Pada masa orde baru, pemerintah berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang menyimpang dari pancasila
melalui program P4 (Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia
Pancakarsa.
Orde baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus
berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia. Akan tetapi implementasi dan aplikasinya sangat
mengecewakan. Beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai
dengan jiwa Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup
bagi tafsiran lain.
Pancasila justru dijadikan sebagai indoktrinasi. Presiden Soeharto menggunakan Pancasia
sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Ada beberapa metode yang digunakan dalam
indoktrinasi Pancasila, yaitu pertama, melalui ajaran P4 yang dilakukan di sekolah-sekolah melalui
pembekalan atau seminar. Kedua, asa tunggal, yaitu presiden Soeharto membolehkan rakyat untuk
membentuk organisasi-organisasi dengan syarat harus berasaskan Pancasila. Ketiga, stabilisasi yaitu
presiden Soeharto melarang adanya kritikan-kritikan yang dapat menjatuhkan pemerintah. Karena
presiden Soeharto beranggapan bahwa kritikan terhadap pemerintah menyebabkan ketidakstabilan di
dalam negara. Dan untuk menstabilkannya presiden Soeharto menggunakan kekuatan militer sehingga
tak ada yang berani untuk mengkritik pemerintah.
Dalam pemerintahannya presiden Soeharto melakukan beberapa penyelewengan dalam
penerapan Pancasila, yaitu diterapkannya demokrasi sentralistik, demokrasi yang berpusat pada
pemerintah . selain itu presiden juga memegang kendali terhadap lembaga legislative, eksekutif dan
yudikatif sehingga peraturan yang di buat harus sesuai dengan persetujuannya. Presiden juga
melemahkan aspek-aspek demokrasi terutama pers karena dinilai dapat membahayakan
kekuasaannya. Maka, presiden Soeharto membentuk Departemen Penerangan atau lembaga sensor
secara besar-besaran agar setiap berita yang dimuat di media tidak menjatuhan pemerintahan.
Penyelewengan yang lain adalah pelanggengan korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga pada masa ini
banyak pejabat negara yang melakukan korupsi. Tak hanya itu, pada masa ini negara Indonesia juga
mengalami krisis moneter yang di sebabkan oleh keuangan negara yang tidak stabil dan banyaknya
hutang kepada pihak negara asing. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM
terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara.
II.
Pancasila dalam Perspektif Orde Baru Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat tersebut muncul berdasarkan
pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta
UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh
berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya
sebagai alat pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto. Seperti rezim otoriter pada
umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru sebagai alat untuk membenarkan dan
memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila oleh rezim orde baru kemudian
ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara.
Maka dari itu Pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin komprehensif dalam diri masyarakat
Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala tindakan pemerintah yang berkuasa. dalam diri
masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanaannya upaya indroktinisasi tersebut dilakukan
melalui berbagai cara, mulai dari pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4. Upaya
pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna memperoleh kontrol
sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah orde baru menempatkan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan
implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 1945 sebagai landasan konstitusi
berada di tangan negara. Pengkultusan Pancasila juga tercermin dari penetapan Hari Kesaktian
Pancasila setiap tanggal 1 Oktober sebagai peringatan atas kegagalan G 30 S/PKI dalam
upayanya menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis. Retorika mengenai persatuan
kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia yang sangat plural kemudian diseragamkan.
Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral. Gagasan
mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan secara intensif. Sebagai
pucaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima
Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara
yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas
tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Dengan demikian, jelaslah bahwa Orde
Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik
masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan
sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif. Sosialisasi Pancasila melalui Penataran P4 Pada
era Orde Baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila, pemerintah secara
formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat. Siswa,
mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk melaksanakan
penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama
mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan
dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini
rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Selain
sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam
kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang Dasar 1945 dan
Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi tanggung jawab
dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(BP7). Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda,
berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam penataran P4,
ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila
tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan
keteladanan yang benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu mengucapkan katakata Pancasila dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan
mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang
buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara,
karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan
atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila hanya digunakan sebagai
slogan yang menunjukkan kesetiaan semu terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Kesimpulan Kecenderungan orde baru dalam memandang Pancasila sebagai doktrin yang
komprehensif terlihat pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena
itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat. Pada akhirnya, pandangan
tersebut bermuara pada keadaan yang disebut dengan perfeksionisme negara. Negara
perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi
masyarakatnya, dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar kebenaran yang
dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Sehingga formulasi kebenaran
yang kemudian muncul adalah sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendak
penguasa.
dapus
Jimmy Hasoloan,2008,Pancasila,Cirebon: Swagati Press,hlm.21
Saturday, September 7, 2013 amelia srikartika putri
http://ameliasrikartikaputri.blogspot.co.id/2013/09/pelaksaan-pancasila-padamasa-orde-baru.html
kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang
terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar rezim
otoritarian baru di bawah Soeharto.
Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru
sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila
oleh rezim orde baru kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan
memperkuat otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila perlu disosialisasikan sebagai
doktrin komprehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala
tindakan pemerintah yang berkuasa. dalam diri masyarakat Indonesia. Adapun dalam
pelaksanaannya upaya indroktinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari
pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4.
Upaya pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna
memperoleh kontrol sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah orde baru
menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh
diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD
1945 sebagai landasan konstitusi berada di tangan negara. Pengkultusan Pancasila juga tercermin
dari penetapan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober sebagai peringatan atas
kegagalan G 30 S/PKI dalam upayanya menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis.
Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia yang
sangat plural kemudian diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik
pembangunan yang unilateral. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk
didiskusikan secara intensif. Sebagai pucaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik
digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas
tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang
menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga
memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan
negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif.
Sosialisasi Pancasila melalui Penataran P4
Pada era Orde Baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila,
pemerintah secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di
masyarakat. Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk
melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah membentuk pemahaman
yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut
maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde
Baru. Selain sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa, dalam kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang
Dasar 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi
tanggung jawab dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (BP7).
Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda,
berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam penataran P4,
ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila
tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai
dengan keteladanan yang benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu
mengucapkan kata-kata Pancasila dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu
bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin
membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan
hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain
(rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila
hanya digunakan sebagai slogan yang menunjukkan kesetiaan semu terhadap pemerintah yang
sedang berkuasa.
Kesimpulan
Kecenderungan orde baru dalam memandang Pancasila sebagai doktrin yang
komprehensif terlihat pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena
itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat. Pada akhirnya, pandangan
tersebut bermuara pada keadaan yang disebut dengan perfeksionisme negara. Negara
perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi
masyarakatnya, dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar kebenaran yang
dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Sehingga formulasi kebenaran
yang kemudian muncul adalah sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendak
penguasa.
Pelaksanaan Pancasila Pada Masa Reformasi
Dilaksanakan dengan tekad memberi perhatian yang benar terhadap pelaksanaan demokrasi di
berbagai bidang.
Ciri-ciri umum :
1. Adanya penegakan kedaulatan rakyat
2. Adanya pembagian secara tegas wewenang kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif
3. Adanya penghormatan terhadap keberagaman asas, ciri, aspirasi, dan program partai
politik
Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum yang ada di Negara Kesatuan
Republik Indonesia, merupakan Maha karya pendahulu bangsa yang tergali dari jati diri dan
nilai-nilai adi luhur bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dengan berbagai kajian ternyata
didapat beberapa kandungan dan keterkaitan antara sila tersebut sebagai sebuah satu kesatuan
yang tidak bisa di pisahkan dikarenakan antar sila tersebut saling menjiwai satu dengan yang
lain. Ini dengan sendirinya menjadi ciri khas dari semua kegiatan serta aktivitas desah nafas dan
jatuh bangunnya perjalanan sejarah bangsa yang telah melewati masa-masa sulit dari jaman
penjajahan sampai pada saat mengisi kemerdekaan.
Ironisnya bahwa ternyata banyak sekarang warga Indonesia sendiri lupa dan sudah asing
dengan pancasila itu sendiri. Ini tentu menjadi tanda tanya besar kenapa dan ada apa dengan kita
sebagai anak bangsa yang justru besar dan mengalami pasang surut masalah negari ini belum
bisa mengoptimalkan tentang pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut. Terlebih lagi saat ini
dengan jaman yang disepakati dengan nama Era Reformasi yang terlahir dengan semangat untuk
mengembalikan tata negara ini dari penyelewengan-penyelewengan sebelumnya.
Arah dan tujuan reformasi yang utama adalah untuk menanggulangi dan menghilangkan
dengan cara mengurangi secara bertahap dan terus-menerus krisis yang berkepanjangan di segala
bidang kehidupan, serta menata kembali ke arah kondisi yang lebih baik atas system
ketatanegaraan Republik Indonesia yang telah hancur, menuju Indonesia baru. Pada masa
sekarang arah tujuan reformasi kini tidak jelas juntrungnya walaupun secara birokratis, rezim
orde baru telah tumbang namun, mentalitas orde baru masih nampak disana-sini. Sedangkan
pancasila adalah sebagai ideologi bangsa Indonesia yang merupakan hasil dari penggabungan
dari nilai-nilai luhur yang berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah
ideologi politik, Pancasila bisa bertahan dalam menghadapi perubahan masyarakat, tetapi bisa
pula pudar dan ditinggalkan oleh pendukungnya. Hal itu tergantung pada daya tahan ideologi
tersebut. Ideologi akan mampu bertahan dalam menghadapi perubahan masyarakat bila
mempunyai tiga dimensi. Ketiga dimensi antara lain sebagai berikut meliputi :
1). Idealisme, yaitu kadar atau kualitas idealisme yang terkandung di dalam ideologi atau
nilai- nilai dasarnya. Kualitas itu menentukan kemampuan ideologi dalam memberikan
harapan kepada berbagai masyarakat untuk mempunyai atau membina kehidupan bersama
secara lebih baik dan untuk membangun suatu masa depan yang lebih cerah.
2). Realita, menunjuk pada kemampuna ideologi untuk mencerminkan realita yang hidup
dalam masyarakat dimana ia muncul untuk pertama kalinya, paling kurang realita pada saat
awal kelahirannya.
3) Fleksibilitas, yaitu kemampuan ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan
diri dengan pertumbuhan atau perkembangan masyarakatnya. Mempengaruhi berarti ikut
mewarnai proses perkembangan. Sedangkan Menyesuaikan diri berarti bahwa masyarakat
berhasil menemukan tafsiran-tafsiran terhadap nilai-nilai dasar dari ideologi sesuai dengan
realita-realita baru yang muncul dan mereka hadapi.
Maka dari itu pancasila sebagai ideologi haruslah mempunyai dimensibilitas agar
substansi-substansi pokok yang dikandungnya tidak lekang dimakan waktu. Pada masa reformasi
yang dimulai dari tahun 1998 hingga masa sekarang, orang-orang mulai menanyakan revelansi
dari pancasila untuk menjawab segala tantangan zaman terlebih lagi di era globalisasi seperti
sekarang ini. Maka Pancaila menurut saya mutlak masih diperlukan.
Reformasi bergulir di Indonesia dengan di motori oleh mahasiswa dan tokoh-tokoh
bangsa ini yang merasa bahwa krisis yang melanda negara ini di awali dari krisis ekonomi
ternyata telah membawa kita pada krisis yang lebih besar seperti krisis politik, kepemimpinan
dan akhirnya pada suksesi atau pergantian kepemimpinan secara nasional. Tentu telah banyak
korban yang berguguran dalam proses reformasi tersebut semisal contoh mahasiswa trisakti yang
menjadi korban dalam tragedi semanggi I-II, kerusuhan masa yang anakis dan rutal dengan
melakukan penjarahan, pemerkosaan, pengerusakan fasilitas-fasilitas umum di Jakarta, solo,
Medan, dan kota-kota lain di Indonesia. Semangat dan jiwa reformasi yang digulirkan menjadi
kacau dan tidak tentu arah dan justru malah menodai nilai dan tujuannya sendiri. Tentu ini
menjadi tanda tanya besar ketika semangat untuk meluruskan dan mengembalikan tatanan negara
ini menjadi lebih baik justru di lapangan justru kita temui hal yang kontraproduktif.
Salah satu tujuan reformasi dibidang politik dan hukum adalah mengembalikan UUD 1945 dan
pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan bangsa dan negara. Kita dapat mengetahui dengan
seksama bahwa dalam pelaksanaan UUD 1945 dan pancasila dalam masa orma dan orba terjadi
deviasia/ penyimpangan oleh oknum-oknum penyelenggara pemerintah. Sehingga dalam
pelaksanaan berpolitik dan berpemerintahan hanya menjadi senjata dan dalil pembenaran dari
semua tujuan penguasa untuk melanggengkan dan menikmati kekuasaan sehingga muncul
pemerintahan yang lalu seperti otoliter obsolud, terpimpin dan kolusi untuk korupsi dan
nepotisme dalam kekuasaan.
Ini tentu tidak mudah untuk membuat sebuah latar balik dan mengembalikan semangat
seperti awalnya memerdekaan bangsa ini. Kekuasaan penuh dan perilaku birokrasi yang
sistematis membuat apa yang mereka lakukan seolah selalu benar dan tidak ada penyimpangan
dari nilai dan norma yang terkandung dalam pancasila. Butuh waktu dan sebuah generasi yang
solid untuk dapat menempatkan kembali roh dan semangat pancasilaisme terutama pada generasi
yang sekarang ini. Lebih lagi jumlah materi dan pedoman tentang pancasila sudah sangat jauh
terkurang baik dimasyarakat umum maupun lembaga lembaga pendidikan yang sebenarnya
mempunyai peranan penting dan vital dalam menanamkan doktrin ideologi pancasila serta nilai
nilai yang terkandung untuk dapat di amalkan dalam kehidupan sehari hari.
Dulu setiap sekolah dan kelompok organisasi selalu di wajibkan untuk mengikuti
Penataran Pelaksanaan Pengamalan Pancasila ( P4) dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan
tinggi, dari kelompok karang Taruna Desa sampai Pejabat negara. Secara lahirlah ini perlu
ditingkatkan dan memang itu semua sebagai cara memberikan pendoktrinisasi anak bangsa untuk
lebih mengerti dalam melaksanakan pancasila. Hanya saja satu materi dan doktrinisasi yang
harus dibuat lagi seperti yang dulu yang hanya untuk tujuan dan kapentingan penguasa negara
dengan single mayority atau stabilitas nasional dalam arti semu.
Satu kata kunci yang sekarang menjadi asing sudah luntur dari kita sebagai bangsa
adalah pancasila sebagai ideologi NKRI. Dapat kita ketahui bersama dari uraian dan penjabaran
Pancasila dalam strategi Politik Nasional, Ali Murtopo. CSIS, 1947 Hal 173 dapat kita ambil
garis besar sebagai berikut :
1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa negara adalah
berdasar dan percaya pada tuhan yang maha esa dengan kewajiban setiap warganya mengkui
adanya Tuhan.
2. Sila kedua, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, mengandung pengertian dan pengakuan
akan penghargaan terhadap sesama manusia lepas dari asal usul, keyakinan, ras, serta
pandangan politik adalah sama.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengandung arti sesuai dengan pernyataan
kemerdekaan angsa di maknakan sebagai pengertian kesatuan dan bangs ini adalah satu
dengan mengatasi paham perseorangan dan golongan dalam satu NKRI.
4. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin olah Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan / Perwakilan, mengandung arti bahwa demokrasi bangsa Indonesia bukan
Demokrasi bangsa indonesia bukan demokrasi yang menitikberatkan pada kepentingan
e. Ada sebuah seni yang sederhana dalam kita memulai semangat pengamalan nilai-nilai
pancasila yakni tiga M seperti :
1. mulai dari diri sendiri, adalah mimpi bisa mengubah apapun dengan baik tanpa diawali
perubahan pada diri kita sendiri, memperbaiki diri sendiri berarti memulai segalanya.
2. mulai dari hal kecil-kecil, tidak ada prestasi yang besar kecuali rangkaian prestasi
kecil yang mudah dan dapat kita laksanakan dengan niat dan jalan yang baik.
3. mulai sekarang juga, janganlah menunda pekerjaaan yang bisa kita lakukan sekarang
karena terlambat dalam kita menjalankan tugas hanya berakibat menambah persoalan semakin
banyak saja
Perkembangan ppkn
(a)
Kewarganegaraan (1956)
(b)
Civics (1959)
(c)
Kewarganegaraan (1962)
(d)
(e)
(f)
(g)