Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN

Al quran yang berisi semacam "rangkuman" sejarah umat manusia sebenarnya


mengajak manusia untuk berpikir secara empiris. Artinya manusia diajak untuk mengamati
fenomena langsung umat manusia untuk kemudian ditarik menjadi sebuah teori.
Anologinya sama dengan Al quran yang bercerita tentang peristiwa-peristiwa manusia
untuk kemudian ditarik menjadi sebuah pesan moral. Maka seharusnya pola pikir
fenomenologis-empiris ini lekat dengan pola pikir umat Islam. Akan tetapi sayangnya umat
Islam sekarang lebih condong berpola pikir doktrinial. Saya sebut doktrinial karena umat
Islam modern hampir tak punya "oleh-oleh" terhadap perkembangan dunia pasca revolusi
industri di Eropa. Islam hanya berkembang dalam pendekatan doktrinial, sementara
pendekatan ilmiah sangat tertinggal.

Semangat di dalam Al quran yang kental dengan nuansa kontekstual, gagal


diaplikasikan umat Islam dalam bidang-bidang kehidupan lain, khususnya ilmu
pengetahuan dan teknologi. Padahal kontekstual itu sekilas pandang sama dengan cara pola
pikir orang modern yang ilmiah, yaitu penarikan sebuah teori dari hasil pengamatan
empiris(data). Padahal dari jaman ke jaman dunia semakin berkembang ke arah rasional,
artinya pendekatan ilmiah adalah yang utama. Jaman sekarang orang akan dianggap bodoh
atau "ndeso" kalau tidak bisa berpendapat dan berpikir secara ilmiah.

1
II. PEMBAHASAN

a. Kita tidak butuh revolusi mental.

Dalam kampanyenya selama masa pencalonan presiden, presiden Joko Widodo


mencanangkan sebuah gerakan revolusi mental. Revolusi mental ini dimaksudkna untuk
memperbaiki kondisi bangsa lewat jalur pembentukan mental yang positif di masyarakat.
Pembentukan mental yang positif dijadikan syarat yang pertama bagi Indonesia jika ingin
maju. gerakan revolusi mental ini ternyata mendapat banyak apresiaisi dan dukungan dari
berbagai kalangan, meski sebagian yang lain (yang tidak kalah banyaknya juga) meragukan
gerakan tersebut adalah syarat bagi bangsa Indonesia untuk maju . Mereka yang meragukan
berpendapat bahwa Indonesia tidak butuh revolusi mental, karena sebenarnya Indonesia
sudah memiliki fondasi mental yang bagus. Fondasi itu adalah agama Islam yang sudah
masuk ke dalam tatanan dunia pendidikan yang ada, baik modern maupun tradisional
(pesantren).

Islam sebagai ajaran moral telah lekat budaya masyarakat Indonesia. Bahkan jauh
sebelum Islam masuk ke Indonesia Masayrakat nusantara sudah begitu kaya dengan
kearifan lokal. Kearifanlokal itu begitu mengikat sehingga ia telah membentuk perilaku
masyarakat nusantara. Aturan-aturan adat, nilai-nilai moral kemudian semakin diperkaya
dengan masuknya ajaran Islam sehingga menurut hemat penulis masyarakat Indonesia
sebenarnnya sudah banyak dicekoki dengan ajaran-ajaran moral. Ajaran Islam itu masuk
lewat jalur informal maupun formal. Jalur formal ditandai dengan adanya mata pelajaran
agama di sekolah, banyaknya pesantren-pesantren, adanya departemen agama, dan setiap
hari setidaknya ada satu slot jam tayang televisi berisi pengajian meskipun tayang pada
jam-jam awal hari (subuh).

Revolusi mental sudah tidak sesuai jaman. Revolusi mental sebenarnya sudah
pernah dicanangkan oleh presiden Soekarno lewat tri-saktinya yaitu yang terkandung
dalam berkepribadian dalam budaya. Maka dari itu revolusi mental sesuai jika kaitkan
dengan jaman pra-kemerdekaan dan masa-masa awal kemerdekaan. Namun, jika dikaitkan
dengan konteks kekinian maka revolusi mental sudah tidak diperlukan lagi. Jika kita belajar
dari negara lain (seperti misalnya Jepang, Korea bahkan Malaysia) maka apa yang mereka
lakukan adalah membenahi sektor pendidikan dengan tujuan memperbaiki bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hasilnya adalah mereka berhasil membangun negara mereka

2
dengan berbasiskan penguasaan teknologi. Hal itu ditandai dengan kemampuan mereka
menghasilkan produk-produk berbasiskan teknologi.

b. Kita Butuh Revolusi Saintifik.

Yang kita butuhkan bukan perombakan mental melainkan perombakan pola berpikir
menuju pola bikir yang rasional (akliah). Perombakan pola pikir dan tata kerja menuju
rasional adalah syarat pertama menuju revolusi ilmu pengetahuan. Seperti yang Nurcholis
Madjid katakan (halaman 180):

Kegunaaan perombakan pola pikir dan tata kerja yang rasional ialah untuk
memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan
dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu
pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan tidak lain ialah hasil pemahaman
manusia terhadap hukum-hukum objektif yang menguasai alam, ideal dan
material, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan
harmonis. Orang yang betindak menurut ilmu pengetahuan berarti bertindak
menurut hukum ala yang berlaku.... Jadi sesuatu disebut dapat modern kalau
ia bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang
berlaku dalam alam.

Sebab kita terjebak dalam sekulerisasi adalah kegagalan kita dalam memaknai
modernisasi sebagai westernisasi. Padahal seperti yang telah diperingatkan oleh Nurcholis
Madjid bahwa modernisasi adalah rasionalisasi bukan westernisasi. Negara barat yang
sekuler dalam mengembangkan sains mereka kita telan mentah-mentah dan kita
aplikasikan sehingga mau tidak mau kita ikut terbawa arus sekularisasi. Maka modern
identik dengan kebarat-baratan bukan rasio dan logika.

Sekulerisasi itu makin menajam saat ilmu-ilmu yang datang dari barat diajarkan
lewat pemerintah melalui pendidikan formal yang disponsori pemerintah. Sementara ilmu
agama diajarkan di lembaga-lembaga tradisional seperti pesantren-pesantren. Output dari
tata kelola dan pola pikir pendidikan seperti ini akan menghasilkan seorang manusia yang
memiliki konflik dalam dirinnya saat memandang agama dan ilmu (pengetahuan).
Akibatnya integrasi antara ilmu dan agama makin jauh. Dari segi kehidupan sosial pun,
meski orang tersebut adalah Islam, akan tetapi sikap, perilaku dan pola pikirnya pun akan

3
jauh dari nilai-nilai Islam. Di lain pihak saat seseorang itu ilmu agamanya kuat, maka ia
akan lemah pada praktek ilmu-ilmu non-agama.

Konflik antara agama dan sains menjadi dilema karena seolah-olah kita harus
memilih antara agama atau sains. Inilah pandangan sekuler. Padahal seharusnya
pengembangan sains adalah juga bagian dari tugas agama. Inilah yang harus kita sadarkan
terhadap bangsa Indonesia jika ingin maju. jika kita berhasil menyadarkannya maka kita
akan mudah bisa keluar dari belenggu jebakan sekulerisme.

Sungguh aneh sebenarya jika dalam Islam itu ada konflik antara agama dan ilmu
pengetahuan. Hal ini karena Islam adalah ajaran humanisme-teosentrik. Artinya ia
merupakan sebuah agama yang memusatkan diri pada keimanan pada Tuhan, tetapi dalam
keimanan kepada Tuhan itu harus beraktualisasi kepada kemuliaan kehidupan manusia
mengarahkan perjuangannya kepada kemuliaan peradaban manusia itu sendiri1. Akan
tetapi pemahaman agama Islam justru seperti pemahaman orang-orang barat dalam
memandang agama. Orang barat memandang agama sebagai sebuah sistem teokrasi, yaitu
sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh pendeta. Dengan sistem teokrasi seperti itu maka
yang terjadi adalah pemisahan antara urusan dengan Tuhan dan urusan dengan manusia.
Artinya saat mereka mengurusi urusan-urusan humanis tidak akan membawa mereka
sampai kepada Tuhan atau agama.

Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa hal itu bisa terjadi. Salah satu jawabannya
adalah karena era sekarang adalah era industrialisasi. Semua negara ingin ikut arus
perkembangan dunia, dan saat perkembangan dunia dan industrialisasi itu dimotori oleh
dunia barat, maka secara tidak langsung mereka juga tururt memasarkan pemahaman
mereka terhadap agama. Sehingga tanpa sadar kita ikut arus dan seperti terkena brain
washing dalam pemahaman akan Tuhan dan agama seperti yang dunia barat pahami. Hal
itu membawa implikasi bahwa dalam setiap pengambilan keputusan dalam setiap bidang
akan jauh dari nilai-nilai agama.

Dampak buruk industrialisasi yang dibawa barat juga diungkapkan oleh sejarawan
Marvin Perry2, bahwa peradaban barat adalah peradaban yang besar akan tetapi juga

1
Kuntowijoyo, Paradigma Islam:interpretasi untuk aksi, Bandung:Mizan, 2008, hlm. 275.
2
Marvin Perry, Western Civilation: A Brief History, Boston: Cengange-Learning, 2009, hlm. x.

4
memiliki sebuah drama yang tragis (a tragic history). Peradaban seperti dua sisi mata uang,
di satu sisi memberi kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan yang membuat kemudahan di dalam segala aspek kehidupan manusia. Akan
tetapi di sisi lain turut berkontribusi dalam penghancuran alam semesta.

Konflik antara agama dan ilmu itu juga mewujud dalam pen-dikotomi-an antara
ilmu dan dan agama. Pen-dikotomi-an itu sebenarnya terjadi pada para ilmuwan muslim,
seperti Al Ghazali (w. 1111) dan Ibn Khaldun (w. 1406), akan tetapi mereka tidak
mengingkari, melainkan mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing kelompok
keilmuan tersebut3. Dari segi tujuannya pun, dalam mendalami ilmu, Islam ingin mengenali
tanda-tanda dan jejak-jejak Tuhan sehingga ia akan menambah keimanan kita kepada
Tuhan. Sedangkan dalam dunia barat, mendalami ilmu hanya sebagai pelunas rasa ingin
tahu4. Bagi dunia barat, fenomena alam adalah realitas indepeneden sehingga ia bisa berdiri
sendiri tanpa Tuhan.

Jalan tengah dari pendikotomian agama dan ilmu ini sudah mulai diatasi,
setidaknya dalam lingkungan universitas. Universitas Islam lah yang memulai langkah
tersebut dan sebagai perintisnya. Dalam pengembangan keilmuan di universita-universitas
Islam, dimulai dengan berpikir dalam memosisikan Al-Quran dan hadis sebagai salah satu
sumber ilmu pengetahuan. Al-Quran dan hadis semestiya tidak perlu dikembangkan sendiri
dan mengumpul dalam satu fakultas bernafas agama seperti tarbiyah, syariah, ushuluddin,
dsb. Sebagai contoh misalnya dalam pengembangan ilmu pendidikan. Saat ilmu pendidikan
itu dikembangkan berdasarkan atas sumber Al-Quran dan hadis serta hasil observasi dan
hasil eksperimen. Maka ilmu pendidikan itu bisa juga disebut ilmu tarbiyah. Begitu juga
dengan ilmu hukum. Saat ilmu-ilmu hukum diambil berdasar ayat-ayat kauniyah maka
ilmu tersebut bisa dikatakan ilmu syariah.5

Dalam dunia politik dan tata negara upaya penyembuhan penyakit sekulersisasi
dalam berbagai bidang pernah diupayakan oleh presiden Abdurrahman Wahid atau lebih
akrab dipanggil Gus Dur. Dalam manuver politiknya, Gus dur pernah mengusulkan untuk

3
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi ilmu: sebuah rekonstruksi holistik, Bandung: Mizan, 2005, hlm.
20.
4
Ibid, hlm. 21.
5
Azra, azyumardi, Integrasi ilmu dan agama:intepreatasi dan aksi,Bandung: Mizan 2005, hlm.
225.

5
membubarkan departemen agama. Ada banyak argumen yang berseliweran dalam
kaitannya dengan kebijakan Gus Dur ini. Akan tetapi dalam pandangan penulis, hal itu
dikarenakan dalam pandangan Gus Dur adanya departemen agama hanyalah membuat
departemen lain seolah-seolah sah jika beroperasi tanpa nilai-nilai agama. Padahal
seharusnya apapun departemennya maka dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah haruslah
tetap berpegang pada nilai-nilai agama. Akan tetapi ternyata masyaraat belum dewasa
dalam menyikapi langkah Gus Dur yang sangat tergolong radikal ini. Alih-alih memahami
niat baik Gus Dur, masyarakat justru menangkap langkah Gus Dur sebagai langkah untuk
menjauhkan agama dari Indonesia. Maka stigma tokoh Islam liberal makinmelekat pada
diri Gus Dur.

c. Revolusi Saintifik Iran

Saat dunia Islam masih ribut soal integrasi antara agama dan ilmu dan terkesan
maju-mundur dan tampak gamang dalam mengaktualisasikannya dalam kebijakan yang
nyata, di belahan dunia Islam yang lain, yaitu Iran, sukses mencengangkan dunia dengan
revolusi ilmu pengetahuannya. Iran seolah menyentak kita semua bahwa ternyata antara
ilmu dan agama bisa bersatu bahkan saling mengakselerasi satu sama lain. Kemampuan
mereka mengintegrasikan antara agama dan ilmu seolah menjadi senjata untuk menantang
dunia global yang dimotori oleh dunia barat dengan paham sekulerismenya.

Seperti halnya Iran, agama juga telah menjadi falsafah negara Indonesia. Akan
tetapi, ternyata kita ikut arus bahwa agama seperti menjadi lawan bagi perkembangan sains
Indonesia, bahwa selalu terjadi konflik antara agama dan sains. Dengan mengikuti paham
empirisme bahwa jika kita temui satu contoh data empiris yang merupakan antitesa dari
teori maka gagallah teori itu. Maka jika kita melihat Iran, teori yang menyebutkan bahwa
agama berkonflik dengan sains adalah salah. Dalam 30 tahun Iran telah menjelma menjadi
negara yang kuat dan maju dalam segi sains dan teknologi. Menurut laporan Royal Society
Report tahun 2011, Thomas Reuters, Social Sciences Citation Index (SCI), Science-
Metrix, Thomas reuters, The Institute for Science Information(ISI), MoSRT, dan Dutch
Scopus Database semuanya melaporkan tentang melesatnya perkembangan saintifik
ilmuwan Iran. Output ilmiah Iran 11 kali lebih ceepat daripada rata-rata pertumbuhan
saintifik dunia. Produktivitas karya ilmiah Iran mengalami pertumbuhan 18 kali lipat dalam
kurun waktu 30 tahun. Kemudian hal yang membuat semakin mengagumkan adalah bahwa
pertumbuhan ilmiah itu terjadi hampir di seluruh disiplin. Pertumbuhan yang cepat ini

6
mengingatkan kita akan revolusi industri yang terjadi di Eropa abad 17-18. Hal inilah yang
membuat fenomena ledakan teknologi Iran yang cepat dan di segala disiplin ini bisa disebut
sebagai sebuah revolusi saintifik6.

Hal yang menjadi pertanyaan adalah syarat apa yang menjadikan sebuah negara
bisa memiliki sebuah revolusi saintifik. Identifikasi ini sangat diperlukan karena akan
sangat bermanfaat bagi negara-negara (Islam) agar dapat meniru apa yang terjadi di Iran.
Sebagaimana telah dibahas awal adalah bahwa peradaban Islam tertinggal dalam bidang
teknologi dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan peradaban barat.

Ada pendapat menarik dari seorang tokoh besar revolusi Indonesia yaitu sutan
Sjahrir. Sjahrir menyebutkan bahwa revolusi hanya akan tercipta jika terdapat 2 syarat yaitu
syarat objektif dan syarat subjektif. Syarat objektir adalah syarat yang datang dari kondisi
riil yang ada di dalam masyarakat. Masyarkat secara keseluruhan merasa tidak puas dengan
kondisi yang ada. Sedangkan syarat subjektif adalah adanya manusia-manusia pejuang
yang memperjuangkan kepentingan rakyat itu7. Meski dalah hal ini Sjahrir
mengungkapkannya dalam konteks politik pengusiran kolonilisme, akan tetapi konsep
yang dia jabarkan relevan dengan jaman sekarang ini. Intensinya sama yaitu ingin
mengubah keadaan secara cepat, meluas, merata secara vertikal dan horisontal diinisiasi
oleh rakyat dan didukung oleh pemimpin.

d. Infrastruktur Revolusi Saintifik

Sekarang kita lihat syarat terjadinya revolusi saintifik di Iran. Menurut Heriyanto
adanya infrastruktur sosial dan budaya di Iran mejadi syarat terjadinya revolusi saintifik di
Iran.

d.1. Infrastruktur sosial-politik

Salah satu rahasia pesatnya perkembangan saintifik di Iran adalah karena


dukungan sosial politik di Iran. Kestabilan politik di Iran pasaca revolusi Islam menjadi
habitat yang bagus bagi pertumbuhan saintifik di Iran. Selain kestablan politik, sisitem

6
Heriyanto, Husein, Revolusi Saintifik Iran, Jakarta: UI-Press, 2013, hlm. 188-189.
7
Anwar, Rosihan, Mengenang Sjahrir:seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang tersisihkan dan
terlupakan, jakarta:Gramedia, 2010, hlm. xxv

7
politik Iran mampu menjamin representasi suara rakyat terwadahi dan suara ulama juga
masuk ke dalam struktur kekuasaaan.

Akan tetapi meskipun begitu, sistem politik di Iran bukan tanpa cela. Para
pengkritik menyebut bahwa kekuasaan wali faqih cukup besar sementara dia tidak dipilih
secara langsung oleh rakyat; dan dewanpakarpun memililhnya setiap 8 tahun sekali rawan
untuk disalhgunakan. Tentu saja kemungkinan itu telah disadari oleh Imam Khomeini,
danpara ahli pembuat undang-undang Iran. Salah satu mekanisme untuk memminimalisir
kemungkinana itu adalah persyaratan pokok seorang faqih yang alim, bermoral dan bijak.

Dengan sistem politik religius seprti itu ternyata mampu menjamin kestabilan
politik di Iran. Kestabilan itu menjadi modal dasar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sistem politik religius juga pernah coba dikembangkan oleh beberapa negara
muslim, akan tetapi Iran lah yang paling sukses. Sebagai contoh di Mesir, Ihwanul
Muslimin, awalnya gerakan perlawanan imperialis, tapi ketika mendapat kekuasaan harus
bernego dengan Amerika. Ihwanul Muslimin gagal mengkonsolidasikan seluruh elemen
rakyat Mesir, bahkan Al-Azharpun tidak mendukung Ikhwanul Muslimin, akibatnya tidak
terjadi kestabilan politik.

d.2. Infrastruktur budaya

Selain infrastruktur sosial-politik, revolusi saintifik di Iran tak akan tercipta tanpa
adanya infrastruktur budaya yang turut menyokong kegiatan keilmuan. Infrastruktur
budaya paling menonjol adalah tradisi keilmuan bangsa Iran yang tinggi sejak kejayaan
peradaban Islam klasik bahkan peradaban pra-Islam. Tradisi keilmuan itu digunakan
sebagai tonggak untuk mendapatkan kejayaan ilmu pengetahuan.

Dinasti Sasanid (224-651M) banyak mewariskan karya-karya ilmiah yang


membuat bangsa Persia memiliki pengaruh luas dalam berbagai bidang pengetahuan mulai
dari sastra, ilmu medis, matematika, filsafat, politik, moral, sejarah dan penulisan biografi.
Dengan bekal kekayaan tardisi keilmuan seperti itulah para ilmuwan Iran mengembangan
tradisi ilmiah dan intelektual.

Dalam tatanan praktis contoh paling nyata tradisi keilmuan adalah kebijakan untuk
melakukan ekspor barang-barang yang mengadung teknologi. Haram bagi dunia ekonomi

8
Iran jika mengekspor barang mentah. Budaya berbasis keilmuan ini lah yang menjadi
fondasi dasar bagi setiap kebijakan yang diambil.

Itulah dua infrastruktur penting bagi terciptanya revolusi saintifik Iran. Oleh sebab
itu dua infrastruktur tersebut bisa dijadikan acuan bagi negara manapun yang ingin
mengalami sebuah revolusi saintifik. Kondisi dan sekuensi terjadi revolusi tidak perlu sama
persis dengan yang terjadi di Iran yaitu dimulai dari sebuah revolusi politik kemudian baru
diikuti oleh revolusi di bidang lainyya. Akan tetapi dua infrastruktur tersebut harus perlu
ada dalam sebuah negara yaitu infrastruktur sosial dan budaya.

e. Revolusi Saintifik Indonesia

Bila kita melihatnya untuk kasus Indonesia maka Indonesia pun perlu memliki dua
infrastruktur tadi. Infrastruktur sosial-politik yang mewujud dalam dukungan penuh dari
para pemimpin bangsa dan adanya kestabilan politik di tingkat pemerintahan. Selain itu
dari sisi infrastruktur budaya, Indonesia juga harus memiliki tradisi keilmuan pada
masyarkatnya.

Menurut hemat penulis munculnya industri penerbangan Indonesia yang diinisiasi oleh
tokoh nasional yaang saat itu menjabat menteri riset dan teknologi B. J. Habibie sebagai
cikal bakal revolusi saintifik yang akan terjadi di Indonesia. Dengan berhasilnya proyek
tersebut yang ditandai dengan terbang perdana sebuah pesawat N-2130 pada 17 Agustus
1995, maka itu bisa menjadi bukti bahwa sebenarnya Indonesia bisa melakukan revolusi
saintifik.

Industri penerbangan kita saat itu benar-benar melakukan sebuah lompatan besar
(revolusi) karena saat kita belum bisa membangun industri berbasis teknologi di bidang
lain (misalnya otomotif), namun kita tiba-tiba menyentak dunia dengan langsung mampu
membangun industri penerbangan yanag syarat teknologi tinggi. Kemudian jika kita
kaitkan dengan dua infrastruktur yang telah disebutkan di atas, maka memang kemunculan
industri penerbangan Indonesia muncul karena ada dukungan penuh dari pemerintah dan
adanya kestabilan politik. Rezim orde baru mampu menciptakan kestabilan dan menjadi
penyokong yang baik bagi industri penerbangan. Selain itu sosok Habibie juga menjadi
tokoh sentral yang kuat sebagai peimpin revolusi industri penerbangan Indonesia.

9
Barangkali yang masih kurang dari bangsa Indonesia adalah infrastruktur budaya.
Infrastruktur budaya bisa dilihat dari tradisi keilmuan. Tradisi keilmuan bangsa Indonesia
bisa dikatakan masih lemah. Indikator paling mudah (meski tidak bisa dijadikan rujukan
utama) adalah masih carut marutnya dunia pendidikan Indonesia. Padahal dari bangku
pendidikanlah generasi pemuda itu dikenalkan akan tradisi-tradisi keilmuan. Di situlah
mereka dididik untuk selalu berpikir rasional dan ilmiah. Mereka dituntut untuk terus
menghasilan riset-riset ilmiah dan berbagai inovasi teknologi di berbagai bidang yang
nantinya bisa dijadikan penyokong bagi industri-industri yang ada.

Maka menurut hemat penulis agenda mendesak bangsa Indonesia adalah bukan
revolusi mental melainkan revolusi saintifik. Dengan revolusi saintifik, Indonesia mampu
membangun kemandirian bangsa dan kemajuan ekonomi. Dengan memiliki kemajuan di
bidang teknologi maka Indonesia tidak akan hanya menjadi konsumen teknologi seperti
yang terjadi sekarang ini. Bisa dikatan hampir tidak ada teknologi anak bangsa yang bisa
kita produksi lalu kita nikmati sendiri demi kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Maka dari itu jika Indonesia ingin membangun bidang saintifiknya maka Indonesia
perlu memiliki kedua infrastruktur tadi yaitu sosial-polik dan budaya. Dari segi sosial-
politik, Indonesia perlu membangun kestabilan politik di tingkat pemerintah. Dari sisi
infrastruktur budaya, Indonesia perlu membangun tradisi keilmuannya dari bidang
pendidikan. Di bidang pendidikan yang dimaksud adalah tidak cukup hanya merubah
mentalnya saja, akan tetapi harus diberikan penekanan yang kuat untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

III. PENUTUP

Revolusi saintifik Iran memiliki arti penting. Arti penting itu adalah bahwa Iran
mampu mensinergikan antara ilmu dan agama. Hal ini ditandai dengan dijadikannya agama

10
Islam sebagai falsafah negara dan terbukti dengan revolusi politik tersebut mampu menjadi
pemicu terciptanya revolusi di bidang saintifik. Ini menjadi bukti bagi negara-negara barat
bahwa tidak selamanya saintifik baru bisa maju jika negara memisahkan ilmu dan agama.
Revolusi saintifik adalah peluang bagi Islam yang ingin mengawinkan agama dengan sains.
Negara Islam selama ini hanya sebagai konsumen sains akan tetapi sebaliknya negara barat
kaya akan sain tapi miskin agama.

Indonesia dengan mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam, maka


Indonesia punya peluang besar jika ingin mengikuti langkah yang terjadi di Iran. Akan
tetapi Indonesia masih butuh infrastruktur sosial-politk dan infrastruktur budaya agar
mampu menyamai Iran. Sayangnya, menurut hemat penulis kedua infrastruktur tersebut
masih belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Politik bisa dikatakan belum stabil dan tidak
ada intensi yang nyata dan tegas dari pemerintah untuk membangun negara berbasiskan
penguasaan teknologi. Dari segi infrastruktur budaya, Indonesia juga masih lemah jika
dilihat dari minimnya tradisi keilmuan yang ada dalam kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

11
Anwar, Rosihan, Mengenang Sjahrir:seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang
tersisihkan dan terlupakan, jakarta:Gramedia, 2010

Azra, azyumardi, Integrasi ilmu dan agama:intepreatasi dan aksi,Bandung: Mizan


2005

Baqir, Zainal Abidin et al, Integrasi ilmu dan agama:intepreatasi dan


aksi,Bandung: Mizan 2005

Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi ilmu: sebuah rekonstruksi holistik, Bandung:


Mizan, 2005

Kuntowijoyo, Paradigma Islam:interpretasi untuk aksi, Bandung:Mizan, 2008

Madjid, Nurcholis, Islam, kemodernan dan keindonesiaan, Bandung: Mizan, 2008.

Marvin Perry, Western Civilation: A Brief History, Boston: Cengange-Learning,


2009

12

Anda mungkin juga menyukai