Anda di halaman 1dari 13

ESSAY

Literasi Bahasa Indonesia

Jurnal 1

STRATEGI LITERASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA


BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Jurnal 2

URGENSI LITERASI INFORMASI DALAM KURIKULUM BERBASIS


KOMPETENSI DI PERGURUAN TINGGI

Jurnal 3

BUDAYA LISAN VS BUDAYA LITERASI MAHASISWA MELAYU: Implikasinya


pada Model Pembelajaran Mahasiswa

Disusun Oleh:

Nama : Putri Evani Malau


NIM : 2203311026
Kelas : Reguler E
Dosen Pengampu : Dr.Mohammad Joharis, M.Pd

PROGRAM STUDI S1
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
Essay 1

STRATEGI LITERASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA


BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Salah satu cara yang saat ini digalakkan adalah dengan menerapkan strategi literasi dalam
pembelajaran. Strategi literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat dikaitkan dengan
kearifan lokal mengingat nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat Jawa belum sepenuhnya
dipahami oleh siswa. Filosofi Jawa yang mengandung nili-nilai luhur perlu dikenalkan
kepada siswa melalui pembelajaran bahasa Indonesia. Untuk mengajarkan bahasa Indonesia,
guru dapat memilih teks atau bacaan yang mampu menginspirasi siswa dan mengaitkan isi
teks dengan kearifan lokal yang diambil dari filosofi Jawa. Filosofi Jawa yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam pembelajaran antara lain urip iku urup, memayu hayuning
buwana, umbrasta dur hangkara, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti. Penumbuhan
minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca sesuai Permendikbud 23 tahun 2015 bukan
tujuan akhir. Guru perlu memahami bahwa upaya pengembangan literasi tidak berhenti ketika
siswa dapat membaca dengan lancar dan memiliki minat baca yang baik sebagai hasil dari
pembiasaan budaya literasi. Pengembangan literasi perlu terjadi pada pembelajaran di semua
mata pelajaran untuk mengoptimalkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. para guru perlu
melakukan strategi literasi dalam pembelajaran.

KEARIFAN LOKAL

Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu
yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat (Rahyono, 2009:7). Hal ini mengandung arti
bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai kearifan yang dipercayai oleh masyarakat tertentu
melalui pengalaman mereka turun-menurun. Oleh karena itu kearifan lokal di satu daerah
belum tentu sama dengan daerah lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada
masyarakat tertentu seiring dengan perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan
masyarakat tersebut. Begitu pula kearifan lokal yang dipercayai masyarakat Jawa. Kearifan
lokal masyarakat Jawa sudah teruji oleh waktu dan melekat pada masyarakat itu sendiri. Tiga
filosofi Jawa berikut dapat digunakan sebagai pijakan gerakan literasi sekolah. Filosofi Jawa
yang pertama adalah urip iku urup yang mengandung arti hidup itu hendaknya memberi
manfaat bagi orang lain di sekitar kita. tentu akan lebih baik. Namun, jika tidak bisa
memberikan manfaat yang besar, sekecil apa pun manfaat yang dapat kita berikan, kita tidak
boleh menggangu dan meresahkan masyarakat. Filosofi Jawa yang kedua yaitu memayu
hayuning bawana, ambrasta dur hangkara Falsafah tersebut mengandung arti manusia hidup
di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, serta
memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak Jika setiap siswa dibekali dengan
filosofi ini maka 10 tahun yang akan dating Negara Indonesia akan terbebas dari keserakahan
dan korupsi. Siswa harus dibekali dengan sikap baik yang akan membawa pada kebahagiaan
dan kesejahteraan umat Filosofi yang ketiga adalah sura dira jayaningrat, lebur dening
pangastuti. Filosofi ini mempunyai arti segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya
bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar. Siswa harus dibiasakan dengan
perilaku sabar, lembut, dan bijak. Jika karakter ini sudah dipunyai oleh semua siswa, dapat
dipastikan tidak akan terjadi kekerasan di lingkungan sekolah, tawuran, dan bullying.
Karakteristik siswa usia perkembangan yang mudah terpancing emosi dan mudah marah
dapat ditangkal dengan karakter ini. Pemahaman bahwa kekerasan bukan cara yang baik
untuk menyelesaikan masalah dapat selalu digalakkan di lingkungan sekolah. Ketiga filosofi
tersebut dapat dipilih sekolah untuk penumbuhan karakter siswa melalui gerakan literasi
khususnya strategi literasi dalam pembelajaran. Ilustrasi gambar, video, teks, atau media yang
lain yang digunakan selama pembelajaran hendaknya tidak keluar dari tiga filosofi urip iku
urup, memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara, dan suru dira jayaningrat, lebur
dening pangastuti. Strategi Literasi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Penguasaan literasi
mutlak diperlukan di era sekarang mengingat kompetisi di segala bidang sangat ketat
sementara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlangsung dengan sangat cepat.
Ciri pendidikan literasi meliputi tiga R. yaitu: Responding. Revising, dan Reflecting
(Saomah, 2017). Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana
siwa dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di bangku
sekolah. Literasi juga terkait dengan kehidupan siswa, baik di rumah maupun di lingkungan
sekitarnya untuk menumbuhkan budi pekerti mulia. Secara sederhana, literasi dapat diartikan
sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis Kita mengenalnya dengan melek aksara
atau keberaksaraan. Namun sekarang int fiterasi memiliki arti luas. sehingga keberaksaraan
bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi literacies). Ada
bermacam-macam keberaksaraan atani literasi, misalnya literasi komputer (computer
literacy), literasi media (media literacy). literasi teknologi (technology literacy), literasi
ekonomi (economy literacy), literasi informasi (Information literacy), bahkan ada literasi
moral (moral literacy). Jadi, keberaksaraan atau Iiterasi dapat diartikan melek teknologi,
melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap
politik. Seorang dikatakan literat jika ini sudah bisa memahami sesuatu karena membaca
informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaun
tersebut (Naibaho, 2007).Penumbuhan literasi di sekolah dapat dilakukan melalui kegiatan
rutin dan kegiatan insidental. Kegiatan tersebut dilakukan dalam tiga tahapan literasi yaitu
tahap pembiasaan, pengembangan dan pembelajaran. Berikut skema pelaksanaan strategi
literasi di sekolah (Kemdikbud 2017:12).Tiga Tahapan Pelaksanaan Literasi Sekolah:

1. Penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca (Permendikbud


23/2015); tanpa tagihan.
2. Meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan;
xda tagitan nonakademik.
3. Meningkatkan kemampuan literasi di semua mata pelajaran menggunakan buku
pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran ada tagihan akademik
dan/atau nonakademik.

Tujuan utama penggunaan strategi literasi dalam pembelajaran adalah untuk membangun
pemahaman siswa, keterampilan menulis dan keterampilan komunikasi secara menyeluruh
Tiga hal ini akan bermuara pada pengembangan karakter dan keterampilan berpikir tingkat
tinggi. Selama ini berkembang pendapat bahwa literasi hanya ada dalam pembelajaran bahasa
atau di kelas bahasa. Pendapat ini tentu saja tidak tepat karena literasi berkembang rimbun
dalam bidang matematika, sains, ilmu sosial, teknik, seni, olahraga, kesehatan, ekonomi,
agama, prakarya dil. (ef. Robb, L dalam kemdikbud 2017:13). Pembelajaran yang
menerapkan strategi literasi penting untuk menumbuhkan pembaca yang baik dan kritis
dalam bidang apa pun. Berdasarkan beberapa sumber dapat disarikan tujuh karakteristik
pembelajaran yang menerapkan strategi literasi yang dapat mengembangkan kemampuan
metakognitif yaitu: (1) pemantauan pemahaman teks (siswa merekam pemahamannya
sebelum, ketika, dan setelah membaca), (2) penggunaan berbagai moda selama pembelajaran
(literasi multimoda), (3) instruksi yang jelas dan eksplisit, (4) pemanfaatan alat bantu seperti
pengatur grafis dan daftar cek, (5) respon terhadap berbagai jenis pertanyaan. (6) membuat
pertanyaan, (7) analisis, sintesis, dan evaluasi teks, (8) meringkas isi teks. Tahap literası
dalam pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kearifan lokal dapat dilakukan hal-hal
berikut.Indikator literasi(1) Pada tahap Think-uloud siswa diharapkan dapat membunyikan
secara lisan apa yang ada di dalam pikiran siswa pada saat berusaha memahami bacaan,
memecahkan masalah, atau mencoba menjawab pertanyaan guru atau siswa lain. Kaitkan
setiap isi bacaan dengan muatan kearifan lokal. Strategi ini dapat membantu siswa memonitor
pemahamannya, berpikir tingkat tinggi, dan membentuk karakter (2) Inferensi merupakan
simpulan sementara berdasarkan informasi yang tersirat dalam teks. Inferensi dapat didukung
dengan ciri/bukt/fitur khusus yang ada dalam teks Strategi ini dapat membantu siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tingg. (3) Keterkaitan antarteks atau
intertekstualitas merujuk pada keterkaitan teks dengan teks wang pernah dibaca sebelumnya,
teks dengan pengalaman pribadi, atau teks dengan halving membantu siswa membentuk
karakter dan berpikir tingkat tinggi. Istilah "ringkasan" dalam arti luas diperoleh dengan
kegiatan meringkas isi, (4) mengidentifikasi gagasan utama, menceritakan kembali, membuat
sintesis, membuat pertanyaan tentang isi, dan sebagainya. Kegiatan ini membantu siswa
membentuk karakter dan berpikir tingkat tinggi (5) Evaluasi teks dapat berwujud antara lain
(a) membuat opini terkait teks; (b) membuat penilaian langsung: (c) intertekstualitas:
mengaitkan dengan teks lain; mengaitkan dengan pengalaman pribadi, pengetahuan
sebelumnya, lokal dan plobal (d) memilih/menentukan moda yang paling sesuai untuk tujuan
tertentu, misalnya untuk menjelaskan siklus kehidupan, dipilih moda gambar siklus (bukan
teks tulis). Kegiatan ini membantu siswa membentuk karakter dan berpikir tingkat tinggi:(6)
Moda merujuk pada bagaimana atau dengan cara apa pesan disampaikan (teks tulis, audio,
visual, audiovisual, digital, kinestesik, dsb.) Moda yang lain (selain cetak) dapat berwujud
visualisasi teks dan/atau respon indrawi lain dramatisasi, refleksi pemahaman dengan
membuat teks bentuk lain: lisan, tulisan, audio, visual, audio visual, kinestesik. (7) Pengatur
grafis (graphic organizers) adalah berbagai bentuk tabel atau grafik untuk membantu
pemahaman dengan cara mengorganisasikan ide/ pikiran/ gagasan. (8) Pemahaman makna
kata-kata sulit dalam teks dapat menggunakan petunjuk dalam teks (konteks).

Simpulannya literasi dalam pembelajaran adalah langkah ketiga gerakan literasi sekolah
setelah penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca (tanpa tagihan) dan
meningkatkan kemampuan literasi melalui kegiatan menanggapi buku pengayaan (dengan
tagihan). Strategi literasi dalam pembelajaran dilakukan agar siswa dapat mempelajari konten
dengan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Siswa tidak hanya dituntut
untuk memahami isi teks setelah membaca tetapi melakukan serangkaian kegitan sebelum,
selama, dan setelah membaca.Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, strategi litarasi perlu
dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menerapkan strategi literasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kearifan lokal.
Untuk melakukan hal tersebut, guru dapat memilih teks atau bacaan yang dapat
menginspirasi siswa dan mengaitkan isi teks dengan kearifan local yang diambil dari filosofi
Jawa urip iku urup, memavu hayuming bawana, ambrasta dur hangkara, sura dira jayaningrat,
lebur dening pangastuti.

Essay ke 2

URGENSI LITERASI INFORMASI DALAM KURIKULUM BERBASIS


KOMPETENSI DI PERGURUAN TINGGI

Literasi informasi adalah mengetahui kapan dan mengapa seseorang membutuhkan


informasi, di mana menemukannya, dan bergerak ngvilugte, menggunakan dan
mengkomunikasikannya dengan cara yang etis. Untuk menjadi melek informasi, seseorang
harus mampu mengenali kapan informasi dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk
menemukan, mengevaluasi dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara tepat. Biro
Pendidikan Internasional (Komisi Internasional Pendidikan Abad 21). UNESCO
merekomendasikan kurikulum berbasis kompetensi dengan empat pilar: belajar untuk
mengetahui, belajar untuk melakukan, belajar untuk hidup bersama, dan belajar untuk
menjadi. Literasi informasi memiliki peran penting untuk mencapainya.

Penguasaan literasi informasi dipandang sangat penting da dalam proses pembelajaran


sehingga menjadi bagian dari program pendidikan. Dalam lingkup yang lebih luas, bahwa
program literasi informasi sebenarnya adalah program pemberdayaan masyarakat khususnya
dalam bidang informasi.Literasi informasi berhubungan erat dengan tugas pokok pelayanan
perpustakaan. Dalam perkembangannya, para pustakawan terutama pustakawan pada
perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, umumnya memandang keterampilan yang hendak
dikembangkan dalam program literasi informasi adalah berupa keterampilan yang tidak
mengundang permasalahan (non-problematis). Artinya, bahwa kemampuan seseorang untuk
mencari dan menemukan informasi adalah berupa serangkaian keterampilan yang
dipindahkan dari pustakawan kepada pengguna untuk tujuan memudahkan pelayanan dan
merepotkan pustakawan. Termasuk di dalam keterampilan ini adalah kemampuan mencari
informasi. memilih sumber informasi secara cerdas, menilai dan memilah-milah sumber
informasi, menggunakan serta menyajikan informasi secara etis (Webber dan Johnston,
2000). Literasi informasi sebagai kemampuan mencari, mengevaluasi, dan menggunakan
informasi yang dibutuhkan secara efektif bukanlah merupakan kemampuan atau keterampilan
baru yang muncul sebagai tuntutan dari era informasi. Kebutuhan akan penguasaan
kemampuan ini telah muncul sejak puluhan tahun lalu, yang berubah hanyalah jumlah dan
bentuk dari informasi yang tersedia serta cara untuk mengakses dan mendapatkannya. Lima
puluh tahun yang lalu sumber informasi yang tersedia pada umumnya didominasi media
tercetak seperti buku, surat kabar, jurnal, dan terbitan pemerintah.

LITERASI INFORMASI

Definisi tentang literasi informasi sangat banyak dan terus berkembang sesuai kondisi waktu
dan perkembangaan lapangan. Dalam rumusan yang sederhana literasi informasi adalah
kemampuan mencari, mengevaluasi dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara
efektif. Hakekat dari literasi informasi adalah seperangkat keterampilan yang diperlukan
untuk mencari, menelusur, menganalisis, dan memanfaatkan informasi (Bundy. 2001). Work
Group on Information Literacy dari California State University, mendefinisikan literasi
informasi sebagai kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan
informasi dalam berbagai format. Untuk dapat melakukannya maka perncari informasi harus
mampu menunjukkan sejumlah keahlian dalam suatu proses yang terpadu, yaitu:

a) Menyatakan pertanyaan, permasalahan, atau isu penelitian.

b) Menentukan informasi yang dibutuhkan untuk pertanyaan, permasalahan atau isu

penelitian.

c) Mengetahui tempat letak dan menemukan informasi yang relevan.

d) Mengorganisasikan informasi.

e) Menganalisa dan mengevaluasi informasi

f) Mensintesa informasi.

g) Mengkomunikasikan dengan menggunakan berbagai jenis teknologi informasi.

h) Menggunakan perangkat teknologi untuk memperoleh informasi.

i) Memahami etika, hukum, dan isu-isu sosial politik yang terkait dengan informasi dan
teknologi informasi.
j) Menggunakan, mengevaluasi, dan bersifat kritis terhadap informasi yang diterima dari
media massa.

k) Menghargai bahwa keahlian yang diperoleh dari kompetensi informasi memungkinkan


untuk belajar seumur hidup (California State University, 2002).

LITERASI INFORMASI DAN DUNIA PERGURUAN TINGGI

Ketersediaan sumberdaya informasi merupakan faktor penting dalam dunia perguruan tinggi.
Pernyataan klasik menyatakan bahwa perpustakaan sebagai pusat tersediaanya berbagai
sumberdaya informasi disebut sebagai jantungnya perguruan tinggi. Manfaat kompetensi
literasi informasi dalam dunia perguruan tinggi adalah:

a) Menyediakan metode yang telah teruji untuk dapat memandu mahasiswa kepada berbagai
sumber informasi yang terus berkembang. Sekarang ini individu berhadapan dengan
informasi yang beragam dan berlimpah. Info tersedia melalui perpustakan, sumber-sumber
komunitas, organisasi khusus, media, dan internet

b) Mendukung usaha nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Lingkungan belajar


yang proaktif mensyaratkan setiap mahasiswa memiliki kompetensi literasi informasi.
Dengan keahlian informasi tersebut maka mahasiswa akan selalu dapat mengikuti
perkembangan bidang ilmu dipelajarinya.

c)Menyediakan perangkat tambahan untuk memperkuat isi perkuliahan. Dengan kompetensi


literasi informasi yang dimilikinya, maka mahasiswa dapat mencari bahan-bahan yang
berhubungan dengan perkuliahan sehingga dapat menunjang isi perkuliahan tersebut.

d)Meningkatkan pembelajaran seumur hidup. Meningkatkan pembelajaran seumur hidup


adalah misi utama dari institusi pendidikan tinggi. Dengan memastikan bahwa setiap individu
memiliki kemampuan intelektual dalam berpikir secara kritis yang ditunjang dengan
kompetensi informasi yang dimilikinya maka individu dapat melakukan pembelajaran
seumur hidup secara mandiri (California State University 2001).

Simpulannya Kurikulum berbasis kompetensi bertujuan untuk menciptakan sejumlah


kemampuan atau kompetensi dalam rangka pembelajaran seumur hidup. Pembentukan
kompetensi memerlukan ketersediaan informasi yang bermakna. Informasi akan tenus
mengalir, membanjir, tiada henti dan habis-habisnya, dan menawarkan berbagai macam
pilihan. Kelimpahruahan informasi ini menuntut keterampilan mengelola, mencermati, dan
menyaring secara efisien. Berbeda dengan informasi dan perpustakaan, informasi dari dunia
maya mempunyai ketersediaan yang melampaui batas ruang dan waktu. Informasi yang
bersumber dari perpustakaan cenderung diterima sebagai informasi yang andal karena sumber
informasinya dianggap dipercaya. Akan tetapi, dari dunia maya, segala macam informasi
membaur dari yang masih mentah, dalam proses diolah sampai yang sudah matang, oleh
karena itu keotentikan, kesahihan (validity) dan keandalannya patut dipertanyakan. Perlu
seperangkat kemampuan atau kompetensi untuk mengelola dan memanfaatkan informasi
secara efektif yaitu kemampuan literasi informasi.

Essay 3

BUDAYA LISAN VS BUDAYA LITERASI MAHASISWA MELAYU: Implikasinya


pada Model Pembelajaran Mahasiswa

Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura


(Untan) sebagian besar berasal dari berbagai daerah di wilayah Kalimantan Barat. Mereka
pada umumnya dapat diidentifikasikan sebagai orang Melayu karena Kalimantan Barat
adalah bagian wilayah pulau Kalimantan yang disebut sebagai pulau Melayu (James T. Collin
dalam Chairil Effendi, 2006). Tugas rutin mereka sebagai mahasiswa, adalah belajar, yaitu
mengikuti perkuliahan secara tatap muka dengan para dosen, praktek laboratorium dan
mengerjakan tugas-tugas akademik perkuliahan lainnya, terutama tugas-tugas dan tes-tes
dalam bentuk literasi dan selebihnya adalah tugas-tugas dalam bentuk lisan seperti diskusi,
presentasi, seminar dan ujian-ujian lisan mata kuliah tertentu serta ujian skripsi.Kegiatan itu
mulai dari yang paling sederhana seperti membaca buku-buku teks, membuat catatan
perkuliahan, membuat rangkuman dari hasil bacaan, menjawab soal-soal latihan atau ujian,
menulis laporan hasil pengamatan lapangan atau pengamatan laboratorium, menulis paper
sampai dengan mengerjakan tugas akhir berbentuk penelitian, dan penulisan laporan
penelitian atau skripsi.

Dalam dunia pendidikan, mahasiswa dipandang sebagai individu-individu yang unik dan
berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka berbeda berdasarkan Latar belakang sosial
ekonomi, kebudayaan, gender, proses perkembangan, serta berbeda dalam cara dan
kemampuan belajar. Di samping itu, secara sosial budaya, mereka adalah anggota suatu
kelompok masyarakat yang berkongsi hal-hal yang sama berupa bahasa, nilai-nilai, tradisi-
tradisi, dan cara-cara dalam melakukan sesuatu atau yang biasa disebut dengan memiliki
kesamaan budaya. Apabila hampir semua orang berkongsi kebudayaan yang sama itu,
kebudayaan itu disebut sebagai mayoritas budaya atau budaya dominan (Cruickshank, et al.,
2006). Dengan demikian, masalah pendidikan dalam konteks penelitian ini harus ditinjau dari
berbagai disiplin ilmu antara lain psikologi, sosiologi dan ilmu kebudayaan selain ilmu
pendidikan itu sendiri, Oleh sebab itu, pada bagian berikut ini akan diuraikan isu-isu yang
berkenaan dengan latar belakang sosial budaya mahasiswa, Selain itu akan diuraikan pula
hal-hal yang berkenaan dengan budaya Melayu dengan identitas dominan budaya lisannya
(oral culture) serta kampus sebagai institusi pendidikan dengan identitas dominan budaya
literasinya (literate culure). Berikutnya adalah pembahasan mengenai pilihan strategi atau
model pembelajaran yang dapat mengakomodasi aktivitas kelisanan dan literasi sebagai
representasi dan kedua budaya tersebut.

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA DAN PSIKOLOGIS MAHASISWA

Sebagaimana telah banyak dibuktikan bahwa keberhasilan atau kegagalan mahasiswa dalam
belajar adalah berhubung kait dengan latar belakang psikologis, wil dan budaya mereka. Oleh
sebab itu, untuk menjadi seorang pendidik ping sales, ia seharusnya mengetahui latar
belakang sosial budaya para peserta didikaya di samping latar belakang psikologis mereka.
Secara psikologis, peserta didik dapat dibedakan berdasarkan tingkat usia serta variabel
variabel lain xperti bakat, kepribadian, gaya belajar, tingkat kemampuan bahasa dan motivasi
Hamer, 2004). Kategorisasi ini menjadi penanda seperti apa peserta didik yang mereka
hadapi sehingga dengan demikian tugas-tugas belajar yang sesuai dapat dikembangkan oleh
sang pendidik itu.Dalam pada itu, dari latar belakang sosial budaya, peserta didik dapat
diidentifikasikan berdasarkan asal usul kelompok sosial atau kelompok etnik atau ras tertentu.
Dalam kaitan ini, mereka dapat diidentifikasikan berdasarkan hal-hal yang mereka kongsi
bersama, misalnya bahasa yang digunakan, nilai-nilai, tradisi-tradisi dan cara-cara melakukan
sesuatu. Hal-hal tersebut disebut dengan kebudayaan mayoritas. Namun demikian,
kebudayaan mayoritas tersebut tidak berarti harus berlaku sama rata bagi setiap individu dari
kelompok tersebut, melainkan biasanya terdapat sub-sub budaya yang menjadi minoritas
(Cruickshank, et al., 2006).

KELOMPOK ETNIK MELAYU SEBAGAI MAYORITAS DENGAN IDENTITAS


BUDAYA LISAN
Profil mahasiswa FKIP Untan dapat diidentifikasi berdasarkan daerah asal mereka.
Mayoritas, mereka berasal dari berbagai pelosok wilayah Kalimantan Barat. Sebagaimana
dikenali bahwa masyarakat Kalimantan Barat secara dominan adalah dari kelompok etnik
Melayu (54,20%), urutan berikutnya adalah kelompok etnik Dayak (33,42%) dan sisanya
adalah dari kelompok etnik Cina, Bugis, Jawa dan beberapa kelompok etnik lainnya (Bakran
Suni, 2009). Oleh sebab itu, hampir dapat dipastikan bahwa mayoritas mahasiswa FKIP
Untan adalah berlatar belakang sosial budaya etnik Melayu. Dengan demikian, mereka
mestinya berkongsi lebih kurang nilai-nilai dan budaya yang sama, berbahasa yang sama
meskipun dengan berbagai variasi dialek dan pada umumnya beragama Islam (Suwardi MS,
2008). Kesamaan perkongsian tersebut merupakan identitas orang Melayu pada umumnya.
Selain itu, dikatakan pula bahwa masyarakat Kalimantan Barat, khususnya orang-orang
Melayu, hidup dalam kelisanan primer (primary orality). Ini berarti bahwa keseluruhan
proses mentransfer dan menginternalisasi nilai-nilai sosial budaya dari generasi ke generasi
dalam masyarakat itu disampaikan melalui tuturan lisan (Chairil Effendy, 2006). Tuturan
lisan tersebut dikenal dengan tradisi tradisi berpantun, bersyair, berdongeng, penggunaan
ungkapan-ungkapan atau kata-kata bijak (proverbs) serta petatah-petitih sebagai kegiatan
rutin masyarakat atau sebagai ritual-ritual tertentu (Teeuw, 1994).

KAMPUS ATAU LEMBAGA PENDIDIKAN DENGAN IDENTITAS BUDAYA


LITERASI

Dari perspektif antropologi dan sosiologi, institusi pendidikan termasuk sulah satu institusi
sosial Institusi ini merupakan sistem yang dapat menjadikan paralisipan yang berada di sana
untuk saling berinteraksi berdasarkan pola pola formal atau sistem tentang bagaimana
berperilaku atau bertindak dan unikasi dengan aktivitas-aktivitas yang terkonsentrasi untuk
memenuhi han-kebutuhan dalam kehidupan sosial (Kuntjaraningrat, 1979). Lebih larut, Gilin
dan Gillin (dalam Sudarso, 2007) mengatakan bahwa institusi sosial memiliki beberapa
karakteristik, di antaranya adalah memiliki tujuan yang harus het dilengkapi dengan
prasarana dan sarana untuk memfasilitasi pencapaian tersebut dan memiliki dokumen-
dokumen tertulis sebagai referensi yang dirujuk dalam melaksanakan proses pencapaian
tujuan tersebut. Sebagai sebuah institusi sosial, salah satu ciri-ciri khas sekolah atau
perguruan tinggi adalah memiliki peraturan perundang-undangan tertulis sebagai rujukan
dalam mengatur peran mahasiswa, peran staf pengajar dan staf-staf lainnya serta seluruh
elemen yang ada dalam institusi tersebut. Salah satu dari dokumen rujukan ersebut adalah
kurikulum Selain itu, sekolah atau perguruan tinggi juga dilengkapi dengan berbagai bentuk
sarana, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak, untuk menunjang ketercapaian
tujuan nya. Salah satu sarana yang paling penting adalah ruang-ruang belajar dan
perpustakaan. Perpustakaan ini biasanya menyediakan sumber-sumber berbentuk cetakan
atau non-cetakan (elektronik). Belakangan ini sarana perpustakaan juga dilengkapi dengan
akses internet. Sarana lainnya adalah berbagai-bagai jenis laboratorium. Semua sarana ini
memfasilitasi civitas akademika perguruan tinggi untuk melakukan aktivitas literasi dan
komunikasi lisan, baik secara langsung tatap muka maupun tidak langsung. Untuk mediasi
kedua budaya yang saling bertentangan tersebut sehingga menjadi peluang pembentukan
budaya keilmuan yang positif bagi mahasiswa diperlukan strategi atau model pembelajaran
yang relevan. Dalam kaitan ini, salah Latu pendekatan yang dapat direkomendasikan adalah
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning), selanjutnya disingkat CTL.
Sebagai suatu ustem pendidikan yang holistik, CTL relevan untuk direkomendasikan dalam
rangka mengakomodasi budaya lisan yang melatarbelakangi mahasiswa dan sekali sus dalam
rangka pembentukan atau pengembangan budaya literasi di kalangan mereka. Mengapa CIL?
Jawabnya adalah karena CII dikenal sebagai proses pendidikan yang bertujuan membantu
pebelajar untuk dapat menemukan makna dalam materi pembelajaran yang mereka pelajari
dengan cara menghubungkan materi tersebut dengan konteks kehidupan sehari-hari, termasuk
konteks kepribadian mereka dan konteks lingkungan sosial budaya mereka. CTL terdiri dari
delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang
berarti, (3) belajar mengatur diri sendiri, (4) bekerjasama, (5) berfikir kritis dan kreatif, (6)
memperhatikan setiap individu, (7) mencapai standard yang tinggi (8) menggunakan
penilaian yang autentik.

Simpulannya Pertama, aktivitas kelisanan masih mendominasi baik di dalam dan di luar
kampus. Aktivitas kelisanan ini pada umumnya berlangsung dalam komunikasi informal
dalam obrolan atau bincang-bincang di kelas di luar jam kuliah di taman taman, di kantin-
kantin, dan di tempat-tempat terbuka lainnya di lingkungan kampus. Demikian pula ketika
mereka berada di rumah atau di tempat-tempat umum lainnya. Komunikasi lisan ini tidak
hanya berlangsung secara tatap muka tetapi juga dalam jarak jauh dan tidak langsung melalui
media komunikasi seperti telepon dan internet. Kedua, dapat disimpulkan bahwa aktivitas
literasi juga berlangsung dalam kegiatan sehari-hari mahasiswa. Namun demikian, kegiatan
itu masih terbatas untuk keperluan memenuhi tugas-tugas perkuliahan yang diberikan oleh
dosen, khususnya aktivitas literasi yang bersifat akademik. Meskipun fasilitas internet
memberi peluang bagi mahasiswa untuk mengembangkan budaya literasi formal men
akademik, mereka belum memanfaatkan fasilitas tersebut secara maksimal. Ketiga, budaya
kelisanan masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kepribadian mahasiswa sebagai
representasi dari komunitas etnik Melayu yang memiliki budaya tersebut. Ini disebabkan
budaya tersebut mengandung nilai-nilai positif secara sosial seperti nilai-nilai kebersamaan
atau kerjasama, kepedulian, solidaritas, kesantunan serta kenyamanan dalam berkomunikasi.

DAFTAR PUSTAKA:

California State University. 2002. Information an informasi Competence Assessment Phase


Two

Johnson, Elaine B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What It is and Why It's Here
to Stay, California: Corwin Press

Kemdikbud. 2017. Strategi Literasi dalam Pembelajaran di sekolah Menengah Pertama


Materi Penyegaran Instruktur Kurikulum 2013

Anda mungkin juga menyukai