Anda di halaman 1dari 13

Masa Orde Baru

Pada masa orde baru, pemerintah berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang menyimpang dari pancasila
melalui program P4 (Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia
Pancakarsa.
Orde baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus
berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia. Akan tetapi implementasi dan aplikasinya sangat
mengecewakan. Beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai
dengan jiwa Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup
bagi tafsiran lain.
Pancasila justru dijadikan sebagai indoktrinasi. Presiden Soeharto menggunakan Pancasia
sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Ada beberapa metode yang digunakan dalam
indoktrinasi Pancasila, yaitu pertama, melalui ajaran P4 yang dilakukan di sekolah-sekolah melalui
pembekalan atau seminar. Kedua, asa tunggal, yaitu presiden Soeharto membolehkan rakyat untuk
membentuk organisasi-organisasi dengan syarat harus berasaskan Pancasila. Ketiga, stabilisasi yaitu
presiden Soeharto melarang adanya kritikan-kritikan yang dapat menjatuhkan pemerintah. Karena
presiden Soeharto beranggapan bahwa kritikan terhadap pemerintah menyebabkan ketidakstabilan di
dalam negara. Dan untuk menstabilkannya presiden Soeharto menggunakan kekuatan militer sehingga
tak ada yang berani untuk mengkritik pemerintah.
Dalam pemerintahannya presiden Soeharto melakukan beberapa penyelewengan dalam
penerapan Pancasila, yaitu diterapkannya demokrasi sentralistik, demokrasi yang berpusat pada
pemerintah . selain itu presiden juga memegang kendali terhadap lembaga legislative, eksekutif dan
yudikatif sehingga peraturan yang di buat harus sesuai dengan persetujuannya. Presiden juga
melemahkan aspek-aspek demokrasi terutama pers karena dinilai dapat membahayakan
kekuasaannya. Maka, presiden Soeharto membentuk Departemen Penerangan atau lembaga sensor
secara besar-besaran agar setiap berita yang dimuat di media tidak menjatuhan pemerintahan.
Penyelewengan yang lain adalah pelanggengan korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga pada masa ini
banyak pejabat negara yang melakukan korupsi. Tak hanya itu, pada masa ini negara Indonesia juga
mengalami krisis moneter yang di sebabkan oleh keuangan negara yang tidak stabil dan banyaknya
hutang kepada pihak negara asing. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM
terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara.

II.

Masa Orde Baru


Presiden Soeharto menjabat selama 32 tahun.
Terjadi penafsiran sepihak terhadap Pancasila oleh rezim Orde Baru melalui program P4.
Adanya penindasan ideologis, sehingga orang-orang yang mempunyai gagasan kreatif
dan kritis menjadi takut.
Adanya penindasan secara fisik seperti pembunuhan terhadap orang di Timor-Timur,
Aceh, Irian Jaya, kasus Tanjung Priok, pengrusakan/penghancuran pada kasus 27 Juli dan
seterusnya.
Perlakuan diskriminasi oleh negara juga dirasakan oleh masyarakat non pribumi
(keturunan) dan masyarakat golongan minoritas. Mereka merasa diasingkan, bahkan
acapkali mereka hanya dijadikan sebagai kambing hitam jika ada masalah, atau diperas
secara ekonomi.

Pancasila dalam Perspektif Orde Baru Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat tersebut muncul berdasarkan
pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta
UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh
berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya
sebagai alat pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto. Seperti rezim otoriter pada

umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru sebagai alat untuk membenarkan dan
memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila oleh rezim orde baru kemudian
ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara.
Maka dari itu Pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin komprehensif dalam diri masyarakat
Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala tindakan pemerintah yang berkuasa. dalam diri
masyarakat Indonesia. Adapun dalam pelaksanaannya upaya indroktinisasi tersebut dilakukan
melalui berbagai cara, mulai dari pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4. Upaya
pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna memperoleh kontrol
sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah orde baru menempatkan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran dan
implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD 1945 sebagai landasan konstitusi
berada di tangan negara. Pengkultusan Pancasila juga tercermin dari penetapan Hari Kesaktian
Pancasila setiap tanggal 1 Oktober sebagai peringatan atas kegagalan G 30 S/PKI dalam
upayanya menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis. Retorika mengenai persatuan
kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia yang sangat plural kemudian diseragamkan.
Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral. Gagasan
mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk didiskusikan secara intensif. Sebagai
pucaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima
Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga negara
yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak Pancasila sebagai asas
tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Dengan demikian, jelaslah bahwa Orde
Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik
masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya diperlakukan
sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif. Sosialisasi Pancasila melalui Penataran P4 Pada
era Orde Baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila, pemerintah secara
formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat. Siswa,
mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk melaksanakan
penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama
mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan
dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini
rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Selain
sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam
kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang Dasar 1945 dan
Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi tanggung jawab
dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(BP7). Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda,
berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam penataran P4,
ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila
tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan
keteladanan yang benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu mengucapkan katakata Pancasila dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan
mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang

buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara,
karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan
atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila hanya digunakan sebagai
slogan yang menunjukkan kesetiaan semu terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Kesimpulan Kecenderungan orde baru dalam memandang Pancasila sebagai doktrin yang
komprehensif terlihat pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena
itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat. Pada akhirnya, pandangan
tersebut bermuara pada keadaan yang disebut dengan perfeksionisme negara. Negara
perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi
masyarakatnya, dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar kebenaran yang
dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Sehingga formulasi kebenaran
yang kemudian muncul adalah sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendak
penguasa.
dapus
Jimmy Hasoloan,2008,Pancasila,Cirebon: Swagati Press,hlm.21
Saturday, September 7, 2013 amelia srikartika putri
http://ameliasrikartikaputri.blogspot.co.id/2013/09/pelaksaan-pancasila-padamasa-orde-baru.html

Pelaksaan Pancasila Pada Masa Orde Baru


Pelaksanaan Pancasila Pada Masa Orde Baru

Pancasila Pada Masa Orde Baru (1965-1998)


Terlaksananya dengan dasar supersemar dan TAP MPRS no. XXXVII/MPRS/1968 periode ini
disebut juga demokrasi pancasila, karena segala bentuk penyelenggaraan negara berlangsung
berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Ciri-ciri umum :
1. Mengutamakan musyawarah mufakat
2. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat
3. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain
4. Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
5. Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksankan hasil keputusan musyawarah
6. Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur
7. Keputusan dapat dipertanggungjawabkan kepada tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
nilai kebenaran dan keadilan
Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan
sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan

kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang
terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar rezim
otoritarian baru di bawah Soeharto.
Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru
sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila
oleh rezim orde baru kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan
memperkuat otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila perlu disosialisasikan sebagai
doktrin komprehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala
tindakan pemerintah yang berkuasa. dalam diri masyarakat Indonesia. Adapun dalam
pelaksanaannya upaya indroktinisasi tersebut dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari
pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4.
Upaya pengkultusan terhadap pancasila dilakukan pemerintah orde baru guna
memperoleh kontrol sepenuhnya atas Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah orde baru
menempatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh
diganggu gugat. Penafsiran dan implementasi Pancasila sebagai ideologi terbuka, serta UUD
1945 sebagai landasan konstitusi berada di tangan negara. Pengkultusan Pancasila juga tercermin
dari penetapan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober sebagai peringatan atas
kegagalan G 30 S/PKI dalam upayanya menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis.
Retorika mengenai persatuan kesatuan menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia yang
sangat plural kemudian diseragamkan. Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik
pembangunan yang unilateral. Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan tempat untuk
didiskusikan secara intensif. Sebagai pucaknya, pada tahun 1985 seluruh organisasi sosial politik
digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas
tunggal dan setiap warga negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang
menolak Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau penghasut. Dengan
demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga
memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat dengan
negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau subversif.
Sosialisasi Pancasila melalui Penataran P4
Pada era Orde Baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila,
pemerintah secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di
masyarakat. Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk
melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah membentuk pemahaman
yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut
maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde
Baru. Selain sosialisasi nilai Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa, dalam kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang
Dasar 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi
tanggung jawab dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (BP7).
Akan tetapi cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda,
berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam penataran P4,
ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila

tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai
dengan keteladanan yang benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu
mengucapkan kata-kata Pancasila dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu
bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin
membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan
hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain
(rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila
hanya digunakan sebagai slogan yang menunjukkan kesetiaan semu terhadap pemerintah yang
sedang berkuasa.
Kesimpulan
Kecenderungan orde baru dalam memandang Pancasila sebagai doktrin yang
komprehensif terlihat pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena
itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara terpusat. Pada akhirnya, pandangan
tersebut bermuara pada keadaan yang disebut dengan perfeksionisme negara. Negara
perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi
masyarakatnya, dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar kebenaran yang
dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Sehingga formulasi kebenaran
yang kemudian muncul adalah sesuatu dianggap benar kalau hal tersebut sesuai dengan
keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap salah kalau bertentangan dengan kehendak
penguasa.
Pelaksanaan Pancasila Pada Masa Reformasi
Dilaksanakan dengan tekad memberi perhatian yang benar terhadap pelaksanaan demokrasi di
berbagai bidang.
Ciri-ciri umum :
1. Adanya penegakan kedaulatan rakyat
2. Adanya pembagian secara tegas wewenang kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan
yudikatif
3. Adanya penghormatan terhadap keberagaman asas, ciri, aspirasi, dan program partai
politik
Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum yang ada di Negara Kesatuan
Republik Indonesia, merupakan Maha karya pendahulu bangsa yang tergali dari jati diri dan
nilai-nilai adi luhur bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dengan berbagai kajian ternyata
didapat beberapa kandungan dan keterkaitan antara sila tersebut sebagai sebuah satu kesatuan
yang tidak bisa di pisahkan dikarenakan antar sila tersebut saling menjiwai satu dengan yang
lain. Ini dengan sendirinya menjadi ciri khas dari semua kegiatan serta aktivitas desah nafas dan
jatuh bangunnya perjalanan sejarah bangsa yang telah melewati masa-masa sulit dari jaman
penjajahan sampai pada saat mengisi kemerdekaan.
Ironisnya bahwa ternyata banyak sekarang warga Indonesia sendiri lupa dan sudah asing
dengan pancasila itu sendiri. Ini tentu menjadi tanda tanya besar kenapa dan ada apa dengan kita

sebagai anak bangsa yang justru besar dan mengalami pasang surut masalah negari ini belum
bisa mengoptimalkan tentang pengamalan nilai-nilai Pancasila tersebut. Terlebih lagi saat ini
dengan jaman yang disepakati dengan nama Era Reformasi yang terlahir dengan semangat untuk
mengembalikan tata negara ini dari penyelewengan-penyelewengan sebelumnya.
Arah dan tujuan reformasi yang utama adalah untuk menanggulangi dan menghilangkan
dengan cara mengurangi secara bertahap dan terus-menerus krisis yang berkepanjangan di segala
bidang kehidupan, serta menata kembali ke arah kondisi yang lebih baik atas system
ketatanegaraan Republik Indonesia yang telah hancur, menuju Indonesia baru. Pada masa
sekarang arah tujuan reformasi kini tidak jelas juntrungnya walaupun secara birokratis, rezim
orde baru telah tumbang namun, mentalitas orde baru masih nampak disana-sini. Sedangkan
pancasila adalah sebagai ideologi bangsa Indonesia yang merupakan hasil dari penggabungan
dari nilai-nilai luhur yang berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah
ideologi politik, Pancasila bisa bertahan dalam menghadapi perubahan masyarakat, tetapi bisa
pula pudar dan ditinggalkan oleh pendukungnya. Hal itu tergantung pada daya tahan ideologi
tersebut. Ideologi akan mampu bertahan dalam menghadapi perubahan masyarakat bila
mempunyai tiga dimensi. Ketiga dimensi antara lain sebagai berikut meliputi :
1). Idealisme, yaitu kadar atau kualitas idealisme yang terkandung di dalam ideologi atau
nilai- nilai dasarnya. Kualitas itu menentukan kemampuan ideologi dalam memberikan
harapan kepada berbagai masyarakat untuk mempunyai atau membina kehidupan bersama
secara lebih baik dan untuk membangun suatu masa depan yang lebih cerah.
2). Realita, menunjuk pada kemampuna ideologi untuk mencerminkan realita yang hidup
dalam masyarakat dimana ia muncul untuk pertama kalinya, paling kurang realita pada saat
awal kelahirannya.
3) Fleksibilitas, yaitu kemampuan ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan
diri dengan pertumbuhan atau perkembangan masyarakatnya. Mempengaruhi berarti ikut
mewarnai proses perkembangan. Sedangkan Menyesuaikan diri berarti bahwa masyarakat
berhasil menemukan tafsiran-tafsiran terhadap nilai-nilai dasar dari ideologi sesuai dengan
realita-realita baru yang muncul dan mereka hadapi.

Maka dari itu pancasila sebagai ideologi haruslah mempunyai dimensibilitas agar
substansi-substansi pokok yang dikandungnya tidak lekang dimakan waktu. Pada masa reformasi
yang dimulai dari tahun 1998 hingga masa sekarang, orang-orang mulai menanyakan revelansi
dari pancasila untuk menjawab segala tantangan zaman terlebih lagi di era globalisasi seperti
sekarang ini. Maka Pancaila menurut saya mutlak masih diperlukan.
Reformasi bergulir di Indonesia dengan di motori oleh mahasiswa dan tokoh-tokoh
bangsa ini yang merasa bahwa krisis yang melanda negara ini di awali dari krisis ekonomi
ternyata telah membawa kita pada krisis yang lebih besar seperti krisis politik, kepemimpinan
dan akhirnya pada suksesi atau pergantian kepemimpinan secara nasional. Tentu telah banyak
korban yang berguguran dalam proses reformasi tersebut semisal contoh mahasiswa trisakti yang
menjadi korban dalam tragedi semanggi I-II, kerusuhan masa yang anakis dan rutal dengan
melakukan penjarahan, pemerkosaan, pengerusakan fasilitas-fasilitas umum di Jakarta, solo,
Medan, dan kota-kota lain di Indonesia. Semangat dan jiwa reformasi yang digulirkan menjadi
kacau dan tidak tentu arah dan justru malah menodai nilai dan tujuannya sendiri. Tentu ini
menjadi tanda tanya besar ketika semangat untuk meluruskan dan mengembalikan tatanan negara
ini menjadi lebih baik justru di lapangan justru kita temui hal yang kontraproduktif.
Salah satu tujuan reformasi dibidang politik dan hukum adalah mengembalikan UUD 1945 dan
pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan bangsa dan negara. Kita dapat mengetahui dengan
seksama bahwa dalam pelaksanaan UUD 1945 dan pancasila dalam masa orma dan orba terjadi
deviasia/ penyimpangan oleh oknum-oknum penyelenggara pemerintah. Sehingga dalam
pelaksanaan berpolitik dan berpemerintahan hanya menjadi senjata dan dalil pembenaran dari
semua tujuan penguasa untuk melanggengkan dan menikmati kekuasaan sehingga muncul
pemerintahan yang lalu seperti otoliter obsolud, terpimpin dan kolusi untuk korupsi dan
nepotisme dalam kekuasaan.
Ini tentu tidak mudah untuk membuat sebuah latar balik dan mengembalikan semangat
seperti awalnya memerdekaan bangsa ini. Kekuasaan penuh dan perilaku birokrasi yang
sistematis membuat apa yang mereka lakukan seolah selalu benar dan tidak ada penyimpangan
dari nilai dan norma yang terkandung dalam pancasila. Butuh waktu dan sebuah generasi yang

solid untuk dapat menempatkan kembali roh dan semangat pancasilaisme terutama pada generasi
yang sekarang ini. Lebih lagi jumlah materi dan pedoman tentang pancasila sudah sangat jauh
terkurang baik dimasyarakat umum maupun lembaga lembaga pendidikan yang sebenarnya
mempunyai peranan penting dan vital dalam menanamkan doktrin ideologi pancasila serta nilai
nilai yang terkandung untuk dapat di amalkan dalam kehidupan sehari hari.
Dulu setiap sekolah dan kelompok organisasi selalu di wajibkan untuk mengikuti
Penataran Pelaksanaan Pengamalan Pancasila ( P4) dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan
tinggi, dari kelompok karang Taruna Desa sampai Pejabat negara. Secara lahirlah ini perlu
ditingkatkan dan memang itu semua sebagai cara memberikan pendoktrinisasi anak bangsa untuk
lebih mengerti dalam melaksanakan pancasila. Hanya saja satu materi dan doktrinisasi yang
harus dibuat lagi seperti yang dulu yang hanya untuk tujuan dan kapentingan penguasa negara
dengan single mayority atau stabilitas nasional dalam arti semu.
Satu kata kunci yang sekarang menjadi asing sudah luntur dari kita sebagai bangsa
adalah pancasila sebagai ideologi NKRI. Dapat kita ketahui bersama dari uraian dan penjabaran
Pancasila dalam strategi Politik Nasional, Ali Murtopo. CSIS, 1947 Hal 173 dapat kita ambil
garis besar sebagai berikut :
1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa negara adalah
berdasar dan percaya pada tuhan yang maha esa dengan kewajiban setiap warganya mengkui
adanya Tuhan.
2. Sila kedua, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, mengandung pengertian dan pengakuan
akan penghargaan terhadap sesama manusia lepas dari asal usul, keyakinan, ras, serta
pandangan politik adalah sama.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mengandung arti sesuai dengan pernyataan
kemerdekaan angsa di maknakan sebagai pengertian kesatuan dan bangs ini adalah satu
dengan mengatasi paham perseorangan dan golongan dalam satu NKRI.
4. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin olah Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan / Perwakilan, mengandung arti bahwa demokrasi bangsa Indonesia bukan
Demokrasi bangsa indonesia bukan demokrasi yang menitikberatkan pada kepentingan

individu, namun pada pelaksanaan demokrasi pancasila yang mengikutsertakan semua


golongan dengan jalan musyawarah untuk mufakat.
5. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengandung arti bahwa
golongan kemasyarakatan harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak ada golongan yang
menekan golongan lain dan mendapat perlakuan yang adil dalam bekerja, hidup tertib,
tentram dan layak.
6. Bila kita bangga sebagai bangsa Indonesia yang mempunyai jati diri sebagai angsa maka
kita harus pada nilai nilai dasar yang harus kita pegang teguh bersama. Terlebih lagi pada
saat ini kita hidup di jaman reformasi yang seharusnya justru kita mengembalikan nilai
nilai dasar negara kita. Nilai nilai dasar tersebut adalah :
a. Pancasila sebagai landasan dan falsafah hidup bangsa yang tumbuh dari dasar bumi
indonesia. Tidak ada yang keliru dari pancasila yang di dalamnya termuat lima nilai dasar
universal yaitu: believe in god, nationalisme, internasionalisme, democracy, and social
justice. Kelima dasar ini harus menjadi paradigma baru yang ada dalam ruh hati yang
paling dalam serta jangan pernah hilang kapan pun, dimanapun, dan bagaiamanapun.
b. Tujuan NKRI, bagai sebuah kapal tentu negara ini punya tujuan yang tidak boleh
digoyah dan wajib untuk tetap diamankan sebagaimana dapat kita lihat dalam pembukaan
UUD 45 yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidu[pan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertibn dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
social.
c. Bineka tunggal ika, adalah semangat untuk menakomodasi peredaan dan kemajemukan
bangsa tetap dalam kerangka NKRI dan justru sebagai sebuah khasanah serta aset
nasional memperkukuh integrasi bangsa.
d. Reformasi, semangat untuk tetap mereformasi dengan sifat untuk menyempurnakan
dari kekurangan bangsa serta dengan konsep, agenda yang jelas didukung kerja keras
semua komponen bangsa untuk memajukan dan memberikan sumbangsih serta semangat
untuk rela berkorban demi bangsa ini.

e. Ada sebuah seni yang sederhana dalam kita memulai semangat pengamalan nilai-nilai
pancasila yakni tiga M seperti :
1. mulai dari diri sendiri, adalah mimpi bisa mengubah apapun dengan baik tanpa diawali
perubahan pada diri kita sendiri, memperbaiki diri sendiri berarti memulai segalanya.
2. mulai dari hal kecil-kecil, tidak ada prestasi yang besar kecuali rangkaian prestasi
kecil yang mudah dan dapat kita laksanakan dengan niat dan jalan yang baik.
3. mulai sekarang juga, janganlah menunda pekerjaaan yang bisa kita lakukan sekarang
karena terlambat dalam kita menjalankan tugas hanya berakibat menambah persoalan semakin
banyak saja
Perkembangan ppkn

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


DI INDONESIA
Oleh : Asep Sutisna Putra, M.Pd.
Sebagai mata pelajaran di sekolah, Pendidikan Kewarganegaraan telah
mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun
substansinya. Hal tersebut dapat dilihat dalam substansi kurikulum PKn
yang sering berubah dan tentu saja disesuaikan dengan kepentingan
negara. Secara historis, epistemologis dan pedagogis, pendidikan
kewarganegaraan berkedudukan sebagai program kurikuler dimulai dengan
diintroduksikannya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun 1962
yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata
pelajaran Civics ataukewarganegaraan, pada dasarnya berisikan
pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah,
geografi, ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi
manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa
(Somantri, 1969:7). Istilah Civics tersebut secara formal tidak dijumpai
dalam Kurikulum tahun 1957 maupun dalam Kurikulum tahun 1946.
Namun secara materiil dalam Kurikulum SMP dan SMA tahun 1957
terdapat mata pelajaran tata negara dan tata hukum, dan dalam kurikulum
1946 terdapat mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya
memasukkan pengetahuan mengenai pemerintahan.

Kemudian dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969


istilah civics dan Pendidikan Kewargaan Negara digunakan secara
bertukar-pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968
digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai nama
mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi
Indonesia, dan civics (d iterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan
negara). Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan
Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi
termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat
mata pelajaran Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang
berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969
mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama
berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan
kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1968a; 1968b;
1968c; 1969). (Winataputra, 2006 : 1). Secara umum mata pelajaran
Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang nasionalisme,
patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan (Somantri,
2001:298)
Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah
menjadiPendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi
Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi
pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran
PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan
Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah
maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada
dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud:
1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa
itu berorientasi pada value inculcationdengan muatan nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97)
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim
Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan
kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal
39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994
mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan

memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan


Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya,
Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan
atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang
disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan
menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept
development (Taba,1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila
Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan
kelas serta catur wulan dalam setiap kelas.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini
karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge
dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya yang
dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan
pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku
yang beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan
pengetahuan dan kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini
nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari
(Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).
Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.
20 tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama
Kurikulum berbasis Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan
Kewarganegaraan berubah nama menjadiKewarganegaraan. Tahun 2006
namanya berubah kembali menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, dimana
secara substansi tidak terdapat perubahan yang berarti, hanya
kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan pada masingmasing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini dikenal
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn
sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan
dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya
krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional
kurikuler.
Secara Konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum
sebagai berikut :

(a)

Kewarganegaraan (1956)

(b)

Civics (1959)

(c)

Kewarganegaraan (1962)

(d)

Pendidikan Kewarganegaraan (1968)

(e)

Pendidikan Moral Pancasila (1975)

(f)

Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (1994)

(g)

Pendidikan Kewarganegaraan (UU No. 20 Tahun 2003)

Dari penggunaan istilah tersebut sangat terlihat jelas ketidakajegannya


dalam mengorganisir pendidikan kewarganegaraan, yang berakibat pada
krisis operasional, dimana terjadinya perubahan konteks dan format
pendidikannya. Menurut Kuhn (1970) krisis yang bersifat konseptual
tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep atau istilah yang
digunakan untuk pelajaran PKn. Krisis operasional tercermin terjadinya
perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran yang tidak artikulatif,
dan fenomena kelas yang belum banyak dari penekanan pada proses
kognitif memorisasi fakta dan konsep. Kedua jenis krisis tersebut terjadi
karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political
institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran
secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan
kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional
sebagai rujukan konseptual dan operasional.

Anda mungkin juga menyukai