ILMU PENGETAHUAN
oleh :
Erik Taufiqurrohman, M. Pd.
PROSES TERBENTUKNYA ILMU PENGETAHUAN
A. SYARAT ILMU PENGETAHUAN
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu
Pengetahuan (Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas
Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus
memenuhi tiga syarat, yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang
tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu
teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli
lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung
kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat
diterima oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain.
Pengetahuan akan menjadi ilmu apabila memenuhi syarat-syarat berikut
yaitu :
1. Logis, sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan yang diakui
kebenarannya.
2. Objektif, sesuai dengan objek yang dikaji dan didukung oleh fakta
empiris.
3. Metodik, pengetahuan diperoleh dengan cara-cara tertentu yang
teratur, dirancang, diamati, dan terkontrol.
4. Sistematik, berarti bahwa pengetahuan tersebut disusun dalam
suatu sistem yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling
menjelaskan sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
5. Universal, pengetahuan berlaku untuk siapa saja dan di mana saja
dengan tata cara dan variabel eksperimentasi yang sama dan hasil yang
diperoleh sama juga dan konsisten.
6. Kumulatif, khasanah ilmu pengetahuan selalu bertambah dengan
hadirnya ilmu pengetahuan baru.
B. Metode Penelitian Ilmiah
Metodologi Ilmiah Alam
• Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai
tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk
memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang
telah ada. Perkembangan ilmu sekarang ini dilakukan dalam ujud
eksperimen. Eksperimentasi ilmu kealaman mampu menjangkau objek
potensi-potensi alam yang semula sulit diamati
• Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu kealaman disebut
siklus-empirik. Ini menunjukkan pada dua hal yang pokok, yaitu siklus
yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-
ulang, dan empirik menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu
hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi.
• Metode siklus-empirik mencakup lima tahapan yang disebut observasi,
induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada
kelangsungan proses yang runut dari segenap tahapan prosedur ilmiah
tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering
kali dilakukan secara bersamaan (Soeprapto, 2003).
Metode ilmiah Ilmu Sosial
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial dapat
dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu: (1) pendekatan kuantitatif;
(2) pendekatan kualitatif.
1) Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme
yang dikembangkan pertama kali oleh Emile Durkheim (1964). Pandangan
dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud
dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial
tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya
sebagai benda, seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam.
Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati sesuatu fakta sosial,
untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan
fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan
suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi.
Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat
dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan
ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel
tergantung
OBJEKTIVITAS
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam
ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya
dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya
dari sikap, keinginan, kecenderungan untuk
menolak, atau menyukai data yang dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam
melakukan penilaian terhadap hasil
2) Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran
Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian
sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial, tetapi juga dan
terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-
tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala
sosial tersebut.
Oleh karena itu, metode yang utama dalam sosiologi dari Max
Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren
atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam
suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat berperan
sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami
para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang
terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya
Pedagogik Sebagai Ilmu Pengetahuan
• Pendidikan merupakan aktivitas yang didasarkan pada ide dan
pemikiran tentang tindakan mendidik sebagaimana diinginkan.
• Ilmu mendidik merupakan ilmu yang bukan hanya bersifat
murni, dan bukan tindakan yang tanpa dasar, tetapi merupakan
ilmu yang diarahkan kepada suatu tindakan tertentu.
• Ilmu mendidik atau pedagogik adalah ilmu praksis, yaitu
sesuatu yang terintegrasi antara konsep-konsep ilmiah
berdasarkan kajian logika dan kajian bagaimana menerapkan
ide dan prinsip di dalam tindakan atau perbuatan mendidik.
• Tindakan atau perbuatan mendidik yang didasarkan pada teori
dan konsep tertentu disebut pedagogi, sedangkan ilmu
mendidik yang didasarkan pada hasil kajian ilmiah tertentu
disebut pedagogik.
Landasan Pedagogik
Landasan ilmu berkenaan dengan titik tolak atau gagasan-
gagasan yang dijadikan sebagai sandaran atau tempat
berpijak para ilmuan dalam kegiatan ilmiahnya dan
berguna bagi perkembangan pemikiran selanjutnya dalam
memahami fenomena baik fenomena alam maupun
fenomena sosial.
Gagasan tempat berpijak tersebut tidak lain adalah
pendirian atau pandangan hidup ilmuan tersebut.
Titik tolak yang menjadi landasan ilmu biasanya bersumber
dari aliran filsafat tertentu, karena filsafat merupakan
induk ilmu pengetahuan (mother of science). Oleh karena
itu landasan ilmu terdalam tidak lain adalah filsafat.
Status Keilmuan dari Pedagogik
Dengan mengacu kepada tiga persyaratan (kriteria) keilmuan sebagaimana
telah dikemukakan terdahulu, yaitu berkenaan dengan objek studinya,
metode studinya, dan sifat sistematis dari hasil studinya.
1. Objek Studi Pedagogik
Dapat dirumuskan bahwa objek studi ilmu meliputi bebagai hal sebatas
yang dapat dialami manusia.Objek studi ilmu dibedakan menjadi:
a. Objek Material adalah sesuatu yang dipelajari oleh suatu ilmu dalam
wujud materinya.
b. Objek Formal adalah suatu bentuk yang khas atau spesifik dari objek
material yang dipelajari oleh suatu ilmu.
Objek formal pedagogik, menurut M.J. Langveld adalah situasi
pendidikan atau situasi pedagogiks. Situasi pendidikan adalah kegiatan
mendidik yang terjadi dalam pergaulan antara orang dewasa
(pendidikan) dengan orang belum dewasa (anak didik), dengan
kewajibannya pendidik membantu anak didik agar mencapai
kedewasaannya.
2. Metode Studi (Penelitian)
Semua disiplin ilmu dalam mempelajari
objek studi tentu menggunakan metode
ilmiah,demikian pula pedagogik.
Dalam rangka operasinya,metode ilmiah
dijabarkan kedalam metode penilitian
ilmiah.Adapun metode ilmiah tersebut
dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
a. Metode Penelitian Kualitatif
b. Metode Penelitian Kuantitatif
Pedagogik merupakan ilmu empiris, rohaniah,
normatif, dan praktis
• Empiris maksudnya ilmu pendidikan objeknya dijumpai di dunia
pengalaman. Menurut Langeveld dan Driyakarya objek pedagogi adalah
fenomena pendidikan, sedangkan Jusuf Djajadisastra dan Sutarja
berpendapat bahwa objek ilmu pendidikan itu adalah tindakan pendidikan.
Jadi dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa segala yang
terjadi dalam proses pendidikan (dilihat, dirasakan, dihayati, dan
dieskpresikan) merupakan objek dari ilmu pendidikan.
Contoh, seorang guru mengajarkan bahwa setiap akan melakukan suatu
kegiatan diawali dengan doa. Maka dalam kegiatan sehari-hari guru harus
selalu membiasakan para siswanya untuk selalu berdoa sebelum memulai
suatu pekerjaan, misalnya setiap akan belajar diawali dengan doa bersama,
setiap akan mengerjakan sesuatu siswa selalu diingatkan agar berdoa
terlebih dahulu. Jadi dengan pembiasaan tersebut akan tertanam dalam diri
siswa pentingnya doa sebelum memulai suatu pekerjaan.
• Rohaniah maksudnya suasana pendidikan itu didasarkan pada
hasrat manusia untuk menafsirkan hakekat peserta didik secara
tepat, yaitu bukan semata-mata objek alam, dan untuk tidak
membiarkan peserta didik pada nasibnya menurut alam,
melainkan sebanyak-banyaknya sebagai hasil kegiatan rohaniah
manusia.
Contoh, jika menjumpai siswa yang malas, lalai, atau tida
bersemangat dalam belajar, maka guru tidak boleh membiarkan
begitu saja. Guru harus dapat membimbingnya ke arah
perubahan tingkah laku yang baik, misalnya dengan memberikan
dorongan, nasehat, saran, dan motivasi agar ia dapat merubah
sikap malasnya tersebut.
Kalau hal ini berhasil dilakukan oleh guru, maka ilmu pendidikan
berhasil menunjukkan sebagai hasil kegiatan rohaniah manusia.
• Normatif maksudnya ilmu pendidikan didasarkan pada pemilihan antara yang
benar dan yang salah, atau baik dan tidak baik untuk peserta didik dan untuk
manusia pada umumnya. Contoh, dalam suatu kegiatan belajar guru meminta siswa
untuk menunjuk atau melakukan sesuatu, ada beberapa siswa yang selalu
menggunakan tangan kirinya dalam menunjuk dan melakukan sesuatu misalnya
bersalaman, memanggil dengan melambaikan tangan kirinya, dan sebagainya.
Karena hal itu dianggap kurang baik dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku
maka guru berusaha memberi penjelasan dan bimbingan terhadap siswa tersebut,
sehingga mereka menyadari kekeliruan yang diperbuat dan akhirnya terbiasa
menggunakan tangan kanannya dalam setiap aktifitas. Dari contoh tersebut jelas
ilmu pendidikan itu didasarkan pada pemilihan yang baik dan benar untuk peserta
didik.
• Praktis maksudnya bukan saja menelaah objeknya untuk mengetahui betapa
keadaan atau hakiki objek itu, melainkan mempelajari bagaimana seharusnya
bertindak. Contoh, seorang guru agama yang mengajarkan tentang keistimewaan
shalat berjamaah, sebaiknya selain mengajar secara teoritis si-guru mengajak
siswanya untuk melaksanakan shalat berjamaah setiap masuknya waktu shalat,
misalnya shalat berjamaah sebelum pulang. Atau paling kurang guru menganjurkan
pada peserta didik agar melaksanakan shalat berjamaah setiap shalat di rumah
atau di mesjid.
Kompetensi Pedagogik
• Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kompetensi
adalah (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan
atau memutuskan suatu.
• Kompetensi (competence), menurut Hall dan Jones
yaitu pernyataan yang menggambarkan penampilan
suatu kemampuan tertentu secara bulat yang
merupakan perbaduan antara pengetahuan dan
kemampuan yang dapat diamati dan diukur.
• Kompetensi Pedagogik pada dasarnya adalah
kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
peserta didik.
• Dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen
dijelaskan bahwa kompetensi merupakan
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas
profesinya.
Kompetensi tersebut meliputi:
1. Kompetensi pedagogik
2. Kompetensi profesional;
3. Kompetensi sosial;
4. Kompetensi kepribadian;
• Menurut Peraturan Pemerintah tentang Guru, bahwasanya
kompetensi pedagogik Guru merupakan kemampuan Guru dalam
pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya
meliputi:
a. Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan.
Guru memiliki latar belakang pendidikan keilmuan sehingga
memiliki keahlian secara akademik dan intelektual. Merujuk
pada sistem pengelolaan pembelajaran yang berbasis subjek
(mata pelajaran).
Guru seharusnya memiliki kesesuaian antara latar belakang
keilmuan dengan subjek yang dibina. Selain itu, guru memiliki
pengetahuan dan pengalaman dalam penyelenggaraan
pembelajaran di kelas.
Secara otentik kedua hal tersebut dapat dibuktikan dengan ijazah
akademik dan ijazah keahlian mengajar (akta mengajar) dari
lembaga pendidikan yang diakreditasi pemerintah.
b. Pemahaman terhadap peserta didik
Pemahaman terhadap peserta didik merupakan salah satu
kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru. Sedikitnya
terdapat empat hal yang harus dipahami guru dari peserta
didiknya, yaitu tingkat kecerdasan, kreativitas, cacat pisik, dan
perkembangan kognitif.
1) Tingkat kecerdasan
Orang yang berjasa menemukan tes intelengensi pertama sekali
adalah seorang dokter berkebangsaan Perancis: Alfred Binet dan
pembantunya Simon, tes ini pertama sekali diumumkan antara
1908–1911 yang diberi nama skala pengukur kecerdasan.
Dengan tes semacam inilah usia kecerdasan seseorang
diukur/ditentukan. Dari tes itu ternyata tidak tentu bahwa usia
kecerdasan tidak sama dengan usia sebenarnya. Sehingga
dengan demikian kita dapat melihat adanya perbedaan-
perbedaan I.Q (Inteligentie Quotient) pada tiap-tiap orang/anak.
• 2) Kreatifitas
Kreativitas bias dikembangkan dengan penciptaan proses pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik mengembangkan kreativitasnya.
Secara umum guru diharapkan menciptakan kondisi yang baik, yang
memungkinkan setiap peserta didik dapat mengembangkan kreativitasnya,
antara lain dengan teknik kerja kelompok kecil, penugasan dan mensponsori
pelaksanaan proyek. Anak yang kreatif belum tentu pandai, dan sebaliknya.
Proses pembelajaran pada hakikatnya untuk mengembangkan aktivitas dan
kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar.
Namun dalam pelaksanaannya seringkali kita tidak sadar, bahwa masih
banyak kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan justru menghambat
aktivitas dan kreativitas peserta didik. Hal ini dapat dilihat dalam proses
belajar mengajar di kelas yang pada umunya lebih menekankan pada aspek
kognitif.
Gibbs dalam Mulyasa (2006). Berdasarkan penelitiannya menyimpulkan
bahwa kreativitas dapat dikembangkan dengan memberi kepercayaan,
komunikasi yang bebas, pengarahan diri, dan pengawasan yang tidak
terlalu ketat.
3). Kondisi Fisik
Kondisi fisik antara lain berkaitan dengan penglihatan, pendengaran,
kemampuan bicara, pincang, dan lumpuh karena kerusakan otak. Terhadap
peserta didik yang memiliki kelainan fisik diperlukan sikap dan layanan
yang berbeda dalam rangka membantu perkembangan pribadi mereka.
Ornstein dan Levine dalam mulyasa (2006) membuat pernyataan sebagai
berikut:
Orang yang mengalami hambatan, bagaimanapun hebatnya
ketidakmampuan mereka, harus diberikan kebebasan dan pendidikan yang
cocok. Penilaian terhadap mereka harus adil dan menyeluruh. Orang
tua/wali mereka harus adil, dan boleh memprotes keputusan yang dibuat
kepala sekolah.
Rencana pendidikan individual, yang meliputi pendidikan jangka panjang,
dan jangka pendek harus diberikan, dan meninjau kembali tujuan dan
metode yang dipilih
Layanan pendidikan diberikan dalam lingkungan yang terbatas untuk
memberikan layanan yang tepat.
4) Pertumbuhan dan Perkembangan Kognitif
Pertumbuhan dan perkembangan dapat diklasifikasikan atas kognitif, psikologis,
dan fisik. Pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan struktur dan
fungsi karakteristik manusia. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam
kemajuan yang mantap, dan merupakan suatu proses kematangan.
Piaget dalam Mulyasa (2006). Terdapat empat tahap perkembangan mental
manusia sebagai berikut:
a. Tahap sensorimotorik (sejak lahir hingga usia dua tahun). Anak mengalami
kemajuan dalam operasi-operasi reflek dan belum mampu membedakan apa
yang ada disekitarnya hingga ke aktifitas sensorimotorik yang komplek, sehingga
terjadi formulasi baru terhadap organisasi pola-pola lingkungan.
b. Tahap praoperasional (2-7 tahun). Pada tahap ini objek-objek dan peristiwa
mulai menerima arti secara simbolis.
c. Tahap operasi nyata (7-11 tahun). Anak mulai mengatur data ke dalam
hubungan-hubungan logis dan mendapatkan kemudahan dalam manipulasi data
dalam situasi pemecahan masalah.
d. Tahap operasi formal (usia 11 dan seterusnya). Tahap ini ditandai oleh
perkembangan kegiatan-kegiatan operasi berfikir formal dan abstrak.
c. Pengembangan kurikulum/silabus
Guru memiliki kemampuan mengembangkan
kurikulum pendidikan nasional yang disesuaikan
dengan kondisi spesifik lingkungan sekolah.
d. Perancangan pembelajaran
Guru memiliki merencanakan sistem pembelajaran
yang memamfaatkan sumber daya yang ada.
Semua aktivitas pembelajaran dari awal sampai
akhir telah dapat direncanakan secara strategis,
termasuk antisipasi masalah yang kemungkinan
dapat timbul dari skenario yang direncanakan.
e. Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
Mulyasa (2006) kegagalan pelaksanaan pembelajaran
sebagian besar disebabkan oleh penerapan metode
pendidikan konvensional, anti dialog, proses penjinakan,
pewarisan pengetahuan, dan tidak bersumber pada realitas
masyarakat.
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara
peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan
perilaku kearah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut
banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor
eksternal maupun faktor internal. Dalam pembelajaran, tugas
guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan
agar menunjang terjadinya perubahan perilaku pembentukan
kompetensi peserta didik.
f. Pemanfaatan teknologi pembelajaran.
Dalam menyelenggarakan pembelajaran, guru menggunakan
teknologi sebagai media. Menyediakan bahan belajar dan
mengadministrasikan dengan menggunakan teknologi informasi.
Membiasakan anak berinteraksi dengan menggunakan teknologi.
Fasilitas pendidikan pada umunya mencakup sumber belajar,
sarana dan prasarana sehingga peningkatan fasilitas pendidikan
harus ditekankan pada peningkatan sumber-sumber belajar, baik
kuantitas maupun kualitasnya, sejalan dengan perkembangan
teknologi pendidikan dewasa ini.
Sehubungan dengan itu, peningkatan fasilitas laboratorium,
perpustakaan, atau ruang-ruang belajar khusus seperti ruangan
komputer, sanggar seni, ruang audio dan video seyogianya
semakin menjadi faktor-faktor yang diperhatikan dalam
peningkatan fasilitas pembelajaran.
g. Evaluasi hasil belajar
Evaluasi hasil belajar dilakukan untuk mengetahui perubahan dan pembentukan
kompetensi peserta didik, yang dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan
dasar penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, serta penilaian program.
1. Penilaian kelas
Penilaian kelas dilakukan dengan ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir.
Ulangan harian dilakukan setiap selesai proses pembelajaran dalam satuan bahasan
atau kompetensi tertentu. Ulangan umum dilaksanakan setiap akhir semester dengan
bahan yang disajikan sebagai berikut.
a. Ulangan umum semester pertama soalnya diambil dari materi semester pertama,
b. Ulangan umum semester kedua soalnya merupakan gabungan dari semester pertama
dan kedua dengan penekanan pada materi semester kedua.
c. Ujian akhir dilakukan pada akhir program pendidikan. Bahan-bahan yang diujikan
meliputi seluruh materi pembelajaran yang telah diberikan, dengan penekanan pada
bahan-bahan yang diberikan pada kelas tinggi.
Penilaian kelas dilakukan oleh guru untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar
peserta didik, memberikan umpan balik, mempengaruhi proses pembelajaran dan
pembentukan kompetensi pesrta didik, mendiagnosa kesulitan belajar dan
pembentukan kompetensi peserta didik.
2. Tes kemampuan dasar
Tes kemampuan dasar dilakukan untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis,
dan berhitung yang diperlukan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran.
• 3. Penilaian Akhir Satuan Pendidikan dan Sertifikasi
Pada setiap akhir semester dan tahun pelajaran diselenggarakan kegiatan
penilaian guna mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh
mengenai ketuntasan belajar peserta didik dalam satuan waktu tertentu.
Untuk keperluan sertifikasi, kinerja, dan hasil belajar yang dicantumkan
dalam Surat Tanda Tamat Belajar tidak semata-semata didasarkan atas
hasil penilaian pada akhir jenjang sekolah