Allah dengan para makhluk-Nya yang diperdebatkan oleh para mutakalimin. Filsafat islam ini berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, antara akidah dengan hikmah, antara agama dan filsafat dan berupaya menjelaskan pada manusia bahaa wahyu tidak bertentangan dengan akal, akidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap didalam jiwa, agama jika bersaudara dengan filsafat menjadi religius. Al Kindi yang terlebih dahulu membahas tentang filsafat dalam islam daripada Farabi, yang telah hidup antara 870-950 M. Ia (al Kindi) yang berusaha mempertemukan antara filsafat dan agama. Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Dan agama juga merupakan ilmu mengenai kebenaran, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.

Anda mungkin juga menyukai